by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 12, 2016 | Artikel
Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
Kita tidak akan membahas dan menganalisa dua definisi diatas. Yang menjadi fokus kita ialah kalimat, “Cara dalam beragama yang dibuat-buat…” Dengan demikian, sebuah perbuatan termasuk dalam perbuatan bid’ah manakala orang yang melakukannya menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah bagian dari ibadah (agama) yang tak terpisahkan, walaupun sebenarnya ia bukanlah bagian darinya. Inilah inti dari bid’ah dan titik utama dilaranganya perbuatan bid’ah. Adapun dalil yang memperkuat penjelasan diatas ialah sabda Rasulullah saw “Barang siapa yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak.”
Yang dimaksud dengan “urusan kami” ialah dalam perkara agama. Begitu pula sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thahawi, “Ada enam hal, jika aku laknat mereka maka Allah juga akan melaknat mereka, dan semua para Nabi akan diterima permintaannya; Orang yang menambahkan perkara agama, orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang congkak dan diktator yang menghina orang yang Allah muliakan dan membela orang yang dihinakan oleh-Nya, orang yang meninggalkan sunnahku, orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh-Nya.”
Dari hadits diatas, sudah jelas bahwa sebab tertolaknya perbuatan bid’ah ialah bahwa seorang mubtadi’ (orang yang melakukan bid’ah), memasukkan sebuah amal yang diluar bagian dari agama menjadi salah satu bagian darinya. Semua bentuk penambahan dan perubahan dalam syari’ah adalah perbuatan yang dilarang, karena satu-satunya pemilik aturan hanyalah Allah SWT. Contohnya sangat banyak, diantaranya ialah penambahan shalat yang diluar dari ketentuan syariat, baik itu shalat wajib ataupun shalat sunnah, berpuasa pada hari tertentu karena ada keutamaan pada hari itu padahal tidak ada keterangannya dalam Al-Qur`an atau Sunnah, mengkhususkan satu makanan saja untuk dikonsumsi sebagai bentuk sikap zuhud, dll.
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada anggapan bahwa hal itu adalah bagian dari agama atau ibadah, dan ia tujukan untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan, baik duniawi atau pun ukhrawi, maka ia bukanlah perbuatan bid’ah walaupun ia adalah hal yang baru. Ia bisa masuk dalam kategori sunnah hasanah atau sunnah sayyi`ah sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam agama Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang memberi contoh perbuatan buruk, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka.”
Amalan yang termasuk dalam sunnah hasanah sangatlah banyak, diantaranya ialah perayaan maulid Nabi dan momen keislaman lainnya yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Tentu saja perayaan tersebut harus bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemudharatan dan menghalangi terwujudnya kemaslahatan. Perayaan-perayaan tersebut bukanlah bagian dari bid’ah, sebab orang yang mengamalkannya tidak menganggap bahwa perayaan tersebut bagian dari prinsip agama, sehingga kalaupun tidak dirayakan ia tidak akan mendapatkan dosa karenanya.
Ia hanyalah sebuah kegiatan kemasyarakatan dengan harapan dapat mewujudkan sebuah kebaikan bagi agama. Selain itu, perayaan tersebut juga bukan bagian dari sunnah sayyi`ah, dengan catatan perayaan tersebut tidak bercampur kemaksiatan atau perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah. Apabila dalam perayaan tersebut terdapat kemaksiatan, maka jangan menilai bahwa perayaannya yang haram, akan tetapi kemaksiatan itulah yang haram. Betapa banyak dzikir yang diamalkan oleh seseorang yang disertai dengan pelanggaran. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa dzikir itulah yang tidak syar’i dan haram?
Memang betul, bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh masyarakat dimana di dalamnya ada pembacaan sirah kehidupan Nabi Muhammad saw adalah sebuah perkara yang baru muncul setelah masa kenabian. Bahkan, ia baru muncul pada permulaan abad ke-6 Hijriyah. Akan tetapi, apakah dengan sebatas itu ia dinamakan sebagai perbuatan bid’ah dan termasuk dalam hadits, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak”? Kalau memang seperti itu, maka buanglah jauh-jauh semua perkara baru setelah era Rasulullah saw sebab itu semua adalah bid’ah. Yang lebih aneh lagi adalah banyak diantara kita yang melakukan muktamar, seminar, forum pertemuan keislaman, dll tanpa ada anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah. Tidak ada perbedaan antara muktamar dengan perayaan momen keislaman.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengingkari perkara yang baru seperti disebut diatas. Perkara tersebut bisa diterima dan bisa ditolak dilihat dari tujuan dan cara yang dilakukannya. Ia bagaikan air yang mana warnanya dapat berubah-ubah sesuai dengan warna dari wadah yang ia tempati.
Dan pada akhirnya, saya ingin katakan seandainya kita salah dalam memahami makna bid’ah, dan makna yang benar dari bid’ah ialah semua perkara yang baru walaupun ia bukan bagian dari prinsip agama, sebagaimana yang difahami oleh saudara kita yang lain, maka permasalahan ini adalah bagian dari ijtihad. Diantara adab dalam melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, bahwa yang wajib untuk diingkari adalah sebuah kemungkaran yang telah disepakati secara bersama-sama, bukan pada sebuah kemungkaran yang masih diperselisihkan dan termasuk dalam masalah ijtihadiyah.
Sebab hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan diantara kaum muslimin dan akan meruntuhkan persatuan umat Islam. Di sekeliling kita masih banyak kemungkaran yang nyata yang harus kita bersihkan. Tidak sepantasnya kita berpaling darinya dan memerangi permasalahan yang diperselisishkan. Dan diantara kemungkaran yang nyata yang harus kita lawan adalah kemungkaran yang ada dalam diri kaum muslimin berupa permusuhan dan rasa benci diantara mereka. Ini adalah sebuah bencana dan musibah yang besar yang harus kita perangi agar kita bisa bangkit dari keterpurukan.
Barang siapa yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mulailah dari dalam diri kita sendiri agar kita memiliki benteng yang kokoh untuk menghadapi musuh kita bersama. Benteng yang kokoh itu dibangun atas landasan keikhlasan kepada Allah SWT semata. Ikhlas adalah kunci utama yang dapat menghilangkan segala bentuk perasaan egois dan fanatisme kelompok. Jika kita menang terhadap diri kita, maka kita akan bisa memenangkan agama ini hanya untuk Allah semata. *akhir
Sumber: Kitab Al Islaam Malaadz kulli Mujtama’ al Insaniyyah.
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 8, 2016 | Artikel
Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
Dari segi istilah bid’ah adalah sebuah perbuatan sesat yang wajib untuk dijauhi dan dihindari. Tidak ada perbedaan dan keraguan menganai hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami (agama), maka ia akan tertolak.” Begitu juga hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur`an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang dibuat-buat, dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”
Akan tetapi, apa maksud dari bid’ah? Apakah maksud dari kata bid’ah dilihat dari segi bahasa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehingga semua hal-hal yang baru yang muncul dalam kehidupan manusia dan belum pernah dilakukan dan belum dikenal oleh Rasulullah saw dan para sahabat disebut dengan bid’ah? Jika demikian, maka seluruh kaum muslimin dari bagian barat dunia hingga ke ujung timur berada dalam kesesatan yang tak bisa mereka hindari. Sebab, mereka tenggelam dalam lautan perbuata bid’ah dalam setiap perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan. Bangunan rumah mereka termasuk bid’ah, perlengkapan rumah mereka bid’ah, makanan mereka juga bid’ah, busana mereka juga bid’ah, dan semua kegiatan dan acara yang mereka lakukan adalah bagian dari pebuatan bid’ah yang sesat!
Jika demikian, tidak hanya kaum muslimin di masa sekarang ini yang jatuh ke dalam kesesatan tersebut, akan tetapi ia juga menimpa pada generasi para sahabat hingga datangnya hari kiamat. Pasalnya, kehidupan setelah masa Rasulullah saw akan terus mengalami perubahan dan pembaharuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Mereka tidak dapat mengendalikan arus perubahan kehidupan dan mempertahankannya hanya dalam satu bentuk dan satu metode saja. Bahkan, kehidupan singkat yang dialami oleh Rasulullah saw bersama dengan para sahabat telah mereka lalui dengan berbagai macam hal-hal yang baru. Hanya saja para sahabat mendapat karunia yang besar dimana mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Beliau menerima realita baru dalam kehidupan ini tanpa ada perasaan risih dan tidak nyaman dengan hal itu. Betapa banyak ‘urf (kebiasaan) baru yang beliau temukan namun tetap ia terima. Betapa banyak metode dan cara yang baru yang muncul dalam kehidupan para sahabat, namun tetap ia akui bahkan didukung olehnya. Tentunya, setelah beliau melihat bahwa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan hukum Islam. Terlebih lagi jika hal itu dapat mempermudah jalan dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan dari sini para ulama menetapkan sebuah kaidah, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.” Para ulama dari kalangan Hanafiyah dan lainnya juga menetapkan bahwa al-‘urf –dengan syarat-syarat tertentu- adalah salah satu sumber penetapan hukum syari’ah yang tidak boleh disepelekan.
Dengan demikian, maksud dari bid’ah tidak ditinjau dari segi bahasa. Saya juga belum pernah mendapatkan salah seorang ulama dan fuqaha yang memaknai bid’ah secara bahasa. Maka itu, makna bid’ah yang benar ialah dilihat dari istilah syar’i. Lantas apa makna bid’ah secara istilah syar’i?
Ada banyak definisi terkait dengan makna bid’ah. Semuanya memiliki makna yang sama walaupun redaksi dan kalimat yang dipergunakan berbeda-beda. Namun, saya akan memilih dua definisi yang ditegaskan oleh Imam as-Syathibi di dalam kitab al-I’tisham. Hal ini dikarenakan dua faktor; yang pertama karena Imam Syathibi dianggap ulama yang berada di garis terdepan yang membahas mengenai masalah ini dengan analisa dan penjelasan yang rinci. Dan yang kedua, karena ia adalah salah satu ulama yang paling memusuhi perkara bid’ah dan sangat berhati-hati akan hal itu.
Definisi yang pertama dari bid’ah ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah dengan maksud berlebih-berlebihan dalam beribadah kepada Allah azza wa jalla.”
Definisi kedua ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah, yang mana hal itu ia lakukan dengan tujuan yang sama dengan tujuan dari pelaksanaan syari’ah.”
Imam Syathibi memaknai bid’ah dengan dua definisi diatas dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang hanya membatasi makna bid’ah pada ibadah saja. Sebagian ulama yang lain memaknai secara umum mencakup semua jenis amal dan dan perbuatan tidak hanya ibadah, walaupun pada akhirnya beliau lebih cenderung memaknai bid’ah terbatas pada ibadah saja, baik itu terkait dengan ibadah hati yaitu akidah atau ibadah berupa amal yang terlihat yang mencakup ibadah-ibadah lainnya. *bersambung
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 26, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Cukuplah satu firman Allah yang suci menjadi dalil atas janji-Nya tersebut, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya, dimana beliau memberikan nasihat kepada Khabbab bin Arb.
Pada saat itu ia datang kepada Rasulullah SAW dalam kondisi ia baru saja mendapatkan siksaan hingga membuatnya hampir mati. Lalu ia menyingkapkan badannya yang terkena api dan berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah kau berdo’a agar Allah menolong kita.?” Rasulullah SAW menjawab ucapannya, “Sesungguhnya kaum sebelum kalian, mereka rambutnya disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dan yang tersisa hanya tulangnya saja. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya. Allah pasti akan memberikan kemenangan, hingga pada saatnya nanti seseorang yang berkendara dari San’a ke Hadramaut tidak akan merasa ketakutan kecuali hanya kepada Allah saja.”
Apa makna perkataan Rasulullah SAW diatas? Ini adalah sebuah penegasan, bahwa jika engkau mengeluhkan siksaan dan ujian di jalan dakwah, maka ketahuilah bahwa begitulah jalan dakwah yang sebenarnya. Ia adalah Sunnatullah yang telah Ia tetapkan kepada seluruh hamba-Nya. Ujian dan rintangan yang kau hadapi dengan sabar dan ridha, hanyalah sebuah jembatan menuju sebuah kemenangan.
Namun, mungkin ada yang bertanya, apakah ini berarti bahwa kita boleh meminta kepada Allah agar Ia mengirimkan berbagai macam ujian dan cobaan kepada kita? Atau dengan kata lain, bolehkah kita mengharapkan datangnya ujian dan siksaan di saat kita berdakwah di jalan-Nya?
Jawabannya dengan tegas tidak boleh. Pasalnya, Allah-lah yang mengetahui kemampuan kita dalam menerima ujian dari-Nya. Ia hanya menginginkan bukti dari keimanan dan ketundukan kita kepada-Nya, melalui berbagai macam ujian dan cobaan. Allah juga hanya ingin menyadarkan kita, bahwa semua manusia kedudukannya adalah hamba kepada-Nya.
Inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW disaat beliau diusir dari Thaif, beliau bermunajat kepada Allah seraya mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada-Nya, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, minimnya kemampuanku, dan hinanya aku di mata manusia.Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan bagi hamba-hamba yang lemah, dan Engkau adalah Tuhanku.”
Ini adalah sebuah ikrar dari beliau bahwa ia hanyalah seorang hamba yang lemah dihadapan Allah SWT. Ini bukanlah sebuah keluhan dan kegelisahan yang beliau utarakan kepada Allah, sebab di dalam lanjutan munajatnya, beliau berkata, “Sekiranya Engkau tidak murka kepadaku, maka aku ridha (tidak peduli terhadap apa yang menimpa)…… dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan memberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, Aku berlindung dari murka-Mu dan kemarahan-Mu.”
Inilah dua poros utama dari sikap menghamba kepada Allah, yaitu: Ridha atau pasrah atas takdir-Nya, dan selalu berlindung dan bersandar kepada-Nya. Dan kedua-duanya tidaklah saling bertentangan. Menyadari kelemahan dan kehinaan dihadapan-Nya adalah sebuah sikap menghamba kepada-Nya, dan berdoa memohon bantuan kepada-Nya juga sebuah bentuk ubudiyyah kepada-Nya.
Rasulullah tidak pernah meminta agar ditimpakan kepadanya cobaan dan siksaan yang berat, bahkan di saat ia merasa lemah dan tidak mampu, ia langsung berlindung kepada-Nya agar diberikan kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Di sisi lain, ia tetap bersabar dan ridha menjalani tantangan dakwah ini.
Dan begitulah, seorang mukmin yang jujur dengan keimanannya. Ia akan ridha terhadap ujian dan cobaan yang ia hadapi. Terlebih lagi jika hal itu dalam rangka mewujudkan tujuan yang mulia, yaitu membangun sebuah masyarakat dan komunitas muslim yang shaleh dan sesuai dengan syariat Islam.
Wahai saudaraku, Rasulullah SAW telah mengalami siksaan dan ujian yang begitu pedih. Namun, beliau memberikan keteladanan kepada kita bagaimana menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Beliau benar-benar menepati janji dari risalah yang telah Allah tugaskan kepadanya. Dan sekarang, apakah kita sudah siap melanjutkan tugas dari Rasulullah SAW? Apakah kita sudah berada di jalan yang telah ditempuh olehnya? Sudahkah kita meneladani beliau dalam menjalankan misi dakwah Islam ini? Simpanlah jawaban tersebut untuk kau sampaikan nanti di hadapan Allah SWT.
Allahul musta’an, ni’mal mawla wa ni’man nashiir.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 22, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!