by Danu Wijaya danuw | May 18, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Islam melarang umatnya bermalas-malasan. Islam justru mewajibkan umatnya untuk bekerja dan berkarya untuk kemashlahatan umat manusia.
Allah SWT berfirman: Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah [9]: 105).
Rasulullah SAW bersabda : “Tidaklah sekali-kali seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan dari hasil kerja tangannya sendiri, dan sesungguhnya Nabiyullah Daud juga makan dari hasil kerja tangannya sendiri,” (HR. Bukhari)
Karena pentingnya bekerja dalam Islam, maka ada etika atau adab-adab tersendiri dalam bekerja, di antaranya:
1. Bekerja dengan niat ikhlas karena Allah
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya orang itu tergantung dari apa yang diniatkannya itu…” (HR. Bukhari dan Muslim).
2. Bekerja dengan sebaik-baiknya (Ihsanul Amal)
“Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan dalam segala hal. Jika kalian membunuh (hewan) maka bunuhlan dengan baik. Jika menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah seseorang diantara kamu menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya” (HR. Muslim).
3. Bekerja dengan profesional (Itqanul Amal)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika seseorang melakukan suatu pekerjaan maka dilakukannya secara Itqan (profesional)” (HR. Thabrani).
4. Bekerja tanpa melanggar prinsip-prinsip syari’ah.
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu” (QS. Muhammad:33).
5. Jujur dan amanah
“Pedagang yang jujur lagi terpercaya (amanah) akan bersama pada nabi, shiddiqin, dan syuhada.” (HR. Tirmidzi).
6. Menghindari perkara syubhat.
“Yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara syubhat, barang siapa memelihara diri dari para syubhat, maka ia telah menjaga kehormatan dirinya. Namun, barang siapa terjerumus kepada perkara syubhat, maka ia terjerumus pada perbuatan haram…” (HR. Bukhari)
7. Menjaga etika sebagai seorang Muslim dengan menjaga cara berbicara, berpakaian, bergaul dan lain-lain.
Jika kita bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mencari nafkah bagi diri sendiri, keluarga, atau orangtua maka niscaya kita termasuk orang-orang yang berjihad fi sabilillaah.
Sumber: Islam my way of life
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 12, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamualaikum wr wb, Saya sudah menikah hampir 4 tahun dan dikaruniai 2 anak dengan kondisi rumah tangga tidak serumah karena lokasi kerja suami saya yang jauh (pelosok) dan berpindah-pindah. Kami berdua sama-sama bekerja, namun secara penghasilan, penghasilan saya lebih besar daripada suami. Selama ini gaji suami digunakan untuk membayar cicilan KPR, membeli tiket pulang pergi dari lokasi kerja ke rumah, serta untuk biaya hidupnya disana. Sedangkan penghasilan saya digunakan untuk biaya operasional rumah tangga, seperti; kebutuhan hidup (makan, minum di rumah), keperluan anak (susu, popok, dan kebutuhan lain), menggaji Asisten Rumah Tangga, biaya terkait komplek perumahan (arisan, iuran sampah, iuran RT, biaya listrik dll) serta kebutuhan saya pribadi. Selama ini jika saya tidak meminta kepada suami, suami saya tdk memberikan uang (diluar cicilan KPR).
Yang ingin saya tanyakan adalah:
- Apakah dengan membayar cicilan KPR (rumah atas nama suami) sudah termasuk dalam nafkah kepada istri?
- Suami saya tidak secara terbuka melaporkan kondisi keuangannya, namun saya pernah menemukan slip ATM tabungan suami saya yang ternyata saldonya cukup banyak dan saya tidak menyangka. Apakah suami wajib memberitahukan kepada istri mengenai kondisi keuangannya secara terbuka? Atau hal itu hak prerogatif suami untuk memberitahukannya atau tidak?
- Apakah Istri memiliki kewajiban untuk menceritakan kondisi keuangan istri, baik seluruh kebutuhan rumah tangga dan kondisi finansial istri?
Demikian pertanyaan dari saya. Besar harapan saya Ustad/Ustadzah berkenan memberi pandangan. Terimakasih atas perhatian Ustad/Ustadzah. Wassalamualaikum wr wb.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Sebelumnya kami doakan semoga Anda berdua diberikan rumah tangga bahagia yang berhias sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perlu diketahui bahwa nafkah keluarga (isteri dan anak) merupakan tanggung jawab suami. Hal ini sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah: 233. Pemberian nafkah tersebut meliputi kebutuhan anak isteri terhadap makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan jika sakit, dan kebutuhan dasar lainnya.
Hanya saja, kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga disesuaikan dengan kemampuan suami. (QS ath-Thalaq: 7). Allah tidak membebani di luar kemampuannya. Kalau kemudian suami tidak mampu memenuhi kewajiban memberikan nafkah secara sempurna, lalu isteri memberikan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan tersebut, maka hal itu merupakan bentuk kebaikan isteri pada suami (bukan kewajibannya).
Karena itu, suami tidak boleh memanfaatkan kemampuan finansial isteri untuk melalaikan kewajibannya dalam memberi nafkah. Sebab kewajiban memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab suami, sementara isteri kalaupun mampu hanya sekedar membantu.
Oleh sebab itu, mencermati kondisi Anda di atas, ada baiknya dilakukan komunikasi dan pembicaraan terkait dengan pemberian nafkah suami. Anda boleh berterus terang dan meminta kesediaan suami untuk memenuhi kewajibannya memberi nafkah dengan baik; bukan dalam konteks memaksa atau menuntut secara berlebihan.
Suami tidak wajib memberitahukan kas yang ia miliki di bank. Demikian pula dengan isteri. Yang terpenting bagaimana suami memenuhi kewajiban memberi nafkah sesuai kemampuan.
Hanya saja keterbukaan, kerja sama, dan upaya untuk saling membantu dan memahami adalah cara terbaik untuk menciptakan suasana saling percaya antar anggota keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 7, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum ustad. Saya mempunyai seorang saudara perempuan yang telah berusia 45 tahun. dia adalah seorang guru besar di Fakultas Kedokteran pada sebuah Universitas. Apa hukumnya jika ia hendak menghadiri seminar-seminar tanpa didampingi oleh mahramnya? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhinya sehingga dia dapat berpergian tanpa mahramnya dan tidak berdosa karenanya?
Jawaban:
Kaidah umum menyatakan bahwa seorang perempuan yang berpergian wajib ditemani oleh seorang mahramnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرْأَةُ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja sebagian ulama membolehkan perempuan untuk berpergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Adiy bin Hatim r.a bahwa Nabi saw bersabda kepadanya:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
“Jika kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hirah (wilayah Irak) hingga (Makkah) berthawaf di sekeliling ka’bah. Dia tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ، حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
“Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hirah hingga ia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ditemani seorang pun.”
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri diatas menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya rasa aman selama perjalanan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pendapat ini karena adanya kelapangan dan kemudahan di dalamnya. tapi bagaimanapun juga seorang wanita harus mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya jika ia telah bersuami atau dari walinya jika belum bersuami.
Maka, berdasarkan pertanyaan diatas, saudara perempuan anda boleh berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya jika dia yakin keamanannya terjamin selama perjalanan.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc