0878 8077 4762 [email protected]

Dewan Syariah MUI Sosialisasi Empat Fatwa Baru Soal Keuangan

Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan Dewan Syariah Nasional (DSN) akan terus melakukan sosialisasi empat fatwa terbaru demi mencapai pangsa pasar (market share) lembaga keuangan syariah sebesar lebih dari lima persen.
Menurut Bendahara DSN MUI Muhammad Nadrattuzaman Hosen, hal ini dilakukan karena kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap keuangan syariah sangat besar. Dalam hal ini DSN MUI melakukan sosialisasi ke Bank Mandiri.
Sosialisasi empat fatwa dilakukan pada Rabu (24/2) di gedung Bank Syariah Mandiri (BSM). Acara tersebut juga dihadiri oleh pihak industri, regulator, akademisi dan organisasi kemasyarakatan.
Ada pun empat fatwa DSN MUI terbaru tersebut adalah
Pertama, Fatwa DSN-MUI No. 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) atas Nilai Tukar
Dan Keputusan DSN-MUI No. 02/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman Implementasi Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) atas Nilai Tukar.
Kedua, Fatwa DSN-MUI No. 97/DSN-MUI/XII/2015 tentang Sertifikat Deposito Syariah.
Ketiga, Fatwa DSN-MUI No. 99/DSN-MUI/XII/2015 tentang Anuitas Syariah Untuk Program Pensiun.
Terakhir, Fatwa DSN-MUI No. 100/DSN-MUI/XII/2015 tentang Pedoman Transaksi Voucher Multi Manfaat Syariah.
“Fatwa-fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh DSN MUI merupakan upaya mempercepat akselerasi industri keuangan syariah untuk lebih agresif apalagi hingga saat ini ‘market share‘nya masih rendah,” kata Nadrattuzaman.
Menurutnya, penting adanya jika berbagai pihak terutama DSN-MUI, Industri dan para regulator bisa duduk bersama dalam merespon keinginan-keinginan masyarakat terkait industri keuangan syariah.
Tujuannya untuk memperat tali silaturahim antara DSN-MUI sebagai regulator dalam bidang fatwa dengan para regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dan Direktorat Pembiayaan Syariah Kementerian Keuangan RI serta pelaku industri keuangan syariah juga perguruan tinggi.
“Silaturahim diharapkan dapat menyatukan paham dalam pengembangan keuangan syariah di Indonesia,” tutur Nadrattuzaman.
Selain meningkatkan hubungan baik, acara sosialisasi juga dijadikan kesempatan memberikan informasi atas peraturan atau kebijakan baru dari masing-masing regulator, sekaligus mendengarkan curahan hati para pelaku industri demi majunya industri keuangan syariah.
 
Sumber : Republika

Tujuh Fatwa MUI

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan tujuh fatwa atas sejumlah permasalahan. Agar kita sama-sama mengetahui mari kita perhatikan kembali. Fatwa ini telah disampaikan pada 27 juli 2010 di Jakarta
Berikut tujuh fatwa itu:
1. Membolehkan pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadan. Bagi yang terbang terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporal bisa mengganti dengan puasa di lain hari;.
2. Mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata yang bersifat sementara dengan jangka waktu tertentu atau dikenal nikah muth’ah.
3. Operasi ganti kelamin tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai regulasi Kementerian Kesehatan diharamkan. Pengharaman ini juga berlaku bagi tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin;
4. Mengharamkan donor sperma dan bank sperma. Namun Bank Air Susu Ibu dibolehkan.
5. Mengharamkan donor organ jika pendonor masih hidup. Pendonor harus sudah meninggal, sukarela dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada pilihan lain.
6. Mengharamkan pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum.
7. Membolehkan asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah.
Sumber : MUI.or.id, Viva.co

Fatwa Al Azhar Mesir : Bagaimana Hukum Seorang Istri ke Masjid dan Rumah Saudaranya serta Berinfaq Tanpa Izin Suami?

Pertanyaan:
Pertama: Bolehkah bagi seorang istri setiap harinya pergi ke masjid mulai dari pagi hingga menjelang pukul tiga siang tanpa sepengetahuan atau izin sang suami walaupun dia menginginkannya?
Kedua : Bolehkah seorang istri keluar mengunjungi saudara-saudaranya atau teman-temannya meskipun suaminya tidak suka dan tidak mengizinkannya?
Ketiga : Bolehkah seorang istri menyumbang dengan harta suaminya tanpa sepengetahuan dan izinnya?
Jawaban
Seorang wanita wajib menaati suami dalam hal kebaikan, jika dia membangkang maka seorang istri menjadi durhaka yang dapat menggugurkah nafkah suami kepadanya. Allah Subhanahuwata’ala berfirman :
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shaleh, adalah mereka yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar” (QS. An-Nisa’ : 34).
Banyak hadits yang mendorong seorang wanita untuk ta’at kepada suaminya, diantaranya :
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Kalau seandainya saya dibolehkan untuk memerintahkan seseorang bersujud kepada yang lainnya, maka saya akan memerintahkan seorang wanita untuk bersujud kepada suaminya”. HR. At-Tirmidzi (hadits hasan gharib).
Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ada tiga golongan yang shalat mereka tidak diterima dan amalan mereka tidak diangkat kelangit: budak yang melarikan diri dari tuan-tuannya sampai dia kembali lalu meletakkan tangannya pada tangan-tangan mereka, wanita yang suaminya marah kepadanya sampai dia (suaminya) memaafkannya, dan orang yang mabuk sampai sadar.” (HR. At-Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah -hadits shahih)
Oleh karena itu seorang wanita tidak dibolehkan keluar rumah atau melakukan sesuatu apapun tanpa sepengetahuan dan izin suaminya. Adapun keluarnya seorang wanita untuk shalat di masjid, maka dikatakan kepadanya bahwa shalatnya di rumahnya itu lebih utama baginya. Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Sebaik-baik tempat shalat bagi wanita adalah bagian paling dalam (tersembunyi) di rumahnya”. (HR. Ahmad, At-Thabrani, Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim, hadits shahih).
Shalat yang dilakukan oleh seorang wanita di dalam bayt-nya (tempat yang lebih kecil dari kamar dalam sebuah rumah) lebih baik dari pada shalat yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah). Sementara shalatnya yang dilakukan di dalam hujrah-nya (kamar dalam rumah) lebih baik daripada shalat yang dilakukannya di dalam daar-nya (rumah). Dan shalat yang di lakukan oleh seorang wanita di dalam daar-nya (rumah) lebih baik daripada shalat yang dilakukan di dalam masjid kaumnya” (HR. At-Thabrani, dengan sanad yang bagus).
Tidaklah shalat seorang wanita yang paling dicintai oleh Allah selain shalat yang dilakukannya di tempat yang paling gelap di rumahnya” (HR. At-Thabrani dan Ibnu Khuzaimah, hadits shahih).
Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas merupakan dalil yang membolehkan seorang wanita untuk shalat di masjid walaupun shalat yang dilakukannya di rumahnya itu lebih utama baginya.
Yang demikian itu apabila dia menuju ke masjid dengan tujuan melaksanakan shalat, adapun jika keluarnya ke masjid untuk belajar ilmu yang diwajibkan – fardhu ‘ain – maka hukumnya adalah wajib tanpa harus ada izin darinya (suami).
Kecuali jika kebutuhannya terhadap ilmu tersebut sudah tersedia di rumahnya, baik berupa buku-buku, alat-alat elektronik, kaset-kaset, dan lain-lain sebagainya. Sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam : “Apabila istri kalian meminta izin kepada kalian untuk ke masjid, maka izinkanlah mereka” (HR. Muslim.)
Janganlah kalian melarang istri-istri kalian untuk ke masjid, meskipun shalat di rumah itu lebih baik bagi mereka”. (HR. Abu Daud)
Kesemuanya itu harus mendapatkan izin dari suaminya.
Adapun yang berkaitan dengan sumbangan seorang wanita tanpa izin suaminya, telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seorang istri berinfaq dari harta hasil usaha suaminya, tanpa perintah suaminya, maka baginya setengah pahala”.
Adapun di dalam Shahih Muslim, Ahmad, dan Ashhabussunan kecuali At-Tirmizi Rasulullah Shallallahu ‘laihi wasallam bersabda : “Seorang wanita tidak diperbolehkan memberikan apapun (dari harta suaminya) kecuali dengan seizing suaminya”.
Dan diriwayatkan dari At-Tirmidzi : “Janganlah seorang wanita menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya”.
Maka wajiblah bagi seorang istri untuk menjaga harta suaminya dan tidak boleh menggunakannya kepada sesuatu yang dapat merugikan suaminya. Apabila dia bersedekah dari harta suaminya tanpa ada izin darinya maka dia (istri) berhak mendapatkan setengah dari pahala tersebut, yang demikian itu jika jumlahnya kecil yang menurut perkiraan bahwa suaminya akan mengizinkannya, adapun jika harta yang akan di sedekahkan itu dalam jumlah besar atau dalam jumlah kecil tapi menurut perkiraan bahwa suaminya tidak akan mengizinkannya maka hukumnya adalah haram baginya bersedekah dengan harta tersebut.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor: 4623
Tanggal: 28/02/2005
Penerjemah: Syahrul
Editor: Fahmi Bahreisy, Lc

Fatwa Al Azhar Mesir : Perempuan yang Pergi Bekerja Tanpa Didampingi Mahramnya

Assalamualaikum ustad. Saya mempunyai seorang saudara perempuan yang telah berusia 45 tahun. dia adalah seorang guru besar di Fakultas Kedokteran pada sebuah Universitas. Apa hukumnya jika ia hendak menghadiri seminar-seminar tanpa didampingi oleh mahramnya? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhinya sehingga dia dapat berpergian tanpa mahramnya dan tidak berdosa karenanya?
 
Jawaban:
Kaidah umum menyatakan bahwa seorang perempuan yang berpergian wajib ditemani oleh seorang mahramnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرْأَةُ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja sebagian ulama membolehkan perempuan untuk berpergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Adiy bin Hatim r.a bahwa Nabi saw bersabda kepadanya:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
Jika kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hirah (wilayah Irak) hingga (Makkah) berthawaf di sekeliling ka’bah. Dia tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ، حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hirah hingga ia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ditemani seorang pun.”
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri diatas menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya rasa aman selama perjalanan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pendapat ini karena adanya kelapangan dan kemudahan di dalamnya. tapi bagaimanapun juga seorang wanita harus mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya jika ia telah bersuami atau dari walinya jika belum bersuami.
Maka, berdasarkan pertanyaan diatas, saudara perempuan anda boleh berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya jika dia yakin keamanannya terjamin selama perjalanan.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc

Dewan Fatwa Mesir : Apakah Bersalaman Antara Laki-laki dan Wanita Membatalkan Wudhu

Bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah permasalahan khilaf (diperselisihkan) di dalam fiqh Islam ;
Sebagian besar ‘ulama mengharamkan perbuatan tersebut, kecuali para ‘ulama dari kalangan hanafiyah dan hanabilah yang membolehkan bersalaman dengan wanita tua yang sudah sepuh : karena sudah di anggap aman dari fitnah.
Adapun dalil sebagian besar ‘Ulama yang mengharamkannya adalah :

  • Perkataan Aisyah ummul mukminin radhiallahu ‘anha “ Tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh tangan wanita” (H.R. Muttafaqun ‘alaihi)
  • Hadits Mu’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan pasak dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” (Diriwayatkan oleh Ar-Tauyani di dalam musnadnya dan At-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).

Sedangkan dalil para ‘ulama yang membolehkannya adalah ;

  • Bahwa ‘umar bin khatab Radhiallahu ‘anhu pernah bersalaman dengan wanita di saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri dari bersalaman dengan wanita ketika berbai’at kepada beliau, sehingga tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
  • Dan Abu bakar Ash-shiddiq Radhiyallahu ‘anhu juga pernah bersalaman dengan wanita yang sudah sepuh ketika masa kekhalifahannya.
  • Sebuah Hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjadikan Ummu Haram Radhiyallahu ‘anha membersihkan rambut kepala beliau.
  • Dan juga dari riwayat Bukhari bahwa Aba Musa Al-‘Asy’ari Rahiyallahu ‘anhu pernah menjadikan seorang wanita dari kalalangan Al-‘Asy’ariyyin sebagai pembersih rambut kepalanya sedangkan beliau dalam kedaan ihram haji.

Sebagai bantahan atas pendapat dari jumhur, mereka mengatakan bahwa hadits Ma’qil bin Yasar yang di pakai oleh jumhur ‘ulama di atas adalah dha’if, karena terdapat Syidad bin Sa’id yang jalur periwayatannya lemah. Redaksi hadits ini juga hanya diriwayatkan olehnya secara marfu’.
Walaupun demikian, ia bisa jadi pegangan seandainya tidak ada hadits lain yang memiliki redaksi yang berbeda dengannya. Pada kenyataannya, Basyir bin ‘Uqbah –beliau adalah di antara yang meriwayatkan hadits shahih- meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
Diriwayatkan dari Ibni Abi Syaibah di dalam kitab “Mushannif” dari jalur Basyir bin ‘Uqbah dari Abi Al-‘Ala’, dari Mu’qil dengan hadits Mauquf dengan lafadz : “Seandainya salah seorang di antara kalian menusukkan jarum hingga menancap di kepalaku, hal itu lebih aku senangi daripada ada seorang wanita yang bukan mahram mencuci/membasuh kepalaku”.
Dengan demikian, terkait dengan kasus ini, diperbolehkan untuk mengikuti ‘ulama yang membolehkan bersalaman dengan wanita.
Namun demikian, keluar dari perbedaan (untk memilih sikap yang tidak diperdebatkan) adalah lebih utama.
Adapun yang berkaitan dengan apakah bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak juga termasuk permasalahan khilaf di dalam Fiqh Islam.

  1. Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan wudhu’ walaupun tidak disertai dengan syahwat.
  2. Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudhu’ walaupun dengan syahwat.
  3. Sedangkan Imam Malik membedakan antara kedua hal tersebut, jika bersentuhan dengan syahwat maka membatalkan wudhu’. Dan jika tanpa syahwat, maka tidak membatalkan wudhu’. Di dalam mazhab ( Imam Malik) ada juga riwayat lain yang menjelaskan pendapat-pendapat yang berbeda, sebagaimana juga riwayat dari Imam Ahmad yang semuanya telah dijelaskan beserta dalilnya di berbagai macam kitab fiqh.

Kaidah-kaidah yang telah diakui oleh syari’at di dalam permasalahan khilafiyah :

  1. Bahwasanya yang wajib diingkari adalah kesalahan yang telah disepakati kemungkarannya, bukan yang diperselisihkan.
  2. Bagi yang jatuh dalam permasalahan khilaf, dia boleh mengikuti pendapat yang membolehkannya.
  3. Keluar dari permasalahan khilaf adalah lebih utama.

Adapun pandangan seorang laki-laki terhadap wanita yang bukan mahramnya, berdasarkan pendapat dari berbagai ‘Ulama Fiqh hanya di bolehkan melihat wajahnya dan kedua telapak tangannya saja. Imam Abu Hanifah menambahkan kedua kakinya tanpa di ikuti oleh syahwat dan terhindar dari fitnah.
Ini menunjukkan bahwa bentuk perintah menundukkan pandangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak bersifat mutlak, berbeda dengan perintah menjaga kemaluan yang bersifat mutlak.
Az-Zamahsyari di dalam sebuah kitabnya “Al-Kasyaf” menafsirkan Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya……..” (QS. An-Nur : 30) ;
Bahwa Kata “مِنْ/dari” yang terdapat pada kalimat “ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ/Menundukkan pandangan” yang mana kata tersebut tidak terdapat pada kalimat “ﺣﻔﻆ ﺍﻟﻔﺮﺝ/menjaga kemaluan” menunjukkan bahwa perkara “pandangan” memiliki cakupan yang lebih luas.
Bukankah seorang yang mahram tidak mengapa jika dilihat rambutnya, betisnya dan kakinya, demikian juga budak-budak yang diperjual-belikan?
Adapun wanita yang bukan mahram hanya boleh dilihat wajahnya, kedua telapak tangannya dan kedua kakinya pada riwayat yang lain. Sedangkan yang berkaitan dengan “kemaluan” cakupannya sempit.
Perbedaan dua hal diatas dapat disimpulkan, bahwa diperbolehkan memandang sesuatu kecuali terhadap apa yang telah di larang, dan dilarang melakukan jima’ (berhungan intim) kecuali terhadap apa yang telah di bolehkan.
Maka selain daripada wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki dari wanita yang bukan mahram dilarang dilihat kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk pengobatan, dan lain-lain yang sejenis dengannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala ‘a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 4614
Tanggal : 13/01/2011
Penerjemah : Syahrul