0878 8077 4762 [email protected]

Merahasiakan Masa Lalu kepada Calon Suami

Assalamu’alaikum. Saya memiliki cerita dari seorang sahabat saya. Dia bercerita bahwa saat ini dia sedang melakukan proses ta’aruf dengan seorang laki-laki yang bisa di katakan sholeh, berpendidikan, baik, dan sangat ia inginkan untuk menjadi suaminya. Tapi dia bingung saat bercerita kepada saya, karena dulu dia pernah berzina. Setelah kejadian itu dia sudah benar-benar bertaubat dan tidak mengulangi lagi. Yang dia bingungkan saat ini apakah dia harus menceritakan keadaannya ini yang sudah tidak gadis lagi karena pernah berzina atau tetap merahasiakan masa lalunya tersebut? Dia takut jika setelah menceritakan masa lalunya tersebut laki-laki yang sedang berta’aruf dengan dia akan meninggalkannya. Mohon bantuan jawabanya ustad, Terimakasih Wassalammualaikum.
 
Jawaban
Assalamu’alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama, kami ucapkan selamat atas proses ta’aruf yang saat ini sedang ia jalani. Semoga Allah memberikan kepadanya pasangan yang saleh dan bertakwa yang bisa mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, semoga Allah menerima tobat yang telah ia lakukan. Selama ia menyesali dosa yang dulu pernah dilakukan, tidak mendekatinya kembali, serta bertekad untuk tidak mengulangi, besar harapan tobatnya diterima oleh Allah (lihat QS az-Zumar: 53).
Yang penting sekarang adalah memperbanyak amal saleh dan ketaatan agar Dia ridha.
Ketiga, tidak ada keharusan baginya untuk menceritakan masa lalu yang gelap kepada calon suami. Termasuk perihal kegadisannya yang hilang selama si calon suami tidak menanyakan hal tersebut dan tidak menjadikannya sebagai syarat. Tidaklah layak membuka dan mengungkap aib yang sudah Allah tutup dengan tabir rahmat-Nya.
Namun jika sang suami menanyakan dan menjadikannya sebagai syarat, maka ia harus menceritakan apa adanya dan tidak boleh menutupi.
Apapun hasil dari kejujurannya merupakan resiko dari apa yang telah diperbuat dan insya Allah menjadi kebaikan di masa mendatang. Hendaknya ia yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan ketakwaan, amal saleh, dan kejujurannya tersebut.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Berhutang Untuk Menikah

Assalamu alaikum wr.wb. Saya mau bertanya: Apa hukumnya berhutang bank untuk biaya pernikahan? Karena saya dan pasangan saya ingin menyegerakan pernikahan, untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Mohon pencerahanya! Terima kasih. Wassallam.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pada dasarnya nikah adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Pasalnya, ia adalah sarana yang suci untuk menjaga kehormatan, memiliki keturunan, dan membentuk bagian terkecil dari sebuah komunitas islam.
Karena itu, segala sesuatu yang dikorbankan untuk mengantar kepada pernikahan akan mendapatkan balasan yang besar dari Allah Swt. Termasuk nafkah yang dikeluarkan untuk pernikahan tersebut.
Rasul saw bersabda, “Ada dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. Yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana kalau nafkah dan biaya pernikahan tersebut didapat dari hasil meminjam?
Meminjam dalam rangka untuk menikah dengan prediksi dan kondisi bahwa insya Allah ia mampu mengembalikannya, hal itu tidaklah dilarang. Bahkan ia termasuk yang layak mendapat bantuan Allah Swt.
Rasul saw bersabda, “Ada tiga orang yang berhak Allah tolong: (1) orang yang berjuang di jalan Allah; (2) budak yang ingin menebus dirinya agar merdeka; (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR at-Tirmidzi)
Hanya saja pinjaman tersebut tidak boleh berupa pinjaman yang bersifat ribawi. Jika ia mengandung riba entah dari bank atau perorangan, jelas dilarang. Sebab, Allah telah mengharamkan riba (Di antaranya lihat QS al-Baqarah: 275).
Transaksi ribawi selain mendatangkan dosa juga akan mencabut keberkahan. Karena itu, jangan sampai pernikahan yang suci dirusak oleh sesuatu yang mengandung dosa dan melenyapkan keberkahan. Karena itu, hendaknya Anda mencari jalan keluar yang baik, halal, dan diberkahi oleh Allah Swt. Entah dengan meminta bantuan dari para dermawan atau dengan pinjaman tanpa bunga (riba).
Jika tidak ada, hendaknya bersabar dengan terus berusaha dan menjaga ketakwaan kepada Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah berikan jalan keluar dan Allah beri rizki dari arah yang tak ia sangka...”(QS ath-Thaha: 2-3).
Selanjutnya sertai semua itu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa yang mampu menikah di antara kalian, hendaknya ia menikah. Sebab, pernikahan lebih bisa membuat penglihatan terjaga, dan kehormatan terpelihara. Jika tidak mampu menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa merupakan tameng.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Tidak Mampu Tapi Ingin Menikah, Bolehkah?

Assalamu’alaikum.
Saya Dewi 20 tahun. Saya mau tanya, saya mau menikah. Tapi calon suami saya bisa di bilang orang tidak mampu. Begitupun juga saya. Dia sudah niat menikahi saya. Dia usaha sampai berhutang buat menikahi saya. Yang ingin saya tanyakan bagaimana hal itu dalam pandangan islam? Yang saya takutkan awal kami mau menikah sudah berhutang. Takutnya penikahannya nanti jadi nya buruk. Katanya sebaik-baik pernikahan itu pernikahan yg paling mudah. Mohon di jawab ya, saya perlu sekali jawaban nya, terima kasih banyak.
Wasalamualaikum wr.wb
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Terkait dengan orang yang ingin menikah namun kondisinya secara materi tidak mampu, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa orang yang tergolong fakir boleh menikah dan hendaknya dibantu untuk dinikahkan. Alasannya Rasul saw pernah menikahkan sahabat dengan mahar hafalan Alquran karena ia tidak memiliki harta. Alasan lainnya karena Allah befirman, “Jika mereka fakir, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka.” (QS an-Nur: 32).
Menurut Ibn Abbas ra, ayat ini merupakan perintah Allah untuk menikah serta memerintahkan para wali untuk menikahkan orang merdeka dan budak mereka dengan menjanjikan kecukupan di dalamnya.” Bahkan berdasarkan ayat tersebut Ibn Mas’ud ra berkata, “Carilah kecukupan (kekayaan) dengan lewat cara menikah!.”
Di samping itu Nabi saw bersabda, “Ada tiga orang yang Allah jamin akan dibantu. Di antaranya orang menikah yang ingin menjaga kehormatan.” (HR an-Nasai).
Pendapat kedua bahwa orang fakir yang tidak mampu menikah, hendaknya tidak memaksakan diri untuk menikah. Pasalnya Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu atas ba’ah, hendaknya ia menikah…
Menurut pendapat yang kuat maksud dari ba’ah di sini adalah mahar dan nafkah keluarga. Sebab, sesudahnya Nabi saw menegaskan bahwa yang tidak mampu hendaknya berpuasa. Jadi yang ingin menikah namun tidak mampu hendaknya berpuasa sebab puasa lebih bisa mengendalikan dan menjaga kehormatan.
Selain itu, Rasul saw pernah tidak memberikan rekomendasi kepada Fatimah untuk menikah dengan orang yang ingin meminangnya dengan alasan, “Orang itu miskin tidak punya harta.” Jadi ternyata kemampuan memberi nafkah juga menjadi pertimbangan.
Dengan melihat pada kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa idealnya seseorang yang hendak menikah memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah keluarga yang memang menjadi kewajibannya. Namun jika tidak mampu hendaknya bersabar dengan terus berusaha seraya berpuasa dan berdoa.
Akan tetapi, jika ia sangat mengkhawatirkan kondisi dirinya yang tidak mampu mengendalikan gejolak nafsu dan khawatir jatuh kepada yang haram, maka dalam kondisi demikian ia boleh menikah dengan meminta bantuan dari orang atau lembaga tertentu, atau bisa pula dengan berhutang.
Dengan harapan bahwa pernikahannya yang didasari oleh niat baik itu akan membuka pintu-pintu rezeki dari Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan beri jalan keluar padanya dan Allah beri rezeki dari tempat yang tak terduga.” Juga “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah mudahkan urusannya.” (QS ath-Thalaq 3 dan 4).
Hanya saja itu dengan catatan bahwa isteri mengetahui dan ridha dengan kondisi suaminya serta siap bersabar menghadapi berbagai kondisi yang ada pasca pernikahan mereka.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Bolehkah Menikah Tanpa Wali yang Sah?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh ustadz, saya ingin bertanya. Si A (wanita) menikah dengan si B (pria), mereka melakukan pernikahan secara siri, pada saat si A menikah dengan si B, si A meminta kepada orang lain (tidak ada hubungan darah) untuk menjadi Wali Nikahnya. Sedangkan orang tua si A terutama ayahnya masih dalam keadaan hidup. Menurut ustadz bagaimana hukum pernikahan si A dengan si B? Apakah pernikahannya sah? Terima kasih atas pencerahan ustadz. Wasallamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Jumhur ulama sepakat bahwa akad nikah itu harus dengan adanya wali yang sah dan dua saksi yang adil. Tanpa keduanya, maka nikah itu menjadi batal.
Dan harus diperhatikan bahwa akad nikah bukanlah akad antara laki-laki dan wanita, tetapi akad itu dilakukan antara wali wanita dengan calon suaminya. Mereka berdua ini yang melakukan ijab kabul dengan disaksikan dua orang saksi yang adil.
Dalam hal ini yang berhak menjadi wali tidak boleh orang lain, tetapi sudah ada urutannya yang baku dalam hukum Islam. Bila tiba-tiba ada pihak lain yang menjadi wali, maka perbuatan itu dosa besar karena membolehkan terjadinya perzinaan.
Apalagi bila orang-orang yang berhak menjadi wali masih ada dan memenuhi syarat. Maka mengambil alih perwalian sama saja dengan menghalalkan zina. Dan dalam Islam, orang-orang yang menjadi wali bagi wanita telah ada kententuannya sendiri.
Ketika urutan daftar para wali itu telah tidak ada semua (misalnya telah meninggal semua atau berlainan agama), maka Rasulullah SAW bersabda, ”Saya adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” Artinya hakimlah yang menjadi walinya.
Kondisi ini harus dengan syarat bahwa orang-orang yang berhak jadi wali memang telah tidak ada baik karena mati, hilang atau karena sebab lain yang tidak bisa diketahui.
Karena itu, kalau syarat sah pernikahan tidak terpenuhi, berarti harus dilakukan nikah ulang.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bagaimana Cara Mendapatkan Jodoh?

Assalamualaikum wr.wb
saya mau tanya, saat ini umur saya sudah menginjak umur 30 tahun dan saya seorang wanita, tapi sampai sekarang saya masih belum dapat jodoh. Insyaallah saya sudah melaksanakan segala syariat seperti solat sunah seperti duha dan tahajud, infaq dan sodaqoh juga puasa sunah, walaupun kalau sedang sibuk sering terlewat tapi selalu saya usahakan.
Kiranya apa yang bisa menghambat jodoh seseorang? apakah dosa2 saya yang mungkin secara sengaja atau tidak sengaja termasuk salah satu yang menghambat jodoh saya? apakah yang harus saya lakukan?
terima kasih. wassalamualaikum, wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Kami memahami kegelisahan dan kerisauan Anda saat ini. Adalah fitrah jika seorang manusia ketika menginjak usia dewasa ingin mendapatkan pasangan hidup. Bahkan menikah juga merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh agama.
Karena itu apa yang Anda lakukan merupakan langkah yang tepat. Anda sudah melakukan sejumlah amal ibadah, sejumlah ketaatan, dan kebaikan. Semoga amal-amal tersebut diterima oleh Allah Swt. Yang perlu dan harus terus Anda lakukan adalah istikamah di dalamnya. Jangan pernah putus asa. Bahkan upayakan agar amal-amal terus semakin berkualitas dan semakin baik. Sebab, ini adalah cara untuk mendapatkan kehidupan yang baik dunia dan akhirat (lihat QS an-Nahl: 97).
Selain memperbanyak ibadah, Anda juga harus menjaga akhlak, adab-adab bergaul dan interaksi, serta penampilan agar benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. Tidak ada salahnya Anda meminta kepada pihak-pihak yang bisa dipercaya untuk mencarikan jodoh dan pasangan yang sesuai untuk Anda. Tentu saja bukan dengan kriteria yang sangat ideal dan sempurna, nyaris tanpa cacat. Karena yang semacam itu mustahil. Tidak ada manusia yang tanpa cacat. Namun yang Anda butuhkan adalah calon atau jodoh yang sesuai, layak, shaleh, dan taat.
Kemudian Anda harus menjauhi perbuatan dosa dan maksiat, terutama pergaulan saat ini yang menjurus pada pergaulan bebas, pacaran, dan khalwat muda-mudi yang tak kenal batas dan rambu-rambu agama. Karena semua itu hanya mendatangkan petaka; bukan bahagia. (lihat QS Thaha: 124).
Lalu, jangan lupa dan jangan pernah berhenti untuk berdoa dan meminta yang terbaik kepada Allah Swt. Sebab sebagaimana sabda Nabi saw, doa merupakan senjata orang beriman. Berdoalah kepada Allah dengan penuh ketulusan, keyakinan, dan kesungguhan. Pasti Allah mengijabah dan mengabulkan doa Anda.
Terakhir, jika engkau sudah melakukan itu semua tetapi apa yang Anda harapkan belum juga tiba, yakinlah bahwa Allah sebenarnya sudah mendengar dan mengabulkan pinta Anda. Namun bisa jadi Dia menunda pada waktu yang tepat, atau Dia memberi dan mengabulkan dalam bentuk yang lain. Atau bisa pula Dia tidak memberi di dunia untuk kebaikan Anda dengan menyiapkan gantinya yang terbaik untuk Anda di dalam sorga. Yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha dan berdoa. Semoga Allah ridho kepada Anda dan kita semua (QS al-Baqarah: 216).
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Perlukah Zakat dari Harta Waris yang Didapat?

Assalamualaikum ustad. Perkenalkan , Nama saya sefti dwijayanti teruni . Saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya apabila seseorang menerima harta waris ? Apakah orang tersebut wajib atau tidak membayar zakat, atau sedekah, infaq dan yang lainnya? Kalau memang ada keharusan, apakah ada anjuran berapa jumlah banyaknya? Lalu bagaimana seharusnya mengelola uang harta waris tersebut agar benar-benar bermanfaat bagi si penerima ?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengeluarkan zakat dari harta waris yang ia terima, kecuali jika harta tersebut mencapai nishab (jumlah harta yang wajib dizakati) dan sudah mencapai haul (sudah dimiliki selama setahun) sesuai syarat harta zakat biasa.
Namun jika harta waris tersebut baru diterima sehingga belum mencapai setahun atau jika jumlahnya tidak mencapai nishab (yaitu senilai 85 gram emas), maka tidak wajib dizakati.
Sebagai gantinya, bisa bersedekah atau berinfak, tanpa ada ketentuan dan keharusan mengenai berapa besaran atau jumlahnya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini