by Sharia Consulting Center scc | Jun 5, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Untuk dapat memastikan awal bulan Ramadhan secara benar maka diperlukan kajian terhadap dua hal.
Pertama, untuk mengetahui tanda masuknya awal bulan qamariyah, dapat diketahui melalui munculnya bulan sabit di ufuk yang berada di sebelah barat. Allah berfirman: ”Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah: bulan sabit itu tanda-tanda waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji”. (QS; al-Baqarah: 189).
Demikian juga berakhirnya bulan qamariyah selalu ditandai dengan munculnya bulan sabit baru yang berarti juga sebagai tanda awal bulan berikutnya.
Kedua, guna mendapatkan jawaban yang tepat tentang pertanyaan di atas maka kita akan merujuk berbagai petunjuk Rasulullah dalam hal ini. Paling tidak dari seluruh Hadits yang berbicara tentang masalah ini menunjukkan, bahwa cara menentukan awal Ramadhan dapat dilakukan melalui salah satu dari tiga cara di bawah ini:
Cara pertama: rukyatul hilal
Yaitu melihat hilal (bulan baru/sabit) setelah ijtima’ (konjungsi) dan setelah wujud/muncul di atas ufuk pada ahir bulan dengan mata telanjang atau melalui alat. Cara ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان، فقال: (لاَ تَصُوْمُوا حتَّى تَرَوا الْهِلاَلَ، وَلاَ تُفْطِرُوا حتى تَرَوْهُ).
Dari sahabat Abdullah bin Umar berkata sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata: ”Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari raya sehingga kalian melihat hilal.” ( HR Bukhari dan Muslim)
Hadits yang lain juga menegaskan bahwa cara menentukan awal Ramadhan adalah dengan melihat bulan sabit.
قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: (صُوْمُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ).
Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: ”Berpuasalah jika telah melihat hilal dan berhari-rayalah bila telah melihat hilal”. ( HR Bukhari dan Muslim).
Namun cara penentuan awal bulan Ramadhan melalui rukyat hilal, mengundang perbedaan mengenai kriteria orang yang dapat dipercaya rukyatnya. Dalam hal ini para ulama fiqih memiliki tiga pandangan.
1. Bahwa hasil rukyat yang dilakukan seorang muslim yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam agamanya (adil) dapat dijadikan sebagai landasan untuk memutuskan tentang awal bulan Ramadhan. Hal itu berdasarkan hadits Ibnu Umar, “Dia berkata bahwa ketika semua orang sedang memantau awal bulan, maka sayalah yang melihatnya. Lalu saya laporkan kepada Nabi Saw kemudian beliau berpuasa dan menyuruh seluruh kaum muslimin untuk berpuasa”. ( HR Abu Dawud, al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).
Dalil yang lain yang cukup menjadi penguat adalah hadits seorang a’rabi (badui Arab) yang datang memberi kesaksian kepada Rasulullah tentang dirinya telah melihat hilal, lalu Rasulullah memerintahkan Bilal untuk mengumandangkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka melaksanakan tarawih (qiyam) dan puasa. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan an-Nasai).
Dalam kaitannya dengan hadits ini, Yusuf Qaradhawi mengutip sebuah komentar para ulama bahwa “Menentukan awal Ramadhan berdasarkan rukyat satu orang dianggap lebih berhati-hati dalam memasuki sebuah ibadah, karena puasa satu hari dalam bulan Sya’ban lebih ringan resikonya daripada tidak berpuasa satu hari di bulan Ramadhan. (Lihat Fiqih Shiyam, Qardhawi: 27).
2. Pandangan kedua mensyaratkan bahwa rukyat yang dapat diterima sebagai landasan menentukan awal bulan Ramadhan adalah sekurang-kurangnya dilakukan oleh dua orang yang dapat dipercaya dan tidak cacat dalam beragama.
Mereka mendasarkan pendapat ini kepada hadist yang dikutip Ibnu Abidin dalam hasyiyah-nya diriwayatkan oleh al-Husen bin Harits al Hadali, dia berkata: Amir Makkah al-Harits bin al-Hathib mengungkapkan kepada kami bahwa “Rasulullah Saw memerintahkan kepada kami untuk berpuasa setelah kita melihat hilal, dan jika kami tidak melihatnya maka kesaksian dua orang (yang melihat hilal) dan adil dapat menjadi dasar untuk berpuasa. ( lihat Hasyiah Ibnu Abidin).
3. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpandangan bahwa kesaksian tentang melihat hilal yang dapat diterima adalah dari sejumlah (banyak) orang. Hal itu bila kondisi langit dalam keadaan bersih tanpa mendung atau awan atau penghalang lainnya. Karena dalam keadaan seperti ini sangat sulit diterima kebenaran kesaksian satu atau dua orang yang mengaku melihat hilal. Berbeda jika keadaan langit dalam kondisi mendung atau berawan, maka boleh jadi hilal nampak dalam beberapa saat yang hanya dapat dilihat oleh satu-dua orang lalu selanjutnya tertutupi oleh awan atau mendung dan sebagainya. Dalam kondisi seperti ini kesaksian satu atau dua orang yang adil dapat diterima sebagai landasan menjalankan ibadah puasa. (lihat maraji yang sama).
Sedangkan standar jumlah yang dapat dikategorikan banyak adalah tergantung ketentuan yang dikeluarkan oleh pemimpin Negara (lihat al Ikhtiyar fi Syarhil Mukhtar, 1:129).
Cara kedua: Menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari
Ketika para perukyat tidak berhasil melihat hilal pada tanggal 29 bulan Sya’ban, baik keadaan langit berawan, mendung atau cerah, maka cara menentukan awal bulan Ramadhan dalam keadaan seperti ini adalah menjadikan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.
Pandangan ini didasarkan kepada Sabda Nabi:
قال النبي صلى الله عليه وسلم، أو قال: قال أبو القاسم صلى الله عليه وسلم: (صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته، فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين).
Dari Abu Hurairah Rasulullah Saw bersabda: ”Berpuasalah jika telah melihat hilal dan berhari-rayalah bila telah melihat hilal, apabila terhalang oleh mendung, maka sempurnakanlah bulan Sya`ban menjadi tiga puluh hari”. ( HR Bukhari dan Muslim).
عن عبد الله ابن عمر رضي الله عنهما: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (الشهر تسع وعشرون ليلة، فلا تصوموا حتى تروه، فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين).
Dari Abdullah bin Umar Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: ”Bulan (Sya’ban) itu dua puluh sembilan malam, maka jaganlah puasa hingga kalian melihatnya (hilal). Apabila terhalang olehmu mendung, maka sempurnakan menjadi tiga puluh malam” (HR Bukhari).
Namun cara ini memiliki beberapa kelemahan antara lain, tidak konsisten dalam melakukan rukyat setiap awal bulan. Padahal akhir bulan Sya’ban sangat bergantung kepada bulan sebelumnya, sehingga ketika terjadi kesalahan pada bulan sebelumnya akan berimbas kepada bulan Sya’ban dan otomatis juga pada bulan Ramadhan. Untuk menghindari implementasi petunjuk Nabi yang bersifat setengah-setengah, dan dapat membuahkan hasil yang maksimal, maka dapat dilakukan rukyat pada setiap awal bulan Hijriyah.
Cara ketiga: Memperkirakan bulan sabit.
Pandangan ini semulanya adalah sabda Rasulullah Saw :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر رمضان، فقال: (لا تصوموا حتى تروا الهلال، ولا تفطروا حتى تروه، فإن غم عليكم فاقدروا له).
Dari sahabat Abdullah bin Umar ra. berkata sesungguhnya Rasulullah Saw berkata: ”Janganlah berpuasa (Ramadhan) sehingga kalian melihat hilal dan janganlah berhari-raya sehingga kalian melihat hilal, apabila terhalang olehmu mendung maka perkirakanlah” (H.R. Bukhori dan Muslim).
Para ulama beragam pandangan tentang makna “faqduru lah” (melakukan perkiraan bulan Ramadhan):
Menurut Imam Ahmad bin Hambal, makna faqduru lah adalah mencukupkan bulan Sya’ban pada hitungan 29 hari dan memperkirakan bahwa hilal berada di atas awan.
Muthrif bin Abdullah, Abul Abbas bin Suraij dan Ibnu Qutaibah berpendapat, bahwa maksud faqduru lah adalah perkirakanlah bulan sesuai dengan manzilahnya (posisi orbitnya).
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii dan mayoritas ulama Salaf dan Khalaf memandang, bahwa makna faqduru lah adalah sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa riwayat lain yang bersifat menjelaskan terhadap riwayat faqduru lah. Riwayat-riwayat tersebut adalah fa’akmilul `iddah tsalatsin. Riwayat ini dilansir oleh Imam Bukhari dalam kitab Sahihnya dari sahabat Ibnu Umar dan Abu hurairah (Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar: 4/119, bab Qaulun Nabi: Idza raitum …).
Imam Nawawi dalam kitabnya al-Majmuk berpendapat bahwa pandangan yang menafsirkan faqduru lah dengan memperkirakan bulan sesuai dengan manzilahnya (garis orbitnya) dianggap tidak relevan karena dua hal. Pertama, karena pada saat itu Rasulullah Saw dan mayoritas umat Islam tidak bisa baca dan tidak bisa tulis berdasarkan hadits Rasulullah Saw:
(إنا أمة أمية، لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا).
Dari Ibnu Umar Rasulullah Saw bersabda: ”Kita adalah umat yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis” (HR Bukhari).
Kedua, karena untuk mengetahui posisi bulan pada porosnya dibutuhkan ilmu falak. Padahal ilmu tersebut belum dikenal di kalangan para sahabat, bagaimana Rasulullah Saw menyuruh para sahabat kepada sesuatu yang mereka tidak mampu? (Lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi: 6/270).
Pendapat ini berbeda dengan pendapat Abul Abbas Ibnu Siraj dari kalangan ulama Syafi`iyah, dimana orang yang mengetahui awal Ramadhan melalui ilmu falaknya dia wajib berpuasa (Lihat al-Majmuk oleh an-Nawawi: 6/279 dan 280).
Cara ketiga, untuk penentuan awal bulan mengundang perhatian lebih luas bagi para ulama kontemporer dengan berkembangnya ilmu falak modern. As-Syaikh Rasyid Ridha dalam risalahnya tentang penetapan Ramadhan mengajak kepada umat Islam untuk menggunakan ilmu falak yang akurat dalam menetapkan kalender Ramadhan (lihat Hakikat Shiyam wa Isbat Sahar Ramadhan oleh Rasyid Ridha).
Sebagaimana dikutip oleh al-Qardhawi dalam risalah ramadhannya, dimana sebagian ulama besar pada abad modern ini seperti Ahmad Muhammad Syakir dan Mustafa Zarqa’ berpandangan bahwa perlunya umat Islam beralih dari cara yang sederhana menuju cara yang lebih modern dan terukur dalam menentukan awal bulan Ramadhan, yaitu dengan berpedoman kepada ilmu falak modern, yang mana teori-teori yang dibangun berdasarkan ilmu yang pasti dan perhitungan yang sangat teliti. Agar umat Islam mendapatkan kesatuan pendapat tentang penentuan awal Ramadhan (lihat Fiqih Siyam oleh Qaradhawi: 30-31),
Sementara Syaikh al-Qardhawi mencoba mencarikan alasan-alasan yang dibangun oleh pendapat lama dan modern, dimana alasan para fuqaha menolak penetapan Ramadhan dengan hisab (ilmu falak), karena aliran falak konvensional berdasarkan tanjim (ilmu nujum atau perbintangan) yang lebih dikenal dengan ramalan bintang. Sedangkan ilmu falaq modern didasarkan atas perhitungan yang sangat teliti, dimana tingkat akurasinya mencapai hampir 100%, sedangkan potensi kesalahan dalam menghitung berkisar 1 – 100.000 per detik. Dengan demikian mereka perlu mengkaji ulang pendapat mereka yang menolak ilmu falaq modern.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 4, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Banyak cara untuk melatih anak berpuasa dengan tanpa memaksa:
Persiapan Khusus
Sebelum menjalankan puasa Ramadhan maka orangtua terlebih dahulu melakukan dialog yang intensif dengan anaknya seputar puasa. Dalam dialog tersebut hendaknya menekankan tentang pengertian, kegunaan, keindahan, dan keutamaan puasa dengan bahasa dan pendekatan anak-anak, agar anak memiliki kesan pertama yang indah dan menyenangkan tentang puasa. Ingat anak lebih kuat menangkap kesan daripada pesan yang dia tangkap.
Faktor-Faktor Penting
Perhatikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan seorang anak untuk mulai berlatih puasa, antara lain adalah keluarga, sekolah dan teman sepermainan. Lingkungan yang kondusif pada setiap faktor tersebut sangat mempengaruhi berhasil dan gagalnya anak melakukan latihan puasa.
(Baca juga: Hukum Puasa Ramadhan)
Karena itu, orang tua harus dapat memastikan bahwa kondisi lingkungan pada setiap faktor tersebut cukup kondusif. Dengan demikian orangtua dapat mengantisipasi kondisi yang akan dipredeksi.
Pengertian yang Tepat dan Cukup
Berikan pengertian puasa sesuai tahap pemahaman mereka. Mereka belum mengerti bahwa puasa itu tidak boleh makan dan minum serta melakukan hal-hal yang membatalkan lainnya, tetapi jika mereka disebut tidak berpuasa mereka sangat tersinggung.
Jika orangtua bijak tentu tak akan menganggap hal tersebut masalah yang besar. Yang lebih penting bagi mereka adalah kesukaannya untuk berpuasa, walau seperti apapun bentuk puasa mereka. Sebagaimana mereka juga belum memahami harus bangun sebelum Subuh untuk melakukan sahur. Yang terpenting di sini hendaknya kita tidak memaksa mereka untuk melakukan hal-hal tersebut, biarkan pemahaman mereka terhadap puasa berkembang sesuai dengan perkembangan dirinya, sehingga kita tidak memberi kesan yang buruk dan memberatkan kepada mereka tentang puasa.
Bertahap
Buatlah puasa secara bertahap. Misalnya
- Pada hari pertama satu hari (12 jam), dibagi tiga sehingga akan melakukan sahur tiga kali.
- Lalu pada hari berikutnya sahurnya dua kali.
- Dan jika anak telah mendapatkan nuansa puasa tersendiri, maka baru dibebankan puasa sehari penuh.
Cara Lain
Cara lain untuk melakukan tahapan dalam melatih puasa, misalnya :
- Hari ini puasa 6 jam
- Besok puasa 8 jam
- Berikutnya baru puasa sehari penuh.
Yang perlu diingat bahwa mereka sesungguhnya pada masa latihan, sehingga tidak tepat diberlakukan seperti orang yang sudah berkewajiban.
Naik-Naik ke Puncak Sukses
Meletakkan puncak kesuksesan di waktu Maghrib. Jika anak mampu berpuasa hingga Maghrib, maka dia telah sukses, walau awal puasanya sejak 4 atau 6 jam sebelumnya. Lakukan koreksi jika gagal, dan hargai sesuai kemampuan yang diraih.
Sumber :
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 2, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Diantara ciri khas bulan Ramadhan adalah tumbuh suburnya suasana keislaman di semua tempat. Umat Islam mempunyai kesempatan lebih banyak untuk beribadah. Puasa merupakan sarana yang sangat efektif untuk menahan segala kecenderungan negatif dan memotivasi untuk melakukan semua bentuk kebaikan. Sehingga peluang tarbiyah dan dakwah di bulan Ramadhan lebih terbuka dan lebih luas.
Kesempatan inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para da’i dan ulama untuk melakukan dakwah dan tarbiyah. Terus melakukan gerakan reformasi (harakatul ishlah). Membuka pintu-pintu hidayah dan menebar kasih sayang bagi sesama. Meningkatkan kepekaan untuk menolak kezaliman dan kemaksiatan. Menyebarkan syiar Islam dan meramaikan masjid dengan aktivitas ta’lim, kajian kitab, diskusi, ceramah dan lain-lain, sampai terwujud perubahan-perubahan yang esensial dan positif dalam berbagai bidang kehidupan.
(Baca juga: Keutamaan Berbuat Kebajikan di Bulan Ramadhan)
Ramadhan bukan bulan istirahat yang menyebabkan mesin-mesin kebaikan berhenti bekerja, tetapi momentum tahunan terbesar untuk segala jenis kebaikan, sehingga kebaikan itulah yang dominan atas keburukan. Namun dominasi kebaikan bukan hanya di bulan Ramadhan, tetapi juga di luar Ramadhan.
Agar kebaikan dan kebenaran itu dominan atas keburukan dan kebatilan, maka umat Islam harus terus didorong untuk berjihad dalam menegakkan kebenaran dan nilai-niliai Islam. Jihad adalah puncak ajaran Islam, rahasia kemuliaan dan kejayaan umat Islam. Sedangkan landasan jihad adalah kesucian dan kebersihan jiwa. Oleh karenanya, bulan Ramadhan adalah momentum yang sangat tepat untuk menumbuhkan ruhul jihad dalam tubuh umat Islam.
(Baca juga: Menjadikan Ramadhan sebagai Bulan untuk Bertaubat)
Sejarah telah membuktikan bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan gerakan jihad. Perang Badar Al-Kubra, Fathu Makkah, pembebasan Palestina oleh Shalahuddin Al-Ayyubi, perang Ain Jalut yang dapat menaklukkan tentara Mongol, penaklukkan Andalusia oleh pahlawan Tariq bin Ziyad, serta Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, semuanya terjadi pada bulan Ramadhan.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | May 31, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
Bulan Ramadhan adalah bulan dimana setan dibelenggu, hawa nafsu dikendalikan dengan puasa, pintu neraka ditutup dan pintu surga dibuka. Sehingga Ramadhan adalah bulan yang sangat kondusif untuk bertaubat dan memulai hidup baru dengan langkah baru yang lebih islami.
Taubat berarti meninggalkan kemaksiatan, dosa dan kesalahan serta kembali kepada kebenaran. Atau kembalinya hamba kepada Allah Swt, meninggalkan jalan orang yang dimurkai dan jalan orang yang sesat. Orang-orang kafir, baik itu Yahudi, Nashrani, atau orang-orang musyrik yang masuk Islam berarti mereka telah bertaubat.
Begitu juga orang-orang yang berbuat maksiat, seperti membunuh, berzina, mencuri dan sebagainya, kemudian dia meninggalkan dosa tersebut dan kembali kepada Allah Swt, maka dia telah bertaubat. Adapun orang-orang yang meninggalkan kemaksiatan dan belum kembali kepada ajaran Islam, maka taubatnya belum sempurna, dan harus disempurnakan dengan cara kembali kepada ajaran Allah Swt, yaitu Islam.
(Baca juga: Persatuan Islam dan Ukhuwah di Bulan Ramadhan)
Taubat mencakup tiga dimensi waktu : masa lalu, sekarang dan akan datang. Yang terkait dengan masa lalu adalah penyesalan atas dosa yang telah dilakukan. Oleh karenanya disebutkan dalam hadits:
الندم توبة
“Penyesalan adalah taubat” (HR Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Sedangkan yang terkait dengan masa kini adalah segera meninggalkan dosa tersebut sekarang juga. Faktor yang terkait dengan waktu yang akan datang adalah bertekad tidak akan mengulanginya lagi. Jika taubat terkait dengan sesama manusia, maka ditambah satu unsur lagi, yaitu meminta dimaafkan atas segala kesalahannya dan menyelesaikan segala urusannya.
Taubat bukan hanya terkait dengan meninggalkan kemaksiatan, tetapi juga terkait dengan pelaksanaan perintah Allah. Oleh karena itu barangsiapa yang tidak taubat masuk kelompok yang zalim dan orang yang bertaubat masuk kelompok yang beruntung.
Allah Swt. berfirman: “Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim” (QS Al-Hujuraat 11).
Ayat lain: “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (QS An-Nur 31).
Dengan demikian hakikat taubat yaitu kembali dari apa yang dibenci Allah Swt. secara lahir dan batin menuju apa yang dicintai Allah secara lahir dan batin. Sehingga taubat adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti dan perjalanan awal, pertengahan dan akhir orang-orang beriman.
(Baca juga: Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah Ramadhan)
Langkah orang-orang beriman diawali dengan taubat, dan dalam proses dia terus-menerus bertaubat, hingga akhir dari amal harus ditutup dengan taubat. Inilah hikmah, kenapa mereka diperintahkan melakukan istighfar dan taubat, setelah melakukan amal shalih. Seperti setelah berwudhu, shalat, bahkan setelah berhasil melakukan semua tugas dan mendapatkan kemenangan, kita diperintahkan istighfar dan taubat.
Oleh karena itu, di bulan Ramadhan orang-orang beriman harus memperbanyak istighfar dan taubat kepada Allah Swt. Mengakui kesalahan dan meminta ma’af kepada sesama manusia yang dizaliminya serta mengembalikan hak-hak mereka.
Taubat adalah sebuah sikap menyesali akan segala kesalahan, melepaskannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahan tersebut. Dosa, maksiat dan kesalahan merupakan sebab inti dari keterpurukan dan krisis saat ini. Sehingga taubat adalah jalan pembuka untuk memulai hidup baru menuju yang lebih baik. Taubat dan istighfar menjadi syarat utama bagi bangsa Indonesia untuk mendapat maghfirah, rahmat dan karunia Allah Swt.
وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إلَى قُوَّتِكُمْ وَلَا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ
Dan (dia berkata): “Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa.” (QS Hud 52).
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | May 30, 2016 | Artikel, Ramadhan
Bulan Ramadhan adalah bulan rahmat, dimana kasih sayang dan persaudaraan harus diutamakan dari yang lainnya. Ukhuwah Islamiyah adalah prinsip dari kebaikan umat Islam. Sehingga ibadah Ramadhan harus berdampak pada ukhuwah Islamiyah.
Ukhuwah Islamiyah ini harus terlihat jelas dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan dan mengisi ibadah Ramadhan. Namun demikian, semuanya tetap sejalan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.
Diperlukan sikap bijak dari para ulama untuk bertemu dan duduk dalam satu majelis bersama pemerintah (Kementerian Agama) untuk menentukan kesamaan awal dan akhir Ramadhan. Tentunya berdasarkan argumentasi ilmiyah yang kuat dan landasan-landasan yang kokoh dalam Syariat Islam.
(Baca juga: Merencanakan Peningkatan Prestasi Ibadah Ramadhan)
Memang perbedaan pendapat (dalam masalah furu’) adalah rahmat. Tetapi kesamaan penentuan awal dan akhir Ramadhan lebih dekat dari rahmat Allah yang diberikan kepada orang-orang yang bertaqwa.
Perbedaan pendapat dalam penentuan awal dan akhir Ramadhan adalah suatu pertanda belum terbangun kuatnya budaya syura, ukhuwah Islamiyah, dan pembahasan ilmiyah dalam tubuh umat Islam, lebih khusus lagi para ulamanya.
Ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat Islam jauh lebih penting dari ibadah-ibadah sunnah, apalagi jika perbedaan pendapat itu menimbulkan perpecahan. Allah Swt berfirman:
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ وَاذْكُرُواْ نِعْمَةَ اللّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَاء فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنتُمْ عَلَىَ شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَأَنقَذَكُم مِّنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (QS Ali ‘Imran 103).
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center