0878 8077 4762 [email protected]

Makna Politik Islam Sesungguhnya

Oleh: DR. Yusuf Al-Qardhawi
 
Tema utama yang sering dihembuskan oleh kaum sekuler adalah bahwa jika politik dikaitkan dengan agama, maka politik tersebut akan terkekang olehnya. Agama akan membatasi ruang geraknya, terlebih lagi jika agama dimaknai sebagai sebuah bentuk komitmen secara menyeluruh terhadap dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Pasalnya, politik membutuhkan ruang gerak yang luas dengan segala pertimbangan maslahat dan mudharat.
Selain itu, politik sangat membutuhkan strategi dan tipu daya melawan musuh, sedangkan agama seringkali menutup celah ini. Akibatnya, para musuh agamalah yang mendapatkan kemenangan, sebab mereka terbebas dari segala bentuk ikatan dan aturan agama. Adapun umat Islam terus tertawan dalam aturan-aturan perintah dan larangan.
Oleh sebab itulah, kaum sekuler berpendapat mengambil jalan lain dalam memaknai agama, yaitu dengan cara melihat pada maqashid (tujuan-tujuan) umum dari agama, bukan dengan melihat pada dalil-dalil saja. Mereka menganggap, ini adalah metode yang juga dipakai oleh Umar bin Khattab, dimana ia telah membatalkan beberapa dalil demi terciptanya kemaslahatan bagi kaum muslimin. Jika tidak demikian, maka agama akan menjadi penghalang dan batu sandungan dalam berpolitik, terutama dalam sistem politik modern.
Tentu ucapan itu penuh dengan kerancuan dan kesesatan. Inilah anggapan yang diyakini oleh mereka kaum sekuler. Jika kita benar-benar memahami syari’at Islam, maka kita akan dapat menyimpulkan bahwa ia bukanlah sebuah penghalang, akan tetapi ia adalah pelita.
Syari’at Islam sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim adalah aturan yang adil dan bijak serta mengandung kemaslahatan yang luas. Maka, setiap aturan yang menjauhkan manusia dari rasa keadilan menuju kezaliman, dari kemaslahatan menuju kerusakan, dan dari manfaat menuju kesia-siaan, maka itu semua bukanlah bagian dari syariat, meskipun ada yang memaksakannya masuk menjadi bagian dari syariat dengan cara ditakwil [1].
Oleh sebab itu, mengajak manusia untuk memahami Islam dan syariatnya secara benar merupakan bagian dari dakwah, bukan dengan menjauhkan mereka dari syariat agar menjadi bebas merdeka. Sebagian manusia ada yang berpandangan bahwa Islam adalah sebuah teori yang bersifat idealis namun tak bisa direalisasikan dalam kehidupan yang nyata. Ini adalah cara pandang yang keliru, sebab Islam dengan teorinya yang bersifat idealis, ia juga dapat menjadi solusi dalam kehidupan yang nyata.
Islam juga membolehkan umatnya untuk mempergunakan siasat dan tipuan disaat berhadapan dengan kelompok yang juga melakukan makar dan tipuan. Sebagaimana dalam sebuah hadits Bukhari, “Perang adalah sebuah tipuan.”
Islam juga menerapkan kaidah bahwa “Kondisi darurat memperbolehkan umatnya untuk melakukan hal-hal yang terlarang.
Begitu juga dengan kaidah, “Memilih salah satu diantara dua hal yang lebih ringan mudharatnya dan lebih kecil keburukannya. Diperbolehkan menanggung mudharat yang bersifat khusus untuk menghindar dari mudharat yang bersifat umum. Dan diperbolehkan juga untuk mengambil mudharat yang lebih kecil untuk menjauh dari mudharat yang lebih besar, sebagaimana diperbolehkan juga untuk membuang kemashlahatan yang lebih kecil demi terwujudnya kemashlahatan yang lebih besar.”
Semua teori tersebut merupakan teori terapan yang menjadi salah satu karakteristik dari syari’at Islam. Selain itu, syariat Islam berada juga mengusung teori orientatif, bahkan ia berada di garis terdepan diantara aturan lainnya.
Akan tetapi, kita selalu memperingatkan jangan sampai orientasi dan kemashlahatan menjadi alat untuk menggugurkan nash-nash dari Al-Qur’an dan Sunnah, terutama jika nash-nash tersebut bersifat muhkamah dan pasti. “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. (QS. al-Ahzab : 36).
Kita selalu mengajak agar bisa menempatkan antara tujuan-tujuan dari syariat dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah secara seimbang. Kita tidak boleh membenturkan antara yang satu dengan yang lainnya, sebab mereka saling melengkapi bukan saling bertentangan. Sebagaimana yang telah ditegaskan dalam ijma’ ulama, bahwa kemaslahatan yang hakiki tidak akan pernah bertentangan dengan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.
Apabila ada anggapan bahwa keduanya ada pertentangan, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, boleh jadi kemaslahatan tersebut hanya bersifat dugaan saja dan belum pasti. Contohnya adalah kemaslahatan dalam riba agar menarik investor atau kemaslahatan khamr untuk menarik para turis, atau yang lainnya yang mana semua itu hanyalah dugaan-dugaan saja.
Kedua, atau bisa juga nash tersebut tidak bersifat qath’i (pasti). Hal ini biasanya terjadi manakala nash-nash tersebut dikaji dan dianalisa oleh kalangan orang-orang yang tidak memahami syariat Islam, semisal pakar ekonomi, politisi, dan lainnya yang mana mereka mengira bahwa nash tersebut bersifat qath’i padahal tidaklah demikian.
Dengan demikian, politik Islam bersifat luwes karena ia selalu memandang kemaslahatan yang akan diwujudkan dalam setiap sikap berpolitik, dengan tetap memegang teguh nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah sebagai pijakan dan landasan utamanya. Maka dari itu, tidak ada benturan antara syari’at Islam dengan politik, karena keduanya akan membawa kemaslahatan yang hakiki terhadap kehidupan manusia secara utuh.
Referensi :
[1] I’lam Al-Muwaqqi’in (3/3)
*Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
**Sumber: http://iumsonline.org

Prinsip Islam Moderat : Islam dan Manusia

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dimuliakan. Ia dijadikan sebagai khalifah di muka bumi untuk memakmurkannya. Karena manusia dimuliakan dan diangkat sebagai khalifah, Allah posisikan ia sebagai pimpinan bagi seluruh makhluk serta Dia tundukkan semua untuk melayaninya.
Dia menundukkan untuk kalian apa yang terdapat dilangit dan dibumi yang seluruhnya berasal dariNya” (Q.S. Al Jatsiyah : 13)
Allah menganugerahkan kepada manusia sejumlah hak yang membantunya untuk menjaga kemuliaannya dan menunaikan perannya. Dia menyuruh manusia untuk memelihara hak tersebut sekaligus menjadikannya sebagai kewajiban utama. Hak yang paling pertama adalah kebebasan manusia dalam meyakini apa yang ia kehendaki. Islam sangat menjaga kebebasan akidah ini dengan menyuruh kaum muslimin berperang guna mempertahankannya serta guna melawan mereka yang mencederai agama.
Diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga akal, memeliharanya, serta mengerahkan semua potensinya dalam mengkaji dan menelaah Islam berupaya membangun rasionalitas ilmiah yang berlandaskan perenungan dan pengamatan terhadap cakrawala dan dirinya sendiri. Siapa yang berpendapat bahwa berpikir merupakan kewajiban Islam tidaklah ditiru. Demikian Al Qur’an menegaskan
Katakanlah, Aku hendak mengingatkanmu satu hal saja yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) secara berdua atau sendiri. Kemudian cobalah engkau berpikir.” (Q.S. Ali Imran : 191)
Ia juga memerintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan seraya memotivasi untuk melakukan hal tersebut dalam banyak ayat. Islam mengingkari sikap taklid buta dan sikap jumud yang hanya berpegang pada warisan terdahulu atau pada apa yang diperintahkan oleh pimpinan dan para pembesar.
Mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, kami telah menaati para pemimpin dan pembesar kami. Mereka telah menyesatkan kami dari jalan (yang benar).” (Q.S. al Ahzab)
Selain itu, Islam menolak sikap mengikuti prasangka dalam kondisi yang didalamnya dituntut adanya keyakinan. Islam juga tidak membolehkan mengikuti hawa nafsu dan emosi yang menyesatkan dari kebenaran.
Mereka hanya mengikuti prasangka dan hawa nafsu” (Q.S. an Najm : 23)
Islam tidak menerima dakwaan atau pengakuan apapun jika tidak disertai bukti yang menguatkan kebenarannya. Apabila keberadaan bukti menjadi pegangan dalam rasionalitas berpikir, maka penyaksian menjadi pegangan dalam sesuatu yang konkret. Otentifikasi menjadi landasan dalam riwayat, kebenaran wahyu menjadi pegangan dalam hal agama. Karena itu Allah menantang orang-orang yang berbuat syirik
Apakah kalian mempunyai sedikit pengetahuan sehingga dapat kalian sampaikan kepada kami? Kalian tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka. Dan kalian tidak lain hanyalah berdusta ” (Q.S. al An’am : 148)
Islam mengajak kepada pengetahuan, mengajak untuk unggul di dalamnya, untuk memergunakan sarana terbarunya, serta mengikuti ketentuannya dalam segala bidang. Islam memandang proses berpikir sebagai bentuk ibadah serta upaya mencari ilmu yang dibutuhkan oleh umat sebagai kewajiban.
Islam tidak melihat adanya kontradiksi antara akal yang jelas dan naql yang benar. Dengan akal keberadaan Allah, kenabian secara umum, dan kenabian Muhammad secara khusus menjadi demikian tegas. Kemudian dalam peradaban Islam, tidak ada kontradiksi antara ilmu pengetahuan dan nash-nash Islam yang qath’i. Agama bagi kita merupakan ilmu
Islam terbuka bagi warisan ilmu dan pemikiran di seluruh dunia. Ia memburu hikmah yang keluar dari tempat manapun dan mengambil manfaat dari berbagai pengalaman umat baik dimasa dulu maupun sekarang selama tidak bertentangan dengan syariat. Berbagai filsafat yang diambil kaum muslimin tidak boleh berkebalikan dengan nash.
Kemudian diantara hak manusia dalam Islam adalah menjaga kesehatan, jasmani, jiwa dan akal
Tubuhmu memiliki hak yang harus kau penuhi” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Salimah)
Diantara hak tubuh yang harus dipenuhi pemiliknya adalah  memberinya makan ketika lapar, memberinya kesempatan beristirahat ketika lelah, membersihkannya ketika kotor, menguatkannya ketika lemah, dan mengobatinya ketika sakit. Sebab Allah tidak menurunkan penyakit kecuali ada obatnya. Ada yang mengetahui ada pula yang tidak mengetahui. Karena itu pula syarat sah shalat adalah kebersihan badan dan tempatnya.
Selanjutnya anjuran kepada manusia adalah menjaga lingkungan dari tindakan pengrusakan, entah pengrusakan karena marah dan murka, perbuatan sia-sia atau karena tidak peduli. Sebab selain berbuat baik kepada manusia, diperintahkan pula berbuat baik kepada binatang, tumbuhan, bumi dan tanah.
Siapa yang memotong pohon (dengan sia-sia), Allah benamkan kepalanya di neraka.” (H.R. Abu Dawud dari Abdullah ibn Habsyi dan H.R. Baihaqi. Perawinya dapat dipercaya)
Terdapat neraca keseimbangan alam yang diketahui oleh mereka yang berilmu. Ia tidak boleh timpang. Ketimpangan akibat kelalaian, kecerobohan dan kerakusan manusia. Bahaya muncul ketika sumber daya disalah gunakan, baik karena kekeliruan atau berlebihan yang akhirnya bisa mengancam jiwa manusia. Oleh karena itu, Allah menyuruh manusia untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Prinsip Islam Moderat : Islam, Sikap Moderat dan Integralitas

Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
 
Kita berpegang pada konsep moderat yang positif yang tegak diatas keseimbangan dalam memandang berbagai persoalan agama dan dunia, tanpa berlebihan dan mengabaikan. Tidak boleh berlebihan dalam timbangannya dan tidak boleh mengurangi. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT.
Supaya kamu tidak melampaui batas dalam neraca itu. Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca tersebut.” (Q.S. ar Rahman 8-9).
Kami melihat bahwa Islam sangat memperhatikan sikap moderat dalam segala hal sekaligus menjadikannya sebagai karakteristik yang melekat pada umat.
Demikianlah Kami jadikan kalian sebagai umat yang moderat(pertengahan).” (Q.S. Al Baqarah : 143).
Sikap moderat yang menjadi pegangan kita menggambarkan keseimbangan positif dalam segala aspek : dalam hal keyakinan dan amal perbuatan, materi dan maknawi, serta individu dan masyarakat. Islam masuk ke dalam kehidupan individu diatas prinsip keseimbangan antara ruh dan materi, antara akal dan kalbu, antara hak dan kewajiban, serta antara dunia dan akhirat.
Wahai Tuhan, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (Q.S. al Baqarah : 102).
Di sisi lain, Islam menegakkan timbangan yang adil antara individu dan masyarakat. Karena itu, ia tidak memberikan hak-hak kebebasan kepada masyarakat yang dapat membahayakan kemashlahatan umum sebagaimana yang dilakukan kapitalisme. Sebaliknya, Islam juga tidak memberikan kekuasaan kepada masyarakat yang sifatnya menindas dan menekan individu sehingga mengerdilkan dan mematikan bakat dan potensinya sebagaimana yang dilakukan oleh sosialisme dan komunisme.
Namun, Islam memberikan kepada individu apa yang menjadi haknya secara proporsional tanpa berlebihan dan menguranginya. Hal itu telah diatur oleh hukum-hukum syariat berikut arahannya. Kita memandang sikap berlebihan dalam agama sebagai sesuatu yang bisa mencelakakan individu dan masyarakat.
Jauhilah sikap berlebihan dalam beragama. Sebab yang membinasakan generasi sebelum kalian adalah sikap berlebihan dalam beragama” (H.R. Ibn Majah, An Nasai, dan Ahmad dari Ibn Abbas. Para perawi dapat dipercaya).
Sebaliknya berlepas dari tali, nilai, akidah, dan syariat agama juga bisa membinasakan. Karena itu kami membangun pandangan moderat dalam segala aspek. Itulah yang sesuai untuk umat dan membuatnya menjadi baik.
Pandangan Islam adalah sikap pertengahan

  • Antara kalangan yang menyerukan fanatisme mazhab secara sempit dan kalangan yang menyerukan sikap untuk tidak berpegang pada mazhab
  • Antara pengikut tasawuf meskipun menyimpang dan mengandung bid’ah dan para musuh tasawuf meski komitmen dan mengikuti jalan yang benar
  • Antara mereka yang mengagungkan akal meski berlawanan dengan nas yang qath’i dan mereka yang menafikan akal meski dalam rangka memahami nash
  • Antara mereka yang mengilhami secara mutlak sehingga tidak mengakui wujud  serta pengaruhnya dan mereka yang berlebihan dalam memposisikannya sehingga menjadikannya sebagai sumber hukum syariat
  • Antara mereka yang bersikap keras meski dalam urusan cabang dan mereka yang agak longgar meski dalam masalah prinsip
  • Antara mereka yang mengagungkan peninggalan generasi terdahulu meski didalamnya mengandung cacat dan mereka yang mencampakkannya meski mengandung petunjuk yang mengagumkan
  • Antara filsafat kaum idealis yang nyaris tidak menaruh perhatian terhadap realitas dan filsafat kaum pragmatis yang berpegang pada idealisme
  • Antara penyeru filsafat liberalisme yang mendewakan individu serta menafikan masyarakat dan penyeru filsafat kolektivitas marxisme yang mendewakan masyarakat sehingga menafikan individu
  • Antara mereka yang tidak menginginkan perubahan meski dalam hal perangkat dan mereka yang menyerukan perkembangan meski dalam hal prinsip dan tujuan
  • Antara mereka yang menyerukan pembaharuan dan ijtihad meski dalam hal prinsip agama dan sesuatu yang bersifat qath’i dan mereka yang menyerukan sikap taklid dan menentang ijtihad meski dalam berbagai persoalan masa kini yang tidak pernah terlintas dalam benak generasi terdahulu
  • Antara mereka yang mengabaikan nash-nash baku dengan dalih menjaga maksud tujuan syariat dan mereka yang mengabaikan semua tujuan syariat guna menjaga lahiriah nash
  • Antara mereka yang menyerukan keterbukaan tanpa patokan yang jelas dan mereka yang menyerukan sikap tertututp tanpa disertai alasan yang benar
  • Antara mereka yang berlebihan dalam mengkafirkan sehingga mengkafirkan kaum muslimin yang taat dan mereka yang agak longgar didalamnya meski terhadap mereka yang jelas-jelas murtad, melawan agama, serta menjadi kaki tangan musuh
  • Antara mereka yang berlebihan mengharamkan sehingga seolah-olah didunia tidak ada lagi yang namanya halal dan mereka yang berlebihan membolehkan sehingga seolah-olah tidak ada lagi didunia sesuatu yang haram
  • Antara mereka yang hanyut dalam masa lalu dan mereka yang mengabaikan masa lalu seolah-olah mereka ingin membuang kata “kemarin” danbentuk kata kerja lampau dari bahasa

Sikap moderat yang seimbang ini disempurnakan oleh kondisi saling melengkapi yang bersifat komprehensif. Pasalnya, perhatian utama Islam tidak tertuju kepada penerapan aspek hukum syariat secara lahiriah. Namun, yang menjadi perhatian utamanya adalah upaya untuk menegakkan kehidupan Islam yang hakiki, bukan hanya formalitas. Yaitu kehidupan yang berusaha memperbaiki jiwa manusia, sehingga Allah memperbaiki kondisi mereka
Dalam format semacam itulah manusia beriman, keluarga kokoh, masyarakat kuat, dan negara yang adil yang berciri adil dan amanah bisa dibentuk. Itulah kehidupan Islam yang komprehensif yang diarahkan oleh akidah Islam, dikontrol oleh syariat Islam, dibimbing oleh pemahaman Islam, dipagari oleh akhlak Islam, serta diperindah oleh adab-adab Islam.
Ia adalah kehidupan yang saling menopang dan kokoh sepertu satu bangunan yang sisi-sisinya saling menguatkan. Didalamnya tidak boleh ada yang kelaparan, sementara tetangga sebelahnya dalam kondisi kenyang. Didalamnya ilmu yang bermanfaat juga bisa didapat oleh setiap orang, pekerjaan yang sesuai bisa diperoleh oleh setiap penganggur, upah yang adil didapat oleh setiap pekerja, nutrisi yang cukup tersedia bagi setiap orang yang lapar, obat tersedia bagi setiap orang yang sakit,tempat tinggal yang sehat tersedia bagi setiap penduduk, ada kecukupan bagi setiap orang yang membutuhkan, ada perlindungan materi dan sosial bagi setiap yang lemah terutama anak-anak, orang tua, janda dan mereka yang cacat.
Disamping itu didalamnya juga terdapat kekuatan dalam setiap tingkatan, kekuatan pikiran, kekuatan spiritual, kekuatan badan, kekuatan akhlak, kekuatan ekonomi, kekuatan senjata, dan peralatan serta kekuatan persatuan.  Tentu saja landasan dari semua itu adalah kekuatan iman.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Mencari Surga di Negeri Orang

Assalamualaikum warrahmatullah wabarakatuh.
Saya ingin bertanya ustadz, tentang hukum menetap di negeri orang dengan tujuan bekerja, sedangkan untuk beribadah kepada Allah, sangat sulit sekali, terutama shalat jumat. mohon pencerahannya ustadz.
Terima kasih
 
Jawaban 
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebenarnya boleh tinggal di mana saja di dunia ini. Sebab, semuanya merupakan bumi Allah yang ditundukkan untuk manusia. Hanya saja untuk menetap dan tinggal di sebuah tempat terdapat sejumlah hal atau syarat yang harus diperhatikan:
Pertama, kita harus memastikan bahwa di daerah atau lingkungan tersebut kita masih bisa menjaga keimanan, akidah, dan keyakinan kita dengan baik. Jangan sampai menetapnya kita di sebuah tempat membuat keimanan kita rusak dan tercabut dari akarnya.
Kedua, kita masih bisa menunaikan syiar-syiar ibadah dan menjalankan syariat agama dengan baik. Misalnya masih bisa berhijab bagi wanita, masih bisa menunaikan shalat, dst.
Kalau kedua syarat di atas atau salah satunya tidak terpenuhi, maka tidak boleh menetap di daerah tersebut. Sebab, keuntungan materil dan raihan duniawi tidak boleh mengorbankan agama. Bahkan Allah mengecam orang-orang yang menzalimi diri dengan alasan lemah, mengapa mereka tidak pindah ke negeri yang memungkinkan untuk menjaga iman dan menegakkan syiar agama (QS an-Nisa: 97).
Namun kalau kedua syarat tersebut masih bisa dipenuhi, artinya iman masih bisa dijaga dengan baik dan ibadah masih bisa ditunaikan meskipun membutuhkan perjuangan dan pengorbanan lebih, maka masih dimungkinkan menetap di daerah tersebut. Bahkan bila hal itu disertai dengan niat berdakwah dan menyiarkan agama kepada penduduk setempat, ia merupakan sebuah upaya mulia yang akan mendapatkan apresiasi istimewa dari Allah Swt.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Istiqamah Bersama Islam

Oleh: Fauzi Bahreisy
 
Suatu ketika Abu Amr, Sufyan ibn Abdillah radhiallahuanhu mendatangi Nabi Shallallahu’alaihi wasallam. Ia bertanya, “Ya Rasulullah, ajarkan padaku satu hal dalam Islam yang aku tidak akan menanyakannya lagi pada yang lain.” Demikian yang dikatakan oleh Abu Amr kepada Rasul Shallallahu’alaihi wasallam. Begitulah memang seharusnya seorang muslim. Ia harus banyak bertanya dan belajar. Terutama tentang agamanya.
Hanya saja, karena agama adalah urusan yang sangat penting yang akan mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat, maka yang ditanya harus tepat. Harus orang yang mengerti, menghayati, dan mengamalkan. Saat itu tidak ada lagi yang lebih layak ditanya melebihi Rasul Shallallahu’alaihi wasallam.
Lalu apa jawaban Nabi Shallallahu’alaihi wasallam? Beliau menjawab, “Qul amantu billah (katakanlah, aku beriman kepada Allah).” Dari sini dan dari beberapa dalil lain para ulama menegaskan bahwa ucapan dan pengakuan lisan sangat penting dalam iman. Iman harus diikrarkan. Karena itu, untuk membedakan antara muslim dan bukan perlu ada ikrar.
Selain itu, pengakuan beriman kepada Allah adalah pintu gerbang menuju sukses. Siapapun yang ingin selamat dan masuk ke dalam surga harus beriman kepada Allah.
Namun apa cukup dengan pengakuan lisan? Tentu saja tidak cukup. Nabi Shallallahu’alaihi wasallam melanjutkan, “Tsumma istaqim! (Kemudian istiqamahlah!)” Kalau lisan berikrar maka harus ada sikap konsisten dan istiqamah dengan pengakuan tersebut.
Jangan sampai mengaku beriman, mengaku muslim, mengaku sebagai hamba Allah tapi tidak mau diatur oleh Allah, tapi tidak mau beribadah, tidak mau menunaikan shalat, tidak berpenampilan islami, lebih loyal kepada musuh Allah, benci kepada saudara seiman, suka korupsi, dan seterusnya.
Ini namanya tidak konsisten dan tidak istiqamah dengan apa yang diucapkan. Iman harus istiqamah dalam segala keadaan, dalam segala situasi, dan dalam segala kondisi.
Iman tidak  hanya tampil di masjid. Akan tetapi, iman  juga harus tampil di rumah, di kantor, di pasar, di jalan, dan di berbagai tempat.
Iman tidak hanya di bulan Ramadhan, akan tetapi juga harus tampak di luar Ramadhan dan bahkan sepanjang masa.
Iman tidak hanya ketika berkumpul bersama banyak orang dan dikeramaian. Namun, ketika sedang sepi dan sendiri iman juga harus terlihat.
Iman tidak hanya ketika mendapat nikmat, mendapat kedudukan , dan mendapat jabatan. Akan tetapi, ketika mendapat musibah dan ujian iman tetap terpatri di dada dan tak goyah.
Iman tidak hanya saat menderita dan tak punya. Akan tetapi, di saat kaya dan berada iman tetap terpelihara.
Iman tidak hanya di lisan dan dalam ucapan.  Akan tetapi, perbuatan, penampilan dan muamalahnya menunjukkan keberadaan iman.
Hasan al-Bahsri berkata, “Iman bukan hanya sekedar angan-angan. Akan tetapi iman adalah apa yang tertancap dalam qalbu dan dibuktikan oleh amal perbuatan.”
Jadi harus ada sikap istiqamah dan konsisten dengan pengakuan. Konsisten bersama dengan kebenaran sampai akhir hayat, sampai ajal datang, sampai meninggalkan dunia yang fana ini. “Wahai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang benar dan janganlah meninggal dunia kecuali dalam keadaan muslim.” (QS Ali Imran: 102).
Kalau sekedar pengakuan dengan lisan, orang munafik juga mengaku beriman. Namun mereka tidak istiqamah dan tidak konsisten dengan pengakuannya.
Nah, orang yang istiqamah dalam kebenaran, Allah janjikan kenikmatan yang tak terkira, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan di akhirat, di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta”. (QS. Fushilat : 30-31).
Semoga kita menjadi orang yang istiqamah dan konsisten dalam kebenaran dan bersama Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman. Edisi 327 – 20 Maret 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!