by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 15, 2016 | Konsultasi Umum
Assalamu’alaikum wr wb. Untuk ustad/ustadzah kami ingin bertanya :
- Istri saya adalah seorang dokter hewan, dan kami memiliki seekor anjing untuk dipelihara dengan tujuan untuk menjaga klinik kami, apakah hal tsb diperbolehkan?
- Di klinik kami juga menerima anjing titipan yg sakit dr klien untuk masa penyembuhan (rawat inap) apakah juga diperbolehkan?
- Kami ingin mengembangkan usaha breeding anjing bagaimana hukumnya? Demikian yg kami tanyakan. Terima kasih Wassalamu’alaikum wr wb
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pertama, tidak boleh memelihara anjing kecuali kalau ada tujuan atau kebutuhan mendesak. Pasalnya, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qirath” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas dan sejumlah hadits lainnya yang senada para ulama membolehkan memelihara anjing jika tujuannya untuk berburu atau menjaga. Syaratnya anjing tersebut harus ditempatkan di tempat yang jauh dari perabot rumah tangga atau barang yang sering disentuh oleh manusia, terutama keluarga, agar terhindar dari najisnya.
Kedua, tidak ada larangan bagi seseorang untuk berbuat baik kepada binatang, termasuk anjing. Apalagi jika ia berada dalam kondisi sakit selama bisa menghindarkan diri dari najis dan bahayanya. Perbuatan baik dalam menolong hewan dan merawatnya termasuk perbuatan ihsan.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Ketika seseorang berjalan dan merasa sangat haus, ia singgah di sebuah sumur. Ia minum dari air sumur tersebut lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang tampak sangat kehausan. Ia merasa bahwa rasa haus yang dialami oleh anjing tersebut seperti yang ia alami sebelumnya. Maka, ia lepaskan sepatu khufnya lalu ia pergunakan sebagai wadah untuk mengambil air dan diberikanlah air tersebut kepada anjing tadi. Dengan perbuatannya tersebut, Allah berterima kasih dan memberikan ampunan untuk orang itu.” (HR Bukhari Muslim)
Ketiga, terkait dengan hukum breeding (ternak) anjing, maka hal itu sangat terkait dengan sejauh mana najisnya dapat dihindari dan tujuannya. Dengan kata lain, selama najisnya dapat dihindari dan selama ada kebutuhan mendesak yang sesuai dengan tuntunan syariah, maka hal itu tidak dilarang.
Namun jika najisnya sulit dihindari dan tidak ada kebutuhan mendesak, apalagi hanya untuk bisnis semata, maka hal itu tidak dibenarkan.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 14, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamualaikum wr wb. Saya seorang laki-laki yang akan berencana menikahi seorang janda. Namun, saat ini calon saya mengalami kecelakaan hebat dan membutuhkan banyak darah, kemudian saya donor darah saya untuk dia. Nah pertanyaan saya apakah saya tetap boleh menikahi dia walaupun ada darah dalam tubuh dia, sekian terimakasih atas jawabannya. Wassalamu alaikum wr wb.
Hamba Allah
Jawaban:
Assalamu’alaikum wr wb.
Donor darah sama sekali tidak mempengaruhi kemahraman dan pernikahan. Posisinya berbeda dengan menyusui.
Dengan ketentuan yang sudah digariskan, menyusui bisa mempengaruhi kemahraman. Misalnya seperti dalam surat an-Nisa ayat 22, tidak boleh menikahi anak atau saudara sesusuan.
Hal ini tidak berlaku pada donor darah. Sebanyak apapun darah yang diberikan, ia tidak mempengaruhi kemahraman. Yang jelas, donor darah untuk mereka yang membutuhkan termasuk amal yang pahalanya besar sesuai dengan kadar atau kondisi orang yang membutuhkannya. Lewat donor darah bisa jadi banyak nyawa yang terselamatkan dengan izin Allah.
Wallahu a’lam. Wassalamu’alaikum wr wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 12, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamu alaikum, Saya memiliki bisnis kaos anak yang kami beru nama “Kaos Edukatif Anak Muslim”, Tulisan pada kaos kami berisi hal-hal edukatif Islam yang kami maksudkan sebagai alternatif bagi anak agar anak anak jangan hanya memakai kaos yang bergambar barbie, naruto dan super hero lain. Namun demikian kami ingin mengkonsultasikan tentang beberapa desain yang rencana akan kami Rilis, salah satunya alah Desain dengan tulisan : Subhanallah, Glory be to Allah, Maha Suci Allah. Kami ingin mengetahui dari sisi syariah apa hukum tulisan Allah pada kaos, dan juga kami rencana membuat gantungan kunci dengan tulisan yang sama. Mohon lihat file terlampir untuk disain yang kami maksud. Jazakumullah khair
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Setiap muslim hendaknya menghindari perbuatan atau tindakan yang mengarah pada penghinaan, penistaan, dan perendahan terhadap nama Allah. Termasuk hendaknya tidak memberikan peluang kepada orang lain untuk melakukan hal tersebut.
Nah membuat, menuliskan, dan memakai pakaian, kaos, perhiasan, serta benda bertuliskan nama Allah membuka peluang adanya penistaan tersebut. Apalagi di zaman sekarang saat pengetahuan dan kesadaran beragama umat Islam tidak begitu kuat.
Bisa jadi pakaian, kalung, atau gantungan kunci yang bergambar atau bertuliskan nama Allah tersebut dipakai saat masuk ke dalam toilet, dipakai tidur, atau diletakkan di tempat yang tidak layak.
Ibnu Hajar al-Haytsami berkata, “Dilarang menginjak kertas atau kain yang bertuliskan nama Allah dan nama Rasul-Nya. Sebab hal itu mengandung unsur penghinaan…”
Ketika ditanya tentang boleh tidaknya masuk ke kamar kecil dengan pakaian bertuliskan nama Allah, Lajnah Daimah menjawab, “Tidak boleh nama Allah dituliskan di atas pakaian. Juga makruh hukumnya masuk kamar kecil dengan pakaian tersebut karena di dalamnya ada unsur merendahkan nama Allah Swt.”
Karena itu, hendaknya nama Allah tidak dituliskan baik di atas kaos atau gantungan kunci, terkecuali apabila aman dan terjaga dari adanya unsur merendahkan nama-Nya yang agung dan mulia.
Adapun edukasi untuk anak bisa dilakukan dengan cara atau tulisan lain yang benar dan aman secara syariat. Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Farid Numan Hasan faridnuman | Feb 1, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamu’alaikum wr wb. Ustad yang semoga dicintai Allah. Amiin. Ustad, saya ingin bertanya. Apakah dibolehkan dalam Islam mengazankan bayi ketika lahir.
Suriansyah Arya
Jawaban:
Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.
Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan bayi. Ada yang menyebut bid’ah karena tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan. Demikianlah, wallahu a’lam. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa adzan disyariatkan.
Dari Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:
“Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.7986, Ahmad No. 23869)
Syaikh Al Albany berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514) Selain itu Imam Al Hakim juga menshahihkannya, namun Imam Adz Dzahabi telah mengoreksinya.
Selain itu, Al Imam Al Hafizh Yahya bin Said Al Qaththan juga menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib (guncang). (Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 2135. 1997M-1418H. Dar Ath Thayyibah, Riyadh)
Namun Syaikh Al Albani dalam penelitian akhirnya dia mendhaifkan hadits ini. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
“Syaikh Nashir (Al Albani) telah menghasankan hadits tersebut dalam sebagian kitabnya, tetapi pada kahirnya dia menarik kembali pendapat itu. Sebab dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang dhaif, yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah. Beliau telah enyebutkan bahwa dalam kitab Syu’abul Iman karya Imam Al Baihaqi ada hadits dari Al Hasan yang terkait dengan azan, dan telah disebutkan: hadits tersebut (riwayat Al Baihaqi) merupakan penguat hadits ini (riwayat At Tirmidzi dari Abu Rafi’ di atas, pen). Dan Syaikh Nashir berkata: setelah buku tersebut diterbitkan saya melihat isnadnya ternyata ada seorang yang wadhaa’ (pemalsu hadits) dan matruk (ditinggalkan), dahulu sebelumnya hadits tersebut dianggap sebagai penguat hadits Abu Rafi’ yang ada pada kami. Oleh karena itu tidak benar menjadikan hadits tersebut sebagai penguat selama di dalamnya terdapat seorang yang pendusta dan matruk. Maka, kesimpulannya hadits ini tidak memiliki syahid (penguat). Dan, jika dalam pembahsan ini tidak ada dasar kecuali hadits ini yang di isnadnya terdapat kelemahan perawinya yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah, maka tidaklah ada satu pun yang bisa dijadikan argument dalam masalah ini (azan untuk bayi), kecuali jika ada hadits lain yang menguatkannya, maka hal itu dimungkinkan. Ada pun jika takwil terhadap hadits ini dan hadits lainnya yang terdapat pada Imam Al Baihaqi yang di dalamnya terdapat wadhaa’ (pemalsu) dan matruk, maka aktifitas azan pada telinga bayi tidaklah shahih, karena hadits ini (riwayat Tirmidzi dari Abu Rafi’, pen) terdapat seseorang yang lemah. Sedangkan hadits itu (Al Baihaqi) ada yang seorang yang wadhaa’ dan matruk, maka tidaklah salah satu menjadi penguat bagi yang lainnya. Maka tidaklah benar berhukum dengan hadits ini. Oleh karena itu, hadits ini dihukumi tidak shahih selama dengan sanad seperti ini.” (Syarh Sunan Abi Daud, No. 580)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini dengan penjelasan yang panjang. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23869)
Jadi, pandangan yang lebih kuat adalah hadits ini adalah dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi, Imam Yahya bin Said Al Qaththan, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya.
Namun demikian ada baiknya kita menyimak perkataan Syaikh Syu’aib Al Arnauth sebagai berikut:
Kami berkata: bersama kelemahan hadits dalam masalah ini, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadits ini, hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan hadits ini, dengan ucapan beliau: hadits ini diamalkan. Dan, para ulama telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka menyunnahkannya. (Ibid)
Perkataan Imam At Tirmidzi yang dimaksud adalah:
Sebagian ulama telah berpendapat dengan hadits ini. (Sunan At Tirmidzi No. 1514)
Setelah masa Imam At Tirmidzi banyak sekali ulama di berbagai madzhab yang mengamalkan hadits tersebut. Diantaranya, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab At Tuhfah-nya, bahwa azan (dan juga iqamah) untuk bayi baru dilahirkan adalah sunah.
Dalam kitabnya itu beliau menulis:
Bab keempat: Sunahnya azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 21, Cet. 1. 1983M- 1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) . lalu beliau menyebutkan beberapa hadits, termasuk hadits ini.
Wallahu a’lam
Ustadz Farid Nu’man Hasan
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 20, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Asalamu’alaikum wr.wb. Saya mau bertanya, apakah hukum najis yang sudah kering? Dan apakah najis yang sudah kering itu sudah menjadi suci kembali? Terimakasih atas jawaban nya.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Pada dasarnya najis baru hilang dengan air, entah najis tersebut jatuh dan menempel ke tanah ataupun ke kain, pakaian dan sejenisnya. Cara menghilangkannya adalah dengan menghilangkan unsur atau benda najis tersebut jika masih ada atau membersihkan bagian yang diketahui terkena najis.
Dalam riwayat disebutkan bahwa seorang Arab badui pernah kencing di mesjid yang ketika itu masih berupa tanah. Maka, Nabi saw menyuruh untuk membersihkan dengan menyiramkan seember air padanya (HR Bukhari Muslim).
Ini menunjukkan bahwa bersihnya najis adalah dengan air. Kalaupun sesudah dibersihkan dan dicuci dengan air, bau dan warna dari benda najis tersebut tidak hilang, ia dianggap sudah suci selama benda najisnya sudah hilang.
Rasul saw bersabda, “Cukuplah kau siram dengan air. Kalau masih ada bekasnya tidak apa-apa.” (HR Ahmad).
Jadi sekedar kering tidak menjadikan najis secara otomatis hilang. Memang ada pendapat dari sebagian ulama (di antaranya kalangan Hanafi dan Ibn Taymiyyah) yang mengatakan bahwa tanah, dinding atau pohon yang terkena najis menjadi suci ketika terkena sinar mentari, angin dan mengering.
Menurut Syeikh Ibn Utsaymin hal itu berlaku pada tanah dan sejenisnya ketika najisnya benar-benar hilang. Namun jika najis terdapat pada kain, baju, dan sajadah misalnya, najis tersebut harus dibersihkan dengan air.
Selanjutnya najis yang kering ketika tersentuh kaki dan tangan yang kering, maka ia tidak membuat kaki dan tangan tadi menjadi najis. Ibn Jibrin berkata, “Jika najis yang sudah kering menyentuh badan atau pakaian yang juga kering, maka ia tidak membuat badan dan pakaian tadi bernajis. Sebab najis hanya berpindah jika dalam kondisi masih basah.”
Lalu bagaimana jika najis yang kering bersentuhan dengan benda suci yang basah? apakah benda suci tadi menjadi najis? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Menurut kalangan Maliki dan Hanafi benda suci yang basah tadi tidak menjadi najis. Sebab, ketika kering wujud najisnya telah hilang.
Sementara menurut kalangan Syafii dan Hambali, benda suci tadi menjadi najis. Karena itu untuk kehati-hatian, semua benda atau tempat yang terkena najis hendaknya segera dibersihkan dan disiram air hingga najisnya hilang.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 19, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Kepada bapak ustadz atau ibu ustadzah yang saya muliakan, mohon bantuannya atas pertanyaan saya. yaitu niat istinja? dan doa istinja?, dan apakah boleh dibaca dalam hati saat berada dalam WC.? sekian terimakasih.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Para ulama dari kalangan Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali sepakat bahwa untuk istinja’ tidak perlu ada niat. Jadi tidak ada niat khusus atau tertentu saat akan melakukan istinja.
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah disebutkan: Para fukaha sepakat bahwa membersihkan diri dari najis tidak membutuhkan niat. Niat tidak menjadi syarat bagi kebersihan diri dari najis. Tempat atau titik najis menjadi bersih dengan dicuci tanpa perlu niat.
Sebab, bersih dari najis merupakan bentuk dari “meninggalkan sesuatu”. Karena itu ia tidak membutuhkan niat. Demikian pandangan Maliki, Syafii, dan Hambali.
Lalu, apa perlu membaca basmalah saat akan istinja? Tidak. Pasalnya, tidak ada riwayat dari Nabi saw yang mengajarkan membaca saat basmalah saat istinja. Baik itu dilakukan di dalam ruangan (semacam toilet) atau di luar ruangan. Bahkan secara umum tidak dibenarkan membaca zikir atau doa saat berada di dalam kamar kecil atau toilet.
Yang ada adalah doa saat akan masuk ke kamar kecil, yaitu:
اللهم إني أعوذ بك من الخُبُثِ والخَبَائث»
Sementara saat keluar membaca :
غُفْرانك
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini