by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 27, 2016 | Ramadhan, Video
Video Program Spesial Ramadhan: Tilawah Al-Qur’an (10 Pohon Ibadah Bagian Ke-4)
YouTube HD: https://youtu.be/NVEnJmZ6Y2Y
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
by Danu Wijaya danuw | Jun 26, 2016 | Artikel, Ramadhan
Hukum I’tikaf
Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Aisyah, Ibnu Umar dan Anas Radliallahu ‘Anhum meriwayatkan: ”Rasulullah Saw selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari.
Demikian pula halnya dengan para sahabat dan istri Rasulullah Saw senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata : ”Sepengetahuan saya tidak ada seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa i’tikaf itu bukan sunnah”.
Keutamaan dan Tujuan I’tikaf
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah Anda hadits yang menunjukkan keutamaan i’tikaf? Ahmad menjawab: Tidak, kecuali hadits yang lemah”.
Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah i’tikaf itu sendiri sebagai taqarrub kepada Allah SWT. Cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah, para Shahabat, para Istri Rasulullah Saw, dan para ulama salafus shalih senantiasa melakukan ibadah ini.
I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqarrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tetapi teramat tinggi nilainya.
Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Khaliq (Pencipta). Bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepada-Nya, sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti.
Ibnu Qoyyim berkata: “I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati orang yang beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah”.
Macam-macam I’tikaf
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam :
- I’tikaf sunnah yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela, semata- mata untuk bertaqarrub kepada Allah, seperti i’tikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan.
- I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan nadzar atau janji, seperti ucapan seseorang: “Kalau Allah Ta’ala menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari”, maka i’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.
*bersambung
Sumber : Buku Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jun 26, 2016 | Artikel, Ramadhan
Assalamualaikum ustadz. Apakah mengoleskan obat salep pada bibir yang sariawan dapat membatalkan puasa?
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Pemakaian salep, bedak, minyak, atau obat pada bagian tertentu di bagian luar tubuh tidak membatalkan puasa karena biasanya tidak sampai masuk ke rongga tenggorokan atau ke perut.
Hanya saja jika khawatir ada bagian darinya yang masuk ke perut, apalagi ketika diletakkan di bibir, maka hendaknya pemakaian salep tersebut tidak dilakukan di siang hari. Namun di malam hari setelah berbuka.
Adapun yang jelas-jelas membatalkan puasa di antaranya:
- Makan dan minum dengan sengaja serta yang termasuk dalam kategori tersebut
- Jimak atau berhubungan di siang hari Ramadhan
- Mengeluarkan mani dengan sengaja
- Muntah dengan sengaja
- Keluarnya darah haid dan nifas.
Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb.
by Danu Wijaya danuw | Jun 25, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Orang yang sedang sakit dan orang yang sedang musafir boleh tidak puasa, tetapi mereka wajib mengqadha.
Allah Ta’ala berfirman, “...dan barangsiapa sakit atau dalam perjalan (dan ia tidak puasa), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Mu’adz ra. berkata, “Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan puasa kepada Nabi. Allah menurunkan firman-Nya, ‘Hai orang-orang yang beriman, kalian diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Yaitu) di hari-hari yang telah ditentukan. Maka, jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Dan orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), maka wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.‘ (Al-Baqarah: 184)
Karena itu, ada yang memilih berpuasa dan ada yang memilih membayar fidyah. Semua pilihan itu diperbolehkan.
Kemudian Allah menurunkan ayat lain, ‘(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia berpuasa.’ (Al-Baqarah: 185)
Oleh karena itu, puasa diwajibkan kepada orang yang mukim dan sehat. “Sedangkan orang yang sakit atau sedang musafir diperbolehkan tidak puasa. Orang tua renta yang tidak kuat puasa diwajibkan membayar fidyah.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Sakit yang menyebabkan bolehnya tidak berpuasa adalah sakit berat yang akan semakin parah jika berpuasa atau dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan.
Pengarang Al-Mughni meriwayatkan, “Diceritakan bahwa beberapa ulama salaf membolehkan tidak puasa meskipun sakit yang diderita secara ringan, seperti luka di jari atau sakit gigi, karena ayat di atas meriwayatkan ‘sakit’ secara umum. Selain itu, jika musafir saja dibolehkan tidak puasa meskipun ia mampu puasa, maka begitu juga dengan orang yang ‘sakit’, ia boleh tidak berpuasa meskipun mampu melakukannya”. Pendapat ini juga dianut oleh Bukhari, Atha’, dan Ahlu Zhahir.”
Orang yang sehat akan jatuh sakit karena berpuasa, maka boleh tidak puasa seperti orang yang sakit. Begitu juga dengan orang yang sedang berpuasa dan merasa sangat kelaparan atau kehausan, hingga mungkin akan celaka, maka ia harus membatalkan puasa dan mengqadha di hari lain, meskipun ia orang sehat dan mukim.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa’: 29)
Juga firman-Nya, “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama.” (Al-Hajj: 78)
Jika orang yang sedang sakit itu memilih berpuasa dan mau menahan rasa sakitnya, maka puasanya sah. Hanya saja, tindakannya itu hukumnya makruh karena tidak memilih keringanan yang disukai Allah, dan siapa tahu mungkin ia mendapatkan bahaya karena perbuatannya itu. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah saw memilih berpuasa dan sebagian lagi memilih tidak puasa. Namun, kedua kelompok ini melakukannya berdasarkan fatwa dari Rasulullah.
Hamzah Al-Islami berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa ketika sedang dalam perjalanan. Salahkah aku apabila tetap berpuasa?”
Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah keringanan dari Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menerimanya, itu adalah lebih baik, dan siapa yang masih ingin berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (H.R. Muslim)
Abu Sa’id Al-Khudri ra. menceritakan, “Kami berpergian bersama Rasulullah saw. ke Mekah. Saat itu, kami berpuasa. Kami berhenti di suatu tempat. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Kalian telah dekat dengan musuh kalian. Tidak berpuasa akan lebih menguatkan kalian.”
Ini adalah rukhshah (keringanan). Di antara kami ada yang tetap berpuasa, dan ada yang membatalkan puasanya. Kemudian kami berhenti di suatu tempat lain, maka Nabi saw bersabda, “Besok pagi, kalian akan berhadapan dengan musuh kalian. Tidak berpuasa lebih menguatkan kalian. Karena itu, janganlah berpuasa. Ini merupakan keharusan, maka kami pun tidak berpuasa. Di kemudian hari, ketika dalam perjalanan bersama Rasulullah, kami berpuasa.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan, “Kami berperang bersama Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang puasa dan ada yang tidak. Orang yang puasa tidak menyalahkan yang tidak puasa, dan yang tidak puasa tidak menyalahkan yang puasa. Mereka berpendapat bahwa orang yang kuat berpuasa lalu ia memilih berpuasa, maka itu baik baginya. Dan, orang yang merasa lemah lalu memilih untuk tidak puasa, maka itu lebih baik baginya.” (H.R. Ahmad dan Muslim)
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jun 25, 2016 | Artikel, Ramadhan
Assalamu’alaikum, semoga rahmat Allah selalu menyertai kita. Hal yang ingin saya tanyakan, apabila seseorang masturbasi saat puasa Ramadhan apakah membatalkan puasanya dan wajib mengganti puasa? Jika hal tersebut terjadi bertahun-tahun yang lalu, apakah juga terkena kewajiban membayar fidyah? Dan apabila terkena kafarat, apakah kafarat harus dibayarkan segera ketika bulan puasa? Mohon jawabannya ustad. Jazakumullah khairan katsiran.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Pertama-tama perlu diketahui bahwa onani atau masturbasi menurut jumhur ulama adalah haram baik dilakukan di bulan ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Ia tidak sejalan dengan surat Al-mukminun: 5-7.
Kedua, Orang yang dengan sengaja melakukan onani di bulan Ramadhan sampai mengeluarkan mani, tidak hanya berdosa tetapi juga menjadikan puasanya batal. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Ketiga, karena itu, ia harus mengganti puasanya di hari yang lain serta harus bertobat kepada Allah Swt dengan tobat nasuha. Namun tidak ada kewajiban membayar kaffarah untuknya.
Keempat, jika onani atau masturbasi itu terjadi pada ramadhan-ramadhan yang lalu, artinya lewat satu tahun, maka di samping membayar hutang puasa, menurut jumhur juga harus membayar fidyah. Yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dari puasa yang rusak atau batal tadi.
Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah cukup dengan membayar hutang puasa sebanyak hari yang terlewat; tanpa perlu membayar fidyah.
Sementara menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, membayar fidyah adalah termasuk amalan baik jika dikerjakan. hanya saja, jika ditinggalkan insya Allah tidak berdosa.
Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb.
by Danu Wijaya danuw | Jun 25, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa. Ahmad berpendapat bahwa berbuka lebih utama. Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang lebih utama adalah yang lebih mudah. Jika ia kesulitan dalam mengqadha dan lebih mudah jika berpuasa di hari-hari Ramadhan, maka ia lebih baik berpuasa.
Syaukani berpendapat, jika berpuasa akan memberatkannya atau membahayakan keselamatannya, maka tidak berpuasa lebih baik baginya. Begitu juga dengan orang yang menolak menerima rukhshah, tidak berpuasa lebih baik baginya. Demikian juga dengan orang yang khawatir akan merasa ujub atau riya jika berpuasa saat musafir, maka ia lebih baik tidak puasa. Namun, jika semua hal di atas bisa dihindari, maka ia lebih baik berpuasa.
Jika seorang musafir meniatkan puasa di malam hari, lalu pagi harinya ia sudah mulai puasa, tidak mengapa jika setelah itu ia membatalkan puasanya. Jabir bin Abdullah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada saat Penaklukan Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba ke dekat lembah Ghamime (sebuah lembah dekat perkampungan Asfan) dan orang-orang pun ikut berpuasa. Lalu ada yang berkata kepada Nabi,
“Orang-orang keberatan jika harus meneruskan puasa. Mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.” Maka Nabi saw. meminta segelas air, lalu meminumnya. Ini terjadi setelah ashar. Melihat Nabi membatalkan puasanya, ada yang ikut membatalkan puasa mereka dan ada yang melanjutkan puasa mereka. Ketika Nabi mendengar bahwa ada yang masih berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu para pembangkang.” (H.R. Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi) Tirmidzi menshahihkan riwayat ini.
Adapun jika berniat puasa saat mukim, lalu melakukan perjalanan (musafir) di siang hari, maka jumhur ulama berpendapat, “Ia tidak boleh membatalkan puasanya.”
Sementara itu, Ahmad dan Ishaq membolehkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Muhammad bin Ka’ab meriwayatkan, “Pada bulan Ramadhan, aku datang kepada Anas bin Malik yang hendak musafir. Kendaraannya telah siap, dan ia juga telah mengenakan pakaian musafir. Ia minta disediakan makanan, lalu ia makan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Kemudian ia menaiki kendaraannya.”
Ubaid bin Jubair menceritakan, “Di suatu bulan Ramadhan, aku berlayar dengan sebuah kapal bersama Abu Bashrah Al-Ghifari dari kota Fustot (Mesir kuno). Ia mengemudikan perahu layarnya. Kemudian ia mendekatkan makan siangnya. Ia berkata,
‘Mendekatlah.’ Aku bertanya, ‘ Bukankah engkau masih berada di perkampungan?’ Abu Basrah menjawab, ‘Apakah engkau membenci ajaran Rasulullah saw.?'” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Sanadnya terdiri dari orang-orang yang terpercaya.
Syaukani berkata, “Kedua hadits di atas menegaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan membatalkan puasanya sebelum keluar dari kampungnya. Ibnu Arabi berkata, “Hadits Anas di atas shahih, yang berarti boleh membatalkan puasa bagi orang yang benar-benar sudah siap berangkat melakukan perjalanan jauh.’ Inilah pendapat yang benar.”
Perjalanan jauh (safar) yang diperbolehkan tidak puasa adalah safar yang diperbolehkan shalat qashar. Begitu juga jangka waktu dibolehkannya tidak puasa adalah sama dengan jangka waktu dibolehkannya shalat qashar.
Mansur Al-Kalbi meriwayatkan bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah berpergian dari sebuah kampung di Damaskus. Jarak tempuh perjalanannya sama dengan jarak antara Fustot ke Uqbah (kurang lebih satu farsakh). Saat itu, ia membatalkan puasanya. Sebagian rombongan ikut membatalkan puasa, namun sebagian yang lain tidak mau membatalkan puasa mereka. Ketika sudah sampai di kampungnya, ia berkata,
“Hari ini aku melihat satu perkara. Aku tidak mengira akan melihatnya. Ada sekelompok orang yang tidak suka dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.” Ia mengatakannya kepada mereka yang tetap berpuasa. Setelah itu ia berkata, “Ya Allah, kembalikan aku kepada-Mu.” (Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur Al-Kalbi. Tetapi Al-Ajali menegaskan bahwa ia bisa dipercaya)
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat