0878 8077 4762 [email protected]

Fiqih Sunnah : I'tikaf bagian 2

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Mulai dan Berakhirnya I’tikaf
Telah dijelaskan bahwa i’tikaf sunnah tidak terbatas waktunya. Apabila seseorang masuk masjid dan berniat untuk taqarrub kepada Allah dengan berdiam di dalamnya, berarti ia beri’tikaf hingga ia keluar dari masjid itu. Dan jika seseorang berniat hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hendaknya ia mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang hendak beri’tikaf bersamaku, hendaknya ia beri’tikaf di sepuluh hari terakhir.” Maksudnya adalah sepuluh malam terakhir. Jadi, dimulai malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh.
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa jika Nabi hendak beri’tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikafnya, adalah bermakna bahwa beliau masuk ke tempat i’tikaf pribadinya di masjid, bukan awal masuknya beliau ke masjid. Masuknya beliau ke masjid adalah sejak sorenya.
Mengenai waktu keluar masjid bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah setelah matahari terbenam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i.
Sedangkan Malik dan Ahmad, berpendapat, “Boleh keluar setelah matahari terbenam. Tetapi lebih baik lagi jika ia keluar dari masjid saat hendak pergi untuk shalat Id.”
Atsram meriwayatkan dengan sanadnya, dari Abu Ayub dari Abu Qalabah, “Pada malam Hari Raya Fitri, dia (Abu Qalabah) bermalam di masjid dan esok paginya dia berangkat untuk shalat Id. Saat beri’tikaf, ia tidak menggelar tikar atau sajadah apa pun untuk tempat duduknya. Ia duduk seperti jamaah yang lain. Pada hari Raya Fitri itu aku mendatanginya. Aku melihat seorang anak perempuan dengan dandanan rapi. Aku kira dia adalah anak perempuannya. Ternyata dia adalah budak wanitanya yang setelah itu dimerdekakan. Lalu dia pergi untuk shalat Id.”
Ibrahim berkata, “Mereka suka jika orang yang beri’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan menghabiskan malam Hari Raya Idul Fitri di masjid. Kemudian esok paginya berangkat untuk shalat Id.”
Orang yang bernazar melakukan i’tikaf sehari atau beberapa hari, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbit fajar kemudian keluar dari masjid setelah matahari benar-benar terbenam, baik untuk i’tikaf di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Sedangkan orang yang bernazar hendak beri’tikaf satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbenamnya matahari dan kemudian keluar dari masjid setelah terbitnya fajar.
Ibnu Hazm berkata, “Sebabnya karena permulaan malam adalah setelah matahari terbenam, dan berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut apa yang telah dijanjikan atau diniatkannya.
Jika seseorang bernazar akan beri’tikaf selama satu bulan, atau hendak melakukannya selama itu secara sukarela, maka permulaannya adalah malam pertamanya. Ia masuk masjid sebelum matahari terbenam, kemudian keluar masjid (saat i’tikafnya berakhir di akhir bulan) ketika matahari benar-benar terbenam, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.”
Amal Sunah dan Makruh bagi Orang yang Beri’tikaf
Orang yang sedang beri’tikaf disunahkan memperbanyak ibadah-ibadah sunah dan menyibukkan diri dengan shalat, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, berdoa, membaca shalawat Nabi saw, dan aktivitas lain yang mendekatkan kita kepada Allah dan menghubungkan manusia dengan Penciptanya yang Maha Agung. Termasuk juga, mempelajari suatu ilmu, menelaah kitab-kitab tafsir, menelaah buku-buku hadits, membaca sejarah para nabi dan orang-orang shalih, serta buku-buku fiqih dan keagamaan. Orang yang beri’tikaf disunahkan mendirikan kemah di ruangan masjid, mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi saw.
Orang yang beri’tikaf dimakruhkan melakukan perbuatan dan ucapan yang tidak perlu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Bashrah bahwa Nabi saw bersabda, “Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” Makruh baginya sengaja tidak berbicara karena meyakini hal itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Nabi saw berkhutbah, ada seorang laki-laki berdiri. Nabi bertanya tentang orang itu. Lalu para sahabat menjawab, ‘Dia adalah Abu Israel. Ia bernazar untuk tidak duduk, tidak bernaung, tidak berkata-kata, dan selalu berpuasa.”
Nabi bersabda, “Suruhlah ia berbicara, bernaung, duduk, dan meneruskan puasanya.”
Abu Daud meriwayatkan dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak lagi disebut yatim orang yang telah akil balig, dan seseorang tidak boleh membisu sehari penuh sampai malam.”
Yang Dibolehkan bagi Orang yang Sedang I’tikaf
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar keluarga
Shafiyyah berkata, “Saat itu, Rasulullah saw sedang beri’tikaf. Aku datang menjenguknya di waktu malam. Aku bercakap-cakap dengannya, kemudian aku berdiri dan hendak pulang. Ternyata Rasulullah juga berdiri dan mengantarkan aku pulang.”
Shafiyyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Saat itu, ada dua orang Anshar sedang lewat. Ketika melihat Nabi, keduanya mempercepat jalan mereka. Maka Nabi saw bersabda, ‘Janganlah kalian terburu-buru. Ia adalah Syafiyyah binti Huyay.’ Mereka berkata, ‘Subhanallah, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Maka aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu ke dalam hati kalian.’ (atau Nabi bersabda, ‘membisikkan keburukan’). (h.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
2. Menyisir rambut, memotong rambut, memotong kuku, membersihkan badan dari debu dan daki, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
3. Keluar masjid untuk keperluan yang tidak bisa dielakkan.
Aisyah bercerita, “Ketika sedang i’tikaf, Rasulullah menjulurkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya. Dan beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk buang hajat.” (h.r. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang beri’tikaf boleh keluar dari tempatnya beri’tikaf untuk buang air besar atau kecil karena hal itu merupakan keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dilakukan di masjid. Begitu juga keperluan makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkannya ke masjid.
Jika akan muntah, ia juga boleh keluar masjid. Intinya, semua keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dikerjakan di masjid, ia boleh keluar masjid untuk keperluan tersebut, dan tidak membatalkan i’tikafnya, asalkan ia keluar masjid tidak terlalu lama. Begitu juga dengan keperluan mandi dan mencuci pakaian.”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika seorang beri’tikaf, hendaknya ia turut menghadiri shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, dan menemui istrinya untuk mengatur keperluannya yang dibutuhkan selama beri’tikaf. Dia (Ali ra) pernah memberi keponakannya tujuh ratus dirham dari hasil gajinya untuk keperluan membeli seorang budak untuk membantu pekerjaannya. Keponakannya itu berkata, ‘Aku sedang beri’tikaf.’ Ali berkata, ‘Apa salahnya jika kamu pergi ke pasar lalu membelinya?'”
Qatadah juga membolehkan orang yang beri’tikaf merawat dan mengantar jenazah dan menjenguk orang sakit, dan tidak perlu duduk.
Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Mereka lebih menyukai jika orang yang i’tikaf mensyaratkan hal-hal berikut. Meskipun tanpa mensyaratkan pun hal-hal ini sudah menjadi haknya: menjenguk orang sakit, tidak memasuki bangunan yang beratap, mengerjakan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan buang hajat.” Selanjutnya ia berkata, “Dan tidak masuk ke dalam bangunan yang beratap, kecuali untuk suatu keperluan.”
Khatthabi berkata, “Sejumlah ulama mengatakan bahwa orang yang sedang beri’tikaf boleh menghadiri shalat Jum’at, menjenguk orang sakit, dan mengantarkan jenazah. Hal ini diriwayatkan dari Ali ra. Juga merupakan pendapat Said bin Jubair, Hasan Bashri, dan An-Nakhai.”
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah, “Nabi saw biasa lewat pada orang yang sakit saat beliau beri’tikaf. Ia lewat dan menyapa orang yang sakit itu, tanpa berhenti.
Mengenai keterangan yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa menurut sunah orang yang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang yang sakit, maka maksudnya adalah agar ia tidak meninggalkan tempat i’tikaf dengan tujuan hanya untuk menjenguknya. Tetapi tidak mengapa jika ia sekadar lewat, lalu menyapa dan menanyainya tanpa berhenti di tempat itu.”
4. Ia boleh makan, minum, dan tidur di masjid dengan syarat tetap menjaga kebersihannya. Ia juga dibolehkan melakukan akad nikah di dalam masjid. Juga melakukan transaksi jual-beli dan lainnya di dalam masjid.
Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf
1. Sengaja keluar masjid tanpa ada suatu keperluan walau hanya sebentar. Dengan begitu, “diam di masjid” yang merupakan rukun sudah tidak terpenuhi.
2. Murtad, karena bertentangan dengan ibadah. Juga berdasarkan firman Allah, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), maka niscaya hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)
3. Kehilangan akal sehat karena gila atau mabuk, karena hilangnya sifat mumayyiz yang merupakan syarat sahnya i’tikaf.
4. Haid
5. Nifas karena bertentangan dengan suci dari haid dan nifas yang menjadi syarat sahnya i’tikaf.
6. Bersenggama
Allah berfirman, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka ketika kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian langgar.” (Al-Baqarah: 187)
Menyentuh tanpa syahwat tidak membatalkan i’tikaf. Satu dari istri Nabi saw menyisir rambut beliau pada saat beliau beri’tikaf. Adapun mencium atau menyentuh disertai nafsu, maka menurut Abu Hanifah dan Ahmad, orang itu telah melakukan kesalahan karena telah berbuat yang dilarang baginya. Tetapi i’tikafnya tidak batal selama tidak sampai keluar mani.
Imam Malik berpendapat, i’tikafnya batal karena merupakan persentuhan yang diharamkan, sama seperti jika keluar mani.
Sedangkan Imam Syafi’i punya dua pendapat. Pendapat yang satu dengan dengan pendapat yang pertama dan yang lain sama dengan pendapat yang kedua.
Ibnu Rusyd berkata, “Adapun yang menjadi sebab perbedaan pendapat ini adalah apakah ayat di atas mengandung kata mustarak, antara makna hakiki dan makna majazi, bermakna umum atau tidak. Kelompok yang mengatakannya bermakna umum, berpendapat bahwa ayat di atas menyebutkan larangan senggama dna permulaan senggama. Sedangkan kelompok yang mengatakannya tidak bermakna umum (inilah pendapat yang populer dan dianut kebanyakan ulama), mengatakan bahwa yang dilarang dalam ayat itu bisa senggama dan bisa permulaan senggama. Jika bermakna senggama, secara ‘ijma, maka tentu tidak bisa dimaknai selaing senggama, karena satu kata tidak mungkin punya makna hakiki dan majazi secara bersamaan. Kelompok yang menghukumi keluarnya mani sama dengan senggama, karena keluarnya mani semakna dengan senggama. Dan, kelompok yang menganggapnya berbeda adalah karena pada hakikatnya keluarnya mani berbeda dengan sanggama.”
Mengqadha I’tikaf
Barangsiapa yang sudah mulai melakukan i’tikaf secara sukarela, kemudian menghentikannya, maka ia disunahkan untuk mengqadha’. Ada juga yang mewajibkannya. Tirmidzi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang menghentikan i’tikaf sebelum menyelesaikan masa yang ia niatkan.”
Imam Malik berpendapat, jika waktu i’tikaf itu telah berlalu, ia wajib mengqadha. Alasannya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. menghentikan i’tikafnya, lalu beliau melakukannya di sepuluh hari bulan Syawwal.
Imam Syafi’i berpendapat, jika ia tidak menazarkan i’tikafnya, atau mewajibkan sesuatu terhadap dirinya, tetapi melakukannya secara sukarela, lalu ia hentikan di tengah jalan, maka ia tidak wajib mengqadha, kecuali jika ia sendiri yang ingin mengqadha.
Imam Syafi’i berkata, “Suatu amal yang bisa tidak engkau lakukan, lalu kau lakukan, kemudian kau hentikan di tengah jalan, maka kau tidak wajib mengqadhanya kecuali haji dan umrah.”
Adapun orang yang bernazar i’tikaf selama satu atau beberapa hari, lalu memulainya tetapi kemudian menghentikannya sebelum selesai, maka menurut kesepakatan ulama, ia wajib mengqadha bila sanggup. Seandainya ia meninggal dunia sebelum mengqadha, maka ia tidak perlu qadha’. Tetapi menurut Ahmad, walinya wajib mengqadha sebagai gantinya.
Abdur-Razap meriwayatkan bahwa Abdul Karim bin Umayyah berkata, “Aku pernah mendengar Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah mengatakan, ‘Ibu kami meninggal dunia, padahal ia memiliki kewajiban beri’tikaf.’ Maka aku tanyakan kepada Ibnu Abbda, lalu ia berkata, ‘Beri’tikaflah sebagai gantinya, dan berpuasalah.'”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Aisyah beri’tikaf sebagai ganti i’tikaf saudara lelakinya yang telah meninggal dunia.
Orang yang Beri’tikaf berdiam diri di bagian Masjid dan Mendirikan Tenda
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Nafi’ berkata, “Abdullah bin Umar memperlihatkan kepadaku tempat i’tikaf Rasulullah saw.”
2. Ibnu Umar ra juga mriwayatkan, “Jika Rasulullah saw beri’tikaf, beliau menggelar kasur atau meletakkan tempat tidur di belakang tiang At-Taubah.”
3. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi saw beri’tikaf di kemah model Turki yang di pintunya diletakkan selembar tikar.
Bernazar untuk I’tikaf di Masjid Tertentu
Seseorang yang bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi atau di Masjid Aqsa, maka ia wajib memenuhi nazarnya di masjid yang telah ditetapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Kendaraan tidak perlu dipersiapkan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil-Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjidku ini.”
Adapun bernazar i’tikaf di masjid selain tiga masjid ini, maka ia tidak wajib beri’tikaf di masjid tersebut. Ia boleh beri’tikaf di masjid yang dikehendakinya, karena Allah tidak menetapkan satu tempat tertentu untuk beribadah kepada-Nya. Juga karena masjid yang satu tidak lebih mulia dibandingkan masjid yang lain, kecuali tiga masjid yang telah disebutkan itu.
Nabi bersabda dalam sebuah hadits shahih, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu rakaat shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali Masjidil-Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada shalat di masjidku sebanyak seratus kali.”
Jika seseorang telah menazarkan i’tikaf di Masjid Nabawi, ia boleh memenuhi nazarnya dengan beri’tikaf di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama daripada Masjid Nabawi.
 
Sumber :
Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq. Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat

Fiqih Wanita Shalat Tarawih dan I'tikaf

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Wanita Shalat Tarawih di Masjid
Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian
Jika kehadirannya tersebut tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
” لا تمنعوا إماء الله مساجد الله” رواه البخاري
Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mendatangi masjid- masjid Allah” (HR. Bukhari).
Namun demikian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang diantaranya:

  1. Harus berhijab
  2. Tidak berhias
  3. Tidak memakai parfum
  4. Tidak mengeraskan suara, dan
  5. Tidak menampakkan perhiasan.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“إذا شهدت إحداكن المسجد فلا تمس طيبا” رواه مسلم والنسائي وأحمد عن زينب
Jika salah seorang diantara kalian (para wanita) ingin mendatangi masjid, maka janganlah menyentuh wangi-wangian” (HR. Muslim).
 
“أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد لم تقبل لها صلاة حتى تغتسل” رواه ابن ماجة عن أبي هريرة
Wanita manapun yang memakai wangi-wangian, kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi“.  (HR. Ibnu Majah)
 
Wanita dan I’tikaf
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan i’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan diatas, maka i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Mendapatkan persetujuan (ridha) suami atau orang tua. Apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk i’tikaf, maka ia tidak  dibolehkan  menarik kembali persetujuan itu.
  2. Agar tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita memenuhi tujuan umum syariat. Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syari’at i’tikaf adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhal -wallahu a’lam-  ialah  i’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya. Manakala wanita mendapatkan  manfaat dari i’tikaf di masjid umum, tidak masalah bila ia melakukannya.

 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Sunnah, Mubah dan Batalnya I'tikaf

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Hal-hal yang Disunnahkan Saat I’tikaf
Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah Swt, seperti

  1. Shalat sunnah
  2. Membaca Al-Qur’an
  3. Tasbih, tahmid, tahlil, takbir
  4. Istighfar
  5. Shalawat kepada Nabi Saw
  6. Do’a dan sebagainya.

Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkosentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.
Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan, diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli. Karenanya dalam  memanfaatkan momentum i’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian keislaman yang mengarahkan para peserta i’tikaf  untuk membersihkan diri dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah i’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Hal-hal yang Diperbolehkan 
Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus. Ada beberapa hal yang diperbolehkan.

  1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap istrinya Shafiyah Radliallahu ‘Anha (HR. Bukhori Muslim).
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan dan minum (jika tidak ada yang mengantarkan), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
  4. Makan, minum dan tidur di masjid  dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf

  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
  2. Murtad (keluar dari agama Islam)
  3. Hilang akal karena gila atau mabuk
  4. Haidh
  5. Nifas
  6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri), tetapi memegang isteri tanpa nafsu (syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan isteri-isterinya.
  7. Pergi shalat Jum’at (bagi mereka yang memperbolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat Jum’at).

Semoga pada Ramadhan tahun ini kita dapat menghidupkan kembali sunnah i’tikaf sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal.
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Fiqih Sunnah : I'tikaf bagian 1

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Pensyariatan I’tikaf
Ijma’ ulama menyebutkan bahwa i’tikaf disyariatkan dalam agama. “Nabi saw beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf hingga dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Para sahabat dan para istri Rasulullah juga melakukan i’tikaf bersama Nabi, dan tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menyatakan keutamaannya.
Abu Daud berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad ra., ‘Apakah ada keterangan tentang keutamaan i’tikaf yang engkau ketahui?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali keterangan yang lemah.'”
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf itu ada dua macam, yaitu sunah dan wajib.

  • I’tikaf sunah dilakukan oleh seseorang secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah saw, terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
  • Sedangkan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang karena dia mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf, bisa disebabkan oleh nazar umum, seperti perkataannya, “Aku bernazar akan melakukan i’tikaf.” Atau dengan nazar khusus, seperti “Jika aku sembuh, aku akan i’tikaf.”

Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,
Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya.”
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Ya Rasulullah, aku telah bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam. Nabi saw. bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Waktu I’tikaf
I’tikaf wajib hendaknya dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinazarkan. Jika ia bernazar akan beri’tikaf satu hari atau lebih, hendaknya ia melaksanakan seperti yang telah dinazarkannya.
Sedangkan i’tikaf sunah, tidak ada batas waktu tertentu. Nazarnya sudah terpenuhi jika ia berdiam di masjid dengan niat i’tikaf, lama atau sebentar, dan ia akan mendapat pahala selama berada di masjid. Jika ia keluar dari masjid kemudian ingin kembali i’tikaf, maka ia harus memperbarui niat i’tikaf.
Ya’la bin Umaiyah berkata, “Aku berdiam di masjid selama satu jam untuk i’tikaf.”
Atha’ berkata, “Sudah disebut i’tikaf seseorang yang berdiam di masjid. Jika seseorang duduk di masjid karena mengharap pahala, maka ia dikatakan beri’tikaf. Jika tidak, maka tidaklah disebut beri’tikaf.
Seseorang yang sedang melakukan i’tikaf sunah, boleh menghentikan i’tikafnya kapan saja meskipun belum sesuai yang diniatkannya.
Aisyah meriwayatkan,
Jika ingin beri’tikaf, Nabi shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf. Suatu kali, beliau ingin beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan tempat i’tikaf. Lalu tempat itu pun dibuatkan.
Aisyah berkata, ‘Melihat hal itu, aku juga menyuruh dibuatkan untukku. Lalu aku juga dibuatkan. Kemudian istri-istri Nabi yang lain juga minta dibuatkan. Lalu dibuatkan. Ketika Nabi akan shalat subuh, beliau melihat tempat-tempat i’tikaf itu, beliau berkata ‘Apa ini? Apakah kalian menginginkan kebaikan?
‘Aisyah berkata, ‘Lalu Nabi saw. menyuruh membongkar tempat i’tikafnya dan tempat i’tikaf para istrinya. Kemudian beliau menunda i’tikaf di sepuluh hari pertama (bulan Syawwal).”
Perintah Nabi saw kepada para istri beliau untuk membongkar tempat i’tikaf dan menghentikan i’tikaf mereka padahal mereka sudah berniat melakukan i’tikaf adalah bukti bolehnya menghentikan i’tikaf sekalipun sudah dimulai.
Hadits ini juga merupakan dalil diperbolehkannya suami melarang istrinya beri’tikaf sampai ia memberi izin. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Para ulama berbeda pendapat mengenai; jika suami sudah memberi izin, apakah setelah itu boleh melarangnya?
Menurut Syafi’i, Ahmad, dan Daud, suami boleh menghentikan i’tikaf sunah yang sebelumnya dilakukan istrinya meskipun sebelumnya sudah mendapat izin.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus seorang muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid, dan nifas. Dengan demikian, i’tikaf tidak sah jika dilakukan orang kafir, anak kecil yang belum mumayyiz, orang junub, perempuan yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika salah satu dari dua hal ini; diam di masjid dan niat ibadah, tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut i’tikaf.
Mengenai wajibnya niat dapat dirujuk pada firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga merujuk ke sabda Rasulullah saw., “Segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Dalil keharusan i’tikaf di masjid adalah firman Allah, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka (para istri kalian) saat kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Artinya, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di luar masjid, tentu larangan bersenggama tidak khusus untuk i’tikaf di masjid karena senggama bertentangan dengan i’tikaf. Jadi, maksud ayat itu adalah menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid.
Pendapat Para Ulama Fiqih tentang Masjid yang Sah Digunakan I’tikaf
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf.

  • Abu Hanifah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dipergunakan shalat jamaah lima waktu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Setiap masjid yang mempunyai muazin dan imam, bisa dijadikan tempat i’tikaf.” (H.R. Daruquthni). Akan tetapi, hadits ini mursal dan dha’if, tidak bisa dijadikan dalil.
  • Imam Malik, Syafi’i, dan Daud berpendapat bahwa i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, karena tidak ada satu hadits shahih pun yang memberikan batasan dalam masalah ini.
  • Para ulama Syafi’iyah berpendapat, i’tikaf lebih utama jika dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah sendiri i’tikaf di masjid jami’. Selain itu, jumlah jamaah yang shalat di masjid jauh lebih banyak. Dan sebaiknya tidak i’tikaf diselain masjid jami’, jika masa i’tikafnya mengenai shalat Jum’at, agar tidak memutus i’tikafnya.

Orang yang sedang beri’tikaf boleh sebagai muazin, meskipun tempat azan berada di menara masjid, masalah pintu menara berada di dalam masjid atau di serambi, karena semua itu masih termasuk masjid. Jika pintu menara berada di luar masjid, maka i’tikafnya batal jika hal itu disengaja.
Mengenai serambi masjid, maka menurut para ulama Hanafiyah, para ulama Syafi’iyah dan Ahmad (dalam satu riwayatnya), termasuk masjid.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad (dalam satu riwayat yang lain), tidak termasuk masjid. Karena itu, orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh ke serambi masjid.
Jumhur ulama berpendapat, tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di masjid rumah sendiri, karena masjid di rumah itu tidak dikatakan masjid, dan semua ulama sepakat, bahwa itu boleh dijual. Dan ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa para istri Nabi saw. melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Puasa Orang yang Sedang I’tikaf
Berpuasa saat i’tikaf adalah perbuatan yang baik dan jika tidak puasa, tidak mengapa.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, pada masa Jahiliah aku telah bernazar akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Nabi bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Perintah Nabi agar Umar ra memenuhi nazarnya itu adalah dalil bahwa berpuasa bukan merupakan syarat i’tikaf, karena puasa tidak sah di malam hari.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Abu Sahl bercerita, “Seorang wanita dari keluargaku punya tanggungan i’tikaf. Maka aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawab, ‘Ia tidak harus berpuasa kecuali jika ia sendiri yang bernazar hendak melakukannya.’ Maka Zuhri berkata, ‘I’tikaf tidak sah kecuali disertai puasa.’ Umar bertanya, ‘Apakah itu dari Nabi saw.?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Dari Umar?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Abu Sahl berkata, ‘Kalau tidak salah, Umar berkata, “Dari Utsman?”‘ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku meninggalkannya dan pergi menemui Atha’ dan Thawus untuk menanyakan hal itu. Thawus berkata, ‘Wanita itu tidak wajib puasa kecuali jika ia bernazar akan puasa.’ Atha’ juga mengatakan demikian.”
* bersambung
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Panduan Iktikaf bagian 1

Secara harfiyah, i’tikaf  adalah tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Dengan demikian, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah Swt. Penggunaan kata i’tikaf di dalam Al-Qur’an terdapat pada firman Allah Swt:
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa” (QS 2:187).
Ayat lain yang menyebutkan kata i’tikaf dan ini dikaitkan dengan keharusan membersihkan masjid yang menjadi tempat i’tikaf  adalah firman Allah Swt:
Dan ingatlah ketika Kami menjadikan rumah itu (baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim sebagai tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail:  ‘Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang orang yang tawaf, i’tikaf, ruku, dan sujud” (QS 2:125).
Di dalam Islam, seseorang bisa beri’tikaf di masjid kapan saja, namun dalam konteks bulan Ramadhan, maka dalam kehidupan Rasulullah Saw, i’tikaf itu dilakukan selama sepuluh hari terakhir.
Diantara rangkaian ibadah dalam bulan suci Ramadhan yang sangat dipelihara sekaligus diperintahkan (dianjurkan) oleh Rasulullah Saw adalah i’tikaf. I’tikaf merupakan sarana muhasabah dan kontemplasi yang efektif bagi muslim dalam memelihara dan meningkatkan keislamannya, khususnya dalam era globalisasi, materialisasi dan informasi kontemporer.
*bersambung
 
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center