by Danu Wijaya danuw | Jun 29, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sharia Consulting Center
Definisi
Zakat Fitrah adalah zakat yang disyariatkan dengan berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori shaum, dan santunan yang mencukupi fakir-miskin di hari raya Fitri.
Landasan Hukum
Hadits Rasulullah Saw.:
عن ابن عمر ض قال : فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بها أن تؤدي بها قبل خروج الناس إلى الصلاة {متفق عليه }
“Dari Ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah, satu sha kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari umat Islam, dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘Ied)” (Mutafaqun alaihi).
Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah disyariatkan seiring dengan disyariatkannya shaum Ramadhan pada tahun kedua hijriyah. Status hukumnya pun sama. Yaitu wajib.
Adapun yang dikenai kewajiban adalah setiap muslim/muslimah, baik kaya maupun miskin, aqil baligh maupun tidak, jika yang bersangkutan masih hidup walaupun sesaat pada malam hari raya Fitri, serta mempunyai kelebihan dari kebutuhan primernya untuk sehari semalam Idul Fithri.
Hikmah Zakat Fitrah
Termasuk kebutuhan primer adalah makan, pengobatan yang sakit, kiswatul Ied (pakaian hari raya) jika memang perlu ganti pakaian, juga untuk membayar utang yang tidak dapat ditangguhkan lagi. Bagi yang mempunyai tanggungan wajib mengeluarkan zakat fithrah bagi orang yang dibawah tanggungannya, kecuali orang yang dibawah tanggungannya mampu untuk mengeluarkan sendiri. Maka, status hukumnya menjadi anjuran.
Pihak yang Berhak Menerima (Sasaran) Zakat Fitrah
Sebagaimana zakat yang lain mereka yang berhak mendapatkan (masharif) zakat fitrah ada 8 (delapan) kelompok, sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(60)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS At-Taubah 60) .
Namun demikian, lebih diutamakan atau diprioritaskan untuk fakir-miskin, supaya mereka dapat merasakan kegembiraan di hari raya. Rasulullah Saw bersabda:
“فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصيام من اللغو والرفث وطعمة للمساكين،
“Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesalahan dan kerusakan, serta sebagai makanan untuk orang miskin” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ketentuan Zakat Fitrah
1. Besar sha’ menurut ukuran sekarang adalah 2176 gram (2,2 Kg). Boleh dan dipandang baik (mustahab) memberi tambahan dari kadar tersebut, jika dimaksudkan untuk kehati-hatian (ikhtiyat) mengenai ekuivalen sha dengan kilogram dan menunjang santunan kepada fakir miskin agar lebih mencukupi dan efektif.
2. Boleh mengeluarkan zakat Fitrah dengan uang jika lebih bernilai guna bagi fakir miskin penerimanya, terlepas apakah lebih memudahkan bagi pihak pembayar zakat atau tidak. Sebagaimana difatwakan oleh para ulama mazhab Hanafi dan ulama modern, juga diriwayatkan dari Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdul Aziz.
3. Untuk kembali ke ashalah dan khuruj anil khilaf (keluar dari khilaf) sangat ditekankan mengeluarkan zakat fithrah dalam bentuk qut (bahan makanan pokok, beras) dan sedapat mungkin dengan kualitas yang terbaik.
4. Sebaiknya zakat fitrah sudah dikeluarkan/dikumpulkan dua hari sebelum hari raya, sebagaimana yang dilakukan sebagian sahabat, di antaranya Ibnu Umar ra. Hal ini jelas akan menunjang realisasi Ighnaul masakin (memberikan kecukupan kepada kaum miskin) pada hari Idul Fithri dan melancarkan penanganannya.
5. Boleh mengeluarkan zakat di-tajil (dipercepat) sejak awal-awal Ramadhan, dan masih boleh/sah mengeluarkannya bada shubuh hari raya, tapi sebelum usai shalat Ied. Jika sesudahnya, maka kedudukannya bergeser dari zakat fithrah yang fardhu menjadi shadaqah sunnah. Ha ini berdasarkan hadits berikut:
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ *
”Barangsiapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang sah, dan barangsiapa membayarnya setelah shalat maka itu adalah sedekah sunnah” (HR Ibnu Majah).
6. Sejalan dengan ketentuan nomor 5, ketika terjadi perbedaan dalam penanggalan akhir Ramadhan atau 1 Syawal, maka yang jadi pertimbangan sah-tidaknya zakat fithrah yang dikeluarkan adalah sesuai dengan penanggalan yang dianut/dipilih muzaki. Yang bersangkutan dapat mengeluarkannya sendiri kepada para mustahiqin, atau mewakilkannya kepada suatu panitia sebagai amanah, baik penerimanya berlebaran pada hari yang sama dengan muzaki ataupun berbeda. Hal itu agar tujuan tumatul lil masakin atau menyantuni fakir-miskin tetap tercapai.
Memang patut mempertimbangkan kesamaan hari raya agar sesuai perintah Rasul saw : Buatlah mereka tidak meminta-minta pada hari ini. Kesamaan waktu hari raya adalah afdhal. Jika berbeda, dikhawatirkan tidak ada para mustahiqin di sekitarnya, sehingga zakat jadi terlantar.
7. Sejalan dengan hal tersebut, maka bagi suatu panitia zakat fithrah yang berhari raya lebih dahulu dari sebagian masyarakat, dapat melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Tidak menerima zakat fithrah setelah panitia ini melaksanakan shalat Ied, jika dapat memberikan penjelasan tanpa mengundang fitnah dengan mereka/masyarakat sekitar.
Kedua: Zakat fithrah harus sudah diterima oleh mustahiq atau wakilnya (bukan amil zakat) sebelum shalat Ied. Adapun penyerahan dari wakil kepada mustahiq tidak diharuskan sebelum shalat Ied.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | Jun 28, 2016 | Artikel, Ramadhan
d. Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil atau menyusui tetap harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan wanita – wanita yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya.
Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah berfirman :
( فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر )
“Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Apabila ia mampu untuk berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas saat mengomentari penjelasan yang termuat dalam surat Al Baqarah: 184, yang artinya “Dan wajib bagi orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah ”
Beliau berkata : “Ayat ini adalah rukhshah (keringanan) bagi orang yang lanjut usia, lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap anak-anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR. Abu Daud).
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu ‘Anhu, dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang menentangnya (lihat Al Mughni: Ibnu Qudamah 4/394).
e. Waktu mengqadha puasa bagi seorang wanita
Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqadha) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqadhanya dimulai sejak satu hari setelah I’dul fitri dan tidak boleh diakhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Barangsiapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka disamping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz dan fatwa Ibnu Utsaimin).
Para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada dalil yang menjelaskan akan hal itu. Kecuali waktu yang tersisa di bulan Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa, maka tidak ada cara lain kecuali terus-menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu: 2/680).
f. Mengkonsumsi tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan.
Karena di balik keluarnya darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan.
Jika hal ini dihalang-halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut, dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya. Pada umumnya wanita yang melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda:
” لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام
“Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah) (lihat: fatawa Ulama Najd, dan 30 Darsan li Shoimat).
Namun apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut:
Apabila darah haidhnya benar-benar telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.
Tetapi apabila ia ragu, apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa. (lihat: Masail ash Shiyam, hal 63 dan Jami’u Ahkamin Nisa’ 2/393).
g. Mencicipi makanan
Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga, maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel.
Karena kelezatan masakan yang ia olah adalah menjadi tanggung-jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya.
Hal itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya. Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya? Batalkah puasanya?
Para ulama memfatwakan tidak dilarang wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya. Hal ini diqiyaskan kepada berkumur-kumur ketika berwudhu (Jami’ Ahkamin Nisa’).
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | Jun 28, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Pensyariatan I’tikaf
Ijma’ ulama menyebutkan bahwa i’tikaf disyariatkan dalam agama. “Nabi saw beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf hingga dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Para sahabat dan para istri Rasulullah juga melakukan i’tikaf bersama Nabi, dan tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menyatakan keutamaannya.
Abu Daud berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad ra., ‘Apakah ada keterangan tentang keutamaan i’tikaf yang engkau ketahui?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali keterangan yang lemah.'”
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf itu ada dua macam, yaitu sunah dan wajib.
- I’tikaf sunah dilakukan oleh seseorang secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah saw, terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
- Sedangkan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang karena dia mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf, bisa disebabkan oleh nazar umum, seperti perkataannya, “Aku bernazar akan melakukan i’tikaf.” Atau dengan nazar khusus, seperti “Jika aku sembuh, aku akan i’tikaf.”
Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,
“Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya.”
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Ya Rasulullah, aku telah bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam. Nabi saw. bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Waktu I’tikaf
I’tikaf wajib hendaknya dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinazarkan. Jika ia bernazar akan beri’tikaf satu hari atau lebih, hendaknya ia melaksanakan seperti yang telah dinazarkannya.
Sedangkan i’tikaf sunah, tidak ada batas waktu tertentu. Nazarnya sudah terpenuhi jika ia berdiam di masjid dengan niat i’tikaf, lama atau sebentar, dan ia akan mendapat pahala selama berada di masjid. Jika ia keluar dari masjid kemudian ingin kembali i’tikaf, maka ia harus memperbarui niat i’tikaf.
Ya’la bin Umaiyah berkata, “Aku berdiam di masjid selama satu jam untuk i’tikaf.”
Atha’ berkata, “Sudah disebut i’tikaf seseorang yang berdiam di masjid. Jika seseorang duduk di masjid karena mengharap pahala, maka ia dikatakan beri’tikaf. Jika tidak, maka tidaklah disebut beri’tikaf.
Seseorang yang sedang melakukan i’tikaf sunah, boleh menghentikan i’tikafnya kapan saja meskipun belum sesuai yang diniatkannya.
Aisyah meriwayatkan,
“Jika ingin beri’tikaf, Nabi shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf. Suatu kali, beliau ingin beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan tempat i’tikaf. Lalu tempat itu pun dibuatkan.
Aisyah berkata, ‘Melihat hal itu, aku juga menyuruh dibuatkan untukku. Lalu aku juga dibuatkan. Kemudian istri-istri Nabi yang lain juga minta dibuatkan. Lalu dibuatkan. Ketika Nabi akan shalat subuh, beliau melihat tempat-tempat i’tikaf itu, beliau berkata ‘Apa ini? Apakah kalian menginginkan kebaikan?
‘Aisyah berkata, ‘Lalu Nabi saw. menyuruh membongkar tempat i’tikafnya dan tempat i’tikaf para istrinya. Kemudian beliau menunda i’tikaf di sepuluh hari pertama (bulan Syawwal).”
Perintah Nabi saw kepada para istri beliau untuk membongkar tempat i’tikaf dan menghentikan i’tikaf mereka padahal mereka sudah berniat melakukan i’tikaf adalah bukti bolehnya menghentikan i’tikaf sekalipun sudah dimulai.
Hadits ini juga merupakan dalil diperbolehkannya suami melarang istrinya beri’tikaf sampai ia memberi izin. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Para ulama berbeda pendapat mengenai; jika suami sudah memberi izin, apakah setelah itu boleh melarangnya?
Menurut Syafi’i, Ahmad, dan Daud, suami boleh menghentikan i’tikaf sunah yang sebelumnya dilakukan istrinya meskipun sebelumnya sudah mendapat izin.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus seorang muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid, dan nifas. Dengan demikian, i’tikaf tidak sah jika dilakukan orang kafir, anak kecil yang belum mumayyiz, orang junub, perempuan yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika salah satu dari dua hal ini; diam di masjid dan niat ibadah, tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut i’tikaf.
Mengenai wajibnya niat dapat dirujuk pada firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga merujuk ke sabda Rasulullah saw., “Segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Dalil keharusan i’tikaf di masjid adalah firman Allah, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka (para istri kalian) saat kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Artinya, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di luar masjid, tentu larangan bersenggama tidak khusus untuk i’tikaf di masjid karena senggama bertentangan dengan i’tikaf. Jadi, maksud ayat itu adalah menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid.
Pendapat Para Ulama Fiqih tentang Masjid yang Sah Digunakan I’tikaf
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf.
- Abu Hanifah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dipergunakan shalat jamaah lima waktu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Setiap masjid yang mempunyai muazin dan imam, bisa dijadikan tempat i’tikaf.” (H.R. Daruquthni). Akan tetapi, hadits ini mursal dan dha’if, tidak bisa dijadikan dalil.
- Imam Malik, Syafi’i, dan Daud berpendapat bahwa i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, karena tidak ada satu hadits shahih pun yang memberikan batasan dalam masalah ini.
- Para ulama Syafi’iyah berpendapat, i’tikaf lebih utama jika dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah sendiri i’tikaf di masjid jami’. Selain itu, jumlah jamaah yang shalat di masjid jauh lebih banyak. Dan sebaiknya tidak i’tikaf diselain masjid jami’, jika masa i’tikafnya mengenai shalat Jum’at, agar tidak memutus i’tikafnya.
Orang yang sedang beri’tikaf boleh sebagai muazin, meskipun tempat azan berada di menara masjid, masalah pintu menara berada di dalam masjid atau di serambi, karena semua itu masih termasuk masjid. Jika pintu menara berada di luar masjid, maka i’tikafnya batal jika hal itu disengaja.
Mengenai serambi masjid, maka menurut para ulama Hanafiyah, para ulama Syafi’iyah dan Ahmad (dalam satu riwayatnya), termasuk masjid.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad (dalam satu riwayat yang lain), tidak termasuk masjid. Karena itu, orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh ke serambi masjid.
Jumhur ulama berpendapat, tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di masjid rumah sendiri, karena masjid di rumah itu tidak dikatakan masjid, dan semua ulama sepakat, bahwa itu boleh dijual. Dan ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa para istri Nabi saw. melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Puasa Orang yang Sedang I’tikaf
Berpuasa saat i’tikaf adalah perbuatan yang baik dan jika tidak puasa, tidak mengapa.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, pada masa Jahiliah aku telah bernazar akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Nabi bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Perintah Nabi agar Umar ra memenuhi nazarnya itu adalah dalil bahwa berpuasa bukan merupakan syarat i’tikaf, karena puasa tidak sah di malam hari.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Abu Sahl bercerita, “Seorang wanita dari keluargaku punya tanggungan i’tikaf. Maka aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawab, ‘Ia tidak harus berpuasa kecuali jika ia sendiri yang bernazar hendak melakukannya.’ Maka Zuhri berkata, ‘I’tikaf tidak sah kecuali disertai puasa.’ Umar bertanya, ‘Apakah itu dari Nabi saw.?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Dari Umar?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Abu Sahl berkata, ‘Kalau tidak salah, Umar berkata, “Dari Utsman?”‘ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku meninggalkannya dan pergi menemui Atha’ dan Thawus untuk menanyakan hal itu. Thawus berkata, ‘Wanita itu tidak wajib puasa kecuali jika ia bernazar akan puasa.’ Atha’ juga mengatakan demikian.”
* bersambung
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat
by Rizky Rustam rizkyrustam | Jun 28, 2016 | Ramadhan, Video
Video Program Spesial Ramadhan: Memperbanyak Ibadah Sunnah (10 Pohon Ibadah Bagian Ke-7) oleh Ustadz Hilman Rosyad, Lc
YouTube HD: https://youtu.be/SRaeZdBJWGs
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 27, 2016 | Ramadhan, Video
Video Program Spesial Ramadhan: Berdzikir dan Berdo’a (10 Pohon Ibadah Bagian Ke-5)
YouTube HD: https://youtu.be/XbU17KMkITw
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
by Danu Wijaya danuw | Jun 27, 2016 | Artikel, Ramadhan
Waktu I’tikaf
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja, pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Minimal :
- Dalam madzhab Hanafi adalah “sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat”.
- Atau dalam madzhab Syafi’I, “sesaat atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri)”
- Dan dalam madzhab Hambali, “satu jam saja”.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tadi, waktu i’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipratekkan langsung oleh Nabi Saw, yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Tempat I’tikaf
Ahli fiqh berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk i’tikaf.
Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjama’ah
Sedangkan Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah ataupun tidak.
Sedangkan pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya i’tikaf itu dilakukan di masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at, agar ia tidak perlu ke luar masjid ketika mau melakukan shalat Jum’at, dan lebih afdhal lagi bila i’tikaf itu dilaksanakan di salah satu dari tiga masjid, yaitu Masjid al Haram (di Mekah), Masjid Nabawi (di Madinah), atau Masjid al Aqsha di Palestina (lihat, Al Mughni: 4/462, Fiqh Sunnah: 1/402).
Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
- Muslim
- Berakal
- Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
Oleh karena itu i’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumayiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
Niat yang ikhlas. Hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
Berdiam di masjid (QS Al-Baqarah : 187).
Awal dan Akhir I’tikaf
Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ”Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan aku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir”.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat Ied.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Ibadah Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center