by Danu Wijaya danuw | Sep 6, 2016 | Artikel, Dakwah
Kita bisa telaah diangkatnya Amr bin Ash sebagai panglima yang membawahi Abu Bakar dan Umar begitu dia masuk Islam. Maka berangkatlah Amr bersama pasukannya. Ash Shiddiq dan Al Faruq mengiringinya.
Petang menjelang, mereka berkemah di cekungan gurun. Saat beberapa memasak dan hangatkan badan, mendadak Amr memerintahkan untuk mematikan api. Umar marah dan bangkit, “Apa maksudmu?” Abu Bakar menenangkan Umar yang keberatan dan nyaris tengkar dengan sang panglima. “Taatilah Ulil Amri yang diangkat Nabi, saudaraku!”
Setelah itu Amr memerintahkan untuk tak bicara dan tak bergerak. Lalu terdengarlah derap ratusan kuda dan teriakan perang membahana. Sadarlah semua bahwa mereka dipimpin panglima yang lihai membaca tanda alam dan kehadiran musuh, Amr bin Ash. Umar meminta maaf.
Esok pagi, mereka sampai di tempat yang diarahkan Nabi. Amr menyuruh pasukan berhenti dan minta izin untuk masuk kota seorang diri. “Jika sampai dzuhur tiba aku belum kembali'” ujar Amr. ” serbu masuk dibawah pimpinan Abu Bakar!” pesannya. Umar memprotes lagi.
“Semua juga berhak atas jihad, bukan hanya kau sendiri! Semua harus ditanggung bersama!” kecam Umar. Abu Bakar menenangkan lagi.
Belum berakhir waktu dhuha, sudah kembali pada pasukannya disertai pemimpin kaum itu. Semua warga kini berislam tanpa syarat. Semua kini tahu, Nabi pilihkan mereka panglima yang lisannya lebih tajam dari seribu pedang; Amr bin Ash. Umar memeluknya. Nabi hargai potensi besar macam Amr juga khalid. Diiringi penginsyafan bahwa mereka harus berjuang lebih keras untuk cinta Ilahi.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Pro-U Media
by Danu Wijaya danuw | Sep 5, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Sakit itu mustajab doanya. Sampai-sampai Imam Asy-Suyuti keliling kota mencari orang sakit lalu minta didoakan oleh mereka.
Sakit itu jalan kenabian Ayyub yang menyejarah. Kesabarannya diabadikan jadi teladan semesta.
Sakit orang mulia bersebab kemuliaan. Imam Syafi’i wasir sebab banyak duduk menelaah ilmu. Imam Malik lumpuh tangannya dizalimi penguasa. Nabi pun sakit oleh racun paha kambing di Khaibar yang menyelusup segigit pertama melalui celah gigi yang parah di perang Uhud. Tetapi penyebab sakit itu menjadikan mulia dengan memaknainya.
Sakit itu membaca, menulis, berkarya. Habiburrahman El Shirazy goreskan Ayat-Ayat Cinta saat terbaring patah kaki.
Sakit itu gugur dosa. Barang haram terselip tubuh dilarutkan di dunia. Anggota badan yang mungkin berdosa di nyerikan dan di cuci-Nya.
Sakit itu membuat sedikit tertawa dan banyak menangis. Salah satu perilaku keinsyafan yang disukai Nabi dan makhluk-makhluk langi.
Sakit itu meningkatkan kualitas ibadah. Rukuk sujud lebih khusyuk. Tasbih istighfar lebih sering. Tahiyat doa lebih lama.
Sakit itu memperbaiki akhlak. Kesombongan terkikis. Sifat tamak dipaksa tunduk. Pribadi dibiasa santun, lembut dan tawadhu.
Sakit itu membuat kita lebih serius mengingat dan mempersiapkan kematian. Dia yang merasa dekat maut menghargai waktunya dengan baik.
Demikianlah sekelumit tentang sakit. Semoga Allah tolong kita menjadi hamba yang penuh syukur disegala kebaikan.
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Sep 4, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Ust. Fauzi Bahreisy
Setiap kali memasuki Idul Adha, kita diingatkan kepada perjuangan dan pengorbanan Ibrahim ‘Alaihissalam, sebuah pengorbanan luar biasa yang diabadikan dalam Al Qur’an untuk menjadi pelajaran bagi umat manusia sepanjang sejarah.
Tidak ada penjelasan yang paling menarik dan paling utama daripada penjelasan Al Qur’an tentangnya. Karena itu, mari kita lihat apa yang Allah sebutkan tentang peristiwa tersebut untuk menjadi pelajaran dan bekal.
Ibrahim berkata: “Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia akan memberi petunjuk kepadaku. Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang shalih.” (QS ash-Shaffat: 99-100).
Maka, Ibrahim pun diberi kabar gembira. Demikianlah bahwa kehadiran seorang anak harus disambut dengan gembira, bukan dengan duka cita.
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: ‘Wahai ananda, aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!’ Ia menjawab, ‘Wahai ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS ash-Shaffat: 102).
Anak itu sudah beranjak dewasa, sudah bisa diajak berjalan, pergi, dan bekerja bersamanya. Kita lihat kata bersamanya. Ia menunjukkan pendekatan orang tua yang demikian perhatian dan lembut kepada anaknya, tidak kasar. Disebutkan bahwa usia Ismail ketika itu sekitar 13 tahun.
Dalam kondisi demikian, ketika anak yang sudah dinantikan dari dulu lahir, ketika anak itu sedikit demi sedikit beranjak dewasa dan mulai bisa membantu sang ayah, tiba-tiba datang perintah Allah untuk menyembelihnya. Apa Ibrahim ragu?
Pasalnya, perintah itu datang dalam bentuk mimpi, bukan wahyu secara langsung sehingga bisa ditafsirkan macam-macam. Namun itu saja sudah cukup bagi Ibrahim. Ia tahu bahwa ini merupakan ujian dari Allah. Dan begitulah Allah menguji manusia. Allah sering menguji dengan sesuatu yang sangat kita cintai, bisa harta, jabatan, kedudukan, popularitas, harga diri, kehormatan, dan keturunan.
Ibrahim menunjukkan kedudukannya, ketakwaannya, dan keistiqamahannya. Ia tidak mengeluh, tidak mempertanyakan perintah itu kepada Tuhan. Namun sebaliknya, ia segera merespon dengan baik. Ia menerimanya dengan sangat patuh. Hanya saja, sebelum itu sang anak harus diberitahu. Ibrahim memberitahukan perintah itu kepada sang anak, Ismail ‘Alaihissalam. Mari kita perhatikan bagaimana dialog tersebut terjadi: Ya bunayya (ananda) dengan panggilan indah dan sayang, ia berbicara kepada anaknya. Demikian hendaknya orang tua berbicara kepada anaknya.
Ibrahim mengatakan, “Wahai ananda, aku bermimpi diperintah menyembelihmu. Bagaimana pendapatmu?” Ia tidak melaksanakan perintah dengan langsung tanpa melihat kesiapan anaknya.
Ternyata sang anak juga menunjukkan kesiapan yang luar biasa. Ia menjawab dengan ungkapan yang juga indah. “Ya abati” (ayahanda) karena hal itu sudah diajarkan oleh sang ayah. Ia juga menunjukkan ketaatannya kepada perintah Tuhan tanpa ragu-ragu. Ini adalah bentuk adab kepada Allah dan juga adab kepada orang tuanya.
Namun, semua itu tidak dilakukan dengan sikap sombong. Ia sadar akan kelemahan dirinya. Ia tidak memastikan dirinya sabar. Namun ia sandarkan semuanya kepada Allah. Inilah adab manusia yang luar biasa. Manusia hanya berusaha secara maksimal namun, yang menentukan adalah Allah.
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)” (QS ash-Shaffat: 103).
Ketika keduanya (ayah dan anak) sudah patuh dan pasrah. Hal itu ditunjukkan tidak hanya dengan kata-kata, tetapi dengan perbuatan. Sang ayah sudah merebahkan anaknya dengan meletakkan di atas tanah. Bayangkan, ia sendiri yang akan menyembelih anaknya dan dengan alat yang seadanya ketika itu. Namun, disitulah Ibrahim dan Ismail menunjukkan kepatuhan total kepada Allah. Inilah Islam. Islam adalah patuh, taat, dan menyerah mutlak kepada Allah dengan penuh ridha.
Begitulah Allah menguji hamba-Nya. Dia tidak zalim dan kejam. Dia bukan Zat yang senang menumpahkan darah. Tapi Allah hanya ingin menguji. Buah dari ujian adalah balasan yang manis dan indah dari Allah. Demikian pula yang Allah berikan kepada mereka yang berhasil membuktikan pengorbanannya sepanjang masa.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Sep 4, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: Ust. Fahmi Bahreisy, Lc
Diantara karunia yang Allah berikan kepada hamba-Nya, terutama kaum muslimin, Ia menjadikan beberapa hari dalam satu tahun sebagai hari yang mulia dengan berbagai keutamaan yang dapat diraih oleh kaum muslimin. Pada hari-hari ini kaum muslimin dianjurkan untuk memperbanyak amal shaleh dan beristighfar kepada Allah agar dapat meraih keistimewaan yang disediakan oleh Allah SWT.
Diantara hari-hari tersebut ialah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a, “Tidak ada hari dimana amal shalih pada saat itu lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari ini, yaitu sepuluh hari (pertama) dari bulan Dzulhijjah.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga jihad fi sabilillah?” Rasul menjawab, “Tidak juga jihad fi sabilillah, kecuali orang yang keluar (berjihad) dengan jiwa dan hartanya, kemudian ia tidak kembali dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari).
Bahkan di dalam Al-Qur’an, Allah SWT menjadikan hari-hari tersebut sebagai sumpah, sebagaimana yang terdapat di dalam surat al-Fajr, “Demi waktu fajar. Dan demi 10 malam.” (QS. Al-Fajr: 1-2). Ibnu Katsir berkata, “Maksud dari ayat tersebut ialah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah sebagaimana pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Mujahid dan lainnya.”
Ibnu Abbas juga menafsirkan firman Allah SWT, “Mereka mengingat Allah pada hari-hari yang telah diketahui.” (QS. Al-Hajj: 28), bahwa yang dimaksud dengan hari-hari yang telah diketahui ialah 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah.
Dalam hadits yang lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw bersabda diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, “10 hari pertama Dzulhijjah adalah hari yang paling utama diantara hari-hari yang lainnya.” Lalu ada sahabat yang bertanaya, “Bahkan hari-hari yang dipergunakan untuk berjihad juga tidak lebih baik darinya?” Rasulullah menjawab, “Tidak juga dengan hari-hari yang pergunakan untuk berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang beribadah dengan penuh ketundukan.” (HR. Ibnu Hibban dan al-Bazzar).
Ayat-ayat dan hadits diatas menegaskan kepada kita akan keutamaan dari 10 hari pertama dari Dzulhijjah. Bahkan diantara ulama ada yang mengatakan bahwa hari-hari tersebut lebih utama daripada 10 malam terakhir dari bulan ramadhan. Oleh sebab itu, para salaf terdahulu ketika memasuki 10 hari Dzulhijjah, mereka berlomba-lomba untuk melakukan amal shaleh. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Said bin Jubair –rahimahullah- bahwa dikisahkan ia bersungguh-sungguh melakukan amal shaleh dan tidak ada yang dapat menandinginya.
Maka itu, para ulama menjelaskan beberapa amalan utama yang dianjurkan untuk dilakukan pada hari-hari tersebut, diantaranya ialah: Yang pertama, menunaikan haji dan umrah, dimana ia adalah amalan yang paling utama untuk dilakukan pada hari tersebut. Tentunya bagi mereka yang mampu untuk melaksanakannya.
Yang kedua ialah ibadah puasa, sebagaimana telah disebutkan bahwa pada pada tanggal 9 Dzulhijjah dianjurkan untuk berpuasa arafah. Rasulullah saw bersabda, “Puasa Arafah dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu dan yang akan datang.” (HR. Muslim).
Selain puasa Arafah, puasa senin kamis juga sangat dianjurkan, karena pada 10 hari tersebut, pahala seorang hamba akan dilipatgandakan oleh Allah SWT sebagaimana hadits yang telah disebutkan diatas.
Yang ketiga ialah menjaga shalat lima waktu tepat waktu dan dilakukan secara berjamaah di masjid. Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah yang dengannya seorang hamba akan semakin dekat hubungannya dengan Allah.
Yang keempat ialah memperbanyak takbir, tahmid, tahlil dan dzikir lainnya. Ibnu Umar r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Tidak ada satu haripun dimana amalan yang dilakukan di dalamnya lebih utama dan lebih dicintai oleh Allah daripada 10 hari ini (Dzulhijjah). Maka perbanyaklah mengucapkan kalimat tahlil, takbir, dan tahmid.” (HR. Ahmad).
Imam Bukhari berkata bahwa Ibnu Umar dan Abu Hurairah keluar menuju pasar kemudian mereka berdua bertakbir sehingga orang lainpun ikut juga bertakbir bersamanya. Bahkan dalam sebuah riwayat beliau bertakbir di dalam rumahnya, di kamarnya, dan kemanapun ia pergi ia selalu bertakbir.
Masih banyak amalan lainnya yang dianjurkan untuk dilakukan di 10 hari tersebut, seperti tilawah Al-Qur’an, sedekah, memperbanyak taubat, berbakti kepada orang tua, dan lainnya. Hendaknya seorang muslim benar-benar memanfaatkan waktu yang disediakan oleh Allah SWT. Mereka yang mempergunakan hari-hari tersebut dengan baik, maka mereka akan beruntung. Namun sebaliknya, mereka yang lalai dan meremehkannya, maka mereka akan merugi dan celaka. Wallahu a’lam
by Danu Wijaya danuw | Sep 3, 2016 | Artikel, Dakwah
Kisahnya terjadi pada suatu musim haji. Saat itu berhimpunlah tiga ulama ahlul: Ishaq bin Rahawayh, Ahmad dan Yahya bin Ma’in. Mereka hendak menemui Imam Abdurrazaq, penulis Al Mushannaf. Tetapi di pintu Masjidil Haram terlihat seorang pemuda berwibawa. Dia duduk dikursi indah dan dikelilingi oleh begitu banyak orang yang bergantian menanyakan berbagai macam persoalan dan fiqih.
Ketiga alim itu bertanya, “Siapakah pemuda ini?” Seseorang menjawab, “Fakihnya Quraisy dari Bani Muthalib, Muhammad bin Idris.” Selama ini ketiganya baru mendengar nama Asy Syafi’i yang mahsyur; baru pertama kali ini mereka melihatnya. Sungguh masih muda dan tawadhu. Yahya bin Ma’in pakar dalam Jahr wat Ta’dil (ilmu kritik kelayakan rawi) segera menyuruh Imam Ahmad menguji Imam Syafi’i. “Tanyakan padanya tentang perkataan Nabi saw: ‘Biarkan burung dalam sangkarnya!‘” ujar Yahya (H.R. Abu Dawud 2835, Ahmad 6/381-422, Al Humaidi 345, Ath Thayalisi 1634, At Tirmidzi 1516, An Nasa’i 7/164, Ibnu Majah 3163)
Ahmad menanyai Yahya, “Apa tafsirnya?” Kata Yahya, “Sepahamku, biarkanlah burung dalam sarangnya, yakni pada malam hari.” Imam Ahmad tersenyum, sebab tafsir itu darinya. Ishaq bin Rahawayh menyahut, “Baiklah, aku yang akan menanyai!” Maka dia memanggil Syafi’i, “Wahai pemuda Bani Muthalib!”
“Ya wahai alimnya orang Persia!” sahut Asy Syafi’i. Lalu Ishaq menanyakan tafsir itu. Yang ditanya tersenyum tawadhu. “Aku mendengar bahwa sahabat kalian Ahmad bin Hambal menafsirkannya sebagai : biarkan burung dalam sarangannya, yakni pada malam hari.
” Adapun aku”, lanjut Asy Syafi’i, “mendapatkan itu dari Sufyan bin Uyainah. Ketika itu aku telah menanyakan tafsirnya.” Tetapi Ibnu Uyainah menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa maksud ini.” Aku berkata, “Rahimakallah, ya Aba Muhammad.”
Maka,” sambung Asy Syafi’i, “Ibnu Uyainah mengamit tanganku dan mendudukanku dikursinya. Ujarnya, ” Ajari kami apa tafsirnya!”
Maka Asy Syafi’i saat itu dengan penuh ta’zhim membahas tafsirnya. Dia berkata, “Dahulu, orang Jahiliyah jika hendak berpergian menangkap burung, lalu melepaskannya lagi dengan mantra. Jika burungnya terbang ke kanan, ia anggap pertanda baik. Mereka akan melangsungkan perjalanannya. Tetapi jika si burung terbang ke kiri atau ke belakang, ia dianggap pertanda buruk sehingga mereka mengurungkan niat safarnya.
Ketika Rasulullah melihat hal ini (tathayyur) masih tradisi, maka sabdanya, “Biarkan burung didalam sarangnya. Berangkatlah pada pagi hari dengan menyebut asma Allah.” Demikian Asy Syafi’i bertutur.
Para ulama yang hadir berdecak takjub akan ilmu Asy Syafi’i. Ishaq bin Rahawayh tersenyum pada dua rekannya dan berkata, “Demi Allah, andaikan kita datang jauh-jauh dari Iraq hanya untuk mendengar makna ini saja, cukuplah itu bagi kita!” Ahmad mengangguk. Lalu berkatalah Ahmad dengan menukil Surat Yusuf ayat 76, “Wa fauqa kulli dzii ‘ilmi ‘aliim” (Dan tiap-tiap pemilik ilmu ada yang lebih berilmu -red). Manaqib Asy Syafi’i, Al Baihaqi, 1/38
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media