by Danu Wijaya danuw | Jan 10, 2016 | Konsultasi Ibadah
Assalamu’alaikum. Redaksi al Iman yg saya cintai. Saya mau tanya, ketika imam baca al fatihah makmum menjawab amin, tapi ada yang menjawab dengan doa robbi firli wali walidaya amiin. Yang benar yang mana. Terima kasih.
Jawaban :
Wa’alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh
Semoga Allah SWT senantiasa mencurahkan keberkahan-Nya kepada saudara dan keluarga.
Tidak ada hadist yang shahih tentang bacaan doa setelah mengucapkan amin dalam shalat jamaah. Apabila seseorang ingin berdoa dengan doa tersebut, ia bisa berdoa tatkala sujud atau tatkala sebelum salam.
Terkait dengan masalah ini, ada dua hadist yang bisa kita jadikan acuan:
Pertama: Sabda Rasulullah SAW, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” (HR Bukhari) Tata cara shalat kita hendaklah sesuai dengan yang Rasulullah SAW lakukan.
Kedua: Sabda Rasulullah SAW, “Saat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika sujud. Maka, perbanyaklah doa.” (HR Muslim) Kita diperbolehkan berdoa dan memperbanyak doa tatkala sujud.
Wallahu a’lam
Ustadz Abdul Rochim, Lc
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 9, 2016 | Artikel
Oleh: Fauzi Bahreisy
Ada seorang anak yang agak emosional. Menanggapi hal itu, sang ayah memberinya sekantung paku seraya berkata kepadanya, “Palu paku ini ke tembok taman setiap kali engkau emosi dan amat marah”.
Pada hari pertama si anak memalu 37 paku. Pada pekan berikutnya si anak belajar bagaimana cara mengontrol diri. Jumlah paku yang dipalu setiap hari berkurang. Dari sana si anak dapat belajar dengan mudah bagaimana cara mengontrol diri; lebih mudah daripada memalu paku ke tembok taman.
Akhirnya tibalah hari yang di dalamnya si anak tidak memalu satupun paku di tembok taman. Pada saat itu ia langsung memberitahu ayahnya bahwa ia tidak lagi perlu memalu paku.
Namun si ayah berujar, “Sekarang, copot satu paku pada setiap hari yang kau lewati tanpa marah.”
Beberapa hari berlalu. Akhirnya si anak memberitahu ayahnya bahwa ia telah berhasil mencopot semua paku yang terdapat di tembok.
Kemudian si ayah membawa anaknya ke tembok tadi. Ia berkata kepadanya, “Wahai anakku, engkau telah melakukan dengan baik. Akan tetapi, lihat lubang-lubang yang kau tinggalkan di tembok. Tembok itu tidak akan kembali seperti semula. Ketika terjadi konflik atau perselisihan antara dirimu dan orang lain lalu engkau mengeluarkan kata-kata buruk di saat marah, sebenarnya engkau telah meninggalkan luka di hati mereka sama seperti lubang yang kau lihat ini.”
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 9, 2016 | Fatwa
Alhamdulillah, asshalatu wassalaamu ala Rasulillah.
Menurut madzhab Syafii dan Maliki, melakukan qunut pada saat shalat shubuh adalah sunnah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik r.a.
مَا زَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِي الْفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Rasulullah SAW senantiasa melakukan qunut pada saat shalat shubuh hingga ia meninggal dunia.” (HR. Ahmad).
Imam Nawawi mengomentari hadits ini dalam kitab “al-Khulashah” bahwa hadits ini shahih. Sebagian besar ahli hadits juga meriwayatkan hadits ini dan mereka juga mengatakan bahwa ia adalah hadits yang shahih.
Diantaranya ialah Imam al-Hakim di kitab “al-Mustadrak”, begitu juga Imam Baihaqi di beberapa kitabnya, serta al-‘Allamah al-Mu’allami di dalam kitab ‘at-Tankiil”. Qunut dalam shalat shubuh juga dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan para salaf.
Imam Nawawi berkata, “Ketahuilah, bahwa qunut adalah ibadah yang disyari’atkan pada shalat shubuh. Ia termasuk sunnah muakkadah, namun jika tidak dilakukan shalatnya tidak batal, akan tetapi ia harus melakukan sujud sahwi, baik karena disengaja ataupun lupa.” (Kitab al-Adzkaar, hal: 59)
Qunut dilakukan pada saat melaksanakan shalat shubuh, pada raka’at kedua setelah ruku’. Adapun menurut madzhab Maliki, ia dilakukan sebelum ruku’.
Namun demikian, kita tidak boleh memungkiri adanya perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebab, ulama dari madzhab Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa qunut tidak ada dalam shalat shubuh.
Oleh karena itu, tidak boleh mengingkari orang yang melakukan qunut ataupun yang tidak melakukannya, walaupun kita lebih condong untuk memilih pendapatnya madzhab Syafi’i, karena dalil-dalilnya lebih kuat.
Selain itu, Imam Malik dan Imam Syafi’i berasal dari hijaz, mereka lebih mengetahui hadits-hadits yang tidak diketahui oleh imam yang lainnya.
Kami juga mengingatkan agar tidak menuduh kaum muslimin lainnya dengan ucapan bid’ah atau sesat, sebab mereka semua berada di atas kebenaran. Mereka juga memiliki keinginan dan berusaha untuk mengikuti Rasulullah saw. Maka dari itu, tidak boleh menyulut api fitnah diantara mereka.
Wallahu a’lam.
Sumber:
Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Judul: Qunut Pada shalat Shubuh adalah bagian dari sunnah.
No Fatwa: 3536
Tanggal: 20-10-2009
Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jan 9, 2016 | Info

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh.
Hadirilah
Kajian Tadabbur Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanah Ayat 8-9. Yang insya Allah akan mengangkat tema:
Hubungan Muslim dan Non Muslim
Bersama dengan:
Ustadz Fauzi Bahreisy
Insya Allah akan diselenggarakan pada:
Ahad, 10 Januari 2015
Pkl. 18.00-19.30 WIB
Bertempat di Majelis Ta’lim Al Iman, Jl. Kebagusan Raya No.66, Jaksel (Belakang Apotik Prima Farma).
Agar semakin bermanfaat, jangan lupa ajak keluarga dan sahabat agar mereka juga bisa merasakan manfaat dari majelis ini.
Terima kasih banyak bagi yang sudah menyebarkan info pengajian ini ke keluarga dan sahabat. Semoga amal yang sederhana ini menjadikan kita bisa masuk surga bareng-bareng.
Wassalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh
by Danu Wijaya danuw | Jan 8, 2016 | Artikel
Oleh : KH. Rahmat Abdullah
Yang dimaksud dengan at tadhiyah (pengorbanan) disini adalah
Pengorbanan jiwa raga, harta, dan waktu serta segala sesuatu dalam rangka mencapai tujuan. Dan tidak ada kata dakwah di dunia ini tanpa adanya rasa pengorbanan. Jangan merasa bahwa pengorbanan akan hilang begitu saja demi meniti jalan fikrah ini. Tapi itu tak lain adalah sebuah ganjaran yang melimpah dan pahala yang besar. Dan barangsiapa yang tak mau berkorban dengan kami, maka ia berdosa. Karena Allah Ta’ala telah menegaskan hal itu dalam banyak ayat Al Qur’an. Dengan memahami ini, maka Anda akan memahami doktrin “Mati di jalan Allah adalah cita-cita kami tertinggi”
(Hasan al Bana)
Ajruki ’ala qadri nashabiki (Ganjaranmu tergantung kadar lelahmu) H.R. Muslim dari Aisyah ra.
Kemauan Berkorban dan Sikap Jujur
Kemauan ini yang berani menantang bahaya dan segala hambatan seperti halnya akar sehat yang menembus tanah keras dan bebatuan. Ketika kaum beriman dihadang berulang kali, yang muncul adalah keberanian dalam merespon tantangan. Dua kali mereka berhasil memukul mundur serangan kafir Quraisy di Badar dan Uhud dalam rentang waktu yang amat singkat. Ternyata masih disusul dengan serangan sekutu yang secara kuantitatif tak seimbang (gabungan Yahudi, Quraisy, Ghathafan, dan Munafiqun).
Iman dan amal shalih digemukkan dengan pengorbanan. Ruh pengorbanan semakin besar bila semakin sedikit tubuh mendapat kenikmatan syahwatnya. Kisah Bal’am adalah sejenis makhluk yang mengikuti syahwat dunia. Berapapun ia diberi, tetaplah ia menjulur bagaikan seekor anjing (Q.S. Al Araf :175). Ia rela mengorbankan kehormatannya sebagai orang berilmu demi dunia yang tak memuaskan dahaga.
Jadi Orang Besar dengan Resiko Besar
Apa jadinya bila Nabi Ibrahim gagal berkorban dengan meninggalkan Istrinya dan anaknya Ismail di lembah tak bertanaman didekat Kabah (Q.S. Ibrahim: 37)? Apa jadinya bila Ismail yang telah remaja menghindari bapaknya agar tak terjadi pengorbanan besar itu (Q.S. Shaad : 102)?
Jelas mereka akan menjadi sosok yang tak pernah punya peran di panggung sejarah, karena sejarah tak pernah mau mengabadikan orang-orang biasa yang perjalanannya datar tanpa tantangan.
Belakangan datang generasi yang tak merasakan lelahnya berkorban di zaman awal Islam, saat muhajirin dan anshar bahu membahu. Mereka tak merasakan pergi meninggalkan tanah air atau disita harta dan dibunuhi keluarga mereka. Mereka tak merasakan diblokade tiga tahun di Syi’b, dan memakan daun perdu yang membuat luka kerongkongan.
Suatu hari datanglah Mush’ab bin Umair ke majelis Rasulullah SAW dengan pakaian tambal sambil mengenang masa-masanya dimanjakan orang tuanya dalam jahiliyah. Beliau diingatkan para sahabat agar menunggu masa jaya Islam.
Para sahabat bertanya : “Bukankah saat nanti kami lebih baik, ketika masa kemenangan dan ketenangan, karena sepenuh waktu beribadah dan tercukupi kebutuhan pokok?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, kamu hari ini lebih baik daripada hari itu.”
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah
Ia adalah langkah kembali yang benar dan jalan menghindari eksploitasi pengorbanan manusia bagi kepentingan Fir’aunisme, Hamanisme, Qarunisme, dan Bal’amnisme. Dan target ini sesungguhnya target dakwah itu sendiri yaitu pembebasan.
Pengorbanan dan Tabiat Dakwah menjadi perlindungan bagi hamba-hamba tak berdaya, membawa uang yang mereka peroleh dengan keringat dan darah bagi monster riba yang kejam dan mati rasa, bagi pemilik modal yang arogan dan sadis, dimangsa para kamera elit yang tak bermalu, pemimpin dengan fanatisme yang dendam dan dusta.
Pengorbanan rakyat yang terus dibodohi oleh para pemimpin berbaju paderi dan kiai, yang memanfaatkan kultus individu dan keyakinan lugu tentang kewalian dan adi kodrati. Padahal sang pemimpin lebih dekat kepada ateisme daripada monotaisme bahkan daripada politeisme sekalipun.
Pengorbanan menjadi shahih bila dapat mengantarkan atau mempersembahkan supremasi tertinggi di tangan Allah dan termuliakannya darah dan nyawa. Karenanya, tertutup semua jalan bagi berjayanya para penipu, pemeras dan kalangan yang memperdayakan mayoritas mengambang.
Kisah pengorbanan umat sebelumnya lebih berat, saat Rasul menceritakan kepada sahabatnya. “Sesungguhnya pada sebelum kamu, ada yang disisir dengan besi yang menancap ke bawah tulang, daging atau syarafnya. Semua itu tak mengalihkan merela dari agama. Sungguh Allah akan sempurnakan urusan ini, sampai seseorang dapat pergi sendirian dari Shan’a ke Hadhramaut tanpa takut kepada siapapun kecuali Allah” (Al Buthy, Fiqh Sirah 106)
Hanya Untuk-Nya
Dalil apapun tak terbuka bagi pengorbanan individu untuk kepentingan figur bagi dirinya sendiri. Justru yang ada melimpahnya teks larangan kultus, dan celaan bagi orang yang senang berdiri menyambut kedatangannya.
Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkunjung ke suatu tempat, rakyat datang dengan sikap merunduk-runduk. Kemudian Ali menasihati “Alangkah ruginya kelelahan yang berujung siksaan. Dan alangkah beruntungnya sikap ringan yang berubah aman bagi mereka”.
Seseorang yang menikmati ketentraman ibadah ritualnya dan melupakan tugas jihad lisan untuk menasihati mencegah kemungkaran di masyarakat ibarat burung unta yang merasa aman karena telah berhasil menyembunyikan kepalanya ke dalam gundukan pasir.
Suatu hari Allah memerintahkan malaikat-Nya untuk menumpahkan adzab kepada penduduk suatu negeri. “Ya Rabbi, disana ada seorang shalih,” lapor malaikat dan sungguh Allah tahu hal itu. “Justru mulailah dari dia, karena tak pernah wajahnya memerah karena-Ku” (ketersinggungan karena kehormatan Allah dihinakan) H.R. Ahmad
Mahar perjuangan yang mahal tidak hanya menjadi tiket menuju kemenangan generasi ta’sis (perintis), tetapi juga bagi generasi sesudahnya. Dan mereka harus membayar dengan pengorbanan yang sama dalam bentuk, format, dan gaya yang berbeda.
Bagi generasi yang tak terdesak oleh jihad tangan (qital) selalu terbuka pengorbanan dengan berbagai jalan : pengorbanan waktu, perasaan, harta, kesenangan diri, dan lain sebagainya.
Mukmin sejati takkan bergembira karena tertinggal dari kesertaan berkorban, betapapun uzur bagi mereka rukhsah (keringanan), namun “Mereka berpaling dengan mata yang basah menangis karena tak menemukan biaya (untuk biaya angkutan perang).” Q.S. At Taubah : 92.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Dakwatuna, KH Rahmat Abdullah