0878 8077 4762 [email protected]

Musafir, Manakah yang lebih Utama : Puasa atau Tidak?

Oleh : Sayyid Sabiq
Abu Hanifah, Syafi’i, dan Malik berpendapat bahwa berpuasa lebih utama bagi yang kuat melakukannya, sedangkan berbuka lebih utama bagi orang yang tidak kuat berpuasa. Ahmad berpendapat bahwa berbuka lebih utama. Umar bin Abdul Aziz berpendapat bahwa yang lebih utama adalah yang lebih mudah. Jika ia kesulitan dalam mengqadha dan lebih mudah jika berpuasa di hari-hari Ramadhan, maka ia lebih baik berpuasa.
Syaukani berpendapat, jika berpuasa akan memberatkannya atau membahayakan keselamatannya, maka tidak berpuasa lebih baik baginya. Begitu juga dengan orang yang menolak menerima rukhshah, tidak berpuasa lebih baik baginya. Demikian juga dengan orang yang khawatir akan merasa ujub atau riya jika berpuasa saat musafir, maka ia lebih baik tidak puasa. Namun, jika semua hal di atas bisa dihindari, maka ia lebih baik berpuasa.
Jika seorang musafir meniatkan puasa di malam hari, lalu pagi harinya ia sudah mulai puasa, tidak mengapa jika setelah itu ia membatalkan puasanya. Jabir bin Abdullah ra. menyebutkan bahwa Rasulullah saw. pergi ke Mekah pada saat Penaklukan Mekah. Beliau berpuasa hingga tiba ke dekat lembah  Ghamime (sebuah lembah dekat perkampungan Asfan) dan orang-orang pun ikut berpuasa. Lalu ada yang berkata kepada Nabi,
Orang-orang keberatan jika harus meneruskan puasa. Mereka menunggu apa yang akan engkau lakukan.” Maka Nabi saw. meminta segelas air, lalu meminumnya. Ini terjadi setelah ashar. Melihat Nabi membatalkan puasanya, ada yang ikut membatalkan puasa mereka dan ada yang melanjutkan puasa mereka. Ketika Nabi mendengar bahwa ada yang masih berpuasa, beliau bersabda, “Mereka itu para pembangkang.” (H.R. Muslim, Nasa’i, dan Tirmidzi) Tirmidzi menshahihkan riwayat ini.
Adapun jika berniat puasa saat mukim, lalu melakukan perjalanan (musafir) di siang hari, maka jumhur ulama berpendapat, “Ia tidak boleh membatalkan puasanya.”
Sementara itu, Ahmad dan Ishaq membolehkannya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, bahwa Muhammad bin Ka’ab meriwayatkan, “Pada bulan Ramadhan, aku datang kepada Anas bin Malik yang hendak musafir. Kendaraannya telah siap, dan ia juga telah mengenakan pakaian musafir. Ia minta disediakan makanan, lalu ia makan. Aku bertanya kepadanya, ‘Apakah ini sunah?’ Ia menjawab, ‘Ya’ Kemudian ia menaiki kendaraannya.
Ubaid bin Jubair menceritakan, “Di suatu bulan Ramadhan, aku berlayar dengan sebuah kapal bersama Abu Bashrah Al-Ghifari dari kota Fustot (Mesir kuno). Ia mengemudikan perahu layarnya. Kemudian ia mendekatkan makan siangnya. Ia berkata,
Mendekatlah.’ Aku bertanya, ‘ Bukankah engkau masih berada di perkampungan?’ Abu Basrah menjawab, ‘Apakah engkau membenci ajaran Rasulullah saw.?'” (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) Sanadnya terdiri dari orang-orang yang terpercaya.
Syaukani berkata, “Kedua hadits di atas menegaskan bahwa seorang musafir diperbolehkan membatalkan puasanya sebelum keluar dari kampungnya. Ibnu Arabi berkata, “Hadits Anas di atas shahih, yang berarti boleh membatalkan puasa bagi orang yang benar-benar sudah siap berangkat melakukan perjalanan jauh.’ Inilah pendapat yang benar.”
Perjalanan jauh (safar) yang diperbolehkan tidak puasa adalah safar yang diperbolehkan shalat qashar. Begitu juga jangka waktu dibolehkannya tidak puasa adalah sama dengan jangka waktu dibolehkannya shalat qashar.
Mansur Al-Kalbi meriwayatkan bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan, Dihyah bin Khalifah berpergian dari sebuah kampung di Damaskus. Jarak tempuh perjalanannya sama dengan jarak antara Fustot ke Uqbah (kurang lebih satu farsakh). Saat itu, ia membatalkan puasanya. Sebagian rombongan ikut membatalkan puasa, namun sebagian yang lain tidak mau membatalkan puasa mereka. Ketika sudah sampai di kampungnya, ia berkata,
Hari ini aku melihat satu perkara. Aku tidak mengira akan melihatnya. Ada sekelompok orang yang tidak suka dengan ajaran Rasulullah dan para sahabatnya.” Ia mengatakannya kepada mereka yang tetap berpuasa. Setelah itu ia berkata, “Ya Allah, kembalikan aku kepada-Mu.” (Semua perawi hadits ini dapat dipercaya, kecuali Manshur Al-Kalbi. Tetapi Al-Ajali menegaskan bahwa ia bisa dipercaya)
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Apakah Kalian Ridha?

Oleh: M. Lili Nur Aulia
 
Ibadah puasa terus ada sampai Allah mengizinkan kepada matahari kehidupan untuk terbenam. Pada saat itu orang-orang yang berpuasa benar-benar berbuka atas suara adzan yang bergema, dikumandangkan oleh malaikat Allah Yang Maha Tinggi, sedang dia menyampaikan kabar gembira kepada mereka orang-orang yang berpuasa,
Dan bergembiralah dengan surga yang dijanjikan kepada kalian.” (QS. Fushilat: 30).
Mereka kelak mendapatkan hidangan berbuka dari Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Pengampun,
Di tempat yang disenangi di sisi (Rabb) Yang Maha Berkuasa.” (QS. Al Qamar: 55)
Allah menyeru mereka dengan kelembutanNya, dengan rahmat-Nya dan dengan kasih sayangNya: apakah kalian ridha (puas)?
Alangkah indahnya bila kita membangun rencana dalam puasa yang unik ini. Yaitu puasa khususnya khusus ..
Puasanya orang yang ingin dijauhkan dari neraka
Puasanya orang yang ingin mendapatkan ridha Tuhannya ..
Puasanya orang yang ingin mengalahkan derajat orang yang mati syahid ..
Puasanya orang yang ingin berdekatan dengan orang tercinta Muhammad SAW di surga ..
Puasanya orang yang ingin memuliakan tamu (Ramadhan) yang lama ditunggunya.
Setelah ini, sebisa mungkin segeralah tidur lebih awal untuk menyempurnakan program di waktu sahur. Waktu nuzul rabbani (turunnya Tuhan), pada saat Anda berada di tempat bersama malaikat.
(Baca juga: Panggilan Nabawi)
Sumber:
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia

Manfaat Puasa

Oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
 
Sebagai seorang mukmin kita meyakini bahwa setiap perintah atau larangan dari Allah dan Rasul-Nya, pasti mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia. Tidak ada satupun aturan dari Allah kecuali didalamnya terdapat kemashlahatan bagi manusia, termasuk ibadah puasa.
Sebagian manusia beranggapan bahwa tak ada manfaat dari ibadah puasa. Persepsi semacam ini tidak lain disebabkan oleh kedangkalan iman dan ketidakfahaman mereka terhadap syariat Allah.
Kita sebagai orang yang beriman, tidak dituntut untuk mencari tahu hikmah atau manfaat dari sebuah ibadah yang telah Allah tetapkan bagi kita. Yang dituntut oleh Allah adalah pelaksanaan ibadah tersebut secara sempurna dan benar, baik kita ketahui hikmahnya ataupun tidak.
Ketika kita melaksanakan syari’at Allah dengan baik dan benar, maka secara otomatis manfaat dan hikmah dari ibadah tersebut akan kita rasakan sendiri. Namun, alangkah baiknya juga jika kita bisa mengetahui hikmah dari ibadah yang kita laksanakan, sebab hal itu akan menambah semangat kita dalam beribadah.
Dalam ibadah puasa, banyak sekali hikmah dan manfaat yang bisa didapatkan oleh orang yang melaksanakannya. Diantaranya ialah bahwa puasa mendidik kita untuk bersikap ikhlas dalam setiap aktivitas yang kita lakukan. Puasa adalah ibadah yang bersifat rahasia antara kita dengan Allah. Tidak ada yang mengetahui apakah seseorang benar-benar berpuasa kecuali kita dan Allah.
Maka dari itu, tatkala ada seseorang yang menjaga dirinya untuk tidak makan dan minum, serta menjaga diri untuk tidak berhubungan suami istri di siang hari, tidak ada yang ia harapkan kecuali ridha dan pahala dari Allah. Oleh karena itu, dalam sebuah hadits Qudis disebutkan, “Puasa adalah untukku, dan aku yang akan memberikan secara langsung pahalanya”.
Ibadah puasa juga dapat membersihkan diri kita dari dosa-dosa yang telah kita lakukan dan dapat melipatgandakan pahala ibadah kita. Sebagaimana dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berpuasa di bulan suci ramadhan, maka dosa-dosanya satu tahun yang lalu akan diampuni oleh Allah”  (HR. Bukhari).
(Baca juga: 4 Kiat Sukses Ramadhan)
Dalam hadits yang lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Amal manusia ditampilkan pada hari senin dan kamis. Oleh karena itu, aku ingin amalku ditampilkan oleh Allah dalam kondisi aku sedang berpuasa”.
Para ulama mengomentari hadits ini bahwa ketika kita melakukan sebuah ibadah di saat kita berpuasa, maka hal itu akan menambah pahala dan kedudukan dari ibadah tersebut.
Puasa juga melatih kita untuk mengontrol syahwat dan hawa nafsu kita. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa selain setan ada nafsu yang sering kali membuat manusia melakukan perbuatan yang menyimpang dari aturan Allah. Larangan untuk berhubungan intim di siang hari dan ancaman akan gugurnya pahala puasa bagi mereka yang tidak menjaga lisan dan sikapnya, hal ini dapat mengekang hawa nafsu dan syahwat. Ia akan menjadi kontrol agar tidak mendorong manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang buruk.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah perisai, maka ia tidak boleh berkata kotor dan tidak boleh bersikap bodoh. Jika ada seseorang yang mencela dan memusuhinya, maka katakan ‘saya sedang berpuasa’” (HR. Bukhari).
Selain itu ibadah puasa juga dapat menumbuhkan sikap disiplin dalam beribadah dan mengatur waktu. Dalam berpuasa kita dituntut untuk bangun sebelum shubuh untuk makan sahur dan mulai tidak makan dan minum saat adzan shubuh berkumandang. Kemudian kita baru diperbolehkan untuk makan dan minum ketika waktu maghrib sudah masuk.
Ini merupakan sebuah tarbiyah dari Allah agar kita terbiasa hidup disiplin dalam beribadah. Terlebih lagi ibadah puasa membutuhkan fisik yang fit di siang hari, sehingga tubuh kita memerlukan istirahat yang cukup. Hal ini membuat tidur kita lebih teratur demi lancarnya puasa yang kita lakukan.
Puasa juga mendidik kita untuk menjadi manusia yang sosial, peka terhadap sesama, dan perhatian terhadap hubungan silaturrahim. Anjuran untuk memberikan ifthar (ta’jil) dalam berpuasa dan rasa lapar dan haus yang kita rasakan saat berpuasa, ini semua merupakan sebuah tarbiyah dari Allah agar kita menjadi manusia yang peduli terhadap kondisi sesama dan mempererat hubungan silaturrahim dan ukhuwah diantara umat Islam.
Manfaat lainnya ialah dari sisi kesehatan, bahwa dalam banyak penelitian yang telah dilakukan oleh ahli kesehatan dan kedokteran menyebutkan bahwa puasa memberikan dampak positif terhadap kesehatan. Orang yang terbiasa berpuasa memiliki tingkat kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak berpuasa. Apalagi jika kita mengikuti tata cara Rasulullah dalam mengkonsumsi makanan yang dimakan pada saat sahur dan berbuka.
Inilah beberapa manfaat yang dapat menjadi tambahan motivasi bagi kita untuk melaksanakan ibadah puasa. Tentu saja, masih banyak manfaat yang lainnya yang tak dapat kita ketahui. Namun, yang lebih penting dari itu adalah kita melaksanakan puasa dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, agar tujuan dari puasa, yaitu menjadi insan yang bertaqwa, dapat kita raih.
Wallahu a’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 375 – 3 Juni 2016. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan. Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah. Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!