0878 8077 4762 [email protected]
Kisah Pertarungan Nabi Daud Melawan Goliath "Raksasa Jalut"

Kisah Pertarungan Nabi Daud Melawan Goliath "Raksasa Jalut"

Kebanyakan dari kita pasti pernah mendengar kisah pertarungan antara David dan Goliath. Iya kisah ini menceritakan tentang pertarungan seorang manusia biasa yang berhasil menang melawan seorang raksasa yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Kisah ini begitu mendunia, hingga banyak dari umat Islam pun mengetahuinya. Bahkan film David versus Goliath diputar dibioskop Indonesia tanggal 1 Maret 2016 kemarin.
Tapi ironisnya, masih banyak umat Islam yang tidak mengetahui bahwa kisah pertarungan antara David melawan Goliath ini tertulis dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 251, “Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendakiNya. Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. Tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Kisah pertarungan antara David dan Goliath ini sesungguhnya kisah pertarungan antara nabi Daud AS melawan Jalut. Dikisahkan ketika itu nabi Daud AS yang berasal dari keturunan Bani Israil masih berusia sangat muda dan belum diangkat sebagai Nabi.
Kaum Bani Israil ketika itu hidup tertindas oleh kekuasaan Jalut yang menguasai tanah Palestina. Jalut adalah seorang penguasa kejam dan bertubuh sangat besar layaknya raksasa, pada masa itu tidak satu manusia yang berani dan mampu melawan Jalut.
Allah SWT kemudian mengangkat seorang penggembala Bani Israil yang bernama Thalut untuk menjadi pemimpin Bani Israil. Dimana saat itu Bani Israil dikenal mempunyai sifat keras kepala dan pembangkang untuk berperang melawan Jalut. Terbukti pada awalnya Bani Israil menolak Thalut, karena hanya seorang pengembala miskin. Ia bukan keturunan Lawi bin Yakub, bukan pula keturunan Yahuza bin Yakub. Lawi dan Yahuza merupakan saudara Nabi Yusuf, putra Nabi Yakub bin Nabi Ishaq bin Nabi Ibrahim.
Hal tersebut dijelaskan dalam Allah SWT dalam Al Qur’an, “Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”.
Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa”. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. Al Baqarah ayat 247)
Maksud Nabi mereka adalah Nabi sesudah Musa dan sebelum Daud diangkat jadi Nabi yaitu Nabi Shammil. Ibunya bernama Hubla sebagai keturunan Lawi yang tersisa, sebab sebelumnya Bani Israil selalu membunuh para Nabi. Sebagai pembawa risalah, Nabi Shammil lah yang mengajak Bani Israil untuk berperang dan yang menemukan Thalut sebagai calon pemimpin mereka.
Dan peperangan pun di mulai. Setelah mendapatkan kepercayaan, Thalut yang awalnya memimpin 70 ribu pasukan. Namun pada akhirnya Thalut hanya membawa 300-san pasukan yang taat dan shalih, termasuk Daud muda yang belum diangkat menjadi Nabi. Sebab banyak diantara mereka melanggar perintah untuk tidak meminum air secara berlebihan diperjalanan Sahara. Kondisi psikis mereka tetiba berubah pucat dan takut perang.
Meskipun harus kehilangan banyak pasukannya, namun Thalut juga berhasil memporak-porandakan pasukan Jalut hingga akhirnya hanya ada Jalut dan beberapa pengikut setianya. Namun tahukah anda? Tidak ada satu pun tentara Thalut yang berani maju melawan Jalut yang memiliki tubuh sangat besar. Kebanyakan dari mereka merasa sangat takut melawan Jalut karena dengan ukuran tubuh manusia normal sangat mustahil untuk memenangkan pertempuran itu.
Allah SWT berfirman, “Tatkala Jalut dan tentaranya telah tampak oleh mereka, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdoa, ‘Ya Tuhan Kami tuangkanlah kesabaran atas diri kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (Q.S. Al-Baqarah: 250)
Disaat genting seperti itulah, Daud muda mengajukan diri secara sukarela untuk bertarung melawan Jalut. Dengan keimanan dan keikhlasan semata-mata hanya Allah SWT, Daud tidak gentar sedikit pun menghadapi Jalut sang raksasa zholim. Nabi Daud AS sangat yakin bahwa kekuatan sesungguhnya tidak hanya terletak pada kekuatan fisik semata, kekuatan yang hakiki sesungguhnya terletak pada keyakinan dan keteguhan iman seseorang terhadap kebesaran Allah SWT.
Allah SWT berfirman, “Bersabarlah atas segala apa yang mereka katakan, dan ingatlah hamba Kami Daud yang mempunyai kekuatan, sesungguhnya dia amat taat (Kepada Tuhan). Sesungguhnya Kami menundukkan gunung – gunung untuk bertasbih kepada dia (Daud) di waktu petang dan pagi. Dan (Kami tundukkan pula) burung-burung dalam keadaan terkumpul. Masing-masingnya amat taat kepada Allah. Dan Kami kuatkan kerajaannya dan kami berikan kepadanya hikmah dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan.” (Q.S. As Shaad ayat 17-20)
Maka pertarungan yang sekilas terlihat tidak seimbang pun dimulai. Dengan menyebut nama Allah yang kuasa dan hanya berbekal sebuah tongkat, ketapel dan 3 buah batu kerikil Daud muda tidak ragu bertempur melawan Jalut. Meskipun Daud muda berukuran seperti manusia pada umumnya, namun Daud as berhasil menghindar dari tebasan pedang Jalut dan berkat keteguhan imannya kepada Allah SWT, maka pertolongan pun diturunkan kepada Daud as.
Daud as meletakkan salah satu batu di ketapelnya dan dilepaskannya ke udara, dengan seijin Allah SWT angin menjadi sahabat nabi Daud AS dan membuat batu meluncur dengan teramat keras. Batu itu kemudian jatuh tepat di dahi jalut dan membuat jalut jatuh tersungkur dan kemudian tewas.
Sebelumnya, Thalut pernah berjanji barangsiapa yang berhasil membunuh Jalut maka akan dinikahkan dengan putrinya serta memberinya separuh kepemimpinan kerajaan Bani Israil. Daud pun mendapat bonus hadiah tersebut. Hingga usia Daud mencapai 40 tahun, Thalut meregang nyawa. Daud pun menggantikan posisi Thalut menjadi raja Bani Israil. Tak hanya itu, Allah pun mengangkat Daud sebagai nabi dan Rasul, serta diturunkan kepadanya kitab suci Zabur.
Hikmah
Pertarungan nabi Daud AS melawan jalut yang bertubuh sangat besar lengkap dengan pedang dan baju besinya, menjadi pelajaran bahwa mereka yang besar dan kuat belum tentu menang terhadap mereka yang kecil namun memiliki iman yang kuat kepada Allah SWT.
palestina1
Kisah serupa terjadi pada saudara-saudara kita di Palestina yang sedang berjuang melawan kaum zionis Israel. Dengan menggunakan kerikil dan batu-batu kecilnya, para mujahid Palestina harus berhadapan dengan tank-tank tempur canggih di Israel. Namun hingga kini zionis Israel belum mampu mengalahkan bangsa Palestina yang pantang menyerah. Perjuangan bangsa Palestina mempertahankan tanahnya dan menegakkan agama Allah SWT hingga kini sesungguhnya dapat menjadi bukti kuasa Allah SWT, atas umatnya yang terpilih. Maka jangan sekalipun kita takut dan gentar menghadapi musuh yang sangat kuat sekalipun, karena sesungguhnya pertolongan Allah sangat dekat, dan Allah SWT akan selalu ada disekitar umatnya yang beriman.
 
Rinci penjelasan lihat di :

  • Tafsir Ath Thabari yang memaparkan kisah tersebut hingga berpuluh halaman.
  • Tafsir Ibnu Katsir.
  • Kitab Stories of The Prophet, Tafsir IbnuKatsir.

Ket :
Serangkaian kisah Shammil (Samuel), Talut (Saul), Jalut (Goliath) dan Daud (Davidh) tersebut dikabarkan dalam Al-Qur’an surah Al Baqarah ayat 246 hingga 251.
Kisah tersebut pun terdapat dalam Al-Kitab dengan pemaparan kisah yang teramat panjang. Bible mengisahkannya secara panjang lebar, namun inti kisah tak jauh berbeda seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an meski dalam beberapa hal terjadi perbedaan.

Terkisah Para Kiyai

Mengapa kisah para kiyai dan murid-muridnya penting dipelajari? Agar terjaga pikiran, lisan dan perkataan kita yang mengaku pewaris dakwah.
Yang tidak memahami sejarah, nasab keluarga, dan sanad ilmu akan kesulitan memahami dan membawakan dakwah pada kalangan tertentu.
Jika kini sebagian santri yang bernasab baik dan bersanad ilmu itu jadi liberal. Naif-lah memusuhi tanpa kelayakan etika untuk didengar kalangannya.
Awal tahun 1.900-an, ada 4 murid tamatkan pelajarannya pada Kiyai Khalil di Bangkalan, Madura. Menyebrangi sela : 2 ke Jombang, 2 ke Semarang. Dua murid kiyai yang ke Jombang, 1 dibekali cincin (kakek Cak Nun), 1 lagi K.H. Romli (ayah K.H. Mustain Romli) dibekali pisang mas. Dua murid kiyai yang ke Semarang ; Hasyim Asy’ari dan Muhammad Darwis masing-masing diberi kitab untuk dingajikan kepada Kiyai Soleh Darat.
Kiyai Soleh Darat adalah ulama terkemuka, ahli nahwu, ahli tafsir, ahli falak. Bahkan keluarga besar bangsawan R.A. Kartini mengaji kepada beliau. Bahkan atas usulan Kartini-lah, Kiyai Soleh Darat menerjemahkan Al Qur’an ke dalam bahasa Jawa agar bisa dipahami. Pada Kiyai Soleh Darat, Hasyim Asy’ari dan Darwis (yang kemudian berganti nama jadi Ahmad Dahlan) belajar tekun dan rajin.
Kedua sahabat itu Hasyim Asy’ari dan Ahmad Dahlan diperintahkan Kiyai Soleh Darat segera ke Mekkah untuk melanjutkan belajar. Setiba di Mekkah, keduanya yang cerdas menjadi murid kesayangan Imam Masjidil Haram, Syaikh Ahmad Khathib Al Minangkabawi.
Tampaklah kecenderungan Hasyim yang sangat mencintai hadist, sementara Ahmad Dahlan tertarik bahasan pemikiran dan gerakan Islam. Tentu riwayat jalan berilmu mereka panjang bertahun-tahun.
Kepulangan mereka ke tanah air dan gerakan dilakukan mereka masing-masing. Hasyim Asy’ari pulang ke Jombang. Disana kakek Cak Nun menantinya penuh rindu. Kakek Cak Nun yang ‘sakti’ inilah yang menaklukan kawanan rampok dan durjana bernama Tebuireng untuk didirikan pesantren. Hasyim Asy’ari kemudian memohon agar berkenan mulai mengajar disitu. Beliau membuka pengajian “Shahih Al Bukhari” disana yang akhirnya jadi julukan “Kitab Kuning”.
Pahamlah kita, satu-satunya orang yang bisa bujuk Gus Dur keluar istana saat impeachment (permintaan mundur – akibat keterpurukan ekonomi dibawah batas standar), ya hanya dari Cak Nun. Ini soal nasab antar keduanya yang kakek mereka dekat.
Saat disuruh mundur orang lain, Gus Dur biasanya menjawab, “Saya kok disuruh mundur, maju aja susah harus dituntun.” Tapi Cak Nun tidak menyuruhnya mundur. Kata beliau, “Gus, koen wis wayahe munggah pangkat! Sudah saatnya naik jabatan!”
Kembali ke Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Beliaulah orang yang menjadikan pengajian hadis penting dan terhormat. Sebelum ada kajian Shahih Bukhari, umumnya pesantren Tebuireng cuma ajarkan Tarekat.
K.H. Romli Tamim yang juga di Jombang mendirikan pesantren di Rejoso, kelak jadi pusat Thariqah Al Mu’tabarah yang disegani.
Tebuireng makin maju. Santri berdatangan dari seluruh nusantara. Hubungan baik terjalin dengan Kiyai Hasbullah, Tampakberas. Putra Kiyai Hasbullah, Abdul Wahab kelak menjadi pendiri organisasi Islam terbesar yang dinisbatkannya kepada Hadrastusy Syaikh Hasyim Asy’ari: NU.
Konon selama K.H. Abdul Wahab dalam kandungan, ayahnya mengkhatamkan Al Qur’an 100 kali diperdengarkan pada si Janin.
Tebuireng juga berhubungan baik dengan K.H. Bisyri Syansuri Denanyar. Abdul Wahid Hasyim menikahi putri beliau (ibu Gusdur). K.H. Bisyri Syansuri juga beriparan dengan K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Inilah pilar segitiga NU : Tampakberas-Tebuireng-Denanyar.
Satu waktu ada santri Hadrastusy Syaikh melapor. Dari Yogyakarta ada gerakan yang ingin memurnikan agama dan aktif beramal usaha. “Oh kuwi Mas Dahlan,” ujar Hadratusy Syaikh, “ayo podho disokong” (Itu Mas Dahlan, ayo kita dukung) ajak beliau.
K.H. Ahmad Dahlan, sang putra penghulu Keraton itu amat bersyukur. Beliau kirimkan hadiah. Hubungan kedua keluarga makin akrab. Sampai generasi ke-4, putra-putri Tebuireng yang kuliah di Jogja selalu kos di keluarga K.H. Ahmad Dahlan, Kauman. Gus Dur juga.
Sebagai bentuk dukungan pada perjuangan K.H. Ahmad Dahlan, Hadratusy Syaikh  menulis kitab Munkarat Maulid Nabi wa Bida’uha. Bagi Hadratusy Syaikh itu banyak bid’ah dan mafsadatnya ketika kalangan pesantren berlebihan dalam melaksanakan Maulid.
Unik, satu-satunya Kiyai NU yang tak diperingati Haul-nya ya beliau. Ketika akhirnya gesekan makin sering terjadi antara anggota Muhammadiyah vs Kalangan pesantren, Hadratusy Syaikh turun tangan.
“Kita dengan Muhammadiyah sama. Kita Taqlid Qauli (mengambil pendapat ulama salaf). Mereka Taqlid Manhaji (mengambil metode).
Tetapi dipelopori K.H. Abdul Wahab Hasbullah, pada murid menghendaki kalangan pesantren pun terorganisasi baik. Akhirnya NU berdiri. Direstui Hadratusy Syaikh, Abdul Wahab Hasbullah dan rekan berangkat ke Mekkah menghadap raja Saudi sampaikan aspirasi Mazhab.
Kepulangan mereka disambut Hadratusy Syaikh dengan syukur sekaligus meminta untuk terus bekerjasama dengan Muhammadiyah. Atas prakarsa Hadratusy Syaikh, K.H. Mas Mansur (Muhammadiyah) dan tokoh-tokoh lain terbentuklah Majlisul Islam A’la Indunisiya (MIAI).
 
Sumber : Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Kisah Sahabat Sya'ban dan Penglihatan Sakaratul Maut

Alkisah ada seorang sahabat Nabi bernama Sya’ban RadhiallahuAnhu. Ia adalah seorang sahabat yang tidak menonjol dibandingkan sahabat-sahabat yang lain.
Ada suatu kebiasaan unik dari beliau yaitu setiap masuk masjid sebelum sholat berjamaah dimulai dia selalu beritikaf di pojok depan masjid. Dia mengambil posisi di pojok bukan karena supaya mudah bersandaran atau tidur, namun karena tidak mau mengganggu orang lain dan tak mau terganggu oleh orang lain dalam beribadah.
Kebiasaan ini sudah dipahami oleh sahabat bahkan oleh Rasulullah SAW, bahwa Sya’ban RA selalu berada di posisi tersebut termasuk saat sholat berjamaah.
Suatu pagi saat sholat subuh berjamaah akan dimulai RasululLah SAW mendapati bahwa Sya’ban RA tidak berada di posisinya seperti biasa. Nabi pun bertanya kepada jemaah yang hadir apakah ada yang melihat Sya’ban RA.
Namun tak seorangpun jamaah yang melihat Sya’ban RA. Sholat subuh pun ditunda sejenak untuk menunggu kehadiran Sya’ban RA. Namun yang ditunggu belum juga datang. Khawatir sholat subuh kesiangan, Nabi memutuskan untuk segera melaksanakan sholat subuh berjamaah.
Selesai sholat subuh, Nabi bertanya apa ada yang mengetahui kabar dari Sya’ban RA. Namun tak ada seorang pun yang menjawab.
Nabi bertanya lagi apa ada yang mengetahui di mana rumah Sya’ban RA.
Kali ini seorang sahabat mengangkat tangan dan mengatakan bahwa dia mengetahui persis di mana rumah Sya’ban RA.
Nabi yang khawatir terjadi sesuatu dengan Sya’ban RA meminta diantarkan ke rumahnya.
Perjalanan Jauh ke Rumah Sya’ban RA
Perjalanan dengan jalan kaki cukup lama ditempuh oleh Nabi dan rombongan sebelum sampai ke rumah yang dimaksud.
Rombongan Nabi sampai ke sana saat waktu afdol untuk sholat dhuha (kira-kira 3 jam perjalanan).
Sampai di depan rumah tersebut Nabi mengucapkan salam. Dan keluarlah seorang wanita sambil membalas salam tersebut.
“Benarkah ini rumah Sya’ban?” Nabi bertanya.
“Ya benar, saya istrinya” jawab wanita tersebut.
“Bolehkah kami menemui Sya’ban, yang tadi tidak hadir saat sholat subuh di masjid?
Dengan berlinangan air mata istri Sya’ban RA menjawab:
“Beliau telah meninggal tadi pagi…”
InnaliLahi wainna ilaihirojiun… Maa sya Allah, satu-satunya penyebab dia tidak sholat subuh berjamaah adalah karena ajal sudah menjemputnya.
Beberapa saat kemudian istri Sya’ban bertanya kepada Rasul
“ Ya Rasul ada sesuatu yang jadi tanda tanya bagi kami semua, yaitu menjelang kematiannya dia berteriak tiga kali dengan masing-masing teriakan disertai satu kalimat.
Kami semua tidak paham apa maksudnya.”
“Apa saja kalimat yang diucapkannya?” tanya Rasul.
Di masing-masing teriakannya dia berucap kalimat:
“ Aduuuh kenapa tidak lebih jauh……”
“ Aduuuh kenapa tidak yang baru……. “
“ Aduuuh kenapa tidak semua……”
Penglihatan Sya’ban Ketika Sakaratul Maut
Nabi pun melantukan ayat yang terdapat dalam surat Qaaf (50) ayat 22 :
Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan dari padamu hijab (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.“
Saat Sya’ban dalam keadaan sakratul maut, perjalanan hidupnya ditayangkan ulang oleh Allah.
Bukan cuma itu, semua ganjaran dari perbuatannya diperlihatkan oleh Allah.
Apa yang dilihat oleh Sya’ban (dan orang yang sakratul maut) tidak bisa disaksikan oleh yang lain.
Dalam pandangannya yang tajam itu Sya’ban melihat suatu adegan di mana kesehariannya dia pergi pulang ke masjid untuk sholat berjamaah lima waktu. Perjalanan sekitar 3 jam jalan kaki sudah tentu bukanlah jarak yang dekat.
Dalam tayangan itu pula Sya’ban RA diperlihatkan pahala yang diperolehnya dari langkah-langkah nya ke Masjid. Dia melihat seperti apa bentuk surga ganjarannya.
Saat melihat itu dia berucap: “ Aduuuh kenapa tidak lebih jauh……”
Timbul penyesalan dalam diri Sya’ban , mengapa rumahnya tidak lebih jauh lagi supaya pahala yang didapatkan lebih banyak dan surga yang didapatkan lebih indah.
Dalam penggalan berikutnya Sya’ban melihat saat ia akan berangkat sholat berjamaah di musim dingin. Saat ia membuka pintu berhembuslah angin dingin yang menusuk tulang.
Dia masuk kembali ke rumahnya dan mengambil satu baju lagi untuk dipakainya. Jadi dia memakai dua buah baju.
Sya’ban sengaja memakai pakaian yang bagus (baru) di dalam dan yang jelek (butut) di luar.
Pikirnya jika kena debu, sudah tentu yang kena hanyalah baju yang luar. Sampai di masjid dia bisa membuka baju luar dan solat dengan baju yang lebih bagus.
Dalam perjalanan ke masjid dia menemukan seseorang yang terbaring kedinginan dalam kondisi mengenaskan.
Sya’ban pun iba, lalu segera membuka baju yang paling luar dan dipakaikan kepada orang tersebut dan memapahnya untuk bersama-sama ke masjid melakukan sholat berjamaah.
Orang itupun terselamatkan dari mati kedinginan dan bahkan sempat melakukan sholat berjamaah.
Sya’ban pun kemudian melihat indahnya sorga yang sebagai balasan memakaikan baju bututnya kepada orang tersebut.
Kemudian dia berteriak lagi: “ Aduuuh kenapa tidak yang baru…“
Timbul lagi penyesalan di benak Sya’ban. Jika dengan baju butut saja bisa mengantarkannya mendapat pahala yang begitu besar, sudah tentu ia akan mendapat yang lebih besar lagi seandainya ia memakaikan baju yang baru.
Berikutnya Sya’ban melihat lagi suatu adegan saat dia hendak sarapan dengan roti yang dimakan dengan cara mencelupkan dulu ke segelas susu.
Ketika baru saja hendak memulai sarapan, muncullah pengemis di depan pintu yang meminta diberi sedikit roti karena sudah lebih 3 hari perutnya tidak diisi makanan.
Melihat hal tersebut. Sya’ban merasa iba. Ia kemudian membagi dua roti itu sama besar, demikian pula segelas susu itu pun dibagi dua.
Kemudian mereka makan bersama-sama roti itu yang sebelumnya dicelupkan susu, dengan porsi yang sama.
Allah kemudian memperlihatkan ganjaran dari perbuatan Sya’ban RA dengan surga yang indah.
Demi melihat itu diapun berteriak lagi: “ Aduuuh kenapa tidak semua……”
Sya’ban kembali menyesal . Seandainya dia memberikan semua roti itu kepada pengemis tersebut tentulah dia akan mendapat surga yg lebih indah.
Masya Allah, Sya’ban bukan menyesali perbuatannya, tapi menyesali mengapa tidak optimal.
Sesungguhnya semua kita nanti pada saat sakratul maut akan menyesal tentu dengan kadar yang berbeda, bahkan ada yang meminta untuk ditunda matinya karena pada saat itu barulah terlihat dengan jelas konsekwensi dari semua perbuatannya di dunia.
Mereka meminta untuk ditunda sesaat karena ingin bersedekah. Namun kematian akan datang pada waktunya, tidak dapat dimajukan dan tidak dapat dimundurkan.

Ketika Muslim Ke Gereja Tiap Minggu dan Berislam Diam-diam

Oleh Rahmadiyanti Rusdi
 
Pada tahun 1502, Ahmad ibn Abi Jum’ah, seorang mufti di Oran, yang di masa kini termasuk ke dalam wilayah Aljazair, mengeluarkan fatwa: memperbolehkan umat Muslim melakukan wudhu tanpa air dengan menyentuh dinding yang bersih/tayammum, shalat hanya di malam hari—alih-alih lima kali sehari, dan minum khamr/menyantap daging babi bila terpaksa.
Fatwa ini berlaku untuk muslim yang tinggal di Spanyol. Mengapa fatwa tersebut dikeluarkan?
Mari kita mundur 10 tahun sebelumnya, yakni 1 Januari 1492. Pagi itu Muhammad XII atau dikenal juga dengan Boabdil, sang emir Granada, menyerahkan kunci kota Granada dan Alhambra kepada Ferdinand dan Isabella.
Saat penduduk Granada terbangun, mereka melihat bendera bertuliskan “Dan tidak ada pemenang selain Allah” yang biasa berkibar di atas Alhambra, telah diturunkan. Boabdil diasingkan dan menurut legenda dalam perjalanan ke luar dari Granada, ia memandangi kota untuk terakhir kali sambil menangis. Sang ibu menegurnya dan mengucapkan kalimat fenomenal, “Jangan menangis seperti wanita atas apa yang gagal kaupertahankan sebagai seorang lelaki”.
Hari itu adalah akhir dari sebuah bab panjang dan penting dalam sejarah Islam.
Namun itu bukan akhir dari populasi Muslim Spanyol. Masih ada 500.000-600.000 Muslim (dari total 7-8 juta jiwa) di seluruh Semenanjung Iberia yang sebagian besar tinggal di Granada.
Mustahil bagi Monarki Katholik mengusir seluruh Muslim dengan segera.
Mereka masih mengandalkan populasi Muslim untuk menjalankan perekonomian setempat. Selain itu mereka juga tidak memiliki cukup SDM untuk mengisi kota yang kehilangan populasinya.
Ferdinand dan Isabella awalnya mengadopsi pendekatan toleran terhadap minoritas Muslim tersisa. Setiap Muslim yang secara sukarela memilih untuk berpindah keyakinan akan dihujani hadiah, emas, kuda, dan barang berharga lainnya. Memang, terjadi konversi besar-besaran, tapi sebagian orang yang “berpindah” keyakinan ditemukan tetap beribadah di dalam masjid dan membaca Al-Qur’an.
Gereja Katholik pun memutuskan pendekatan lebih keras. Fransisco Jimenez de Cisneros, Uskup Agung Katholik yang diangkat pada tahun 1499 untuk mempercepat konversi membuat aturan baru; menjatuhkan hukuman dan penganiayaan bagi Muslim Andalusia yang tidak berpindah keyakinan. Dalam kata-katanya sendiri ia menyatakan, “Jika orang-orang kafir tidak dapat dibujuk agar mengikuti jalan keselamatan, mereka harus diseret ke arahnya”.
Muslim pun memberontak. Pemberontakan tersebut memberi Monarki Katholik alasan untuk lebih keras memperingatkan Muslim Andalusia: hukuman mati atau konversi menjadi kristiani. Gelombang besar pembaptisan terjadi. Pemberontakan masih terjadi di daerah pedalaman, tapi bisa diredam.
Pada 1502 pemberontakan berakhir dan Monarki Katholik melarang Islam sepenuhnya di Spanyol. Kenyataannya, sebagian “mantan Muslim” masih beribadah secara Islam dengan diam-diam. Mereka adalah MORISCO, yang pergi ke gereja pada hari Minggu, beribadah menurut ritual Katholik, tapi saat di rumah mereka shalat dan membaca Qur’an. Untuk itulah, Mufti Oran  mengeluarkan fatwa.
Otoritas Kristen mencium “ketidaktulusan” Morisco. Mereka pun membuat sejumlah undang-undang, sebagai bagian dari Lembaga Inkuisisi, untuk benar-benar membersihkan Morisco dari “masa lalu Islam” mereka.
Pada tahun 1511 mereka melarang penyembelihan hewan menurut hukum Islam.
Pada 1513 wanita Muslim dilarang menutupi wajah mereka.
Pada 1523 pakaian Muslim pada umumnya, dilarang. Orang-orang Morisco juga dilarang menggunakan pemandian dan menutup pintu rumah pada hari Jum’at untuk memastikan bahwa tidak ada yang diam-diam mendirikan shalat.
Pernikahan juga harus dihadiri otoritas Kristen setempat untuk memastikan mereka tidak mempraktikkan pernikahan Islam.
Pada 1526 bahasa Arab dilarang dan orang-orang Morisco dipaksa menggunakan bahasa Kastilia setiap waktu.
Namun… hingga seratus tahun setelah penaklukan Spanyol, orang-orang Morisco masih banyak yang mempraktikkan Islam. Banyak dari mereka ditangkap pasukan Inkuisisi.
Dan pada April 1609, Raja Philip III memutuskan mengusir semua orang Morisco yang tersisa di Spanyol. Warga dipaksa pergi ke pantai di mana kapal-kapal menunggu untuk membawa mereka ke Afrika Utara. Monarki menyita properti mereka. Anak-anak di bawah usia 4 tahun dibebaskan dari pengusiran, tapi diambil untuk dibesarkan sebagai umat kristiani.
Di selatan Spanyol, pemberontakan bangkit sekali lagi. Sebagian kecil orang Morisco mengumandangkan azan untuk pertama kali sejak lebih 100 tahun. Azan berkumandang di lembah-lembah dan bukit-bukit. Masyarakat melakukan shalat jamaah terbuka, yang tidak pernah terlihat sejak kejatuhan Granada. Pemberontakan ini—sekali lagi, dapat dipadamkan otoritas Spanyol.
Pada 1614, Islam benar-benar lenyap dari jazirah Iberia.
Ada laporan, sejumlah kecil Morisco entah bagaimana berhasil tetap tinggal di negeri tersebut. Mempraktikkan Islam secara rahasia selama berabad-abad….
 
Sumber : ngelmu.com
— Disarikan dari Bab Andalusia, buku Lost Islamic History: Sejarah Islam yang Hilang (Firas Al Khateeb), Bentang Pustaka, 2016

Sejarah Kepahlawanan Muslimah Aceh, Cut Meutia

Cut Nyak Meutia lahir di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 – meninggal di Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910, usia hingga 40 tahun.
Cut Meutia adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh. Dalam perjalanan kehidupannya Cut Nyak Meutia bukan saja menjadi mutiara keluarga dan Desa Pirak, melainkan ia telah menjadi mutiara yang tetap kemilau bagi nusantara.
Perjuangan melawan Belanda dimulai ketika Cut Meutia menikah dengan Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Di Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Chik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Chik Di Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Cut Meutia kemudian menikah dengan Pang Nanggroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Cut Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Cut Meutia gugur.
1. Kehidupan Awal
Latar Belakang Keluarga
Cut Meutia dilahirkan dari hasil perkawinan Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinan tersebut mereka dikarunia 5 orang anak. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya adalah laki-laki. Saudara tertua bernama Teuku Cut Beurahim disusul kemudian Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasan dan Teuku Muhammad Ali. Ayahnya adalah seorang Uleebalalang di desa Pirak yang berada dalam daerah keuleebalangan Keureutoe.
Daerah Uleebalang Pirak tempat kelahirannya merupakan daerah yang berdiri sendiri karena daerah ini mempunyai pemerintahan dan kehakiman tersendiri sehingga dapat memutuskan perkara-perkara dalam tingkat yang rendah. Saat daerah Uleebalang Pirak di bawah kepemimpinan Teuku Ben Daud (ayah Cut Meutia) suasana penuh dengan ketenangan dan kedamaian. Sebagai seorang yang bijaksana perhatian Teuku Ben Daud selalu tertumpah pada rakyatnya karena selain sebagai Uleebalang dia juga dikenal sebagai seorang ulama yang sampai akhir hayatnya tidak mau tunduk dan patuh pada Belanda, tidaklah mengherankan jika sifat kesatria itu terbina dalam diri Cut Meutia.
Masa Muda 
Pemberian nama yang indah pada dirinya dengan Meutia bukan saja karena paras wajahnya yang cantik, tetapi bentuk tubuh yang indah menyertainya. Pengakuan keindahaan rupa dan tubuhnya tidak luput dari perhatian seorang penulis Belanda yang mengungkapkan: “Cut Meutia bukan saja amat cantik, tetapi ia juga memiliki tubuh yang tampan dan menggairahkan. Dengan mengenakan pakaian adatnya yang indah-indah menurut kebiasaan wanita di Aceh dengan silueue (celana) sutera bewarna hitam dan baju dikancing perhiasan-perhiasan emas di dadanya serta tertutup ketat, dengan rambutnya yang hitam pekat dihiasi ulee cemara emas (sejenis perhiasan rambut) dengan gelang di kakinya yang melingkar pergelangan lunglai, wanita itu benar-benar seorang bidadari. (H.C Zentgraaff, 1983: 151)
Ketika dewasa Cut Meutia dinikahkan dengan Teuku Syamsarif yang mempunyai gelar Teuku Chik Bintara. Namun Syamsarif mempunyai watak lemah dan sikap hidupnya yang ingin berdampingan dengan Kompeni. Teuku Chik Bintara merupakan anak angkat dari Teuku Chik Muda Ali dan Cut Nyak Asiah, Uleebalang Keureutoe. Daerahnya mencakup Krueng Pase sampai ke Panton Labu (Krueng Jambo Aye) yang pusat pemerintahannya di daerah Kutajrat Manyang yang sekarang terletak 20 km dari kota Lhokseumawe.
Pernikahan mereka tidak bertahan lama. Akhirnya Cut Meutia bercerai dan kemudian menikah dengan adik Teuku Syamsarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong. Setelah itu ia dan suaminya berhijrah ke gunung untuk melawan Belanda.
2. Perlawanan Melawan Belanda
Perjuangan dengan Teuku Chik Tunong
Awal pergerakan dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan dari daerah Pasai atau Krueng Pasai (Aceh Utara) di bawah komando perang Teuku Chik Tunong. Mereka memakai taktik gerilya dan spionase dengan menggunakan untuk prajurit memata-matai gerak-gerik pasukan lawan terutama rencana-rencana patroli dan pencegatan. Taktik spionase dilakukan oleh penduduk kampung yang dengan keluguannya selalu mendapatkan informasi berharga dan tepat sehingga daerah lokasi patroli yang akan dilalui pasukan Belanda dapat segera diketahui.
Pada bulan Juni 1902, berdasarkan informasi dari spionasenya bahwa pasukan Belanda akan melakukan operasi patroli dengan kekuatan 30 orang personel di bawah pimpinan sersan VanSteijn Parve. Di dalam perlawanan tersebut pasukan Belanda mengalami kekalahan yang cukup besar yaitu matinya seorang pimpinan dan 8 orang serdadu serta banyak pasukan yang cidera berat dan ringan, sedang di pasukan muslim syahid 10 orang.
Kemudian pada bulan Agustus 1902, pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim, Blang Nie. Strategi yang dipakai oleh pasukan Aceh untuk mencegat pesukan Belanda adalah dengan menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang menyintai dan sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslim dapat merebut 5 pucuk senapan.
November 1902 diisukan oleh salah seorang pejuang muslimin (Pang Gadeng) bahwa pasukan Teuku Chik Tunong akan mengadakan kenduri yang bertempat di Gampong Matang Rayeuk di seberang sungai Sampoiniet. Mendapat kabar itu, Belanda melakukan perjalanan untuk menggempur pasukan yang tengah kenduri dan dipimpin oleh Letnan RDP DE Cok bersama 45 orang personelnya. Di dalam perjalanan, pasukan Belanda mendapatkan serangan jarak dekat yang dahsyat dari pasukan Chik Tunong sebagai akibat dari proses jebakan kabar burung yang telah disusun oleh Cut Nyak Meutia. Dalam penyerangan itu, Letnan De Cok dan 28 prajuritnya tewas serta 42 pucuk senapan diperoleh kaum muslimin.
Selain itu, pasukan Cut Meutia juga sering melakukan sabotase terhadap kereta api, penghancuran hubungan telepon hingga jalur perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda seperti di Lhoksukon dan Lhokseumawe. Tindakan ini sebagai tindakan balas dendam setelah Belanda melakukan penyerangan ke Desa Blang Paya Itiek yang merupakan akibat dari pengkhianatan Pang Ansari (dari Blang Nie) dimana pasukan Belanda menyerang pasukan Sultan Alaidin Mahmud Daudsyah sehingga Sultan dan pasukannya harus mundur diri ke Menasah Nibong Payakemuek.
Selanjutnya tanggal 9 Januari 1903, Sultan bersama pengikutnya seperti Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Raja Keumala dan pemuka kerajaan lainnnya telah menghentikan perlawanan dan menyatakan turun dari usaha bergerilya melakukan penyerangan pasukan Belanda. Atas dasar itu, Cut Nyak Meutia bersama suami pun turun gunung pada tanggal 5 Oktober 1903. Atas persetujuan komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe, HNA Swart, Teuku Tunong dan Cut Meutia dibenarkan menetap di Keureutoe tepatnya di Jrat Manyang dan akhirnya pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu.
Akhir perjuangan Teuku Chik Muhammad dan Cut Meutia adalah sebagai akibat dari peristiwa di Meurandeh Paya sebelah timur kota Lhoksukon pada tanggal 26 Januari 1905. Peristiwa ini diawali dengan terbunuhnya pasukan Belanda yang sedang berpatroli dan berteduh di Meunasah Meurandeh Paya. Pembunuhan atas pasukan Belanda ini merupakan pukulan yang sangat berat bagi Belanda. Di dalam penyelidikan Belanda, didapat bahwa Teuku Chik Tunong terlibat dalam pembunuhan itu. Maka dari itu, Teuku ditangkap dan dihukum gantung. Namun pada akhirnya berubah menjadi hukum tembak mati.
Pelaksanaan hukuman mati dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi pantai lhoksuemawe dan dimakamkan di Masjid Mon Geudong. Sebelum dihukum mati, Teuku Tunong mewasiatkan agar Pang Nanggroe yang merupakan sahabat perjuangannya untuk menikahi Cut Nyak Meutia serta menjaga anak-anaknya.
Perjuangan dengan Pang Nanggroe 
Sesuai amanah dari almarhum suaminya, Cut Meutia menerima lamaran Pang Nanggroe. Dan dengan beliau, Cut Meutia melanjutkan perjuangan melawan Belanda dengan memindahkan markas basis perjuangan ke Buket Bruek Ja. Pang Nanggroe mengatur siasat perlawanan melawan patroli marsose Belanda bersama dengan Teuku Muda Gantoe. Penyerangan Cut Meutia dan Pang Nanggroe dimulai dari hulu Kreueng Jambo Ayee, sebuah tempat pertahanan yang sangat strategis karena daerah tersebut merupakan daerah hutan liar yang sangat banyak tempat persembunyian. Pasukan muslimin melakukan penyerangan ke bivak-bivak Belanda dimana banyak pejuang muslim yang ditahan.
Pada tanggal 6 Mei 1907, pasukan Pang Nanggroe melakukan penyerbuan secara gerak cepat terhadap bivak yang mengawal para pekerja kereta api. Dari hasil beberapa orang serdadu Belanda tewas dan luka-luka. Bersama itu pula dapat direbut 10 pucuk senapan dan 750 butir peluru serta amunisi.
Pada tanggal 15 Juni 1907, pasukan Pang Nanggroe menggempur kembali sebuah bivak di Keude Bawang (Idi), pasukan Belanda mengalami kekalahan dengan tewasnya seorang anggota pasukan dan 8 orang luka-luka.
Taktik penyerangan Cut Meutia yang lain pula adalah jebakan yang dirancang dengan penyebaran kabar bahwa adanya acara kenduri di sebuah rumah dengan mengundang pasukan Belanda. Rumah tersebut telah diberikan jebakan berupa makanan yang lezat, padahal pondasi rumah itu telah diakali dengan potongan bambu sehingga mudah diruntuhkan. Pada saat pasukan Belanda berada di dalam rumah tersebut, rumah diruntuhkan dan pasukan Cut Meutia menyerang secara membabibuta.
Penyerangan pasukan Cut Meutia juga terjadi pada rel kereta api sebagai usaha untuk memutuskan jalur distribusi logistik dan jalur kereta apinya. Di pertengahan tahun 1909 sampai Agustus 1910 pihak Belanda atas petunjuk orang kampung yang dijadikan tawanan telah mengetahui pusat pertahanan pasukan Pang Nanggroe dan Cut Nyak Meutia. Beberapa penyerangan dilakukan, namun pasukan Cut Meutia yang selalu berpindah tempat membuat Belanda susah untuk menangkapnya. Beberapa penyerangan dilakukan di daerah Jambo aye, Peutoe, Bukit Hague, Paya Surien dan Matang Raya.
Namun pada tanggal 25 September 1910, saat terjadi penyerangan di daerah Paya Cicem, Pang Nanggroe terkena tembakan Belanda sehingga meninggal dunia setelah mewasiatkan kepada anaknya Teuku Raja Sabi untuk mengambil rencong dan pengikat kepala ayahnya dan menjaga ibundanya Cut Nyak Meutia. Makam Pang Nanggroe terletak di samping Mesjid Lhoksukon.
Cut Meutia Memimpin Pasukan
Setelah Pang Nanggroe syahid, pasukan dipimpin langsung oleh Cut Meutia dan basis pertahanan dipindahkan ke daerah Gayo dan Alas bersama pasukan yang dipimpin oleh Teuku Seupot Mata. Pada tanggal 22 Oktober 1910, pasukan Belanda mengejar pasukan Cut Meutia yang diperkirakan berada di daerah Lhokreuhat. Esoknya pengejaran dilakukan kembali ke daerah Krueng Putoe menuju Bukit Paya sehingga membuat pasukan Cut Meutia semakin terjepit dan selalu berpindah antar gunung dan hutan belaBelanda yang sangat banyak.
Dalam pertempuran tanggal 25 Oktober di Krueng Putoe, pasukan Cut Meutia menghadapi serangan Belanda. Di sinilah Cut Meutia syahid bersama pasukan muslim yang lain seperti Teuku Chik Paya Bakong, Teungku Seupot Mata dan Teuku Mat Saleh. Menjelang gugurnya, Cut Meutia mewasiatkan kepada Teuku Syech Buwah untuk tidak lagi menghadapi serangan belanda, taktik selanjutnya adalah mundur sejauh mungkin dan menyusun serangan kembali, karena posisi mereka sudah sangat terjepit kali ini. Cut Meutia juga menitipkan anaknya untuk dicari dan dijaga.
 
Sumber : Wikipedia Bahasa Indoensia, Jurnalis JH Blog, Tokoh Indonesia
 
Keterangan foto Cut Meutia memang banyak versi dan tidak ada yang asli, bisa dilihat penjelasannya di : Link penjelasan foto cut meutia

Dialog Heraklius dengan Abu Sofyan tentang Islam dan Rasulullah

Mengutip dan menyimpulkan kisah dari buku Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyur Rahman Al-Mubarakfury yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Kathur Suhardi. Percakapan antara Heraklius, kaisar Romawi dengan Abu Sofyan, paman Rasul sendiri yang pada saat itu belum masuk Islam dan sedang berdagang di Syam. Disaat yang sama korespondensi oleh Rasul melalui utusan beliau Dihyah bin Khalifah Al Kalby kepada Kaisar Roma yang sedang berkuasa, Heraklius, pada akhir tahun 6 H.
Heraklius yang saat itu berada di Baitul Maqdis mengundang Abu Sufyan untuk ikut pertemuan dimana dihadiri para pembesar Roma. Heraklius mengajukan beberapa pertanyaan ‘spekulatif’   kepada Abu Sufyan tentang Rasul dan ajaran (Islam) yang dibawa Muhammad. Berikut pertanyaan sekaligus jawaban dari Heraklius.
Pada pertemuan itu, Raja Heraklius hadir dengan pembesar kerajaannya. Heraklius memanggil seorang penerjemah untuk menerjemahlan dialognya dengan rombongan Abu sufyan.
Raja Heraklius kemudian berkata kepada penerjemahnya, “Tanyakan kepada mereka, siapa yang paling dekat dengan nasab (karis keturunan)nya dengan Muhammad yang mengklaim dirinya seagai seorang Nabi dari negeri Arab!”
Mendengar pertanyaan tersebut, Abu Sufyan menjawab, “Akulah yang paling dekat nasabnya dengan Muhammad.”
Heraklius kemudian berkata kepada penerjemaahnya“Beritahukan kepada Abu Sufyan bahwa aku akan mengajukan kepadanya beberapa pertanyaan. Katakan kepada kawan-kawannya jika Abu Sufyan telah menjawab pertanyaanku, hendaknya mereka memberitahuku diriku kenyataan yang sesungguhnya. Jika benar katakan benar. Jika salah katakan salah”
Pertanyaan pertama yang dilontarkan Heraklius kepada Abu Sufyan ialah, “Bagaimanakah nasab orang ini (Muhammad) di antara kalian?”
Abu Sufyan menjawab, “Dia adalah orang yang memiliki nasab yang mulia dalam kabilah bangsa Arab”
Heraklius bertanya, “Apakah ada orang sebelumnya yang telah menyatakan apa yang telah dia ucapkan itu?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak”
Heraklius bertanya, “Apakah dia berasal dari keturunan raja?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak”
Raja romawi itu bertanya lagi, “Apakah pengikutnya adalah orang-orang mulia dan para pembesar?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak, para pengikutnya adalah orang-orang miskin dan orang-orang yang lemah”
Heraklius bertanya lagi, “Apakah pengikutnya itu bertambah terus atau semakin berkurang?”
Abu Sufyan menjawab, “Pengikutnya semakin hari semakin bertambah dan tidak pernah berkurang”
Heraklius bertanya lagi, “Apakah di antara mereka ada yang meninggalkan agama mereka karena membenci agama itu?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada”
Raja romawi ini bertanya lagi, “Apakah kalian menuduh dia berdusta atas apa yang diucapkannya bahwa dia mengklaim dirinya sebagai Nabi? Sebelum dia menyatakan bahwa dia adalah seorang nabi, apakah dahulunya dia adalah seorang pendusta?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak”
Kemudian, Abu Sufyan ditanya lagi, “Apakah dia suka menghianati perjanjian?”
Abu Sufyan menjawab, “Tidak. Sepanjang kami hidup bersama dalam satu kabilah dengannya, kami tidak pernah melihat dia berdusta dalam bicara dan tidak pernah berkhianat dalam melakukan perjanjian. Pada saat ini, kami juga sedang melakukan perjanjian dengannya, tetapi kami tidak tahu apa yang akan dia lakukan.”
Raja Romawi itu melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kalian memerangi mereka?”
Abu Sufyan menjawab, “Sejujurnya kami memang sedang memerangi mereka”
Heraklius bertanya lagi. “Lantas bagaimana hasil dari pertempuran kalian dengan mereka?”
Abu Sufyan menjawab, “Manakala kami berperang, kadang kami yang menang dan kadang mereka yang menang”
Heraklius berujar, “Dia telah mengaku sebagai seorang Nabi kepada kalian. Lalu apa yang diperintahkan Muhammad kepada kalian?”
Abu Sufyan menjawab, “Muhammad mengajak kami dan menyuru kami bersaksi, ‘Sembahlah Allah semata dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.’ Muhammad juga Menyeruh kami untuk meninggalkan apa yang diucapkan oleh nenek moyang kami (menyembah berhala). Dia juga menyeruh kami untuk menegakkan shalat, membayar zakat, berlaku jujur, bersikap sederhana dan hidup bersahaja, serta senantiasa menyambung silaturahim”
Maksud dan Tujuan Pertanyaan Raja Heraklius
Setelah semua pertanyaan diajukan dan dijawab Abu sufyan, Heraklius menjelaskan maksud dan tujuannya dari pertanyaan-pertanyaannya.
Heraklius menjelaskan, “Aku bertanya kepadamu tentang nasabnya (Muhammad) di antara kalian, seperti apa sejatinya nasabnya? Engkau menjawab bahwa dia memiliki nasab yang mulia, orang terpandang. Memang seperti itulah adanya para Nabi yang diutus di tengah-tengah kaumnya. Mereka berasal dari nasab-nasab yang luhur
Kemudian, aku menanyakan kepadamu apakah ada orang-orang sebelumnya yang telah mengklaim bahwa dirinya adalah seorang Nabi. Engkau menjawab, Tidak. Itulah realitas yang benar, sebab jika sebelumnya ada di antara keluarganya yang menyatakan perkataan tersebut, bisa saja dia hanya ikut-ikutan mengklaim dirinya sebagai seorang Nabi. Namun, faktanya tidak ada.
Aku tanyakan kepadamu tentang apakah ada bapak ataupun kakek (leluhurnya) yang menjadi raja. Engkau menjawab tidak ada. Itula realitas yang patut dipercaya, sebab jika sekiranya ada bapak atau kakeknya yang menjadi sorang Raja, mungkin saja dia mengucapkan perkataan tersebut hanya karena ingin mencari kekuasaan atau merebut kekuasaan yang pernah diraih leluhurnya
Heraklius, Raja Romawi Mengakui Muhammad saw sebagai Seorang Rasul
Aku telah menanyakan kepadamu tentang sikap dan respon kalian sebelum dia mengaku sebagai seorang nabi, adakah kalian menuduhnya pembohong dan manusia penuh dusta. Engkau menjawab tidak. Itulah realitas yang benar, sebab aku tahu persis bahwa seorang nabi tidak akan pernah berdusta kepada manusia, apalagi berdusta atas nama Tuhan
Aku juga bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah para pengikutnya itu pembesar dan dan pejabat. Engkau menjawab kalau para pengikutnya adalah orang-orang lemah dan orang-orang miskin. Itulah realitas yang benar, sebab memang demikianlah adanya. Pengikut para nabi pada masa lalu adalah dari kalangan orang-orang lemah dan miskin
Kemudian, Aku tanyakan kepadamu adakah para pengikutnya semakin bertambah atau berkurang. Engkau menjawab kalau para pengikutnya semakin bertambah dan tidak pernah berkurang. Itulah realitas yang benar, sebab pengikut nabi akan semakin bertambah dan bertambah terus sampai menjadi sempurna.
Aku telah bertanya kepadamu, apakah ada di antara mereka yang keluar dari agamanya kerena membenci agama itu. Engkau menjawab tidak ada satu pun. Itulah realita yang benar, sebab jikalau keimanan telah bersatu dengan hati, dia tidak akan bisa keluar lagi.
Aku juga menanyakanmu tentang keadaannya, apakah dia pernah berkhianat. Engkau menjawab tidak. Itulah realitas yang benar, sebab memang seperti itulah karakteristik dasar para Rasul Allah. Mereka tidak ada yang pernah berkhianat.
Kemudian, Aku menanyakan kepadamu tentang apa yang diperitahkan Muhammad kepada kalian. Engkau menjawab bahwa ia memerintahkan untuk beribadah kepada Allah semata dan melarang kalian untuk melakukan perbuatan syirik. Dia juga mengajak untuk melaksanakan ibadah shalat, zakat, puasa, bersikap jujur, sederhana, tidak gila dunia, serta menyambung silaturahim.”
Heraklius lalu berkata kepada Abu Sufyan dan kawan-kawannya yang disaksikan seluruh petinggi kerajaan, Wahai Abu Sufyan, jika semua yang telah kau terangkan itu betul semuanya, dia akan memerintah sampai ke tempatku berpijak di kedua telapak kakiku ini.
Sesungguhnya, aku telah tahu (ramalan) bahwa dia akan lahir. Namun, aku tidak mengira bahwa dia akan lahir dari klan anak bangsa di antara kalian.
Kemudian Heraklius Kaisar Romawi itu berkata, “Sekiranya aku dapat bertemu dengannya (nabi Muhammad saw). Walaupun dengan susah payah, aku akan berusaha untuk menemuinya. Jika aku berhasil berada di dekatnya, aku akan mencuci kedua telapak kakinya. Seandainya aku tahu jalan menuju ke tempatnya, aku akan berusaha untuk bisa menuju ke tempatnya dan jika aku menemuinya, aku akan membasuh kedua kakinya.” (HR Bukhari)