0878 8077 4762 [email protected]

Fiqih Wanita Shalat Tarawih dan I'tikaf

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Wanita Shalat Tarawih di Masjid
Seorang wanita diperbolehkan untuk datang ke masjid, baik untuk shalat tarawih, berdzikir maupun mendengarkan pengajian
Jika kehadirannya tersebut tidak menyebabkan terjadinya fitnah baginya atau bagi orang lain. Hal itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw:
” لا تمنعوا إماء الله مساجد الله” رواه البخاري
Janganlah kalian melarang wanita-wanita untuk mendatangi masjid- masjid Allah” (HR. Bukhari).
Namun demikian, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang diantaranya:

  1. Harus berhijab
  2. Tidak berhias
  3. Tidak memakai parfum
  4. Tidak mengeraskan suara, dan
  5. Tidak menampakkan perhiasan.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw:
“إذا شهدت إحداكن المسجد فلا تمس طيبا” رواه مسلم والنسائي وأحمد عن زينب
Jika salah seorang diantara kalian (para wanita) ingin mendatangi masjid, maka janganlah menyentuh wangi-wangian” (HR. Muslim).
 
“أيما امرأة تطيبت ثم خرجت إلى المسجد لم تقبل لها صلاة حتى تغتسل” رواه ابن ماجة عن أبي هريرة
Wanita manapun yang memakai wangi-wangian, kemudian pergi ke masjid, maka shalatnya tidak diterima sampai ia mandi“.  (HR. Ibnu Majah)
 
Wanita dan I’tikaf
Sebagaimana disunnahkan bagi pria, i’tikaf juga disunnahkan bagi wanita. Sebagaimana istri Rasulullah Saw juga melakukan i’tikaf, tetapi selain syarat-syarat yang disebutkan diatas, maka i’tikaf bagi kaum wanita harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

  1. Mendapatkan persetujuan (ridha) suami atau orang tua. Apabila suami telah mengizinkan istrinya untuk i’tikaf, maka ia tidak  dibolehkan  menarik kembali persetujuan itu.
  2. Agar tempat dan pelaksanaan i’tikaf wanita memenuhi tujuan umum syariat. Kita telah mengetahui bahwa salah satu rukun atau syari’at i’tikaf adalah berdiam di masjid. Untuk kaum wanita, ulama sedikit berbeda pendapat tentang masjid yang dapat dipakai wanita untuk beri’tikaf. Tetapi yang lebih afdhal -wallahu a’lam-  ialah  i’tikaf di masjid (tempat shalat) di rumahnya. Manakala wanita mendapatkan  manfaat dari i’tikaf di masjid umum, tidak masalah bila ia melakukannya.

 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Sunnah, Mubah dan Batalnya I'tikaf

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Hal-hal yang Disunnahkan Saat I’tikaf
Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqarrub kepada Allah Swt, seperti

  1. Shalat sunnah
  2. Membaca Al-Qur’an
  3. Tasbih, tahmid, tahlil, takbir
  4. Istighfar
  5. Shalawat kepada Nabi Saw
  6. Do’a dan sebagainya.

Namun demikian yang menjadi prioritas utama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkosentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.
Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan, diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli. Karenanya dalam  memanfaatkan momentum i’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian keislaman yang mengarahkan para peserta i’tikaf  untuk membersihkan diri dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah i’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dan Rasul-Nya.
Hal-hal yang Diperbolehkan 
Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus. Ada beberapa hal yang diperbolehkan.

  1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar isteri, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Saw terhadap istrinya Shafiyah Radliallahu ‘Anha (HR. Bukhori Muslim).
  2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
  3. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan dan minum (jika tidak ada yang mengantarkan), dan segala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
  4. Makan, minum dan tidur di masjid  dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.

Hal-hal yang Membatalkan I’tikaf

  1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar, karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
  2. Murtad (keluar dari agama Islam)
  3. Hilang akal karena gila atau mabuk
  4. Haidh
  5. Nifas
  6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri), tetapi memegang isteri tanpa nafsu (syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan Nabi dengan isteri-isterinya.
  7. Pergi shalat Jum’at (bagi mereka yang memperbolehkan i’tikaf di mushalla yang tidak dipakai shalat Jum’at).

Semoga pada Ramadhan tahun ini kita dapat menghidupkan kembali sunnah i’tikaf sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal.
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Panduan Ibadah saat Mudik bagian 1

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Islam merupakan agama yang mudah. Perintah dan larangannya  mudah dan sesuai dengan fitrah manusia. Setiap perintah Allah pasti memberikan manfaat kepada manusia jika dilaksanakan. Setiap larangan-Nya pasti memberikan kebaikan bagi mereka, jika ditinggalkan. Tidak ada satu kewajiban atau larangan dalam Islam yang memberatkan manusia. Allah Swt berfirman:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu” (QS Al-Baqarah 185).
Dalam kondisi-kondisi tertentu, Islam memberikan keringanan dalam pelaksanaan ibadah. Bagi orang yang sakit dan musafir (orang dalam berpergian jauh) banyak diberikan kemudahan dalam Islam.
Orang yang sedang melakukan safar (perjalanan), termasuk mudik pulang ke kampung halaman saat lebaran adalah orang yang mendapat rukhsah (keringanan). Di antara kemudahan yang diberikan Islam, yaitu pada saat melaksanakan shalat wajib.
Keringanan shalat saat safar di antaranya dibolehkan mengqashar (mengurangi rakaat shalat) dan menjama (menggabung) shalat dan lain-lain. Rasulullah Saw  bersabda:
إن الله تعالى يحب أن تؤتى رخصه، كما يكره أن تؤتى معصيته
Artinya: “Sesungguhnya Allah suka jika diambil keringanannya sebagaimana benci jika maksiat kepada-Nya” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).
Panduan ibadah bagi musafir (pemudik), terdiri dari :

  1. Shalat berjamaah
  2. Shalat bagi musafir
  3. Adab safar
  4. Doa safar

Dengan panduan ringkas ini kami berharap agar umat Islam yang sedang dalam bepergian dan mudik pulang kampung tetap dapat melaksanakan shalat dengan baik dan memenuhi ibadah lainnya, sehingga mudik yang dilakukannya senantiasa dipenuhi berkah dan rahmat Allah Swt
1. Shalat Jamaah
Shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat dan fardhu ain (kewajiban yang mengikat setiap individu muslim) dalam setiap kondisi. Baik kondisi aman maupun perang, kondisi sehat maupun sakit, kondisi muqim (menetap) maupun safar (bepergian).
Shalat merupakan tiang agama. Bahkan, shalat merupakan tolok ukur perbuatan yang dapat dilihat untuk membedakan seorang muslim atau tidak. Rasulullah Saw bersabda:
بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة
Artinya: ”Batas antara seorang lelaki dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat” (HR Muslim, Abu Dawud, at-tirmidzi dan Ibnu Majah).
العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة، فمن تركها فقد كفر
Artinya: “Janji yang mengikat antara kita dan mereka adalah pada shalat. Siapa yang meninggalkannya maka telah kafir”(HR Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim).
Umat Islam harus memelihara shalatnya dengan senantiasa dilaksanakan secara berjamaah, baik dalam kondisi muqim maupun musafir, aman maupun perang, sehat maupun sakit. Allah Swt berfirman:
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ(238)
Peliharalah segala shalat (mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu`” (QS Al Baqarah 238).
*bersambung
 
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Zakat Fitrah

Oleh : Sharia Consulting Center
 
Definisi
Zakat Fitrah adalah zakat yang disyariatkan dengan berakhirnya bulan Ramadhan sebagai pembersih dari hal-hal yang mengotori shaum, dan santunan yang mencukupi fakir-miskin di hari raya Fitri.
Landasan Hukum
Hadits Rasulullah Saw.:
عن ابن عمر ض قال : فرض رسول الله صلى الله عليه  وسلم زكاة الفطر صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين وأمر بها أن تؤدي بها قبل خروج الناس إلى الصلاة {متفق عليه }
Dari Ibnu Umar ra berkata: “Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah, satu sha kurma atau gandum pada budak, orang merdeka, lelaki, perempuan, anak kecil dan orang dewasa dari umat Islam, dan memerintahkan untuk membayarnya sebelum mereka keluar untuk sholat (‘Ied)” (Mutafaqun alaihi).
Hukum Zakat Fitrah
Zakat Fitrah disyariatkan seiring dengan disyariatkannya shaum Ramadhan pada tahun kedua hijriyah. Status hukumnya pun sama. Yaitu wajib.
Adapun yang dikenai kewajiban adalah setiap muslim/muslimah, baik kaya maupun miskin, aqil baligh maupun tidak, jika yang bersangkutan masih hidup walaupun sesaat pada malam hari raya Fitri, serta mempunyai kelebihan dari kebutuhan primernya untuk sehari semalam Idul Fithri.
Hikmah Zakat Fitrah
Termasuk kebutuhan primer adalah makan, pengobatan yang sakit, kiswatul Ied (pakaian hari raya) jika memang perlu ganti pakaian, juga untuk membayar utang yang tidak dapat ditangguhkan lagi. Bagi yang mempunyai tanggungan wajib mengeluarkan zakat fithrah bagi orang yang dibawah tanggungannya, kecuali orang yang dibawah tanggungannya mampu untuk mengeluarkan sendiri. Maka, status hukumnya menjadi anjuran.
Pihak yang Berhak Menerima (Sasaran) Zakat Fitrah 
Sebagaimana zakat yang lain mereka yang berhak mendapatkan (masharif) zakat fitrah ada 8 (delapan) kelompok, sesuai dengan firman Allah:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ(60)
Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS At-Taubah 60) .
Namun demikian, lebih diutamakan atau diprioritaskan untuk fakir-miskin, supaya mereka dapat merasakan kegembiraan di hari raya. Rasulullah Saw  bersabda:
“فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصيام من اللغو والرفث وطعمة للمساكين،
Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih orang yang berpuasa dari kesalahan dan kerusakan, serta sebagai makanan untuk orang miskin” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Ketentuan Zakat Fitrah
1. Besar  sha’ menurut ukuran sekarang adalah 2176 gram (2,2 Kg). Boleh dan dipandang baik (mustahab) memberi tambahan dari kadar tersebut, jika dimaksudkan untuk kehati-hatian (ikhtiyat) mengenai ekuivalen sha dengan kilogram dan menunjang santunan kepada fakir miskin agar lebih mencukupi dan efektif.
2. Boleh mengeluarkan zakat Fitrah dengan uang jika lebih bernilai guna bagi fakir miskin penerimanya, terlepas apakah lebih memudahkan bagi pihak pembayar zakat atau tidak. Sebagaimana difatwakan oleh para ulama mazhab Hanafi dan ulama modern, juga diriwayatkan dari Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdul Aziz.
3. Untuk kembali ke ashalah dan khuruj anil khilaf (keluar dari khilaf) sangat ditekankan mengeluarkan zakat fithrah dalam bentuk qut (bahan makanan pokok, beras) dan sedapat mungkin dengan kualitas yang terbaik.
4. Sebaiknya zakat fitrah sudah dikeluarkan/dikumpulkan dua hari sebelum hari raya, sebagaimana yang dilakukan sebagian sahabat, di antaranya Ibnu Umar ra. Hal ini jelas akan menunjang realisasi Ighnaul masakin (memberikan kecukupan kepada kaum miskin) pada hari Idul Fithri dan melancarkan penanganannya.
5. Boleh mengeluarkan zakat di-tajil (dipercepat) sejak awal-awal Ramadhan, dan masih boleh/sah mengeluarkannya bada shubuh hari raya, tapi sebelum usai shalat Ied. Jika sesudahnya, maka kedudukannya bergeser dari zakat fithrah yang fardhu menjadi shadaqah sunnah. Ha ini berdasarkan hadits berikut:
فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ *
”Barangsiapa yang membayarnya sebelum shalat, maka itu adalah zakat yang sah, dan barangsiapa membayarnya setelah shalat maka itu adalah sedekah sunnah” (HR Ibnu Majah).
6. Sejalan dengan ketentuan nomor 5, ketika terjadi perbedaan dalam penanggalan akhir Ramadhan atau 1 Syawal, maka yang jadi pertimbangan sah-tidaknya zakat fithrah yang dikeluarkan adalah sesuai dengan penanggalan yang dianut/dipilih muzaki. Yang bersangkutan dapat mengeluarkannya sendiri kepada para mustahiqin, atau mewakilkannya kepada suatu panitia sebagai amanah, baik penerimanya berlebaran pada hari yang sama dengan muzaki ataupun berbeda. Hal itu agar tujuan tumatul lil masakin atau menyantuni fakir-miskin tetap tercapai.
Memang patut mempertimbangkan kesamaan hari raya agar sesuai perintah Rasul saw : Buatlah mereka tidak meminta-minta pada hari ini. Kesamaan waktu hari raya adalah afdhal. Jika berbeda, dikhawatirkan tidak ada para mustahiqin di sekitarnya, sehingga zakat jadi terlantar.
7. Sejalan dengan hal tersebut, maka bagi suatu panitia zakat fithrah yang berhari raya lebih dahulu dari sebagian masyarakat, dapat melakukan hal-hal berikut:
Pertama: Tidak menerima zakat fithrah setelah panitia ini melaksanakan shalat Ied, jika dapat memberikan penjelasan tanpa mengundang fitnah dengan mereka/masyarakat sekitar.
Kedua: Zakat fithrah harus sudah diterima oleh mustahiq atau wakilnya (bukan amil zakat) sebelum shalat Ied. Adapun penyerahan dari wakil kepada mustahiq tidak diharuskan sebelum shalat Ied.
 
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 2)

d. Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil atau menyusui tetap harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan wanita – wanita yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya.
Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah berfirman :
( فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر )
Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Apabila ia mampu untuk berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas saat mengomentari penjelasan yang termuat dalam surat Al Baqarah: 184, yang artinya “Dan wajib bagi orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah
Beliau berkata : “Ayat ini adalah rukhshah (keringanan) bagi orang yang lanjut usia, lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap anak-anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR. Abu Daud).
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu ‘Anhu, dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang menentangnya (lihat Al Mughni: Ibnu Qudamah 4/394).
e. Waktu mengqadha puasa bagi seorang wanita
Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqadha) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqadhanya dimulai sejak satu hari setelah I’dul fitri dan tidak boleh diakhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Barangsiapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka disamping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz dan fatwa Ibnu Utsaimin).
Para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada dalil yang menjelaskan akan hal itu. Kecuali waktu yang tersisa di bulan Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa, maka tidak ada cara lain kecuali terus-menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu: 2/680).
f. Mengkonsumsi tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan.
Karena di balik keluarnya darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan.
Jika hal ini dihalang-halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut, dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya. Pada umumnya wanita yang melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda:
” لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام
Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah) (lihat: fatawa Ulama Najd, dan 30 Darsan li Shoimat).
Namun apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut:
Apabila darah haidhnya benar-benar telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.
Tetapi apabila ia ragu, apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa. (lihat: Masail ash Shiyam, hal 63 dan Jami’u Ahkamin Nisa’ 2/393).
g. Mencicipi makanan
Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga, maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel.
Karena kelezatan masakan yang ia olah adalah menjadi tanggung-jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya.
Hal itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya. Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya? Batalkah puasanya?
Para ulama memfatwakan tidak dilarang wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya. Hal ini diqiyaskan kepada berkumur-kumur ketika berwudhu (Jami’ Ahkamin Nisa’).
 
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center