0878 8077 4762 [email protected]

Menikahi Wanita yang Sudah Tidak Suci

Assalamualaikum ustadz.. Saya punya pacar lebih tua 3 tahun dari saya. Saya mencintainya dengan tulus ikhlas meskipun dia tak suci lagi. Dia telah bertobat kepada Allah atas dosa” yang telah dia lakukan. Saya ingin kami ke jenjang yang lebih serius tapi orang tua saya tidak merestui hubungan kami karena sebuah alasan dia tak suci lagi. Sedangkan saya tidak mempermasalahkan semua itu. Jadi apa yg harus kami lakukan? Apakah kami akhiri ataukah kami lanjutkan ke jenjang lebih serius (pernikahan)? Mohon sekiranya untuk bisa memberi jalan keluar ustadz. Terima kasih.. Wassalamualaikum wr. wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Sebelum menjawab pertanyaan Anda perlu dipertegas terlebih dahulu bahwa zina termasuk dosa besar yang sangat dimurkai oleh Allah. Orang yang berzina telah merusak kehormatan dan kesucian yang Allah berikan padanya. Namun demikian bukan berarti pintu tobat tertutup baginya. Allah tetap membuka pintu tobat bagi siapapun yang ingin memperbaiki masa lalunya yang kelam.
Syaratnya, ia harus menjauhi dosa tersebut, menyesalinya, serta bertekad untuk tidak mengulangi. Itu semua harus dilakukan dengan jujur dan tulus disertai usaha dan doa kepada Allah Swt.
Jika seseorang telah melakukan tobat nasuha, maka kondisinya kembali seperti orang yang tidak pernah melakukan dosa sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi saw.
Lalu terkait dengan hukum menikahi wanita yang “tidak suci” namun telah bertobat, para ulama berbeda pendapat:
Kalangan Maliki dan Hambali berpendapat bahwa wanita tersebut tidak boleh dinikahi sebelum melahirkan.
Sementara kalangan Syafii dan Hanafi berpendapat bahwa boleh hukumnya dinikahi, lantaran tidak berakibat pada kerancuan nasab si anak (nasabnya kepada sang ibu).
Hanya saja, menurut kalangan Hanafi, kalau wanita tersebut hamil oleh orang lain; bukan oleh calon suaminya, maka tidak boleh digauli sampai melahirkan.
Adapun kalangan Syafii membolehkan untuk digauli meski belum melahirkan.
Dengan demikian, kalau Anda ingin menikahinya, lihatlah terlebih dahulu apakah wanita benar-benar telah bertobat. Hal itu bisa dilihat dari sikap dan perilakunya.
Jika ia benar-benar telah bertobat, maka boleh menikahinya dengan cara seperti yang disebutkan oleh para ulama di atas. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa mendatangkan pahala besar jika diniatkan untuk menolong dan membantunya dalam memperbaiki diri.
Akan tetapi, tentu saja restu dan ijin dari orang tua harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan. Kalau Anda berhasil meyakinkan mereka sehingga mereka memberikan restu dan doa, insya Allah hal itu akan menjadi pengantar kebahagiaan Anda dalam berumah tangga.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Benarkah Walimah Sekedar Hidangan Pernikahan?

Oleh: Adi Setiawan, Lc., MEI
 
Dewasa ini kata walimah lebih dikenal sebagai hidangan yang dibuat dalam sebuah perayaan pernikahan. Hal demikian disebabkan karena berkumpulnya keluarga kedua mempelai.
Pertanyaanya, benarkah walimah hanya untuk perayaan pernikahan saja, atau boleh untuk perayaan-perayaan lainnya?
Kata “walimah”, berasal dari bahasa arab. Dengan sinonim “al-jam’u wa adh-dham”, yang berarti “berkumpul”. Ketika ada yang menyebutkan “أولم الرجل “, maka maksudnya adalah “ia seseorang pria yang sempurna”, sempurna fisiknya sekaligus mulia akhlaknya.
Kemudian Syeikh Muhammad Abdul ‘Athi Buhairi menerangkan bahwa sejatinya walimah itu adalah setiap undangan, atau pun panggilan kepada orang lain untuk berkumpul. Sebagai ungkapan kesyukuran dan kegembiraan yang terjadi seperti pernikahan, khitan dan lainnya.
Jadi walaupun kata walimah lebih dikenal sebagai perayaan untuk sebuah pernikahan akan tetapi boleh digunakan untuk perayaan lainnya.
Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa jenis walimah yang perlu kita ketahui bersama:

  1. Walimatun nikah, yaitu hidangan ketika pernikahan.
  2. Walimatul khurs, yaitu hidangan ketika wanita bebas dari nifas (melahirkan anaknya).
  3. Aqiqah, yaitu hidangan berupa hewan yang disembilih pada hari ketujuh dari kelahiran.
  4. Wakirah, yaitu hidangan atau hewan yang disembilih atas pembangunan bangunan baru.
  5. Wadhimah, yaitu hidangan yang diberikan kepada ahlil mayyit oleh mereka yang berta’ziyah.
  6. Walimatun naqi’ah, yaitu undangan atas kehadiran musafir (perjalanan jauh dan lama).
  7.  Al-‘Aziz, yaitu hidangan ketika acara khitan.
  8. Ma’dabah, yaitu hidangan yang dibuat tanpa penyebab khusus. Untuk mencari pahala semata.
  9. Haziqah, yaitu hidangan yang dibuat ketika ada yang khatam al-qur’an. Atau khatam hafalannya.
  10. Al-qura, yaitu hidangan untuk tamu.
  11. Fara’ dan ‘Atirah, yaitu sembelihan pada bulan rajab pada masa jahiliyah yang kemudian diperbolehkan oleh Rasulullah lewat hadits, ”Sembelihlah ternak kalian untuk Allah di bulan apa saja” (HR. Ahmad).

Waallahu A’lam bisshawab.

Berhutang Untuk Menikah

Assalamu alaikum wr.wb. Saya mau bertanya: Apa hukumnya berhutang bank untuk biaya pernikahan? Karena saya dan pasangan saya ingin menyegerakan pernikahan, untuk menghindari terjadinya hal yang tidak diinginkan. Mohon pencerahanya! Terima kasih. Wassallam.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pada dasarnya nikah adalah bagian dari ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Pasalnya, ia adalah sarana yang suci untuk menjaga kehormatan, memiliki keturunan, dan membentuk bagian terkecil dari sebuah komunitas islam.
Karena itu, segala sesuatu yang dikorbankan untuk mengantar kepada pernikahan akan mendapatkan balasan yang besar dari Allah Swt. Termasuk nafkah yang dikeluarkan untuk pernikahan tersebut.
Rasul saw bersabda, “Ada dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah, dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu. Yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana kalau nafkah dan biaya pernikahan tersebut didapat dari hasil meminjam?
Meminjam dalam rangka untuk menikah dengan prediksi dan kondisi bahwa insya Allah ia mampu mengembalikannya, hal itu tidaklah dilarang. Bahkan ia termasuk yang layak mendapat bantuan Allah Swt.
Rasul saw bersabda, “Ada tiga orang yang berhak Allah tolong: (1) orang yang berjuang di jalan Allah; (2) budak yang ingin menebus dirinya agar merdeka; (3) orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatan.” (HR at-Tirmidzi)
Hanya saja pinjaman tersebut tidak boleh berupa pinjaman yang bersifat ribawi. Jika ia mengandung riba entah dari bank atau perorangan, jelas dilarang. Sebab, Allah telah mengharamkan riba (Di antaranya lihat QS al-Baqarah: 275).
Transaksi ribawi selain mendatangkan dosa juga akan mencabut keberkahan. Karena itu, jangan sampai pernikahan yang suci dirusak oleh sesuatu yang mengandung dosa dan melenyapkan keberkahan. Karena itu, hendaknya Anda mencari jalan keluar yang baik, halal, dan diberkahi oleh Allah Swt. Entah dengan meminta bantuan dari para dermawan atau dengan pinjaman tanpa bunga (riba).
Jika tidak ada, hendaknya bersabar dengan terus berusaha dan menjaga ketakwaan kepada Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, pasti Allah berikan jalan keluar dan Allah beri rizki dari arah yang tak ia sangka...”(QS ath-Thaha: 2-3).
Selanjutnya sertai semua itu dengan berpuasa. Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa yang mampu menikah di antara kalian, hendaknya ia menikah. Sebab, pernikahan lebih bisa membuat penglihatan terjaga, dan kehormatan terpelihara. Jika tidak mampu menikah, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa merupakan tameng.” (HR Bukhari dan Muslim).
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Rujuk Setelah Khuluk

Assalamualaikum pak ustad, saya mau tanya tentang rujuk.nama saya anna saya tinggal di jakarta, sudah setahun setengah saya dan suami pisah rumah dan kami juga sudah bercerai, namun suami tidak pernah menceraikan saya, melainkan keluarga yang menginginkan perceraian kami. Dan sekarang kami, saya dan suami ingin kembali membina rumah tangga lagi. Mohon jawaban dari pak ustad apabila kami ingin rujuk apakah harus menikah ulang? Suami tidak pernah menceraikan saya, tetapi saya yang menggugat cerai suami dan kami sudah resmi bercerai. Terima kasih dan mohon penjelasannya pak ustad. Wassalamualaikum
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Dari keterangan yang Anda berikan di atas yang kami pahami bahwa suami tidak menceraikan; tetapi isteri yang menggugat cerai. Jika wali hakim (pengadilan agama) sudah memutuskan dan mensahkan gugatan cerai isteri berarti khulu’ telah sah. Lalu bagaimana cara untuk rujuk kembali?
Dalam hal ini, karena khulu posisinya sama dengan talak bain sughra maka untuk rujuk kembali harus dengan nikah ulang. Yaitu dengan ijab kabul disertai dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.
Semoga Allah memberikan kepada Anda keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dengan menjadikan pengalaman di masa lalu sebagai pelajaran berharga dan lebih mendekat kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Tidak Mampu Tapi Ingin Menikah, Bolehkah?

Assalamu’alaikum.
Saya Dewi 20 tahun. Saya mau tanya, saya mau menikah. Tapi calon suami saya bisa di bilang orang tidak mampu. Begitupun juga saya. Dia sudah niat menikahi saya. Dia usaha sampai berhutang buat menikahi saya. Yang ingin saya tanyakan bagaimana hal itu dalam pandangan islam? Yang saya takutkan awal kami mau menikah sudah berhutang. Takutnya penikahannya nanti jadi nya buruk. Katanya sebaik-baik pernikahan itu pernikahan yg paling mudah. Mohon di jawab ya, saya perlu sekali jawaban nya, terima kasih banyak.
Wasalamualaikum wr.wb
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Terkait dengan orang yang ingin menikah namun kondisinya secara materi tidak mampu, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa orang yang tergolong fakir boleh menikah dan hendaknya dibantu untuk dinikahkan. Alasannya Rasul saw pernah menikahkan sahabat dengan mahar hafalan Alquran karena ia tidak memiliki harta. Alasan lainnya karena Allah befirman, “Jika mereka fakir, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka.” (QS an-Nur: 32).
Menurut Ibn Abbas ra, ayat ini merupakan perintah Allah untuk menikah serta memerintahkan para wali untuk menikahkan orang merdeka dan budak mereka dengan menjanjikan kecukupan di dalamnya.” Bahkan berdasarkan ayat tersebut Ibn Mas’ud ra berkata, “Carilah kecukupan (kekayaan) dengan lewat cara menikah!.”
Di samping itu Nabi saw bersabda, “Ada tiga orang yang Allah jamin akan dibantu. Di antaranya orang menikah yang ingin menjaga kehormatan.” (HR an-Nasai).
Pendapat kedua bahwa orang fakir yang tidak mampu menikah, hendaknya tidak memaksakan diri untuk menikah. Pasalnya Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu atas ba’ah, hendaknya ia menikah…
Menurut pendapat yang kuat maksud dari ba’ah di sini adalah mahar dan nafkah keluarga. Sebab, sesudahnya Nabi saw menegaskan bahwa yang tidak mampu hendaknya berpuasa. Jadi yang ingin menikah namun tidak mampu hendaknya berpuasa sebab puasa lebih bisa mengendalikan dan menjaga kehormatan.
Selain itu, Rasul saw pernah tidak memberikan rekomendasi kepada Fatimah untuk menikah dengan orang yang ingin meminangnya dengan alasan, “Orang itu miskin tidak punya harta.” Jadi ternyata kemampuan memberi nafkah juga menjadi pertimbangan.
Dengan melihat pada kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa idealnya seseorang yang hendak menikah memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah keluarga yang memang menjadi kewajibannya. Namun jika tidak mampu hendaknya bersabar dengan terus berusaha seraya berpuasa dan berdoa.
Akan tetapi, jika ia sangat mengkhawatirkan kondisi dirinya yang tidak mampu mengendalikan gejolak nafsu dan khawatir jatuh kepada yang haram, maka dalam kondisi demikian ia boleh menikah dengan meminta bantuan dari orang atau lembaga tertentu, atau bisa pula dengan berhutang.
Dengan harapan bahwa pernikahannya yang didasari oleh niat baik itu akan membuka pintu-pintu rezeki dari Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan beri jalan keluar padanya dan Allah beri rezeki dari tempat yang tak terduga.” Juga “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah mudahkan urusannya.” (QS ath-Thalaq 3 dan 4).
Hanya saja itu dengan catatan bahwa isteri mengetahui dan ridha dengan kondisi suaminya serta siap bersabar menghadapi berbagai kondisi yang ada pasca pernikahan mereka.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini