0878 8077 4762 [email protected]

Kategori Penuntut Ilmu

Imam Abu Hamid Al Ghazali berkata dalam kitab Bidayatul Hidayah, ketahuilah bahwa ada 3 kategori penuntut ilmu.
Pertama, seseorang yang menuntut ilmu untuk dijadikan bekal dikemudian hari.
Hanya satu tujuannya yaitu ridha Allah dan hari akhir. Ini adalah kategori orang yang beruntung.
Kedua, seseorang yang menuntut ilmu dengan tujuan untuk menopang kehidupan dunianya.
Dengan ilmu itu ia berharap mendapat popularitas, kedudukan dan harta. Namun ia tahu dan sadar bahwa hatinya lemah dan tujuannya hina.
Orang yang semacam ini berada dalam kondisibyang berbahaya. Jika ajalnya menjemput ia belum sempat bertaubat, maka dikhawatirkan mati dalam kondisi su’ul khatimah.
Adapun jika ia sempat bertaubat sebelum ajalnya tiba, dan ia mengamalkan ilmu yang dimiliki, serta menyadari kesalahannya yang lalu, ia termasuk orang yang beruntung.
Ketiga, orang yang dibelenggu syaitan.
Ia menjadikan ilmunya sebagai sarana memperbanyak harta, merasa hebat dengan kedudukan, dan membanggakan diri dengan banyak pengikut.
Ia memanfaatkan ilmunya untuk mendapatkan kepentingan duniawi. Terlebih lagi ia merasa bahwa ia memiliki kedudukan yang tinggi disisi Allah karena ia adalah seorang ulama dan berpenampilan layaknya ulama. Padahal ia telah berlumuran dengan dunia secara zahir maupun batin. Ini termasuk kategori orang yang celaka dan binasa, yang tertipu oleh dirinya sendiri.
 

Luka Penjerumus

Hati-hati atas luka yang terjadi pada khilaf orang-orang shalih, sebab ia jadikan kita benci khilaf pelaku sekaligus semua keshalihannya. Dalam tingkat selanjutnya ia mengantar kita pada permusuhan serta kemunafikan. Tetapi seringkali begitulah orang terluka, bukan menyembuhkan, justru membiarkan bengkak dan makin pedih.
Lihatlah Abdullah bin Ubay, kemunafikannya bermula dari luka: sakit hati sebab batal jadi raja Yastrib (Madinah) gara-gara kedatangan sang Nabi. Andai dia mau mengakui keutamaan Nabi atas dirinya dan menyembuhkan luka itu, pastilah ia menjadi tokoh Anshar yang paling utama dan mulia.
Kita bisa merasakan ciri utama orang terluka adalah reaksi berlebihan atas yang diucapkan dan dilakukan orang. Tanggapan mereka meluap seperti Allah gambarkan itu dengan : “…menyangka tiap teriakan keras ditujukan pada mereka.” (Q.S. Al Munafikun ayat 64).
Pada orang terluka; kita menyapa bisa dikira menghina, memuji dianggap menyindir, memberi masukan dianggap menginjak-injak kehormatan. Bagi orang terluka maksud baik bisa dianggap menjelek-jelekan.
Sebaliknya duhai kepada orang orang-orang berkebenaran dan berkebajikan, kasihi dan sayangilah orang-orang terluka. Sejatinya mereka hidup dalam sakit dan nestapa. Moga setitik pujian tulus dan rengkuhan hangat bisa membuatnya kembali percaya bahwa orang terluka masih berhak dan layak berbuat baik. Ya, kadang orang terluka memang suka dikagumi atas apa yang tak dia punya dan dipuji atas yang tak dia perbuat. Senyum dan doakan sajalah.
Eh, sebentar, jangan-jangan kita semua juga orang yang terluka? Ya Allah, ampunilah dan bimbing kita semua menyembuhkannya. Lalu tuntunlah untuk berdoa seperti kau ajarkan untuk menyembuhkan luka pada orang beriman dan bertakwa di Surah Al Hasyr ayat 10.
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami atas dosa-dosa ini, dan ampuni juga orang-orang yang telah mendahului kami dengan keimanan. Dan jangan Kau jadikan hati kami ada rasa ghil, terluka dan marah pada orang beriman. Tuhan kami, Kau Lembut dan Penyayang.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Imam Mazhab Sepakat Melarang Mencela Sahabat Rasul

Para ulama Imam Mazhab yang menjadi rujukan umat Islam hingga saat ini, dengan wara’ dan tulus berpandangan sama melarang kebiasaan mencela para sahabat Nabi saw :
Imam Malik berkata, “Orang yang mencela sahabat Nabi saw tidak memiliki bagian dalam Islam”
Imam Hambal berkata, “Orang yang mencela Abu Bakar, Umar dan Aisyah ra tidak lagi berada diatas agama Islam.”
Imam Syafi’i berkata, “Menurutku tidak ada kelompok penganut hawa nafsu yang lebih berdusta daripada kalangan rafidhah.”
Imam Hanafi berkata, “Siapa yang meragukan kekufuran mereka, maka ia kafir seperti mereka (rafidhah).”

Adab Dahulu Baru Ilmu

Al-Laits bin Sa’ad berkata kepada para ahli hadist : “Pelajarilah kesantunan (adab) sebelum engkau mempelajari ilmu.”
Apalah artinya ilmu, jika tidak dibarengi dengan adab yang baik. Apalah gunanya qur’an dan hadist yang dihafal, jika tak membuahkan akhlak yang mulia. Menjadi mukmin yang baik bukan sekedar memperkaya diri dengan ilmu, tapi yang lebih penting bagaimana menghias diri dengan akhlak yang baik.
Membekali diri dengan ilmu memang merupakan perkara yang penting. Akan tetapi mendidik diri agar memiliki adab yang baik merupakan perkara yang lebih penting.
Ibnu Wahab berkata : “Adab yang kupelajari dari Imam Malik lebih baik dari ilmu yang kupelajari darinya.”
Salah seorang salaf berkata kepada Ibnul Mubarak : “Kebutuhan kita pada adab lebih penting daripada kebutuhan kita pada ilmu.”
Ibnul Mubarak berkata : “Aku mempelajari adab selama 30 tahun, dan aku mempelajari ilmu selama 20 tahun.
Imam Syafi’i berkata : “Yang dikatakan ilmu bukanlah yang dihafal, akan tetapi yang disebut ilmu adalah yang bermanfaat.”

Adab Menasihati

Tiap orang punya cara untuk menyampaikan nasihat kepada kita. Permata pun bisa dilempar, diulurkankan atau diselip ke saku. Ambillah permatanya. Hawa nafsu membenci nasihat. Nurani mencintai pengingat.
Perhatikan kala masukan datang. Kesanggupan menutup aib saudara dipadu keterampilan menasihati dan ketulusan doa ialah daya agung ukhuwah yang kian langka.
Pernah bersyair Imam Asy-Syafi’i, “Nasihati aku kala sunyi dan sendiri, jangan dikala ramai dan banyak saksi. Sebab nasihat ditengah khalayak terasa hinaan yang membuat hatiku pedih dan koyak. Maka maafkan jika aku terkadang berontak.”
Seorang penasihat pasti akan mencari alasan untuk berbaik sangka. Jika semua tak masuk akal, dia berkesimpulan : “Saudaraku mungkin punya alasan yang tidak kutahu.”
Tetapi cinta yang kadang meluruhkan tegur dan kata, tak boleh meruntuhkan kewajiban yang diamanahkan Tuhannya; nasihat.
Nasihat merupakan kawan sejati bagi nurani. Menjaga cinta dalam ridha-Nya. Tetapi apa yang harus dilakukannya, jika tiada perubahan jua?
Menangislah. Menangis dihadapan Rabbnya, mengadukan lemahnya diri dan buntunya upaya. Lalu sekali lagi sampaikan nasihat, dan lagi, hingga tak punya pilihan selain mengajak untuk curahkan cinta.
Jika cinta telah bicara hingga ke ujung rasa sakitnya, sebagaimana Ibnul Qayim Al Jauziyah yang ingin memberi masukan nasihat kepada gurunya dalam doa :
“Aku sudah tak sanggup ya Allah, hanya Kau yang mampu menegurnya. Aku sangat mencintai guruku, namun kebenaran jauh lebih besar daripada guruku.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media