by Danu Wijaya danuw | Mar 20, 2018 | Artikel, Berita, Dakwah, Muallaf, Nasional
Senyum lucu dan sikap humoris dari Chef Harada tidak akan terlihat lagi di layar kaca. Sebab Chef asal Jepang yang kerap memandu acara memasak di stasiun televisi telah meninggal dunia.
Mungkin banyak yang mengira Chef Harada merupakan seorang non-Muslim. Padahal, dia sudah menjadi mualaf
Chef bernama lengkap Hirumitsu Harada itu meninggal dunia di Rumah Sakit Puri Cinere pada Senin (19/3/2018).
Menurut penuturan istri Chef Harada, Dewi, suaminya meninggal karena sakit seusai operasi otot virus lambung. Chef Harada berada di rumah sakit sejak 15 Februari 2018.
Dewi menjelaskan, kondisi suaminya sempat membaik pasca operasi. Namun, tidak lama kemudian, kondisi Harada semakin memburuk hingga akhirnya meninggal dunia.
Selama menjadi presenter di sebuah acara televisi swasta, Chef Harada dikenal humoris.
Ia selalu memakai kimono khas Jepang dalam acara tersebut.
Bilamana ditelusuri, fakta hidup Chef Harada begitu menarik untuk disimak.
1. Datang ke Indonesia
Chef Harada pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1987.
Saat itu, ia menjadi chef di sebuah restoran Jepang di kawasan Blok M, Jakarta.
2. Jadi Mualaf
Pada tahun 1989, Chef Harada memutuskan untuk jadi mualaf.

Ia masuk Islam sebelum menikahi istrinya. Sejak itulah namanya berganti menjadi Muhammad Hirumitsu Harada.
3. Dekat dengan Anak
Harada diketahui begitu dekat dengan salah satu putrinya, Ayumi Harada.
Baik di media sosial Harada atau Ayumi, keduanya kerap terlihat memamerkan kebersamaan.

Bahkan, saat Harada tengah sakit, Ayumi beberapa kali menceritakan kondisi terbaru ayahnya ke media sosial.
Jenazah Chef Harada dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan pada Senin siang. Pemakaman berlangsung tanpa menunggu kedatangan anak kedua Harada, Hikaru, yang saat itu sedang dalam perjalanan dari Jepang menuju Indonesia.
Sumber : Tribunnews
by Danu Wijaya danuw | Mar 19, 2018 | Artikel, Dakwah
Adakalanya di dalam shalat, seorang muslim lupa jumlah rakaat yang sudah dikerjakannya. Nah, bagaimana jika begitu?
Sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah menceritakan, suatu ketika Rasulullah SAW lupa jumlah rakaat ketika shalat. Seusai shalat, beliau ditanya para sahabat, apakah ada perubahan jumlah rakaat shalat?
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Saya hanyalah manusia biasa. Saya bisa lupa sebagaimana kalian lupa. Jika saya lupa, ingatkanlah saya. Jika kalian ragu tentang jumlah rakaat shalat kalian, pilih yang paling meyakinkan, dan selesaikan shalatnya. Kemudian lakukan sujud sahwi.” (HR. Bukhari & Muslim)
Sebagian ulama berpendapat bahwa ragu-ragu dalam meninggalkan rukun, seperti ragu-ragu dalam meninggalkan jumlah raka’at. Maka hendaknya dia memilih apa yang diyakininya, yaitu; yang lebih sedikit jika salah satunya tidak ada yang lebih dominan, kemudian melaksanakan sujud sahwi sebelum salam.
Imam Al Mawardi –rahimahullah- berkata: ‘Pendapat yang menyatakan: ‘Barang siapa yang ragu-ragu dalam melaksanakan rukun sama dengan meninggalkannya’, mayoritas dari teman-teman kami menyatakan pendapat seperti ini dan meyakininya. Dikatakan bahwa hal itu sama halnya dengan meninggalkan raka’at secara analogi, maka hendaknya dia berjaga-jaga dan mengamalkan keragu-raguan yang lebih dia yakini’,” (Al Inshaaf: 2/150).
Rasulullah ketika lupa jumlah rakaat dalam shalat. Rasul memerintahkan untuk melakukan sujud sahwi.
Apa itu sujud sahwi?
Kata sahwi artinya lupa. Disebut sujud sahwi karena sujud ini dilakukan ketika lupa rakaat dalam shalat. Sujud sahwi disyariatkan dalam rangka menutup kekurangan ketika shalat disebabkan lupa.
by Danu Wijaya danuw | Mar 19, 2018 | Artikel, Dakwah
TERDAPAT banyak hadits yang menunjukkan rutinitas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Ikhlas dan al-Kafirun.
Diantaranya hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَرَأَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ، وَالرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ، بِضْعًا وَعِشْرِينَ مَرَّةً أَوْ بِضْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
Lebih dari 2 kali (dalam riwayat lain) belasan kali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Ikhlas dan al-Kafirun di 2 rakaat sebelum subuh, dan 2 rakaat setelah maghrib. (HR. Ahmad 4763 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Ibnu Umar juga mengatakan,
رَمَقْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِشْرِينَ مَرَّةً، يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ ، وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْفَجْرِ : قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Aku memperhatikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 20 kali, membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas di 2 rakaat setelah maghrib dan 2 rakaat sebelum subuh. (HR. Nasai 992 dan dihasankan al-Albani).
Kemudian, keterangan sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
مَا أُحْصِي مَا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ ، وَفِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الفَجْرِ : بِقُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Tak terhitung aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas ketika shalat 2 rakaat setelah maghrib dan 2 rakaat sebelum subuh. (HR. Tumurdzi 431 dan dishahihkan al-Albani).
Juga keterangan dari A’isyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الصُّبْحِ وَالرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ وَقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa membaca surat al-Kafirun dan al-Ikhlas ketika mengerjakan 2 rakaat sebelum subuh dan 2 rakaat setelah maghrib. (HR. Thabrani dalam al-Ausath 7304).
Kesimpulannya, dianjurkan untuk merutinkan membaca surat al-Kafirun ketika shalat qabliyah subuh dan surat al-Ikhlas bakdiyah maghrib.
Rahasia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Merutinkan Surat al-Ikhlas dan al-Kafirun
Shalat qabliyah subuh adalah shalat sunah yang mengawali waktu pagi, dan bakdiyah maghrib adalah shalat sunah yang mengawali waktu malam.
Sementara surat al-Kafirun dan al-Ikhlas adalah dua surat yang mengajarkan prinsip-prinsip tauhid.
Surat al-Ikhlas mengajarkan tauhid rububiyah dan asma wa shifat, artinya apa saja yang harus kita yakini tentang Allah. Keyakinan bahwa Allah satu-satunya yang berhak diibadahi, tidak beranak dan tidak ada orang tua, dan tidak ada yang serupa dengan Allah.
Sementara surat al-Kafirun mengajarkan tentang kewajiban kita kepada Allah, bahwa kita harus beribadah kepada Allah, dan tidak boleh beribadah kepada selain-Nya. Dan pelajaran tentang prinsip kepada siapa kita harus loyal dan anti-loyal.
Kita menyatakan, “Hai orang kafir…” ini panggilan yang menunjukkan bahwa saya dan anda wahai kafir, adalah saling bertentangan. Sehingga tidak mungkin kita saling mendukung.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacanya di awal pagi dan awal malam sebagai ikrar tauhid setiap pagi dan petang. (Bada’i al-Fawaid, 1/145 – 146)
Allahu a’lam
Sumber: konsultasisyariah
by Danu Wijaya danuw | Mar 7, 2018 | Artikel, Dakwah
Imam Nawawi dikenal banyak orang sebagai ulama masa dahulu yang mengarang Hadist Arba’in. Beliau dalam banyak hal diakui sebagai Al-Imam, Al-Hafidz, Al-Faqih dan Al-Muhaddits. Nama lengkapnya adalah Yahya bin Syarafuddin bin Murriy bin Hasan Al-Hizami Al-Haurani An-Nawai Asy-Safi’I.
Imam Nawawi diberi julukan oleh masyarakat adalah Muhyiddin (yang menghidupkan agama). Namun beliau sendiri tidak suka dijuluki dengan julukan tersebut karena ketawadhu’annya kepada Allah Ta’ala.
Kelahiran dan Pertumbuhan
Dilahirkan di negeri Nawa, negara Suriah. Inilah asal sebutan Nawawi. Beliau lahir pada 10 hari pertengahan bulan Muharram tahun 631 H dan tumbuh berkembang di sana.
Masa kecilnya dilalui dengan mendatangi para ulama untuk berkonsultasi kepada mereka dalam berbagai urusan.
Dia tidak suka bermain dan bercanda (sebagaimana layaknya anak-anak). Karenanya dia telah hafal Al-Qur-an menjelang usia baligh.
Pada usia 19 tahun, bapaknya membawanya ke Damaskus agar ia dapat menuntut ilmu.
Lalu dia tinggal di Madrasah (Pesantren) Ar-Rowahiyah, dekat Masjid Agung Umawi di Damaskus.
Kala itu tahun 649H. Kitab “At-Tanbih” dihafalnya dalam waktu empat bulan setengah saja.
Setahun sesudahnya dia mengaji kitab “Al-Muhazzab” karangan Asy-Syirazi, kepada syekhnya; Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi Al-Maqdisi yang merupakan guru pertamanya dalam bidang fiqih.
Setiap hari dia menghadiri halaqah-halaqah sebanyak 12 kajian kepada gurunya masing-masing, lengkap dengan bacaan dan penjelasannya.
Akhlak dan Sifat
Imam Nawawi terkenal sebagai orang alim yang zuhud, rendah hati, berwibawa dan wara’.
Tidak sesaat pun dirinya berpaling dari ketaatan kepada Allah. Malam-malamnya sering dilalui dengan bergadang untuk ibadah atau mengarang.
Beliau suka ber-amar ma’ruf dan nahi munkar, berani menghadapi raja dan bawahannya.
Di antaranya ada kejadian yang ketika dia diundang sang raja untuk menandatangani sebuah fatwa yang di dalamnya sangat jelas kezalimannya. Maka dia datang menghadap, kala itu usianya telah tua dan dengan tubuh yang kurus dan baju tambal sulam.
Sang raja dengan nada meremehkan berkata kepadanya, “Ya Syekh, goreskan tulisanmu di atas fatwa ini.”
Imam Nawawi rahimahullah memandangi sang raja, lalu berkata, “Saya tidak bakal menuliskan dan menandatanganinya.”
Sang raja dengan marah berkata, “Mengapa?”
Beliau berkata, “Karena di dalamnya terdapat kezaliman yang nyata.”
Kemarahan raja semakin memuncak, lalu berkata, “Copot semua jabatannya.”
Para pegawainya berkata, “Dia tidak punya jabatan apa-apa.”
Kemudian sang raja berniat membunuhnya, namun dia mengurungkannya.
Ketika ada penasehat kerajaan yang bertanya kepadanya, “Aneh engkau ini! Mengapa engkau tidak jadi membunuhnya, padahal dia telah bersikap kurang ajar seperti itu di hadapanmu?”
Sang raja berkata, “Demi Allah, aku merasakan ketakutan dengan wibawanya.”
Karangan Imam Nawawi
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya terkenal. Jumlahnya sekitar 40 kitab, diantaranya:
- Dalam bidang hadits: Hadist Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
- Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
- Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
- Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat.
Wafat
Beliau meninggal pada hari Rabu, 24 Rajab tahun 676 H di negerinya, Nawa, dan dikuburkan di sana.
Penduduk Damaskus sangat sedih mendengar berita kematiannya. Sejumlah ulama menyusun bait syair tentang kesedihan akan kepergian ulama ini.
Semoga Allah merahmatinya dan menempatkannya di surga-Nya, serta membalasnya dengan pahala berlimpah atas apa yang dia persembahkan untuk Islam.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan.
Sumber : Manhajuna
by Danu Wijaya danuw | Mar 7, 2018 | Artikel, Dakwah, Qur'anic Corner
“Dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (berdampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.” (QS Al-Furqan : 53)
Para ahli kelautan mengatakan: sifat lautan yang saling bertemu tetapi tidak bercampur satu sama lain karena adanya gaya fisika yang dinamakan “tegangan permukaan”, yaitu air dari laut-laut yang saling bersebelahan tidak menyatu.
Akibat adanya perbedaan masa jenis, tegangan permukaan itulah yang mencegah lautan bercampur satu sama lain, seolah terdapat dinding tipis yang memisahkan mereka. (Davis, Richard A., Jr. 1972, Principles of Oceanography)
Para oceanographer telah menemukan bahwa ada perbedaan tertentu antara sampel air yang diambil dari berbagai lautan oleh ekspedisi ilmiah kelautan Inggris.
Contohnya, laut Mediterania adalah lautan yang suhunya hangat, asin, dan tingkat kepekatannya lebih rendah dibanding air dari samudera Atlantik.
Ketika air dari Laut Mediterania memasuki Samudera Atlantik melalui Selat Gibraltar, air ini masuk hingga ratusan kilometer jauhnya pada kedalaman sekitar 1000 M, namun tetap pada suhu, kepekatan, dan tingkat keasinannya sendiri yang berbeda dari karakteristik yang dimiliki oleh air dari Samudera Atlantik.
Sebuah studi lapangan juga pernah dilakukan di teluk Oman dan di beberapa teluk di Arab. Dari sampel air laut tersebut ditemukan adanya perbedaan yang mengindikasikan kebenaran temuan sebelumnya.
Oceanographer terkenal dari Perancis, J.Costeau menyatakan:
“Kami mempelajari beberapa pernyataan dari para oceanographer sebelumnya mengenai penghalang antara dua lautan, kami melakukan penyelidikan pada Laut Mediterania. Kami menemukan bahwa lautan tersebut memiliki tingkat keasinannya sendiri, dan tingkat kepekatan, serta flora dan fauna yang berbeda dengan air dari lautan Atlantik.
Kami menemukan seolah ada dinding yang membatasi mereka. Hal ini mengejutkan kami, penghalang ini mencegah dua lautan bercampur. Hal yang sama juga terjadi pada Teluk Bab El Mandab di Aden yang merupakan pertemuan dengan Laut Merah.
“Menurut kesimpulan kami, hasil penelitian para oceanographer terdahulu ternyata benar. Laut yang memilki karakteristik tertentu memiliki dinding pembatas (barrier) yang mencegah bercampurnya air dari dari dua karakteristik yang berbeda tersebut.
“Sisi menarik dari hal ini adalah bahwa pada masa ketika manusia tidak memiliki pengetahuan apapun mengenai fisika, tegangan permukaan, atau pun ilmu kelautan, hal ini telah dinyatakan dalam Al-Qur’an sejak 14 abad yang lalu.”
MasyaAllah..
by Danu Wijaya danuw | Feb 23, 2018 | Artikel, Dakwah
Kain penutup Kabah atau yang lebih dikenal Kiswah menyimpan kisah yang panjang seputar sejarah peradaban Islam. Kain ini menjadi salah satu simbol perkembangan Islam dari masa Nabi, periode kekhilafahan hingga saat ini.
Dan tahukah Anda jika ternyata Kiswah sudah berkali-kali mengalami perubahan dari masa ke masa?
Kiswah pertama kali dipasang pada masa Nabi Ismail AS. Saat itu belum jelas material apa yang digunakan untuk membuat kain ini.
Kemudian Nabi Muhammad SAW pun pernah membuat Kiswah Kabah dengan menggunakan bahan kain yang didatangkan dari Yaman.
Demikian pula halnya dengan Abu Bakar, Umar dan Usman yang juga membuat Kiswah berbahan kain dari benang kapas.
Memasuki periode kekhilafahan Islam, Kiswah terus mengalami perubahan sesuai dengan pemerintahan yang memimpin.
Periode penggantian Kiswah ini di setiap pemerintahan juga berbeda-beda. Ada yang menggantinya sekali dalam setahun, ada juga yang dua kali dalam setahun.
Kiswah Kabah yang ada saat ini berwarna hitam. Padahal dahulu tidaklah demikian. Kiswah pernah berwarna putih, kuning, dan adapula yang menggantinya dengan warna hijau.
Adapun yang membuat Kiswah dengan kain berwarna putih adalah Khalifah Makmun Ar-Rasyid pada masa Dinasti Bani Abbasiyah.
Selanjutnya yang membuat Kiswah berwarna kuning adalah Muhammad bin Sabaktakin seorang Amir masa Dinasti Abbasiyah.
Kemudian yang membuat Kiswah berwarna hijau adalah Khalifah An-Nasir dari Bani Abbasiyah.
Dan akhirnya Khalifah An Nasir pula yang mengganti warna Kiswah menjadi hitam hingga dipertahankan sampai sekarang.
Terakhir masa Raja Ibnu Saud pendiri kerajaan Saudi saat ini, membuat kiswah Ka’bah dengan mewah. Berupa benang sutera lembut mahal dan kaligrafi dari Emas.

Biaya pembuatan Kiswah sekitar 50 Miliar rupiah setiap tahunnya. Sebab diganti setahun sekali menghindari lapuknya benang terkena panas dan hujan. Setelahnya akan dijual ke masyarakat berupa potongan ayat Emas dan diganti yang baru lagi.
Disadur : KabarKa’bah