0878 8077 4762 [email protected]

Fatwa Al Azhar Mesir : Bolehkah Membaca “Sayyidina” Ketika Bershalawat Pada Nabi Saat Duduk Tasyahud?

Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Termaktub dalam hadits bahwasanya Nabi SAW bersabda “Saya adalah sayyid (pemimpin) anak keturunan Adam as” (HR.Muslim)
Maka Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam AS sampai hari kiamat kelak, bahkan beliau SAW juga merupakan pemimpin bangsa manusia, jin dan malaikat.
Allah SWT mencela orang-orang yang memanggil Nabi SAW dengan namanya tanpa menyandarkan lafadz pemuliaan. Allah SWT berfirman “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain” (QS. An-Nur : 63).
Allah SWT juga berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap ang lain, nanti pahala segala amalmu akan terhapus sedangkan kamu tidak menyadari” (QS.Al-Hujurat : 2).
Karenanya bagian dari kurangnya adab ketika meyebut nama Nabi Muhammad SAW tanpa bershalawat kepadanya atau tanpa menyebutkan kalimat penghormatan dan pemuliaan kepadanya.
Adapun penyebutan lafadz “sayyidina” dalam sholat para ulama fiqh berbeda pendapat, dan yang berlaku di dalam madzhab kita adalah diperbolehkannya menambahkan lafadz tersebut meskipun lafadz tersebut bukan termasuk ke dalam kalimat tasyahud yang Nabi SAW ajarkan kepada para sahabatnya.
Hal tersebut dikarenakan penambahan lafadz “sayyidina” merupakan bagian dari ketaatan atas apa yang diperintahkan kepada kita dalam menunjukan adab yang baik kepada Nabi SAW. Bukankah kita mengetahui kisah tentang Abu Bakar Ash-Shidiq RA yang menolak menjadi imam shalat ketika Nabi SAW terlambat karena harus mendamaikan orang-orang yang berselisih, padahal Nabi SAW telah memberikan wasiat kepadanya untuk menggantikan posisinya (menjadi imam shalat), namun Abu Bakar Ash-Shidiq RA berkata “Siapakah Ibnu Abi Qohafah (Abu Bakar Ash-Shidiq) sehingga bersedia menjadi imam sholat yang diantara makmumnya adalah Nabi Muhammad SAW” (HR.Muttafaqun ‘Alaih).
Para ulama sepakat dengan kaidah “menunjukan adab yang baik (lebih) itu lebih utama dari melaksanakan sesuai dengan yang dicontohkan” dengan dalil sikap penolakan Ali bin Abi Thalib menghapus kalimat “Rasulullah” dalam buku perdamaian Hudaibiyah.
Para ulama berkata “Walaupun Nabi SAW tidak mengajarkan para sahabatnya kalimat “sayyidina” dalam shalat, kita menambahkannya dalam rangka kesungguhan dalam menunjukan adab kepada Nabi SAW, karenanya sebagian ulama berpendapat bolehnya menambahkan lafadz tersebut (sayyidina) dalam sholat.
Diantara mereka yang berpendapat seperti itu adalah Al-‘Izzu bin Abdussalam, Al-Qarafi, Ar-Ramli, Al-Jalal Al-Mahli, Qulubi, Asy-Syarqawi, Hashfaki, Ibnu ‘Abidin, An-Nafrawi, dan lain-lain.” (Mughni Al-Miftah 1/384, Hasyiah tuhfatul Muhtaj 2/88, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 11/346).
Kesimpulannya adalah barang siapa yang menambahkan kalimat “sayyidina” dalam tasyahud shalat ia telah menunjukan adab yang baik kepada Nabi SAW, tidak ada keraguan dalam hal itu. Dan barang siapa yang meninggalkannya dalam shalatnya karena mengikuti kalimat yang Nabi SAW ajarkan pada sahabatnya maka hal tersebut pun diperbolehkan, tidak ada keraguan dalam hal itu.
Orang yang pertama mengagungkan Nabi SAW dengan penyebutan lafadz “sayyidina”, dan orang yang kedua mengagungkan Nabi SAW dengan meninggalkan kalimat yang tidak diajarkan Nabi SAW, dan keduanya berada dalam kebaikan.
Yang terpenting adalah janganlah sebagian kita berprasangka buruk terhadap sebagian yang lain, sedangkan kita telah sepakat bahwa wajib hukumnya mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk bersatu dan tegak dalam persatuan, terlebih didalam kehidupan kita saat ini yang orang-orang diluar Islam ingin memecah belah kaum muslimin melalui perbedaan seperti ini. Mereka memiliki kaidah “farriq tasud” (cerai beraikanlah maka anda akan menguasai). Wallahu a’lam.
SumberDar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
dikoreksi oleh Syeikh DR. Nuh Ali Salman –rahimahullah
Nomor Fatwa: 512
Tanggal fatwa: 14 Februari 2010
Penerjemah: M. Syukron Muchtar

Fatwa Al Azhar Mesir : Apakah Boleh Melaksanakan Hari Raya Ulang Tahun?

Tidak ada larangan melaksanakan perayaan ulang tahun jika perayaan tersebut dilakukan untuk mengingat nikmat yang telah Allah berikan.
Dengan catatan tidak menjadikan perayaan tersebut sebagai hari raya/ ibadah dan didalamnya tidak terdapat hal-hal yang diharamkan agama. Seperti ikhthilat (bercampur baur lawan jenis yang bukan muhrim), membuka aurat, dan hal-hal yang telah diharamkan lainnya.
Hal tersebut didasari firman Allah SWT yang mengisahkan Nabi Isa AS : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS.Maryam : 33).
Juga didasari hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Qatadah Al-Anshari bahwasannya Nabi SAW ditanya tentang puasa pada hari senin, beliau SAW menjawab : “itu hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai nabi”
Dalil tersebut menunjukan bahwa hari kelahiran merupakan hari nikmat yang kita wajib mensyukurinya. Dan hadits memberikan isyarat akan bolehnya melaksanakan perayaan hari nikmat. Maka hari lahir dan hari diangkatnya Nabi SAW merupakan dua nikmat yang wajib untuk disyukuri.
Menunjukan sikap ramah dengan cara menampakan rasa senang atas nikmat juga merupakan bentuk syukur, hal tersebut didasari dengan keumuman firman Allah SWT : “Katakanlah wahai Muhammad : Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus : 58)
Dan bagi kerabat dekat dibolehkan untuk ikut dalam perayaan jika hal tersebut dapat membuatnya bahagia, dan itu sangat disukai dalam agama. Ibnu Syahin dalam kitabnya At-Targhib meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan sanad laa ba-sa bihi, “Rasulullah SAW ditanya : amal apa yang paling utama? Beliau SAW menjawab “Membuat bahagia saudara seiman atau membayarkan hutangnya atau memberinya makan”
Dikuatkan juga dengan hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani dengan sanad dhaif dari Umar bin Khatab RA berkata : “Rasulullah SAW ditanya : amal apa yang paling utama? Beliau SAW menjawab “Membuat bahagia saudara seiman atau memberinya makan atau memberinya pakaian atau memenuhi kebutuhannya” .
Juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Wahab dalam kitabnya Al-Jami’ dari Muhammad bin Muslim Ath-Thoifi bahwasannya telah sampai kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda “Diantara amal mulia setelah hal-hal yang diwajibkan adalah membuat senang saudara seiman”.
Jika perayaan hari lahir (ulang tahun) didasari oleh hal yang dibenarkan oleh agama seperti bersyukur atas nikmat dan mengucapkan rasa syukur itu serta dimaksudkan untuk membuat bahagia saudara seiman maka hukumnya adalah diperbolehkan. Dan hal tersebut bukanlah termasuk kedalam bid’ah madzmumah. Wallahu a’lam
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 3619
Tanggal : 01/05/2011
Penerjemah : Muhammad Syukron Muchtar
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc

Kisah Hikmah: Kerendahan Hati Sang Pemimpin

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Islam sangat perhatian dalam urusan kepemimpinan, saking pentingnya masalah ini hingga suatu ketika, saat Rasulullah SAW wafat, jenazahnya tidak segera dimakamkan, karena belum jelas siapakah yang didaulat menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah SAW.
Para sahabat, yang merupakan orang-orang yang paling mengetahui urusan agama setelah Rasulullah SAW tidak segera memakamkan jasad Rasulullah SAW karena mereka paham, pentingnya seorang pemimpin didalam Islam, hingga jasad Rasulullah SAW dimakamkan setelah dipilihnya seorang pemimpin baru menggantikan manusia agung tersebut.
Setelah melakukan proses diskusi akhirnya sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, seorang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW dipilih secara aklamasi untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin kaum muslimin. Sempat menolak didaulat sebagai pemimpin, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pun tidak punya alasan kuat untuk tidak menerima amanah tersebut, sebab semua sahabat Rasulullah SAW yang hadir saat itu sepakat untuk menjadikannya sebagai pengganti Rasulullah SAW. Akhirnya Abu Bakar pun menerima amanah berat tersebut
Abu Bakar sangat mengerti bahwa tidaklah mudah menjadi pemimpin dan berat sekali pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT, karenanya ia pun bersedih, dan didalam pidato pelantikannya sebagai pemimpin ia pun menyampaikan sebuah pesan yang sangat berharga, menunjukkan kerendah hatian dan kesungguhannya dalam memimpin. Abu Bakar berpesan :
“Wahai sekalian manusia, hari ini aku telah dipilih sebagai pemimpin bagi kalian, dan aku yakin bahwa aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Maka jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebenaran, bantulah aku. Namun jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebatilan maka ingatkanlah aku dan bersikap keraslah kepadaku”
‘Ibrah :
Saudaraku, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambi dari kisah diatas, diantaranya :
1. Janganlah kita mengajukan diri sebagai seorang pemimpin, kecuali jika kita benar-benar yakin mampu mengemban amanah tersebut. Sebab sungguh berat pertanggung jawabannya disisi Allah SWT. Namun jika semua orang/sebuah forum sepakat menjadikan kita sebagai pemimpin bagi mereka, maka seorang muslim sejati tidak akan berlari dari amanah dan siap mengemban amanah tersebut tanpa penghianatan sedikitpun.
2. Ketika kita dijadikan sebagai pemimpin, maka bersikap sederhanalah dan jangan mengungkapkan janji-janji yang mewah yang belum tentu kita mampu merealisasikannya. Sebab setiap janji adalah hutang dan detiap hutang dituntut pengembaliannya.
Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang sederhana didalam kehidupan ini.

Utsman bin Affan, Malaikatpun Malu Padanya

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Tidak akan pernah ada rasa bosan saat kita membaca atau mendengarkan kisah hidup ataupun perkataan para Sahabat Nabi SAW, sebab setiap ucapan dan perbuatan yang mereka lakukan selalu mengandung hikmah dan pelajaran yang penting untuk kita pahami dan kemudian kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diantara kisah yang mengandung hikmah adalah kisah seorang Sahabat Nabi SAW yang bernama Utsman bin Affan –radhiyallhu ‘anhu– yang terdapat dalam kitab hadits shahih Muslim.
Ummul mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– bercerita :
Pada suatu hari Rasulullah SAW sedang duduk dan pakaian beliau sedikit terbuka hingga terlihatlah bagian dari betis dan paha beliau SAW, disaat seperti itu datang Abu Bakar Ash-Shiddiq meminta izin untuk menemui Rasulullah SAW, Rasulullah SAW pun memberikan izin kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk menemuinya tanpa membenahi pakaiannya (tetap terlihat betis dan pahanya).
Tidak lama setelah kedatangan Abu Bakar Ash-Shiddiq datanglah sahabat Umar bin Khattab, Umar bin Khattab pun meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk masuk menemuinya, Rasulullah SAW pun memberikan izin kepada Umar bin Khattab untuk masuk dan tetap membiarkan bagian dari betis dan pahanya terbuka.
Kemudian tidak lama setelah itu datanglah Sahabat Utsman bin Affan, Utsman bin Affan pun meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk masuk menemuinya, mengetahui Utsman bin Affan yang datang, Rasulullah SAW bergegas merapihkan pakaiannya (menutupi betis dan pahanya yang terbuka) dan kemudian mempersilahkan Utsman bin Affan untuk masuk menemuinya.
Melihat apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, Ummul Mukminin ‘Aisyah pun terheran. Dan setelah Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan pergi, Ummul Mukminin ‘Aisyah pun bertanya perihal perubahan sikap Rasulullah SAW saat kedatangan Sahabat Utsman bin Affan.
‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha– berkata :
“Wahai Rasullullah SAW, saat Abu Bakar masuk menemuimu, tetap membiarkan betis dan pahamu terlihat. Begitu pula saat Umar masuk menemuimu, engkau tetap membiarkan betis dan pahamu terlihat. Sedangkan ketika Utsman masuk, engkau segera duduk dan membenahi pakaianmu!” Mengapa hal itu engkau lakukan wahai Rasulullah?”
Rasulullah SAW menjawab, “Tidakkah aku merasa malu kepada seseorang yang malaikat pun merasa malu kepadanya?
Subhanallah, begitulah keutamaan Sahabat Utsman bin Affan, malaikat dan Rasulullah SAW malu kepadanya, Rasulullah sangat cinta kepadanya, saking cintanya Rasulullah SAW kepada Utsman bin Affan, dua orang anak Rasulullah SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu Kultsum pun dinikahkan kepadanya (dinikahkan setelah istri pertamanya wafat, bukan saat yang bersamaan). Karenanyalah Utsman bin Affan mendapati gelar dzunnurain (pemilik dua cahaya).
ed : danw

Buah Keshalihan Seorang Pemuda

Pemuda itu, dengan kekuatan dan semangat yang menggelora yang ada pada dirinya berusaha menjadi seorang anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Kemuliaan pada kemudian hari melekat pada dirinya, kehormatan diberikan orang lain padanya, bahkan tak sedikit kemudian rasa iri untuk menjadi seperti dirinya pun muncul dari banyak kalangan.
Ia adalah Mirza, seorang pemuda desa Nurs (pinggiran Negara Turki) yang dikenal oleh penduduk desanya sebagai orang yang berbudi luhur, baik kepada siapa saja, dan taat menjalankan perintah agama. Ia juga dikenal sebagai pemuda yang rendah hati dan pandai menjaga waktunya. Siang hari ia gunakan untuk berbakti pada orang tuanya, dan malam hari ia gunakan untuk menuntut ilmu dari beberapa orang ulama yang ada didesanya.
Suatu hari, Mirza yang selalu membasahi lisannya dengan berdzikir mengingat Allah SWT diperintahkan oleh ayahnya untuk mengembala beberapa ekor kambing milik keluarga. Maka hari itu, selepas sholat subuh ia menggiring kambing-kambingnya kepadang gembala. Ia sangat perhatian terhadap apa yang dimakan oleh kambing-kambingnya. Ia tidak ingin satu ekor pun dari kambingnya memakan rumput tidak halal dikebun orang lain. Karena komitmennya itu, setiap perjalanan menuju tempat mengembala Mirza selalu mengikat mulut kambing-kambingnya hingga benar-benar sampai kepadang rumput yang halal untuk dimakan oleh kambing-kambingnya.
Ketika sampai disebuah padang rumput yang halal, maka Mirza segera mengikat kambing-kambingnya dengan patok dan melepas ikatan yang ada dimulut kambing-kambing tersebut. Dengan seketika kambing-kambingnya melahap rerumputan yang ada disekitarnya.
Memastikan kambing-kambingnya telah aman, Mirza pun segera mencari pohon rindang disekitar padang gembala untuk melaksanakan sholat Dhuha dan istirahat sambil menunggu kambing-kambingnya kenyang. Tidak terasa karena lelah istirahatnya pun mebuat ia memejamkan mata dan tidur dengan pulas. Setelah bangun dari tidur ia mengecek kambing-kambingnya dan ternyata ada satu ekor kambingnya yang menghilang. Mirza pun mencari kemana perginya kambing tersebut. Ia berjalan dan berlari mencari kambingnya yang hilang, hingga akhirnya ia temukan kambingnya sedang asyik makan disebuah rumput.
Ia begitu kaget dan merasa berdosa, karena kambingnya memakan rumput yang tidak halal untuk dimakan. Maka ia mencari sang pemilik rumput dan ia pun menemukan sebuah rumah yang sepertinya rumah sang pemilik rumput.
Mirza segera pergi ke rumah itu untuk memohon keikhlasan atas rumput-rumput yang dimakan oleh kambingnya. Sang pemilik kebun sempat heran dan kagum seraya berkata pada diri sendiri, ternyata masih ada dizaman ini pemuda yang begitu jujur, takut pada dosa dan memastikan keberkahan atas sesuatu yang ia miliki.
Sang pemilik rumput pun bertanya dimana rumah Mirza. Mirza yang merupakan anak sholih dari keturunan orang tua yang juga sholih dan sholihah begitu takut, ia takut ayahnya marah karena ia telah lalai mengembala kambing hingga memakan rumput yang tidak halal. Mirza memohon kepada sang pemilik rumput untuk mengikhlaskan rumputnya dan jangan memberi tahu orang tuanya. Sang pemilik rumput pun memastikan bahwa ia telah mengikhlaskan rumputnya dan tidak akan membuat Mirza dimarahi oleh orang tuanya.
Tanpa sepengetahuan Mirza, sang pemilik rumput pergi ke rumah Mirza dan bertemu orang tuanya. Dan ternyata orang tua Mirza dan sang pemilik rumput merupakan dua orang sahabat yang sudah lama tidak jumpa. Sang pemilik rumput menyampaikan kekagumannya pada Mirza kepada kedua orang tuanya. Bahkan ia menawarkan kepada orang tua Mirza agar menikahkan Mirza dengan anaknya.
Sang pemilik rumput memiliki putri yang bernama Nuriye. Ia anak yang sholihah, berbakti pada kedua orang tuanya, dan taat pada agamanya. Bahkan putri sang pemilik rumput juga merupakan seorang pemudi yang selalu menjaga auratnya, ia tidak pernah keluar rumah kecuali didampingi oleh mahramnya dan iapun seorang pemudi yang telah hafal 30 juz Al-Qur’an.
Mendengar tentang Nuriye, orang tuan Mirza pun sepakat untuk menikahkan Mirza dengan Nuriye. Mirza yang sholih pun seteleh diberi tahukan oleh ayahnya tentang Nuriye, menerima tawaran untuk menikah dengannya.
Dari pernikahan mereka lahirlah generasi yang sholih dan sholihah. Dan satu dari keturunan mereka kemudian menjadi orang yang namanya begitu menyejarah, ialah BADI’UZZAMAN SAID NURSI.
ed : danw