0878 8077 4762 [email protected]

Islam Agama Damai, Bukan Teror

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Aksi-aksi terorisme yang belakangan ini kembali terjadi sungguh menyesakkan dada. Karena pelakunya orang Islam, maka ini menjadi peluang dan kesempatan beberapa pihak untuk mengarahkan tuduhan atau stigma negatif  kepada Islam dan umat Islam. Padahal Islam justru sangat membenci dan menolak tindakan teror.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nu’man ibn Basyir ra disebutkan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Lalu ada seorang yang mengantuk di atas untanya. Melihat itu ada yang mengambil anak panah dari sarungnya dengan maksud mempermainkan orang yang mengantuk tadi. Maka, orang tersebut kaget dan bangun dari tidurnya. Seketika Rasul SAW bersabda, “Tidak boleh seorang muslim menakut-nakuti muslim lainnya.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dari hadits di atas jelas bahwa canda yang membuat orang lain kaget dan takut saja sangat dilarang oleh Rasul SAW. Apalagi, tindakan teror yang dengan sengaja bertujuan menebarkan ketakutan dan kecemasan kepada masyarakat.
Dalam hadits lain, Rasul SAW menegaskan, “Seorang mukmin adalah yang orang lain merasa aman atas darah dan harta mereka.” (HR at-Tirmidzi).  “Seorang muslim adalah yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami, sejatinya seorang mukmin mendatangkan rasa aman dan seorang muslim menghadirkan keselamatan dan kedamaian bagi orang-orang sekitar.
Islam memang agama rahmat dan damai. Setiap bertemu, muslim yang satu dengan muslim yang lain, saling memberi salam mendoakan keselamatan. Surga disebut sebagai negeri keselamatan dan kedamaian. Salah satu nama Allah juga as-Salam.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan banyak suku dan bangsa agar mereka saling mengenal; bukan bermusuhan (Lihat QS al-Baqarah: 13).  Allah pun menyuruh berbuat baik dan berbuat adil kepada siapapun, meski berbeda agama, selama ia hidup berdampingan secara damai (Lihat QS al-Mumtahanah: 8-9).
Bahkan kepada binatang sekalipun seorang muslim harus berbuat baik dan tidak boleh berbuat aniaya. Diriwayatkan bahwa ada yang masuk surga karena kebaikannya memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Ada pula yang masuk neraka karena seekor kucing, ia mengikatnya kemudian tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya mencari makanan dari serangga bumi. (HR Bukhari Muslim)
Kalau kepada binatang saja kita diperintah untuk berbuat baik, apalagi kepada sesama manusia. Dalam agama, termasuk dosa besar menumpahkan darah tanpa alasan yang dibenarkan. Perang hanya boleh dilakukan dalam kondisi umat Islam diperangi atau membantu kaum lemah yang teraniaya (QS an-Nisa: 75). Itupun dengan catatan tidak boleh membunuh mereka yang tidak ikut perang, tidak boleh merusak pohon, serta siap menerima tawaran damai.
Kalau dalam perang saja, Islam memberikan rambu-rambu dan etika apalagi dalam kondisi damai. Oleh sebab itu Islam tersebar dan dipeluk banyak manusia lebih karena akhlak dan dakwah yang dilakukan secara damai. Termasuk tersebarnya Islam di Indonesia.
Rasul SAW pernah bangkit berdiri ketika ada jenazah Yahudi yang lewat.  Ketika ditanya beliau bersabda, “Bukankah dia juga manusia?!” (HR Bukhari Muslim). Beliau juga pernah menjenguk pelayannya yang Yahudi ketika sakit. Lalu karena melihat kebaikan dan perhatian Rasul SAW, ayahnya yang juga Yahudi mengizinkan si anak masuk Islam.  Beliau bersabda, “Sayangi yang di bumi, niscaya yang di langit menyayangi kalian.” (HR al-Bukhari).
Kalau kemudian saat ini ada tindakan teror yang dilakukan secara serampangan oleh orang yang mengaku muslim, hal itu bisa karena dangkalnya pemahaman agama, karena penyakit nifak, atau karena rekayasa musuh yang ingin menghancurkan nama baik Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 357 – 22 Januari 2016. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Bersabar di Jalan Dakwah (1)

Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
 
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Demo Kaum Miskin

Oleh: Rasyid Bakhabazy, Lc
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang faqir dari kaum muhajirin, mendatangi Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Orang orang kaya itu pergi dengan mendapatkan derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi!”
Rasul SAW bertanya : “Apa itu?” Mereka menjawab: “Mereka shalat sebagaimana kami juga bisa shalat, mereka puasa sebagaimana kami juga puasa namun mereka bisa bersedekah dan kami tidak bisa bersedekah, mereka bisa membebaskan budak tapi kami tidak bisa.”
Maka Rasulullah SAW berkata: “(Maukah kalian jika) aku ajarkan pada kalian sebuah amalan yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan melampaui orang yang sesudah kalian? Dan tidak ada seoarang pun yang lebih baik dari kalian kecuali orang yang melakukan sepertiapa yang kalian kerjakan
Mereka menjawab: “Ya (kami mau) Ya Rasulullah!”. Rasulullah SAW bersabda : “Bertasbihlah dan bertakbirlah dan bertahmidlah setiap selesai shalat sebanyak 33 kali
Maka orang-orang fakir dari muhajirin itu kembali kepada Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Ternyata saudara-saudara kami yang kaya itu mendengar apa yang kami lakukan. Lalu mereka pun melakukannya”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Itulah karunia Allah yang Dia berikan pada siapa yang Dia kehendaki” (HR.Muslim).
Dari hadits diatas terdapat sejumlah pesan yang terkandung di dalamnya, diantaranya ialah
Pertama, hadits diatas menunjukkan adanya kelompok ekonomi lemah pada generasi sahabat Nabi SAW. Padahal mereka adalah sebaik-baik generasi. Seperti yang sebutkan oleh Rasulullah SAW. “Sebaik baik generasi adalah generasiku, kemudian yang sesudahnya, lalu generasi yang sesudahnya“ (Syarhus Sunnah – Al Baghawy).
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran baiknya sebuah generasi tidaklah dilihat dari sisi materi. Jika ukuran kebaikan itu dengan materi tentunya Allah SWT akan jadikan semua sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang kaya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Karena ukuran kebaikan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketaqwaan.
Kedua, betapa semangatnya para sahabat Nabi SAW untuk bisa beramal. Sehingga para sahabat yang ekonominya lemah merasa iri pada orang-orang kaya yang mampu bersedekah sementara mereka tidak bisa bersedekah. Allah SWT berfirman “Dan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infaqkan“ (QS. At Taubah : 92).
Bedanya sahabat nabi dengan orang zaman sekarang adalah para sahabat itu sedih karena tidak bisa bersedekah sementara orang zaman sekarang sedih karena tidak “kebagian” sedekah.
Ketiga, hadits di atas mengisyaratakan besarnya pahala sedekah. Dan inilah yang menggoda para sahabat untuk akhirnya mendatangi Nabi SAW supaya tidak kehilangan pahala besar dari sedekah.
Allah SWT berfirman : “Perumpamaan (sedekah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mensedekahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Keempat, isyarat akan besarnya pahala dzikir (tasbih, tahmid & takbir). Dalam keterangan hadits disebutkan: (membaca) Alhamdulillah (pahalanya) bisa memenuhi mizan (timbangan amal), dan Subhanallah, Alhamdulillah & Allahu Akbar (pahalanya) bisa mengisi penuh ruang yang ada antara langit dan bumi (HR. Ahmad dari Abi Malik Al Asy’ari ra.).
Kelima, disyari’atkan berdzikir dengan membaca tasbih, tahmid & takbir masing-masing 33 kali setelah selesai shalat. Sementara tentang urutannya adalah bisa dengan tasbih, takbir lalu tahmid seperti yang tersebut dalam hadits diatas, atau tasbih, tahmid lalu takbir seperti yang umum dilakukan. Di dalam hadits disebutkan: “Sebaik-baik bacaan ada empat: Tidak jadi masalah dengan yang mana akan kamu memulainya: Subahanallah (tasbih) wal Hamdulillah (tahmid) wal Laa ilaaha illah (tahlil) wallaahu Akbar (takbir)”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 321 – 30 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Bahaya Dusta

Oleh : Fauzi Bahreisy
 
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Hadits diatas menggambarkan kondisi akhir zaman. Satu kondisi yang tampaknya mulai terasa sekarang seiring dengan melemahnya nilai-nilai iman.
Saat ini orang sudah tidak merasa risih berdusta. Bahkan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, bisnis, hiburan, politik, birokrasi hingga pemerintahan. Semuanya tidak lepas dari praktek dusta, kecurangan, dan kepalsuan.
Ada yang berdusta untuk kepentingan dunia; untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita.  Ada yang berdusta untuk mencelakakan saudaranya karena dendam dan kebencian. Ada juga yang berdusta karena canda, hobi, dan kebiasan. Akhirnya virus penyakit dusta ini menyebar ke mana-mana.
Cukuplah kita memahami bahaya besar dari dusta ketika Allah menyebutkannya dalam Al Qur’an sebanyak 280 kali seraya memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta sekaligus menafikan keimanannya. Di antaranya Allah befirman, “Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang boros dan pendusta.” (QS Ghafir: 28). “Celaka bagi orang yang pembohong dan pendosa.” (QS al-Jatsiyah: 7). “Orang yang mengadakan kebohongan adalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka adalah para pendusta.” (QS an-Nahl: 105).
Peringatan Allah tersebut tidak lain untuk kemaslahatan manusia. Pasalnya dusta bisa mendatangkan berbagai dampak buruk dan bahaya sebagai berikut:
Pertama, dusta membuat pelakunya tidak bisa tenang dan selalu merasa gelisah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jujur mendatangkan ketenangan, sementara dusta mendatangkan keragu-raguan (kegelisahan).” Bagaimana bisa tenang, orang yang berdusta akan selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut dan khawatir kalau kebohongannya diketahui orang.
Kedua, dusta menjadi penyebab jatuhnya citra, nama baik, dan kehormatan si pelaku. Orang menjadi kehilangan kepercayaan padanya.
Bayangkan kalau dalam satu komunitas satu dengan yang lain sudah tidak saling mempercayai?!
Ketiga, dusta menjadi bagian dari bentuk kemunafikan sehingga mengancam eksistensi iman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Tanda orang munafik ada tiga, yaitu:
1.       Apabila berbicara ia berdusta
2.       Apabila berjanji ia ingkar, dan
3.       Apabila dipercaya ia khianat
Keempat, kalaupun si pendusta selamat dan aman di dunia dimana ia berhasil membungkus segala kepalsuan, kedustaaan, dan kebohongannya dengan berbagai macam intrik dan tipudaya sehingga orang tetap percaya, maka di sisi Allah ia tidak akan bisa selamat. Bahkan dalam hadits disebutkan. “Dusta  mengantar pada kejahatan, dan kejahatan mengantar kepada neraka. Manakala seseorang terus berdusta dan berusaha berdusta, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR al-Bukhari)
Karena itu, tidak ada jalan lain kalau kita ingin hidup tenang, bahagia, tehormat, dipercaya dan sukses dunia akhirat  maka jalannya adalah menghias diri dengan kejujuran.
Kejujuran adalah modal dasar orang-orang istimewa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman, “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Ibrahim dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 41). “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Idris dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 56). Nabi Yusuf ‘Alaihissalam juga disebut dan dikenal sebagai orang jujur (lihat QS Yusuf: 46). Apalagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak muda beliau dikenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya.
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 355 – 8 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
 

Berlomba dalam Kebaikan

Oleh: Iman Santoso, Lc
 
Kualitas keislaman seseorang adalah sejauhmana dia mampu melaksanakan amal-amal berkualitas dan meninggalkan perbuatan yang tidak berguna apalagi mengandung dosa. Rasulullah SAW bersabda: ”Diantara kebaikan Islam seseorang, ia meninggalkan segala sesuatu yang tidak berguna”.
Sedangkan hidup ini adalah kumpulan dari hari-hari, maka sangat merugilah orang yang menyia-nyiakan waktunya. Keimanan akan senantiasa mendorong dan memotivasi orang beriman untuk senantiasa beramal dan berlomba dalam setiap medan kebaikan.
Berlomba dalam Kebaikan (Musabaqoh Fil Khairaat)
Orang beriman memahami bahwa kewajiban yang ditugaskan lebih banyak dari waktu yang tersedia. Oleh karenanya, ia terus-menerus beramal dan keimanan itu memotivasi dirinya untuk tetap beramal dalam kondisi apapun. Bagi orang beriman tidak ada istilah menganggur dan tidak punya kerjaan karena amal shalih dan ibadah itu banyak sekali bentuk dan macamnya.
Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim disebutkan bahwa sebagian sahabat bertanya pada Rasulullah saw. ”Wahai Rasulullah SAW orang-orang kaya telah memborong pahala kebaikan, mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka puasa sebagaimana kami puasa. Dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka“. Rasul SAW bersabda: ”Bukankah Allah telah menjadikan untuk kalian bisa sedekah? Bahwa setiap tasbih sedekah, setiap takbir sedekah, setiap tahmid sedekah, setiap tahlil sedekah, setia amar ma’ruf sedekah, setiap nahi mungkar sedekah. Dan seseorang meletakkan syahwatnya (pada istrinya) sedekah”. Sahabat bertanya: ”Apakah seseorang menyalurkan syahwatnya dapat pahala? Rasul SAW menjawab: “Ya, bukankah jika menyalurkannya pada yang haram akan mendapat dosa? Begitulah jika menyalurkan pada yang halal maka akan mendapat pahala”.
Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang-orang beriman memiliki motivasi tinggi dalam beramal dan senantiasa belomba dalam kebaikan untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya kebaikan dan pahala. Dan hadits ini juga menerangkan betapa amal shalih itu banyak dan beragam bentuknya. Ketika kita melakukannya, dan dengan niat karena Allah, maka itu bagian dari sedekah dan kontribusi kita pada umat dan bangsa.
Lapangan hidup bagi orang beriman tidaklah sempit, bukan hanya rumah dan tempat mencari nafkah saja. Tetapi lapangan hidup orang beriman adalah bumi dan seisinya dengan berbagai macam aktivitasnya. Apalagi jika orang beriman terlibat dengan aktivitas dakwah, maka ia akan mendapatkan banyak manfaat dan kebaikan dari dunia ini.
Dan potret kehidupan yang luas dan diisi dengan semangat perlombaan ini sangatlah banyak pada orang-orang beriman generasi terbaik dari umat ini.
Diriwayatkan dari Umar bin Khattab ra berkata: ”Rasulullah SAW melewati Abdullah bin Mas’ud, saya dan Abu Bakar bersama beliau dan Ibnu Ma’sud sedang membaca Al-Qur’an. Maka Rasulullah SAW bangkit dan mendengarkan bacaannya, kemudian Abdullah ruku dan sujud. Berkata Umar ra, Rasul SAW bersabda: ”Mintalah pasti akan dikabulkan, mintalah pasti akan dikabulkan”. Berkata Umar ra. Kemudian Rasulullah SAW berlalu (dari Ibnu Mas’ud ra) dan bersabda: ”Barangsiapa ingin membaca al-Qur’an seindah sebagaimana diturunkan, maka bacalah sebagaimana bacaan Ibnu Ummi Abdi (Ibnu Mas’ud)”. Berkata (Umar): ”Maka saya bersegera di malam hari datang menuju rumah Abdullah bin Mas’ud untuk menyampaikan kabar gembira apa yang dikatakan Rasulullah SAW, berkata (Umar): ”Tatkala saya mengetuk pintu atau berkata agar (Ibnu Mas’ud) mendengar suaraku, berkata Ibnu Mas’ud ra. “Apa yang membuatmu datang pada saat seperti ini?”. Saya (Umar) berkata : “Saya datang untuk menyampaikan kabar gembira (padamu) sebagaimana apa yang telah dikatakan Rasulullah SAW“. Berkata Ibnu Mas’ud ra. “Abu Bakar telah mendahuluimu”. Saya berkata: ”Apa yang dia lakukan, dia selalu menang dalam perlombaan kebaikan, tidaklah saya berlomba untuk suatu kebaikan pasti dia (Abu Bakar) telah mendahuluiku” (HR Ahmad).
Itu adalah motivasi keimanan yang menggerakkan orang-orang beriman untuk senantiasa berlomba dalam kebaikkan. Abu Bakar dan Umar telah mencontohkan yang terbaik dalam setiap perlombaan kebaikan. Begitulah kondisi mereka tidak pernah meninggalkan pintu-pintu kebaikan, kecuali mereka cepat melaksanakannya dengan motivasi yang kuat. Hal ini hanya dimiliki oleh orang-orang beriman yang selalu siap untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka yaitu pahala, keridhaan dan surga Allah.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 352 – 4 Desember 2015. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan. Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya