by Danu Wijaya danuw | Nov 4, 2016 | Artikel, Dakwah
Nabi Ibrahim as satu-satunya manusia disebut “Ummah”. Dimulainya dakwah dengan gagah. Sebagai pemuda, dipenggalnya semua patung berhala.
Tetapi dakwah bukan hanya soal mengalahkan argumentasi. Dakwah muda yanv berunsur ‘kekerasan’ dibalas parah berupa dibakar.
Dakwah jika harus debat, pilih orang yang tepat yaitu raja atau pemimpin. Bukan lagi jelata yang suka amuk tanpa logika. Ibrahim as berharap hujjahnya bisa mengajaknya.
Namun dakwah bukan hanya soal memenangkan argumentasi. Raja Namrudz yang takjub pada kecerdasannya, tak turut, dia diusir.
Kita belajar, dakwah lebih pada soal memenangkan hati. Jika jiwa takluk didepan akhlak, akal akan bergerilya sendiri mencari dalil.
Ibrahim tak kenal henti. Dia datangi penyembah benda langit dan mentari. Berbaur dengan mereka, dengan sikap dakwah yang makin dewasa.
Menurut koreksi Al Qurthubi, bahwa pertemuannya dengan para penyembah bintang, bulan, matahari bukanlah kisah Ibrahim mencari Tuhan seperti yang diceritakan saat ini. Di kitab Al-Jami’, Al Qurthubi menjelaskan metode dakwah Ibrahim yang makin lembut namun menyentakkan (softly but deadly).
Berhasil menginsyafkan penyembah bintang, bulan, dan mentari. Lalu Ibrahim yang telah menikah bergerak ke Mesir. Tantangan baru menanti.
Raja Mesir suka ambil wanita sembarangan. Dengan kondisi tersebut, Sarah istri Ibrahim diakuinya sebagai saudari olehnya, agar tak ikut diambil.
Dalam masyarakat Mesir saat itu, istri lebih rendah posisinya. Istri bisa dijual, diperbudak. Bukti lain betapa wanita di Mesir setara budak, adalah dihadiahkan Hajar kepada Ibrahim.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Sep 14, 2016 | Artikel, Dakwah
Hakim berkata kepada Sayyid Quthb: “Engkau dituduh telah melakukan upaya pembunuhan terhadap Jamal Abdul Naser (presiden Mesir yang zalim kala itu).”
Sayyid Quthb menjawab: “Membunuh Jamal Abdul Naser adalah tujuan yang sangat sepele, dan itu bukan tujuan kami. Tapi kami berusaha untuk membentuk generasi yang tidak akan melahirkan individu seperti Jamal Abdul Naser.”
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 7, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum ustad. Saya mempunyai seorang saudara perempuan yang telah berusia 45 tahun. dia adalah seorang guru besar di Fakultas Kedokteran pada sebuah Universitas. Apa hukumnya jika ia hendak menghadiri seminar-seminar tanpa didampingi oleh mahramnya? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhinya sehingga dia dapat berpergian tanpa mahramnya dan tidak berdosa karenanya?
Jawaban:
Kaidah umum menyatakan bahwa seorang perempuan yang berpergian wajib ditemani oleh seorang mahramnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرْأَةُ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja sebagian ulama membolehkan perempuan untuk berpergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Adiy bin Hatim r.a bahwa Nabi saw bersabda kepadanya:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
“Jika kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hirah (wilayah Irak) hingga (Makkah) berthawaf di sekeliling ka’bah. Dia tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ، حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
“Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hirah hingga ia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ditemani seorang pun.”
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri diatas menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya rasa aman selama perjalanan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pendapat ini karena adanya kelapangan dan kemudahan di dalamnya. tapi bagaimanapun juga seorang wanita harus mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya jika ia telah bersuami atau dari walinya jika belum bersuami.
Maka, berdasarkan pertanyaan diatas, saudara perempuan anda boleh berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya jika dia yakin keamanannya terjamin selama perjalanan.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
by Syahrul syahrul | Feb 5, 2016 | Fatwa
Bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah permasalahan khilaf (diperselisihkan) di dalam fiqh Islam ;
Sebagian besar ‘ulama mengharamkan perbuatan tersebut, kecuali para ‘ulama dari kalangan hanafiyah dan hanabilah yang membolehkan bersalaman dengan wanita tua yang sudah sepuh : karena sudah di anggap aman dari fitnah.
Adapun dalil sebagian besar ‘Ulama yang mengharamkannya adalah :
- Perkataan Aisyah ummul mukminin radhiallahu ‘anha “ Tidak pernah sama sekali tangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyentuh tangan wanita” (H.R. Muttafaqun ‘alaihi)
- Hadits Mu’qil bin Yasar Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sungguh ditusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan pasak dari besi lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya” (Diriwayatkan oleh Ar-Tauyani di dalam musnadnya dan At-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir).
Sedangkan dalil para ‘ulama yang membolehkannya adalah ;
- Bahwa ‘umar bin khatab Radhiallahu ‘anhu pernah bersalaman dengan wanita di saat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menahan diri dari bersalaman dengan wanita ketika berbai’at kepada beliau, sehingga tidak bersalaman dengan wanita yang bukan mahram adalah kekhususan bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Dan Abu bakar Ash-shiddiq Radhiyallahu ‘anhu juga pernah bersalaman dengan wanita yang sudah sepuh ketika masa kekhalifahannya.
- Sebuah Hadits yang di riwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menjadikan Ummu Haram Radhiyallahu ‘anha membersihkan rambut kepala beliau.
- Dan juga dari riwayat Bukhari bahwa Aba Musa Al-‘Asy’ari Rahiyallahu ‘anhu pernah menjadikan seorang wanita dari kalalangan Al-‘Asy’ariyyin sebagai pembersih rambut kepalanya sedangkan beliau dalam kedaan ihram haji.
Sebagai bantahan atas pendapat dari jumhur, mereka mengatakan bahwa hadits Ma’qil bin Yasar yang di pakai oleh jumhur ‘ulama di atas adalah dha’if, karena terdapat Syidad bin Sa’id yang jalur periwayatannya lemah. Redaksi hadits ini juga hanya diriwayatkan olehnya secara marfu’.
Walaupun demikian, ia bisa jadi pegangan seandainya tidak ada hadits lain yang memiliki redaksi yang berbeda dengannya. Pada kenyataannya, Basyir bin ‘Uqbah –beliau adalah di antara yang meriwayatkan hadits shahih- meriwayatkan hadits ini dengan redaksi yang berbeda.
Diriwayatkan dari Ibni Abi Syaibah di dalam kitab “Mushannif” dari jalur Basyir bin ‘Uqbah dari Abi Al-‘Ala’, dari Mu’qil dengan hadits Mauquf dengan lafadz : “Seandainya salah seorang di antara kalian menusukkan jarum hingga menancap di kepalaku, hal itu lebih aku senangi daripada ada seorang wanita yang bukan mahram mencuci/membasuh kepalaku”.
Dengan demikian, terkait dengan kasus ini, diperbolehkan untuk mengikuti ‘ulama yang membolehkan bersalaman dengan wanita.
Namun demikian, keluar dari perbedaan (untk memilih sikap yang tidak diperdebatkan) adalah lebih utama.
Adapun yang berkaitan dengan apakah bersalaman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram membatalkan wudhu’ atau tidak juga termasuk permasalahan khilaf di dalam Fiqh Islam.
- Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa hal tersebut membatalkan wudhu’ walaupun tidak disertai dengan syahwat.
- Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bersentuhan tidak membatalkan wudhu’ walaupun dengan syahwat.
- Sedangkan Imam Malik membedakan antara kedua hal tersebut, jika bersentuhan dengan syahwat maka membatalkan wudhu’. Dan jika tanpa syahwat, maka tidak membatalkan wudhu’. Di dalam mazhab ( Imam Malik) ada juga riwayat lain yang menjelaskan pendapat-pendapat yang berbeda, sebagaimana juga riwayat dari Imam Ahmad yang semuanya telah dijelaskan beserta dalilnya di berbagai macam kitab fiqh.
Kaidah-kaidah yang telah diakui oleh syari’at di dalam permasalahan khilafiyah :
- Bahwasanya yang wajib diingkari adalah kesalahan yang telah disepakati kemungkarannya, bukan yang diperselisihkan.
- Bagi yang jatuh dalam permasalahan khilaf, dia boleh mengikuti pendapat yang membolehkannya.
- Keluar dari permasalahan khilaf adalah lebih utama.
Adapun pandangan seorang laki-laki terhadap wanita yang bukan mahramnya, berdasarkan pendapat dari berbagai ‘Ulama Fiqh hanya di bolehkan melihat wajahnya dan kedua telapak tangannya saja. Imam Abu Hanifah menambahkan kedua kakinya tanpa di ikuti oleh syahwat dan terhindar dari fitnah.
Ini menunjukkan bahwa bentuk perintah menundukkan pandangan yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak bersifat mutlak, berbeda dengan perintah menjaga kemaluan yang bersifat mutlak.
Az-Zamahsyari di dalam sebuah kitabnya “Al-Kasyaf” menafsirkan Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang berbunyi :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ Artinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya……..” (QS. An-Nur : 30) ;
Bahwa Kata “مِنْ/dari” yang terdapat pada kalimat “ﻏﺾ ﺍﻟﺒﺼﺮ/Menundukkan pandangan” yang mana kata tersebut tidak terdapat pada kalimat “ﺣﻔﻆ ﺍﻟﻔﺮﺝ/menjaga kemaluan” menunjukkan bahwa perkara “pandangan” memiliki cakupan yang lebih luas.
Bukankah seorang yang mahram tidak mengapa jika dilihat rambutnya, betisnya dan kakinya, demikian juga budak-budak yang diperjual-belikan?
Adapun wanita yang bukan mahram hanya boleh dilihat wajahnya, kedua telapak tangannya dan kedua kakinya pada riwayat yang lain. Sedangkan yang berkaitan dengan “kemaluan” cakupannya sempit.
Perbedaan dua hal diatas dapat disimpulkan, bahwa diperbolehkan memandang sesuatu kecuali terhadap apa yang telah di larang, dan dilarang melakukan jima’ (berhungan intim) kecuali terhadap apa yang telah di bolehkan.
Maka selain daripada wajah, kedua telapak tangan, dan kedua kaki dari wanita yang bukan mahram dilarang dilihat kecuali dalam keadaan darurat seperti untuk pengobatan, dan lain-lain yang sejenis dengannya. Wallahu subhanahu wa ta’ala ‘a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 4614
Tanggal : 13/01/2011
Penerjemah : Syahrul
by Syahrul syahrul | Feb 3, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum ustadz, apa hukum menjadikan bacaan Al-Qur’an dan suara adzan sebagai nada dering HP (Hand Phone) ?
Jawaban :
Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Rasul yang paling mulia dan sebaik-baik makhluk-Nya, yaitu Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Kita telah di perintahkan untuk memuliakan dan mengagungkannya (Al-Qur’an), serta melakukan interaksi yang baik dengannya (Al-Qur’an) dengan cara yang berbeda antara interaksi kita dengan yang lainnya; di antaranya adalah tidak boleh menyentuh mushaf (Al-Qur’an) kecuali orang yang suci dari hadats kecil dan besar, sebagaimana Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia,pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), tidak ada menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al-Waaqi’ah : 77 – 79).
Demikian juga tidak boleh meletakkan kitab-kitab atau buku-buku yang lain di atasnya (Al-Qur’an), karena Al-Qur’an itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Keutamaan Kalam Allah dari seluruh kalam lainnya sama seperti keutamaan Allah di atas makhluk-Nya.
Oleh karena itu, tidaklah pantas dan bukan termasuk adab yang mulia menjadikan Al-Qur’an sebagai nada dering Hand Phone (HP); sebab ia memiliki kedudukan yang suci dan posisi yang mulia sehingga ia tidak boleh diperlakukan seperti itu. “Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu adalah bagian dari Ketakwaan hati” (QS. Al-Hajj : 32)
Menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai nada dering HP adalah salah satu bentuk mempermainkan kesucian Al-Qur’an. Padahal ia diturunkan oleh Allah Subhanahu wata’ala untuk dijadikan sebagai zikir dan ibadah dengan membacanya, bukan menggunakannya pada sesuatu hal yang merendahkan kedudukannya yang mulia dan diluar aturan syar’iat.
Kita di perintahkan untuk mentadabburinya dan memahami makna-makna yang terkandung di dalam setiap lafadz nya. Menjadikan ayat-ayat Al-Quran sebagai nada dering HP merupakan sebuah pergeseran dari makna syar’i kepada makna yang lain, yang mana hal ini dapat melalaikan seseorang dari mentadabburinya (ayat-ayat Al-Qur’an) sehingga lebih perhatian pada yang lain yaitu menjawab panggilan telepon.
Selain itu juga, ia dapat menjadikan ayat Al-Qur’an terpotong atau terputus baik dari lafadznya maupun maknanya – bahkan terkadang juga dapat membolak-baliknya – ketika menghentikan bacaan ayat suci Al-Qur’an demi mengangkat panggilan masuk.
Demikian juga halnya dengan suara adzan, tidaklah pantas bila ia dijadikan sebagai nada dering HP; karena azan di syari’atkan sebagai pemberitahuan masuknya waktu shalat. Ketika dia digunakan sebagai nada dering HP, maka akan menyebabkan kerancuan dan menimbulkan dugaan akan masuknya waktu shalat. Dengan begitu, berarti ia telah menggunakannya bukan pada tempat yang semestinya.
Sebaiknya dia menggantinya dengan nasyid-nasyid yang Islami atau puji-pujian kepada Nabi yang sesuai dengan lamanya waktu nada dering HP, sedangkan untuk firman Allah (Al-Qur’an), harus ada perlakuan khusus yang sesuai dengan kesuciannya. Wallahu Ta’ala ‘alam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 3715
Tgl: 26/05/2008
Penerjemah: Syahrul
Editor Ahli: Fahmi Bahreisy, Lc