by Danu Wijaya danuw | Sep 18, 2018 | Artikel, Dakwah
Puasa tasu’ah adalah puasa sunnah yang dilakukan pada hari ke-9 muharram. Sedangkan puasa ‘asyura adalah puasa sunnah pada hari ke-10 bulan Muharam.
Imam Nawawi rahimahullah berkata bahwa bulan Muharram adalah bulan yang paling afdhol untuk berpuasa. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 50.
Didalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi membawakan hadits yang berkenaan dengan keutamaan dan anjuran puasa sunnah pada bulan Muharram, yaitu puasa Tasu’ah (9 Muharram) dan puasa Asyura (10 Muharram).
Keutamaan Puasa Asyura
عن أبي قتادة رَضِيَ اللَّهُ عَنهُ أن رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّم سئل عن صيام يوم عاشوراء فقال: ((يكفر السنة الماضية)) رَوَاهُ مُسلِمٌ.
Dari Abu Qatadah – radhiyallahu ‘anhu -, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ditanya tentang puasa hari ‘Asyura.
Beliau menjawab, “(Puasa tersebut) Menghapuskan dosa satu tahun yang lalu”. (HR. Muslim)
Anjuran Puasa Tasu’ah
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan ada yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)– kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Tujuan Tidak Menyerupai (Tasyabbuh) dengan Yahudi
Kenapa sebaiknya menambahkan dengan hari kesembilan untuk berpuasa?
Kata Imam Nawawi rahimahullah, para ulama berkata bahwa maksudnya adalah untuk menyelisihi orang Yahudi yang cuma berpuasa tanggal 10 Muharram saja. Itulah yang ditunjukkan dalam hadits di atas. Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 14.
Lebih Berhak Muslim Dibanding Yahudi
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Madinah, beliau melihat bahwa orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Beliau pun bertanya kepada mereka tentang hal tersebut. Maka orang-orang Yahudi tersebut menjawab, “Hari ini adalah hari dimana Allah telah menyelamatkan Musa dan kaumnya, serta celakanya Fir’aun serta pengikutnya. Maka dari itu kami berpuasa sebagai rasa syukur kepada Allah”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Kami lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling berhak terhadap Nabi Musa daripada orang-orang Yahudi tersebut, dikarenakan mereka kafir terhadap Nabi Musa, Nabi Isa dan Muhammad.
Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa ‘Asyura dan memerintahkan manusia untuk berpuasa pula pada hari tersebut.
Beliau juga memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi yang hanya berpuasa pada hari ‘Asyura, dengan berpuasa pada hari kesembilan atau hari kesebelas beriringan dengan puasa pada hari kesepuluh (‘Asyura), atau ketiga-tiganya.
Tiga keadaan Menjalani Puasa Asyura
Oleh karena itu sebagian ulama seperti Ibnul Qayyim dan yang selain beliau menyebutkan bahwa puasa ‘Asyura terbagi menjadi tiga keadaan:
- Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan Tasu’ah (9 Muharram), ini yang paling afdhal.
- Berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram) dan tanggal 11 Muharram, ini kurang pahalanya daripada yang pertama. Biasanya karena terlewat Tasu’ah (9 Muharram).
- Berpuasa pada hari ‘Asyura saja, sebagian ulama memakruhkannya, karena Rasulullah memerintahkan untuk menyelisihi Yahudi. Namun sebagian ulama yang lain memberi keringanan (tidak menganggapnya makruh).
Wallahu a’lam bish shawab.
Sumber : Syarh Riyadhis Shalihin
Karya : Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Darus Salam
by Danu Wijaya danuw | Aug 23, 2018 | Artikel, Dakwah
Hari Tasyriq adalah hari penuh kemuliaan bagi umat Islam yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, pada hari itu jamaah haji sedang melaksanakan ritual melempar jumrah, dan hari dimana umat Islam di seluruh dunia tengah sibuk menyembelih hewan kurban.
Tidak boleh berpuasa pada hari tasyriq menurut kebanyakan pendapat ulama. Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَيَّامُ التَّشْرِيقِ أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ
“Hari-hari tasyriq adalah hari makan dan minum.” (H.R. Muslim)
Imam An Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”.
An Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha. Hari tasyriq tersebut dimasukkan dalam hari ‘ied. Hukum yang berlaku pada hari ‘ied juga berlaku mayoritasnya pada hari tasyriq, seperti hari tasyriq memiliki kesamaan dalam waktu pelaksanaan penyembelihan qurban, diharamkannya puasa dan dianjurkan untuk bertakbir ketika itu.”
Hari tasyriq disebutkan tasyriq (yang artinya: terbit) karena daging qurban dijemur dan disebar ketika itu.
Imam Malik, Al Auza’i, Ishaq, dan Imam Asy Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan bahwa boleh berpuasa pada hari tasyriq pada orang yang tamattu’ jika ia tidak memperoleh al hadyu (tidak dapat menyembelih qurban).
Namun untuk selain mereka tetap tidak diperbolehkan untuk berpuasa ketika itu. Dalil dari pendapat ini adalah sebuah hadits dalam Shahih Al Bukhari dari Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah, mereka mengatakan,
لَمْ يُرَخَّصْ فِى أَيَّامِ التَّشْرِيقِ أَنْ يُصَمْنَ ، إِلاَّ لِمَنْ لَمْ يَجِدِ الْهَدْىَ
“Pada hari tasyriq tidak diberi keringanan untuk berpuasa kecuali bagi orang yang tidak mendapat al hadyu ketika itu.” (H.R. Bukhari)
Hari Tasyrik disebut dengan hari makan dan minum, juga dzikir kepada Allah. Hal ini pertanda bahwa makan dan minum di hari raya seperti ini dapat menolong kita untuk berdzikir dan melakukan ketaatan pada-Nya.
Sebaik-baik hati adalah yang sering berdzikir dan bersyukur. Dengan demikian nikmat-nikmat tersebut akan menjadi sempurna.
by Danu Wijaya danuw | Aug 21, 2018 | Artikel, Dakwah
Puasa Arafah adalah puasa yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah. Puasa Arafah dinamakan demikian, karena biasanya saat itu jamaah haji sedang wukuf di bawah terik matahari di padang Arafah.
Puasa Arafah ini hukumnya sunnah muakkadah, dianjurkan bagi mereka yang tidak berhaji. Sedangkan bagi orang yang sedang berhaji, tidak disyariatkan puasa ini.
Mengenai keutamaan puasa Arafah disebutkan dalam hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Puasa Arafah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (HR. Muslim).
Ini menunjukkan bahwa puasa Arafah adalah di antara jalan untuk mendapatkan pengampunan di hari Arafah. Hanya sehari puasa, bisa mendapatkan pengampunan dosa untuk dua tahun. Luar biasa fadhilahnya …
Hari Arafah pun merupakan waktu mustajabnya do’a sebagaimana disebutkan dalam hadits,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِى لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ
“Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah. Dan sebaik-baik yang kuucapkan, begitu pula diucapkan oleh para Nabi sebelumku adalah ucapan “Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli sya-in qodiir
(Tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya segala kerajaan, segala pujian dan Allah yang menguasai segala sesuatu)” (HR. Tirmidzi, hasan).
Mengenai hari Arafah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
“Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah hari Arafah. Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hari Arafah adalah hari pembebasan dari api neraka. Pada hari itu, Allah akan membebaskan siapa saja yang sedang wukuf di Arafah dan penduduk negeri kaum muslimin yang tidak melaksanakan wukuf.”
“Oleh karena itu, sehari setelah hari Arafah –yaitu hari Idul Adha- adalah hari ‘ied bagi kaum muslimin di seluruh dunia. Baik yang melaksanakan haji dan yang tidak melaksanakannya sama-sama akan mendapatkan pembebasan dari api neraka dan ampunan pada hari Arofah.” (Lathoif Al Ma’arif, 482)
Semoga kita termasuk orang yang dimudahkan oleh Allah untuk melakukan puasa tersebut dan meraih keutamaan di dalamnya.
Oleh : Ustad M Abduh Tuasikal/RemajaIslam
by Danu Wijaya danuw | Aug 19, 2018 | Artikel, Dakwah
JAKARTA — Puasa Arafah merupakan puasa sunah yang dilaksanakan pada hari Arafah. Puasa Arafah dilakukan pada 9 Dzulhijah dan biasanya bertepatan dengan berlangsungnya wukuf di Arafah oleh jamaah haji.
Manfaat puasa Arafah menghapus dosa setahun
Dalam hadist riwayat Muslim no 1.162 disebutkan Rasulullah SAW bersabda:
“Bahwa puasa Arafah (9 Dzulhijjah) dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang.”
Puasa Arafah hanya disunahkan bagi umat Rasulullah yang tidak berwukuf saat haji. Sedangkan orang yang sedang berwukuf tidak dianjurkan untuk melakukan puasa Arafah.
Pertanyaan Perbedaan Waktu Puasa Arafah
Namun bagaimana jika ada perbedaan waktu antara 9 Dzulhijjah di Indonesia dengan waktu Arab Saudi wukuf di Arafah?
Mengenai argumentasi mengapa kita berbeda dengan Arab Saudi, secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Dalam ilmu falak, penanggalan Hijriyah (berbasis perputaran rembulan), memang negeri-negeri yang berada di sebelah barat berpotensi “lebih dulu” melihat hilal.
2. Sejak semula, istilah hari ‘Arafah itu adalah tanggal 9 Dzulhijjah, baik ada yang wukuf ataupun tidak.
3. Perintah puasa ‘Arafah adalah terkait dengan hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) bukan puasa karena adanya wuquf di ‘Arafah.
4. Puasa ‘Arafah sudah disyariatkan sejak tahun ke 2 Hijriyah, sedang ibadah haji (wuquf di ‘Arafah) baru disyariatkan pada tahun ke 9 Hijriyah.
Jadi selama 7 tahun, kaum muslimin puasa ‘Arafah tanpa memperhatikan adanya wuquf di ‘Arafah.
5. Fakta ilmiah falakiyyah menunjukkan, bahwa negeri-negeri muslim terbagi dalam 2 wilayah mathla’ (tempat munculnya hilal) yang terkadang berbarengan terkadang berbeda.
Demikian juga perbedaan waktu antara satu negeri muslim di wilayah barat dengan negeri muslim di wilayah timur ada yang terpaut sampai 12 jam.
Karena itu, kalau shalat dan buka puasanya berdasar waktu di negeri masing-masing, lalu kenapa kalau berhari raya harus ikut Arab Saudi?
6. Fakta historis, bahwa selama berabad-abad, kaum muslimin di dunia melaksanakan puasa ‘Arafah (bahkan Ramadan) berpatokan pada penanggalan negara masing-masing.
7. Tidak ada dalil yang membedakan antara ketentuan ru’yat Idul Fitri dengan Idul Adha, misalnya kalau Idul Fitri boleh berdasar ru’yat negeri masing2, sedang kalau Idul Adha harus berdasar ru’yat Arab Saudi sebagai tuan rumah ibadah haji.
Menurut Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama sekaligus Ketua Tim Falakiyah, Juraidi, puasa sunah Arafah bukan puasa wukuf.
Umat Islam sebaiknya fokus saja pada waktu 9 Dzulhijjah seperti yang dituliskan dalam hadist.
“Sebelum ada wukuf, sudah ada puasa sunah Arafah. Andai wukuf tidak bisa dilaksanakan oleh jamaah haji karena keadaan tertentu, maka puasa sunah Arafah tetap berlaku,” kata dia dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (14/8).
Juraidi mengatakan betapa hebat dan universalnya hadits Rasul yang menyebutkan shaum yaum ‘arafah bukan yaumu wukuf.
Karena puasa hari wukuf hanya bagi mereka yang satu waktu mathla'(tempat terbit) dengan Makkah, Arab Saudi saja yang bisa melaksanakannya.
Tapi karena haditsnya Yaumu Arafah, yaitu 9 Dzulhijjah, maka di belahan dunia mana pun umat Islam berada bisa melakukannya sesuai yang ditetapkan oleh pemerintah negaranya (wilayatul-hukmi) sesuai mathla’-nya,” katanya.
Selamat berpuasa Arafah.
Sumber : Republika/ Kemenag/ PersatuanMasjidIndonesia
by Sharia Consulting Center scc | Jul 7, 2018 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sharia Consulting Center
Abu Ayyub Al-Anshari Ra meriwayatkan, Nabi Saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمّ أتْبَعَهُ سِتَا مِنْ شَوّالَ كان كصيام الدّهْرَ
“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan, lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Filosofi pahala puasa enam hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat. Di antaranya :
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib.
Ia berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan. Sebab, pada hari kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi Saw di berbagai riwayat.
Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Maka, hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan.
Sebab, apabila Allah Ta’ala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya.
Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.”
Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan, kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya. Jika seseorang melakukan suatu kebaikan, lalu diikuti dengan yang buruk, maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan -sebagaimana disebutkan di muka- dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lalu.
Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari raya ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
5. Di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini selama ia masih hidup.
Orang yang setelah Ramadhan berpuasa bagaikan orang yang cepat-cepat kembali dari pelariannya, yakni orang yang baru lari dari peperangan fi sabilillah lantas kembali lagi. Tidak sedikit manusia yang berbahagia dengan berlalunya Ramadhan, sebab mereka merasa berat, jenuh, dan lama berpuasa Ramadhan.
Barangsiapa merasa demikian maka sulit baginya untuk bersegera kembali melaksanakan puasa. Padahal, orang yang bersegera kembali melaksanakan puasa setelah Idul Fitri merupakan bukti kecintaannya terhadap ibadah puasa. Ia tidak merasa bosan dan berat apalagi benci.
Seorang Ulama salaf ditanya tentang kaum yang bersungguh-sungguh dalam ibadahnya pada bulan Ramadhan, tetapi jika Ramadhan berlalu mereka tidak bersungguh-sungguh lagi, beliau berkomentar: “Seburuk-buruk kaum adalah yang tidak mengenal Allah secara benar, kecuali di bulan Ramadhan saja, padahal orang shalih adalah yang beribadah dengan sungguh-sunggguh di sepanjang tahun.”
Oleh karena itu sebaiknya orang yang memiliki hutang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan hutang. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal. Dengan demikian, ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada bulan Ramadhan adalah disyari’atkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat. Di antaranya, ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, sebagai sebab dihapusnya dosa, dilipatgandakannya pahala kebaikan, dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan. Shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi Saw, segenap keluarga, dan sahabatnya.
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center