by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 17, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Setiap hari orang Yahudi satu ini selalu mengejek Rasul, kadang melemparinya dengan batu. Tapi Rasulullah tidak membalasnya.
Suatu hari, Yahudi ini tidak kelihatan batang hidungnya. Rasulullah pun heran. Ia bertanya menanyakan ihwal orang Yahudi yang selalu mengganggunya itu.
Akhirnya beliau mendapat kabar bahwa anaknya sakit. Rasulullah kemudian datang ke rumah orang tersebut dan membawakan makanan bagi anaknya yang sakit itu.
Ketika datang, Yahudi tersebut demikian kaget. Ia tidak menyangka Rasulullah yang tiap hari dia ejek dan lempati batu, ternyata menjenguk anaknya yang tengah sakit. Saudara dan kaumnya sendiri pun tidak ada yang menengoknya.
Rasulullah datang menyampaikan makanan dan berdoa agar anak tersebut sembuh. Lalu Rasulullah bersabda kepada anak tersebut. “Masuklah Islam!”.
Sang anak kemudian menengok kepada bapaknya seakan-akan meminta izin. Akhirnya sang bapak mengatakan, “‘Taati Abul Qasim. Ikutilah apa yang dikatakan Muhammad!”. Akhirnya anak tersebut sembuh dan masuk Islam.
by Muhammad Syukron msyukron | Jan 14, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
Islam sangat perhatian dalam urusan kepemimpinan, saking pentingnya masalah ini hingga suatu ketika, saat Rasulullah SAW wafat, jenazahnya tidak segera dimakamkan, karena belum jelas siapakah yang didaulat menjadi pemimpin sepeninggal Rasulullah SAW.
Para sahabat, yang merupakan orang-orang yang paling mengetahui urusan agama setelah Rasulullah SAW tidak segera memakamkan jasad Rasulullah SAW karena mereka paham, pentingnya seorang pemimpin didalam Islam, hingga jasad Rasulullah SAW dimakamkan setelah dipilihnya seorang pemimpin baru menggantikan manusia agung tersebut.
Setelah melakukan proses diskusi akhirnya sahabat Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, seorang yang paling dekat dengan Rasulullah SAW dipilih secara aklamasi untuk menggantikan posisi Rasulullah SAW sebagai pemimpin kaum muslimin. Sempat menolak didaulat sebagai pemimpin, Abu Bakar Ash-Shiddiq RA pun tidak punya alasan kuat untuk tidak menerima amanah tersebut, sebab semua sahabat Rasulullah SAW yang hadir saat itu sepakat untuk menjadikannya sebagai pengganti Rasulullah SAW. Akhirnya Abu Bakar pun menerima amanah berat tersebut
Abu Bakar sangat mengerti bahwa tidaklah mudah menjadi pemimpin dan berat sekali pertanggung jawabannya dihadapan Allah SWT, karenanya ia pun bersedih, dan didalam pidato pelantikannya sebagai pemimpin ia pun menyampaikan sebuah pesan yang sangat berharga, menunjukkan kerendah hatian dan kesungguhannya dalam memimpin. Abu Bakar berpesan :
“Wahai sekalian manusia, hari ini aku telah dipilih sebagai pemimpin bagi kalian, dan aku yakin bahwa aku bukanlah yang terbaik diantara kalian. Maka jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebenaran, bantulah aku. Namun jika kalian melihat kepemimpinanku dalam kebatilan maka ingatkanlah aku dan bersikap keraslah kepadaku”
‘Ibrah :
Saudaraku, banyak sekali pelajaran yang bisa kita ambi dari kisah diatas, diantaranya :
1. Janganlah kita mengajukan diri sebagai seorang pemimpin, kecuali jika kita benar-benar yakin mampu mengemban amanah tersebut. Sebab sungguh berat pertanggung jawabannya disisi Allah SWT. Namun jika semua orang/sebuah forum sepakat menjadikan kita sebagai pemimpin bagi mereka, maka seorang muslim sejati tidak akan berlari dari amanah dan siap mengemban amanah tersebut tanpa penghianatan sedikitpun.
2. Ketika kita dijadikan sebagai pemimpin, maka bersikap sederhanalah dan jangan mengungkapkan janji-janji yang mewah yang belum tentu kita mampu merealisasikannya. Sebab setiap janji adalah hutang dan detiap hutang dituntut pengembaliannya.
Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang sederhana didalam kehidupan ini.
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 10, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Seorang yang senang berghibah duduk di dekat ar-Rabi ibn Khutsaym. Sebagian orang memang memiliki lisan yang suka membicarakan keburukan orang. Ia laksana gergaji yang memotong kehormatan atau seperti lalat yang suka bertengger pada bagian yang luka.
Setiap manusia memiliki kesalahan. Namun peng-ghibah suka mengumpulkannya. Ia suka memperhatikan orang-orang. Ia tidak senang dengan kesuksesan orang. Dirinya sakit. Melihat orang dengan pandangan buruk. Yang terlihat hanya aib dan kekurangan orang.
Namun sebagian lagi memiliki hati yang bersih. Ia selalu berusaha memaklumi saudaranya. Ia melihat pada sisi-sisi positif dari kehidupan mereka dan kepada akhlak mereka yang mulia. Ia memuji sisi tersebut.
Nah, orang yang suka berghibah tadi datang kepada ar-Rabi ibn Khutsaym. Mendengar hal itu a-Rabi berujar, “Engkau sudah berperang dengan Romawi?”
“Belum,” jawabnya.
“Engkau sudah berjihad melawan Persia?” tanyanya lagi
“Belum.” jawabnya
“Romawi dan Persia selamat darimu, sementara saudaramu sendiri sesama muslim tidak selamat dari lisanmu?!”
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 5, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Pada suatu hari, seorang anak yang berusia sepuluh tahun masuk ke dalam cafe. Ia duduk di sebuah meja. Seorang pelayan wanita segera meletakkan sebuah gelas berisi air di depannya. Lalu anak tadi bertanya, “Berapa harga es krim dengan coklat?” pelayan itu menjawab, “Lima dollar.”
Si anak mengeluarkan tangan dari sakunya dan mulai menghitung uang yang ia miliki. Ia kembali bertanya, “Baik, berapa harga es krim tanpa coklat?”
Ketika itu banyak pelanggan lain yang menunggu kosongnya meja di cafe agar bisa duduk. Sehingga si pelayan menjadi marah dan menjawab dengan ketus, “Empat Dollar.”
Si anak kembali menghitung uangnya. “Kalau begitu saya pesan es krim biasa,” ujarnya. Si pelayan segera memberikan pesanannya dan meletakkan kwitansi di atas meja lalu pergi.
Anak tadi menghabiskan es krimnya, lalu membayar, dan pergi meninggalkan cafe. Ketika pelayan kembali ke meja anak tadi dan mengelapnya ia menangis.
Ia menemukan uang satu dollar di samping mangkok yang sudah kosong. Anak tersebut sengaja tidak minum es krim bercampur coklat untuk menyisakan satu dollar guna diberikan kepada si pelayan.
Ketika itulah si pelayan menyesal telah memarahi orang yang justru bermurah hati padanya.
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 5, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Diriwayatkan dari Wahb bin Munabbih, bahwa ada setan yang ingin menyesatkan seorang rahib yang sedang berada di tempat peribadatannya. Namun tidak bisa.
Maka, ia datang memanggilnya dengan berkata, “Bukalah!” Namun sang rahib tidak merespon. Lalu setan berkata, “Aku adalah al-Masih.”
Rahib itupun menjawab, “Jika engkau al-Masih, lantas apa yang harus aku lakukan? Bukankah engkau yang telah memerintahkanku untuk beribadah, bersungguh-sungguh, dan engkau menjanjikan akan datangnya hari kiamat? Jika sekarang engkau datang dengan membawa yang lain kami tidak akan menerima.”
Akhirnya ia berkata, “Aku adalah setan. Aku ingin menyesatkanmu akan tetapi aku tidak mampu. Maka, aku datang kepadamu agar engkau bisa menanyakan sesuatu dan aku akan memberitahu.”
Mendengar hal tersebut sang rahib berkata, “Coba beritahu padaku, akhlak yang seperti apa yang paling bisa membantumu untuk menguasai manusia?”
Ia berkata, “Marah. Jika seseorang marah, aku bisa mempermainkannya sebagaimana seorang anak kecil mempermainkan bola.”
ed : danw
by Muhammad Syukron msyukron | Dec 6, 2015 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
Imam Asy-Syafi’i begitu biasa ia dipanggil, nama yang begitu terkenal, bahkan hampir semua kaum muslimin dimuka bumi ini pernah mendengar namanya. Beliau salah seorang imam madzhab. Lahir di Gaza, pada bulan rajab tahun 150 H dengan nama lengkap Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman Asy-syafi’i. Ia keturunan Arab dari kabilah Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah SAW pada kakeknya Abdu Manaf.
Meski lahir dari keturunan kabilah yang sangat mulia, Imam Syafi’i tidaklah seberuntung orang-orang yang hidup se-zaman dengannya, ia lahir dan tumbuh dalam keluarga yang faqir. Ayahnya wafat saat usianya baru menginjak 2 tahun. Imam Syafi’i berkata : “Aku adalah seorang yatim dibawah asuhan ibuku. Ibuku tidak mempunyai dana untuk membayar seorang guru agar mengajariku”.
Tumbuh dalam kondisi yatim dan faqir tidaklah membuat Imam Sya’fi’i lemah dan hina, bahkan kelak ia menjadi orang yang sangat dihormati dan disegani karena ilmu dan kecerdasan yang dimilikinya.
Perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu dimulai saat ibunya (Fatimah) membawanya ke Makkah Al-Mukarramah, dan tinggal disebuah kampung dekat Masjidil Haram, yang disebut kampung Al-Khaif. Disana ia mendapati sebuah halaqah Al-Qur’an yang dibimbing orang seorang Syaikh yang sangat menguasai ilmu Al-Qur’an. Rasa ingin tahu dan ingin bisa Imam Syafi’i begitu besar, hingga ia memutuskan untuk mendengarkan halaqah tersebut meski tidak ikut didalamnya.
Karena kesungguhan dan keseringannya mendengarkan halaqah tersebut, sang Syaikh pun mengizinkan Imam Syafi’i untuk ikut duduk didalam halaqahnya. Bahkan kemudian sang Syaikh pun sangat takjub dengan kecerdasan yang dimiliki Imam Syafi’i. Ia mampu menghafal apa yang didiktekan oleh Syaikh dengan waktu yang sangat cepat. Karena kecerdasannya itu sang Syaikh pun berkata : “Demi Allah, aku tidak pantas mengambil bayaran dari kamu sesen pun”.
Imam Syafi’i pun berhasil menghatamkan hafalan Al-Qur’annya pada usia tujuh tahun, bahkan pada usia ini ia telah banyak menghafal bait-bait syair matan-matan ilmu bahasa, sebab terkadang ia pergi kepedalaman untuk mempelajari bahasa dari para ahli bahasa yang ada disana.
Selesai menghatamkan hafalan Al-Qur’annya Imam Syafi’i pun kemudian belajar memperdalam ilmu hadits dan fiqh dari para ulama yang ada di Masjidil Haram. Karena kefaqirannya Imam Syafi’i terpaksa harus mencatat apa yang disampaikan oleh para gurunya diatas tulang belulang yang ia temukan. Karena begitu banyak tulang-belulang yang memenuhi lemarinya Imam Syafi’i pun memutuskan untuk menghafal semua yang tertulis ditulang belulang tersebut, hingga akhirnya ia pun berhasil menghafal semuanya dengan begitu cepat.
Karena kecerdasan dan kepandaiannya, dengan waktu cepat Imam Syafi’i mampu menjadi seorang ahli tafsir dan bahasa Arab, Sofyan bin Uyainah seorang muhaddits (ahli hadits) Masjidil Haram ketika mendapatkan pertanyaan yang sulit seputar tafsir dan fiqih pun menoleh kearah Imam Syafi’i seraya berkata : “Coba tanyakan kepada anak itu”. Bahkan Syaikh Muslim bin Khalid, seorang Syaikh Masjidil Haram yang juga guru pertamanya telah mengizinkannya untuk berfatwa saat usianya menginjak 15 tahun.
Kemampuannya dalam menguasai berbagai bidang agama lantas tidak melenakannya untuk terus belaja rmendalami ilmu agama. Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i mendengar kehebatan seorang alim di kota Madinah Al-Munawarah, seorang penulis kitab Al-Muwaththa’ yang sangat terkenal yakni, Imam Malik bin Anas.
Dengan bantuan Gubernur Makkah dan Gubernur Madinah saat itu, Imam Syafi’i pun berhasil bertemu dengan Imam Malik. Lantas ia menyampaikan keinginannya memperdalam kitab Al-Muwaththa’. Sempat ditolak berguru Imam Syafi’i pun menunjukkan kecerdasannya, ia mengatakan kepada Imam Malik bahwa ia telah menghafal sebagian isi kitab Al-Muwaththa’ dari sahabatnya yang ada di Makkah seraya menyebutkan apa yang ditulis oleh Imam Malik dalam kitab monumentalnya tersebut. Imam Malik pun takjub dengan kecerdasannya, akhirnya Imam Syafi’i pun diizinkan berguru dengannya. Kurang lebih 8 bulan Imam Syafi’i bersama Imam Malik, hampir disetiap majelis Imam Malik selalu mendampinginya, hingga akhirnya Imam Syafi’i berhasil mengusai semua isi kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik.
Selesai menguasai isi kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik, Imam Syafi’i pun memiliki keinginan untuk memperdalam apa yang diajarkan oleh Imam Abu Hanifah melalui muridnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan yang berada di Iraq. Dengan bekal 64 dinar yang diberikan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i pun berangkat ke Iraq dan menemui murid Abu Hanifah tersebut.
Beberapa lama tinggal di Iraq Imam Syafi’i pun berhasil menguasai apa yang disampaikan oleh murid Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i pun menjadi orang yang sangat dikenal oleh para penuntut ilmu saat itu bahkan hingga kini. Setiap orang yang belajar ilmu agama pasti ia mengetahui kecerdasan dan kehebatan Imam Syafi’i dalam menguasai ilmu agama.
Karena kecintaannya terhadap ilmu Imam Syafi’i pun terus melakukan perjalanan demi menguasai ilmu yang dimiliki oleh para ulama yang ada di zamannya.Tercatat ia pun telah melakukan perjalanan ke Persia, Yaman, dan Mesir. Semua ia lakukan untuk menguasai ilmu agama dan mengajarkannya ikhlas karena Allah SWT.
Imam Syafi’i wafat pada malam jum’a tmenjelang subuh, pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 H, dalam umurnya yang ke 54 tahun. Semoga Allah merahmatimu wahai Imam…
Referensi :
1. Kitab Hilyatul Auliya’ wa Thabaqatul Ashfiya’ karya Abu Nu’aim Al-Ashfahani
2. Buku 60 Biografi Ulama Salaf, terjemahan kitab Min a’lam As-Salaf karya Syaikh Ahmad Farid
3. Buku Perjalanan Ulama Menuntut Ilmu, terjemahan kitab Rihlatul Ulama Fi Thalabil ‘Ilmi, karya Abu Anas Majid Al-Bankani
4. Buku Biografi 10 Imam Besar, terjemahan kitab Hayaatul Aimmah, karya Syaikh M.Hasan Al-Jamal
ed : danw