0878 8077 4762 [email protected]

Najis Yang Sudah Kering

Asalamu’alaikum wr.wb. Saya mau bertanya, apakah hukum najis yang sudah kering? Dan apakah najis yang sudah kering itu sudah menjadi suci kembali? Terimakasih atas jawaban nya.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Pada dasarnya najis baru hilang dengan air, entah najis tersebut jatuh dan menempel ke tanah ataupun ke kain, pakaian dan sejenisnya. Cara menghilangkannya adalah dengan menghilangkan unsur atau benda najis tersebut jika masih ada atau membersihkan bagian yang diketahui terkena najis.
Dalam riwayat disebutkan bahwa seorang Arab badui pernah kencing di mesjid yang ketika itu masih berupa tanah. Maka, Nabi saw menyuruh untuk membersihkan dengan menyiramkan seember air padanya (HR Bukhari Muslim).
Ini menunjukkan bahwa bersihnya najis adalah dengan air. Kalaupun sesudah dibersihkan dan dicuci dengan air, bau dan warna dari benda najis tersebut tidak hilang, ia dianggap sudah suci selama benda najisnya sudah hilang.
Rasul saw bersabda, “Cukuplah kau siram dengan air. Kalau masih ada bekasnya tidak apa-apa.” (HR Ahmad).
Jadi sekedar kering tidak menjadikan najis secara otomatis hilang. Memang ada pendapat dari sebagian ulama (di antaranya kalangan Hanafi dan Ibn Taymiyyah) yang mengatakan bahwa tanah, dinding atau pohon yang terkena najis menjadi suci ketika terkena sinar mentari, angin dan mengering.
Menurut Syeikh Ibn Utsaymin hal itu berlaku pada tanah dan sejenisnya ketika najisnya benar-benar hilang. Namun jika najis terdapat pada kain, baju, dan sajadah misalnya, najis tersebut harus dibersihkan dengan air.
Selanjutnya najis yang kering ketika tersentuh kaki dan tangan yang kering, maka ia tidak membuat kaki dan tangan tadi menjadi najis. Ibn Jibrin berkata, “Jika najis yang sudah kering menyentuh badan atau pakaian yang juga kering, maka ia tidak membuat badan dan pakaian tadi bernajis. Sebab najis hanya berpindah jika dalam kondisi masih basah.”
Lalu bagaimana jika najis yang kering bersentuhan dengan benda suci yang basah? apakah benda suci tadi menjadi najis? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Menurut kalangan Maliki dan Hanafi benda suci yang basah tadi tidak menjadi najis. Sebab, ketika kering wujud najisnya telah hilang.
Sementara menurut kalangan Syafii dan Hambali, benda suci tadi menjadi najis. Karena itu untuk kehati-hatian, semua benda atau tempat yang terkena najis hendaknya segera dibersihkan dan disiram air hingga najisnya hilang.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb 
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Demo Kaum Miskin

Oleh: Rasyid Bakhabazy, Lc
 
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa orang-orang faqir dari kaum muhajirin, mendatangi Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Orang orang kaya itu pergi dengan mendapatkan derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi!”
Rasul SAW bertanya : “Apa itu?” Mereka menjawab: “Mereka shalat sebagaimana kami juga bisa shalat, mereka puasa sebagaimana kami juga puasa namun mereka bisa bersedekah dan kami tidak bisa bersedekah, mereka bisa membebaskan budak tapi kami tidak bisa.”
Maka Rasulullah SAW berkata: “(Maukah kalian jika) aku ajarkan pada kalian sebuah amalan yang dengannya kalian bisa menyusul orang yang telah mendahului kalian dan melampaui orang yang sesudah kalian? Dan tidak ada seoarang pun yang lebih baik dari kalian kecuali orang yang melakukan sepertiapa yang kalian kerjakan
Mereka menjawab: “Ya (kami mau) Ya Rasulullah!”. Rasulullah SAW bersabda : “Bertasbihlah dan bertakbirlah dan bertahmidlah setiap selesai shalat sebanyak 33 kali
Maka orang-orang fakir dari muhajirin itu kembali kepada Rasulullah SAW lalu mereka berkata: “Ternyata saudara-saudara kami yang kaya itu mendengar apa yang kami lakukan. Lalu mereka pun melakukannya”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Itulah karunia Allah yang Dia berikan pada siapa yang Dia kehendaki” (HR.Muslim).
Dari hadits diatas terdapat sejumlah pesan yang terkandung di dalamnya, diantaranya ialah
Pertama, hadits diatas menunjukkan adanya kelompok ekonomi lemah pada generasi sahabat Nabi SAW. Padahal mereka adalah sebaik-baik generasi. Seperti yang sebutkan oleh Rasulullah SAW. “Sebaik baik generasi adalah generasiku, kemudian yang sesudahnya, lalu generasi yang sesudahnya“ (Syarhus Sunnah – Al Baghawy).
Hal ini menunjukkan bahwa ukuran baiknya sebuah generasi tidaklah dilihat dari sisi materi. Jika ukuran kebaikan itu dengan materi tentunya Allah SWT akan jadikan semua sahabat Nabi SAW adalah orang-orang yang kaya. Tapi kenyataannya tidak demikian. Karena ukuran kebaikan dan kemuliaan yang sebenarnya adalah ketaqwaan.
Kedua, betapa semangatnya para sahabat Nabi SAW untuk bisa beramal. Sehingga para sahabat yang ekonominya lemah merasa iri pada orang-orang kaya yang mampu bersedekah sementara mereka tidak bisa bersedekah. Allah SWT berfirman “Dan mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infaqkan“ (QS. At Taubah : 92).
Bedanya sahabat nabi dengan orang zaman sekarang adalah para sahabat itu sedih karena tidak bisa bersedekah sementara orang zaman sekarang sedih karena tidak “kebagian” sedekah.
Ketiga, hadits di atas mengisyaratakan besarnya pahala sedekah. Dan inilah yang menggoda para sahabat untuk akhirnya mendatangi Nabi SAW supaya tidak kehilangan pahala besar dari sedekah.
Allah SWT berfirman : “Perumpamaan (sedekah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang mensedekahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah : 261).
Keempat, isyarat akan besarnya pahala dzikir (tasbih, tahmid & takbir). Dalam keterangan hadits disebutkan: (membaca) Alhamdulillah (pahalanya) bisa memenuhi mizan (timbangan amal), dan Subhanallah, Alhamdulillah & Allahu Akbar (pahalanya) bisa mengisi penuh ruang yang ada antara langit dan bumi (HR. Ahmad dari Abi Malik Al Asy’ari ra.).
Kelima, disyari’atkan berdzikir dengan membaca tasbih, tahmid & takbir masing-masing 33 kali setelah selesai shalat. Sementara tentang urutannya adalah bisa dengan tasbih, takbir lalu tahmid seperti yang tersebut dalam hadits diatas, atau tasbih, tahmid lalu takbir seperti yang umum dilakukan. Di dalam hadits disebutkan: “Sebaik-baik bacaan ada empat: Tidak jadi masalah dengan yang mana akan kamu memulainya: Subahanallah (tasbih) wal Hamdulillah (tahmid) wal Laa ilaaha illah (tahlil) wallaahu Akbar (takbir)”. (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Hibban).
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 321 – 30 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Apakah Beristinja Perlu Niat

Kepada bapak ustadz atau ibu ustadzah yang saya muliakan, mohon bantuannya atas pertanyaan saya. yaitu niat istinja? dan doa istinja?, dan apakah boleh dibaca dalam hati saat berada dalam WC.? sekian terimakasih.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Para ulama dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali sepakat bahwa untuk istinja’ tidak perlu ada niat. Jadi tidak ada niat khusus atau tertentu saat akan melakukan istinja.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan: Para fukaha sepakat bahwa membersihkan diri dari najis tidak membutuhkan niat. Niat tidak menjadi syarat bagi kebersihan diri dari najis. Tempat atau titik najis menjadi bersih dengan dicuci tanpa perlu niat.
Sebab, bersih dari najis merupakan bentuk dari “meninggalkan sesuatu”. Karena itu ia tidak membutuhkan niat. Demikian pandangan Maliki, Syafii, dan Hambali.
Lalu, apa perlu membaca basmalah saat akan istinja? Tidak. Pasalnya, tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengajarkan membaca saat basmalah saat istinja. Baik itu dilakukan di dalam ruangan (semacam toilet) atau di luar ruangan. Bahkan secara umum tidak dibenarkan membaca zikir atau doa saat berada di dalam kamar kecil atau toilet.
Yang ada adalah doa saat akan masuk ke kamar kecil, yaitu:
اللهم إني أعوذ بك من الخُبُثِ والخَبَائث»
Sementara saat keluar membaca :
غُفْرانك
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb. 
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Apa Harus Mandi Setiap Keluar Cairan?

Assalammualaikum Wr Wb.
Ustadz, saya mau bertanya, saat ini saya mengalami sakit bila kencing dan dicelana dalam terdapat seperti sperma. Setiap saya mau kencing pasti di celana dalam ada cairan itu sampai sampai saya pakai tissue biar tidak kena celana dalam saya. Yang saya tanyakan apabila saya melakukan shalat hukumnya bagaimana? Najis atau tidak, dan apakah saya harus mandi besar terus? Untuk jawaban yang diberikan saya ucapkan terima kasih.
Wassalammualaikum Wr Wb. Hormat kami
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu, apakah yang keluar benar-benar mani? atau madzi? atau wadi? Sebab ketiganya merupakan cairan (di luar kencing) yang hampir sama dengan sebab berbeda.
Madzi adalah cairan yang keluar saat ada rangsangan akibat melihat, memikirkan, atau menyentuh sesuatu yang kadang keluarnya tidak disadari. Sementara wadi adalah cairan yang keluar bersamaan atau sesudah keluarnya air seni. Keduanya menurut para ulama najis.
Adapun mani keluar dengan syahwat dan perasaan nikmat dengan warna putih kekuningan, agak kental, dan keluar dengan cara memancar. Namun menurut jumhur hukumnya suci; tidak najis.
Jika yang keluar adalah wadi atau madzi, maka yang harus dilakukan adalah membersihkan bekas keduanya dengan memercikkan air atau membasuhnya, lalu berwudhu untuk shalat. Ali ra berkata, “Aku sering mengeluarkan madzi. Maka kusuruh seseorang untuk bertanya kepada Nabi saw karena kedudukan puterinya. Maka orang itupun bertanya. Nabi saw menjawab, ‘Berwudhulah dan basuhlah kemaluanmu!'” (HR al-Bukhari)
Namun jika yang keluar adalah mani, maka yang harus dilakukan adalah mandi. Ini berlaku baik bagi laki-laki maupun wanita. Hal ini sebagaimana bunyi hadist Nabi saw saat beliau ditanya, “Apakah seorang wanita harus mandi jika bermimpi?” Nabi menjawab, “Ya jika melihat air (mani).” (HR Bukhari).
Jadi, keluarnya cairan tidak selalu mengharuskan mandi tergantung pada cairan apa yang keluar.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini