by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Apr 3, 2016 | Artikel, Dakwah
Rasulullah saw bersabda “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling kasih, saling menyayang dan saling mencintai adalah seperti sebuah tubuh, jika salah satu anggotanya merasa sakit, maka anggota tubuh yang lain ikut merasakan sulit tidur dan demam.” (Shahih Muslim No.4685).
Pelajaran yang bisa dipetik:
- Hadits di atas membeikan standar dan ukuran siapa yang disebut sebagai orang beriman atau orang mukmin.
- Keberadaan iman dalam diri ditandai dengan adanya cinta kasih diantara saudara seiman; bahkan ia seperti satu tubuh.
- Karena itu, mukmin sejati mencintai, mengasihi, membantu dan ikut merasakan derita dan kesulitan mukmin lainnya, di manapun ia berada dan dari manapun asalnya.
Shalahuddin al-Ayyubi satu saat ditanya, “Mengapa senyummu tak terlihat lagi?” Ia menjawab, “Bagaimana aku bisa tersenyum sementara al-Aqsa dalam kondisi tertawan? Bagaimana aku bisa ceria sementara kaum muslimin di sana dalam kondisi terjajah dan teraniaya?!”
Alfaqir ilallah
Fauzi Bahreisy
***
Majelis Taklim Al Iman
Infaq kegiatan dakwah dapat disalurkan melalui rekening an. Yayasan Telaga Insan Beriman
BSM 703.7427.734
BNI 1911.203.63
Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan memberikan keberkahan di dunia dan akhirat.
Kegiatan dakwah dapat dilihat di web www.AlimanCenter.com dan fanpage facebook: AlimanCenter.com
Silahkan disebarkan tanpa merubah isinya, semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh. Jazakumullah khairan
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 30, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh.
Saya ingin bertanya ustadz, tentang hukum menetap di negeri orang dengan tujuan bekerja, sedangkan untuk beribadah kepada Allah, sangat sulit sekali, terutama shalat jumat. mohon pencerahannya ustadz.
Terima kasih
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebenarnya boleh tinggal di mana saja di dunia ini. Sebab, semuanya merupakan bumi Allah yang ditundukkan untuk manusia. Hanya saja untuk menetap dan tinggal di sebuah tempat terdapat sejumlah hal atau syarat yang harus diperhatikan:
Pertama, kita harus memastikan bahwa di daerah atau lingkungan tersebut kita masih bisa menjaga keimanan, akidah, dan keyakinan kita dengan baik. Jangan sampai menetapnya kita di sebuah tempat membuat keimanan kita rusak dan tercabut dari akarnya.
Kedua, kita masih bisa menunaikan syiar-syiar ibadah dan menjalankan syariat agama dengan baik. Misalnya masih bisa berhijab bagi wanita, masih bisa menunaikan shalat, dst.
Kalau kedua syarat di atas atau salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak boleh menetap di daerah tersebut. Sebab, keuntungan materil dan raihan duniawi tidak boleh mengorbankan agama. Bahkan Allah mengecam orang-orang yang menzalimi diri dengan alasan lemah, mengapa mereka tidak pindah ke negeri yang memungkinkan untuk menjaga iman dan menegakkan syiar agama (QS an-Nisa: 97).
Namun kalau kedua syarat tersebut masih bisa dipenuhi, artinya iman masih bisa dijaga dengan baik dan ibadah masih bisa ditunaikan meskipun membutuhkan perjuangan dan pengorbanan lebih, maka masih dimungkinkan menetap di daerah tersebut. Bahkan bila hal itu disertai dengan niat berdakwah dan menyiarkan agama kepada penduduk setempat, ia merupakan sebuah upaya mulia yang akan mendapatkan apresiasi istimewa dari Allah Swt.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 30, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fauzi Bahreisy
Suatu ketika Abu Amr, Sufyan ibn Abdillah radhiallahuanhu mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, ajarkan padaku satu hal dalam Islam yang aku tidak akan menanyakannya lagi pada yang lain.” Demikian yang dikatakan oleh Abu Amr kepada Rasul Shallallahu’alaihi wasallam. Begitulah memang seharusnya seorang muslim. Ia harus banyak bertanya dan belajar. Terutama tentang agamanya.
Hanya saja, karena agama adalah urusan yang sangat penting yang akan mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka yang ditanya harus tepat. Harus orang yang mengerti, menghayati, dan mengamalkan. Saat itu tidak ada lagi yang lebih layak ditanya melebihi Rasul Shallallahu’alaihi wasallam.
Lalu apa jawaban Nabi Shallallahu’alaihi wasallam? Beliau menjawab, “Qul amantu billah (katakanlah, aku beriman kepada Allah).” Dari sini dan dari beberapa dalil lain para ulama menegaskan bahwa ucapan dan pengakuan lisan sangat penting dalam iman. Iman harus diikrarkan. Karena itu, untuk membedakan antara muslim dan bukan perlu ada ikrar.
Selain itu, pengakuan beriman kepada Allah adalah pintu gerbang menuju sukses. Siapapun yang ingin selamat dan masuk ke dalam surga harus beriman kepada Allah.
Namun apa cukup dengan pengakuan lisan? Tentu saja tidak cukup. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melanjutkan, “Tsumma istaqim! (Kemudian istiqamahlah!)” Kalau lisan berikrar maka harus ada sikap konsisten dan istiqamah dengan pengakuan tersebut.
Jangan sampai mengaku beriman, mengaku muslim, mengaku sebagai hamba Allah tapi tidak mau diatur oleh Allah, tapi tidak mau beribadah, tidak mau menunaikan shalat, tidak berpenampilan islami, lebih loyal kepada musuh Allah, benci kepada saudara seiman, suka korupsi, dan seterusnya.
Ini namanya tidak konsisten dan tidak istiqamah dengan apa yang diucapkan. Iman harus istiqamah dalam segala keadaan, dalam segala situasi, dan dalam segala kondisi.
Iman tidak hanya tampil di masjid. Akan tetapi, iman juga harus tampil di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dan di berbagai tempat.
Iman tidak hanya di bulan Ramadhan, akan tetapi juga harus tampak di luar Ramadhan dan bahkan sepanjang masa.
Iman tidak hanya ketika berkumpul bersama banyak orang dan dikeramaian. Namun, ketika sedang sepi dan sendiri iman juga harus terlihat.
Iman tidak hanya ketika mendapat nikmat, mendapat kedudukan , dan mendapat jabatan. Akan tetapi, ketika mendapat musibah dan ujian iman tetap terpatri di dada dan tak goyah.
Iman tidak hanya saat menderita dan tak punya. Akan tetapi, di saat kaya dan berada iman tetap terpelihara.
Iman tidak hanya di lisan dan dalam ucapan. Akan tetapi, perbuatan, penampilan dan muamalahnya menunjukkan keberadaan iman.
Hasan al-Bahsri berkata, “Iman bukan hanya sekedar angan-angan. Akan tetapi iman adalah apa yang tertancap dalam qalbu dan dibuktikan oleh amal perbuatan.”
Jadi harus ada sikap istiqamah dan konsisten dengan pengakuan. Konsisten bersama dengan kebenaran sampai akhir hayat, sampai ajal datang, sampai meninggalkan dunia yang fana ini. “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang benar dan janganlah meninggal dunia kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran: 102).
Kalau sekedar pengakuan dengan lisan, orang munafik juga mengaku beriman. Namun mereka tidak istiqamah dan tidak konsisten dengan pengakuannya.
Nah, orang yang istiqamah dalam kebenaran, Allah janjikan kenikmatan yang tak terkira, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta”. (QS. Fushilat : 30-31).
Semoga kita menjadi orang yang istiqamah dan konsisten dalam kebenaran dan bersama Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.Edisi 327 – 20 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 29, 2016 | Artikel, Dakwah
Tatkala kita lemah, tak berdaya,
Tatkala kita kalah dan teraniaya,
Tatkala kita papa dan tak punya,
Jangan pernah menyerah..
Masih ada satu sumber kekuatan yng bisa menjadi asa.
Ia adalah tobat dan istigfar.
Yakni kemampuan melakukan koreksi dan evaluasi dengan mengakui berbagai kekurangan dan aib diri; baik sebagai umat maupun pribadi.
Itulah sumber kekuatan dan pertolongan Tuhan.
Nabi saw melakukannya minimal seratus kali setiap hari sebagai pelajaran dan contoh bagi umat.
Allah berfirman,
Beristigfarlah kepada Rabb kalian, karena Dia Maha Pengampun…
Niscaya Dia kirimkan hujan yg lebat utk kalian; Dia anugerahkan harta dan anak-anak; serta Dia hadirkan kebun dan sungai… (QS Nuh: 10-12).
Dari sini (tobat dan istigfar) kita mulai perjalanan untuk meraih kemenangan.
ۚ وَتُوبُوٓا۟ إِلَى ٱللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا ٱلْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [النور (٢٤)| الآية: ٣١]
“…Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah wahai orang-orang beriman agar kamu beruntung.”
Alfaqir ilallah
Fauzi Bahreisy
***
Majelis Taklim Al Iman
Infaq kegiatan dakwah dapat disalurkan melalui rekening an. Yayasan Telaga Insan Beriman
BSM 703.7427.734
BNI 1911.203.63
Semoga Allah membalas dengan yang lebih baik dan memberikan keberkahan di dunia dan akhirat.
Kegiatan dakwah dapat dilihat di web www.alimancenter.com dan fanpage facebook: alimancenter
Silahkan disebarkan tanpa merubah isinya, semoga bermanfaat dan menjadi amal sholeh. Jazakumullah khairan
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 28, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Keluarga
Assalamu’alaikum. Ustad, saya ada pertanyaan. Saya memiliki saudara. Hari ini dia bercerita kepada saya tentang kesalahan yang pernah diperbuat. Dia seorang istri sudah menikah. 2 tahun yang lalu rumah tangganya mulai penuh dengan ujian, keadaan ekonomi yang sangat sulit, bahkan suami sempat tidak bekerja. Selama 3 tahun hanya mengandalkan penghasilan istri. Penghasilan pun tidak seberapa. Di mulai dari sana suasana rumah tangga mulai tidak harmonis. Bahkan terakhir diketahui suami selingkuh dengan beberapa wanita. Pada saat itu pula ada seorang laki-laki yang selalu memberikan perhatian pada saudara perempuan saya. Perhatian baik dalam segala hal, ekonomi, kasih sayang, sehingga munculah rasa cinta di antara keduanya. Sampai hal yg paling disesali terjadilah perzinahan. Ketika itu rumah tangga semakin jauh dari kata harmonis, karena di antara suami istri sama-sama saling selingkuh, sampai akhir cerita suaminya mengetahui perselingkuhan tersebut. Terjadilah pertengkaran yang luar biasa, yang akhirnya saling menyalahkan, tetapi dapat diredam ketika saudara perempuan saya bilang bahwa perselingkuhannya hanya sebatas perkenalan saja tidak lebih, merekapun saling memaafkan. Tapi saat ini yang menjadi ganjalan dalam hati saudara saya yaitu dia tidak mengaku perbuatan zina yang pernah dilakukan. Saat ini itu bagaikan beban & dosa besar yang sangat menghantui hari-hari saudara saya. Dia bertanya apakah harus saat ini jujur kepada suaminya, sedngkan saat ini rumah tangganya sudah mulai harmonis bahkan suaminya pun sangat berubah dan sangat perhatian? Saudara saya takut mengakui itu karena watak suaminya yang keras. Saya hanya memberi saran saudara saya untuk benar-benar bertaubat & memohon ampunan Allah. Tetapi tetap dosa itu terus menghantui hari-harinya, dikarenakan suaminya saat ini sangat perhatian & sayang kepadanya, mohon bimbinganya, apa yang harus dilakukan? Apakah harus jujur pada suami? atau biarkan saja itu menjadi rahasia. Terimakasih, Walaikum’salam
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa zina merupakan dosa besar yang bisa mendatangkan murka Allah Swt. Selain itu, ia juga mendatangkan dampak yang sangat buruk baik bagi individu, keluarga, maupun masyarakat.
Allah berfirman, “Janganlah kalian mendekati zina karena ia merupakan dosa dan jalan yang menyimpang.” (QS al-Isra: 32).
Karena itu, bagi mereka yang telah melakukan zina, baik suami maupun isteri, hendaknya bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha. Mereka harus menyesali perbuatannya itu, menjauhinya, serta bertekad untuk tidak mengulangi. Lalu menguatkan iman, dan memperbanyak amal salih sebagai ganti dari dosa yang telah dilakukan (QS al-Furqan: 68-70).
Apakah masing-masing harus memberitahukan zina yang telah dilakukan kepada pasangannya?
Tidak harus. Bahkan hendaknya ia menutupi. Sebab apa yang sudah ditutupi oleh Allah hendaknya tidak diungkap dan diumbar. Apalagi hal itu terkait dengan aib yang bila diketahui oleh pasangan atau oleh suami akan menimbulkan bahaya besar.
Nabi saw bersabda, “Jauhilah kotoran (maksiat zina) yang Allah larang ini. Siapa yang melakukan hendaknya dia menutupinya dengan tutup Allah dan bertaubatlah kepada Allah.” (HR al-Hakim).
Jadi yang harus dilakukan adalah mensyukuri karunia Allah yang telah menutupi aib di mana ia merupakan kesempatan dari Allah untuk bertobat, membersihkan diri, dan tidak mengulangi; bukan justru dimanfaatkan untuk melakukan hal sama di masa mendatang.
Setelah itu, hendaknya suami dan isteri sama-sama mendekatkan diri kepada Allah dengan menunjukkan ketakwaan. Siapa yang berusaha untuk bertakwa kepada Allah, pasti Allah beri jalan keluar dan rezeki yang tak disangka-sangka (QS ath-Thalaq:2) serta akan diberi kelapangan dalam hidup (QS ath-Thalaq: 4).
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini