0878 8077 4762 [email protected]

Apakah Melakukan Demonstrasi Termasuk Bid'ah?

Demontrasi adalah berkumpulnya sekelompok orang secara terang-terangan untuk menyampaikan sebuah permintaan kepada pemimpin. Permintaan tersebut sifatnya bukanlah untuk kepentingan individu semata, tetapi untuk kepentingan masyarakat luas.
Demontrasi terdiri dari dua unsur, dimana keduanya sama-sama boleh untuk dilakukan;

  1. Sebatas melakukan perkumpulan, dan ini tidak ada larangan, karena tidak ada dalil yang melarangnya.
  2. Tuntutan untuk menerapkan sebuah aturan yang baik atau membatalkan peraturan yang merugikan orang lain.

Demontrasi adalah sarana untuk melakukan tuntutan tersebut, dan hukum dari penggunaan sarana tersebut sesuai dengan hukum dari tujuan penggunaannya. Pada dasarnya, menuntut sesuatu yang memang dibutuhkan kepada seorang pemimpin adalah perkara yang sesuai dengan syari’at.
Sebab, tugas dari seorang pemimpin adalah menutupi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengancam para pemimpin yang menutup dirinya dari orang-orang yang membutuhkan bantuan. Diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Barang siapa yang dijadikan pemimpin untuk mengurus kepentingan ummat Islam, lalu ia bersembunyi dari kebutuhan, kemiskinan, dan kefakiran mereka (menahan hak mereka), maka  Allah juga tidak akan memenuhi kebutuhan dan permintaan mereka.”
Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Barang siapa yang diberikan kedudukan untuk mengatur urusan kaum muslimin, kemudian ia menahan hak dari orang yang lemah dan fakir, maka Allah tidak akan memenuhi kebutuhannya pada hari kiamat.”
Bahkan Rasulullah saw mendorong para sahabat agar mereka bisa menjadi perantara untuk memenuhi kebetuhan orang lain. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari abu Musa al-‘Asy’ari r.a, berkata, setiap kali Rasulullah didatangi oleh orang yang meminta bantuan atau ada yang sedang membutuhkan sesuatu, beliau berkata,
Jadilah kalian menjadi perantara (untuk kebutuhan orang lain), maka kalian akan mendapatkan pahala. Allah akan menetapkan sesuatu melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya.”
Maknanya ialah, jadilah kalian menjadi perantara untuk memenuhi kebutuhan orang-orang yang memang sedang membutuhkan bantuan, maka kalian akan mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang kalian lakukan.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a.,
“Ketika Allah memberi rampasan fai kepada Nabi saw orang-orang anshar berkata, “Semoga Allah mengampuni Rasulullah, sebab beliau memberi bagian kepada Quraisy dan membiarkan kami-kami (tidak mendapatkan bagian), Padahal pedang kami masih meneteskan darah mereka.”
Lalu Anas berkata, maka hal itu disampaikan kepada Rasulullah saw. Seketika itu pula Rasulullah langsung mengutus seseorang ke Anshar dan mengumpulkan mereka dalam sebuah kemah yang terbuat dari tanah liat. Tidak yang beliau undang selain mereka. Setelah semua Anshar berkumpul,
Rasulullah saw  berdiri dan bersabda, “Apa maksud protes yang telah kudengar dari kalian?
Para pemuka Anshar menjawab: “Adapun para pemimpin-pemimpin kami wahai Rasulullah, mereka sama sekali tak menyampaikan protes apapun, adapun generasi muda kami, memang mereka telah berkata: Semoga Allah mengampuni Rasulullah saw, sebab ia telah memberi bagian kepada Quraisy namun membiarkan kami-kami ini, padahal pedang kami masih meneteskan darah mereka.” Maka
Nabi saw memberi jawaban, “Sungguh aku memberi beberapa orang yang baru saja baru masuk Islam dengan maksud untuk menyatukan hati mereka dengan kita, apakah kalian tidak puas sekiranya manusia membawa harta sedang kalian membawa Nabi saw ke perumahan kalian? Demi Allah, apa yang kalian bawa pulang, jauh lebih istimewa daripada yang mereka bawa pulang.”
Mereka lantas berujar: “Wahai Rasulullah, kami semua sekarang telah ridha.”, Nabi berkata, “Kalian akan menemui pilihan yang berat, maka bersabarlah kalian hingga kalian bertemu dengan Allah dan Rasul-Nya saw, karena aku berada di telaga.” Anas berkata,”Namun mereka tidak bersabar”.
Hadits diatas menjadi dalil dibolehkannya untuk menyuarakan kepentingan masyarakat umum kepada pemimpin, sebab Rasulullah saw tidak melarang apa yang mereka lakukan.
Meskipun demikian, ada beberapa syarat-syarat dan aturan diperbolehkannya melakukan demonstrasi:

  1. Tuntutan yang diajukan bukanlah perkara yang bathil dan dilarang oleh syari’at.
  2. Demonstrasi yang dilakukan tidak disertai dengan simbol-simbol atau ucapan-ucapan yang dilarang oleh syari’at.
  3. Tidak melakukan perbuatan yang haram, seperti menyakiti orang lain atau merusak barang-barang milik orang lain atau bercampur antara laki-laki dan wanita.

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa demontrasi adalah sebuah perbuatan yang terlarang dan termasuk perbuatan bid’ah yang berasal dari Barat, maka pendapat ini tidak benar.
Pasalnya, ia tidak termasuk dalam perkara ibadah, sehingga dikatakan sebagai perbuatan bid’ah.
Jika ada yang berkata, “Maksudnya adalah bid’ah yang berkaitan dengan adat (kebiasaan) yang berasal dari negara Barat.” Maka, pendapat tersebut juga tidak benar.
Demonstrasi sudah dikenal oleh kaum muslimin sejak dulu, terkadang ia dilakukan terhadap pemimpin mereka sendiri atau juga kepada para penjajah.
Abu Nu’aim meriwayatkan dalam kitab Hilyatul awliya dari asy-Sya’bi: “Sebaik-baik kaum ialah rakyat jelata, mereka mencegah terjadinya banjir, memadamkan kebakaran, dan melakukan protes terhadap para pemimpin yang zalim.”
Selain itu, tidak semua yang berasal dari negara Barat adalah sebuah hal yang tercela dan dilarang.
Di dalam kitab shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik ia pernah berkata, “Ketika Rasulullah hendak menulis surat kepada Romawi, ada yang berkata kepada beliau, “Mereka tidak akan membaca surat jika tidak diberi cap stempel. Lalu beliau menggunakan cincinnya yang terdapat ukiran bertuliskan “Muhammad Rasulullah.”
Imam at-Thabari meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab melakukan musyawarah dengan kaum muslimin di saat ia akan menetapkan undang-undang.
Lalu Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Engkau harus membagi-bagi harta yang masuk ke kas negara, dan jangan biarkan tersisa.”
Utsman bin Affan berkata, “Aku melihat bahwa harta kita sangat banyak, jika engkau tidak membagi-bagi siapa yang berhak untuk mendapatkannya dan siapa yang tidak, maka ia akan terbuang percuma.”
Walid bin Hisyam bin Mughirah berkata, “Wahai Amirul Mukminin, aku baru saja datang dari Syam, aku melihat para pemimpin mereka mencatat setiap undang-undang yang ditetapkan dan membentuk sebuah pasukan. Catatlah undang-undang yang telah ditetapkan dan bentuklah pasukan.”
Umar bin Khattab pun memilih pendapatnya Walid bin Hisyam.”
Pelajaran yang bisa kita ambil, bahwa Umar meniru beberapa model kepemimpinan dari bangsa lain selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Kesimpulannya, bahwa pada dasarnya demonstrasi boleh untuk dilakukan. Hukum tersebut bisa berubah menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh, atau haram sesuai dengan tujuan dan cara pelaksanaanya. Wallahu a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 4015
Tanggal : 17-8-2011
Penerjemah dari Al Iman: Ust Fahmi Bahreisy, Lc

Amalan Malam dan Nisfu Sya'ban, Adakah?

NISFU artinya pertengahan, maka malam Nisfu Sya’ban artinya malam pertengahan bulan Sya’ban. Kalau dirujuk kepada kalender Hijriyah, maka malam itu jatuh pada tanggal 14 Sya’ban karena pergantian tanggal sesuai penanggalan Hilaliyah atau yang menggunakan patokan rembulan adalah saat matahari terbenam atau malam tiba. Benarkah ada tuntunan dari Rasulullah di malam ini?
Sesungguhnya Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Aku tidak pernah sekali pun melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali (pada) bulan Ramadan, dan aku tidak pernah melihat beliau (banyak berpuasa -ed) dalam suatu bulan kecuali bulan Sya’ban. Beliau berpuasa pada kebanyakan hari di bulan Sya’ban,” (HR. al-Bukhari: 1868 dan HR. Muslim: 782)
Dalam hadits yang lain, Usamah bin Zaid berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa dalam beberapa bulan seperti puasamu di bulan Sya’ban. Beliau menjawab, ‘Itu adalah satu bulan yang manusia lalai darinya. (Bulan itu adalah) bulan antara Rajab dan Ramadan, dan pada bulan itu amalan-amalan manusia diangkat kepada Rabbul ‘alamin, maka aku ingin supaya amalanku diangkat pada saat aku berpuasa.’ ” (HR. an-Nasa’i: 1/322, dinilai shahih oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil: 4/103)
Membedah Hadist Pengkhususan Nisfu Sya’ban
Adapun pengkhususan hari-hari tertentu pada bulan Sya’ban untuk berpuasa atau qiyamul lail, seperti pada malam Nisfu Sya’ban, maka hadits-haditsnya lemah bahkan palsu. Di antaranya adalah hadits:
Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban, maka lakukanlah qiyamul lail, dan berpuasalah di siang harinya, karena Allah turun ke langit dunia saat itu pada waktu matahari tenggelam,
Lalu Allah berkata, ‘Adakah orang yang minta ampun kepada-Ku, maka Aku akan ampuni dia. Adakah orang yang meminta rezeki kepada-Ku, maka Aku akan memberi rezeki kepadanya. Adakah orang yang diuji, maka Aku akan selamatkan dia. Adakah demikian dan demikian?’ (Allah mengatakan hal ini) sampai terbit fajar.” (HR. Ibnu Majah: 1/421; HR. al-Baihaqi dalam Su’abul Iman: 3/378)
Hadits ini dari jalan Ibnu Abi Sabrah, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdillah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abi Thalib, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits ini adalah hadits maudhu’/palsu, karena perawi bernama Ibnu Abi Sabrah tertuduh berdusta, sebagaimana dalam Taqrib milik al-Hafidz. Imam Ahmad dan gurunya (Ibnu Ma’in) berkata tentangnya, “Dia adalah perawi yang memalsukan hadits.”[ Lihat Silsilah Dha’ifah, no. 2132.]
Maka dari sini kita ketahui bahwa hadits tentang fadhilah (keutamaan –ed) menghidupkan malam Nisfu Syaban dan berpuasa di siang harinya tidaklah sah dan tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi). Para ulama menyatakan hal itu sebagai amalan bid’ah dalam agama. [Lihat Fatawa Lajnah Da’imah: 4/277, fatwa no. 884].
Menurut Al-Imam An-Nawawi
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah, seorang ahli fiqih kondang bermazhab Syafi’i yang punya banyak karya besar dan kitabnya dibaca oleh seluruh pesantren di dunia Islam (di antaranya kitab Riyadhusshalihin, arba’in an-nawawiyah, al-majmu’), punya pendapat menarik tentang ritual khusus di malam nisfu sya’ban.
Beliau berkata bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah di malam itu adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah SAW.
Beliau mengingatkan untuk tidak salah menafsirkan dalil-dalil dan anjuran yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, atau kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki.
Menurut Syaikh Dr. Yusuf al-Qaradawi
Ulama yang menjabat sebagai Ketua Persatuan Ulama Internasional yang sering dijadikan rujukan oleh para aktifis dakwah berpendapat, tentang ritual di malam nasfu sya’ban bahwa :
Tidak pernah diriwayatkan dari Nabi SAW dan para sahabat, bahwa mereka berkumpul di masjid untuk menghidupkan malam nisfu Sya’ban, membaca doa tertentu dan shalat tertentu seperti yang kita lihat pada sebahagian negeri orang Islam.
Juga tidak ada riwayat untuk membaca surah Yasin, shalat dua rakaat dengan niat panjang umur, dua rakaat yang lain pula dengan niat tidak bergantung kepada manusia, kemudian mereka membaca do`a yang tidak pernah dipetik dari golongan salaf (para sahabat, tabi`in dan tabi’ tabi`in)
Bijaksananya Kita
Namun kita bisa bersikap bijak, amal puasa di bulan Sya’ban bisa diniatkan puasa Daud, atau puasa Ayyaumul Bid (pertengahan bulan). Jangan sampai kita sendiri justru malah tidak memperbanyak ibadah di Bulan Sya’ban. Cukup diganti niatnya sebagai ibadah umumnya. Dan sampaikan dengan santun dan hati-hati terkait tradisi Nisfu Sya’ban yang sudah melekat dimasyarakat awam. Dan salinglah menghormati walau berbeda pendapat nantinya.
 
Sumber: Konsultasi Syari’ah/Rumah Fiqih Indonesia/Ustad Ahmad Sarwat,Lc.MA

Bermalu itu Patut

Sungguh duka besar bagi umat ketika ilmu dicabut, sosok mahsyur di ‘ulama’ kan, dan fatwa tanpa dalil jadi pedoman. Teringat kita ungkapan Ibnu Mas’ud, “Betapa banyak hal yang kalian anggap biasa, tapi dahulu kami takut ia adalah pembinasa.”
Tak ditemukan bahasan tatacara shalawat 1.000 kali untuk tujuan dapat kuda poni atau pedang khindi.
Teringat Ibnu Mas’ud lagi. Beliau dapati sekelompok di Masjid Kuffah dengan Imam yang memberi amar, sekian kali. Lalu ucapkan ini, sekian kali! Dengan tubuh menggigil dan suara bergetar, beliau berkata, “Sungguh lebih manfaat bagi kalian menghitung dosa-dosa! Amal macam apakah ini yang tidak kukenal dari kekasihku Muhammad saw dan sahabat-sahabatnya?”
Kita mengenang Ibnu mas’ud lagi atas kalimat indah, “Bercukup dengan sunnah lebih selamat daripada berpayah dengan bid’ah.”
Hukum asal segala ibadah adalah terlarang, hingga tegak dalil yang menunjukkan bahwa ia diperintahkan.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah

Tidaklah Semua Hal yang Baru Termasuk dalam Bid’ah (bagian 2)

Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
 
Kita tidak akan membahas dan menganalisa dua definisi diatas. Yang menjadi fokus kita ialah kalimat, “Cara dalam beragama yang dibuat-buat…” Dengan demikian, sebuah perbuatan termasuk dalam perbuatan bid’ah manakala orang yang melakukannya menganggap bahwa perbuatan tersebut adalah bagian dari ibadah (agama) yang tak terpisahkan, walaupun sebenarnya ia bukanlah bagian darinya. Inilah inti dari bid’ah dan titik utama dilaranganya perbuatan bid’ah. Adapun dalil yang memperkuat penjelasan diatas ialah sabda Rasulullah saw “Barang siapa yang membuat-buat hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak.”
Yang dimaksud dengan “urusan kami” ialah dalam perkara agama. Begitu pula sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam at-Thahawi, “Ada enam hal, jika aku laknat mereka maka Allah juga akan melaknat mereka, dan semua para Nabi akan diterima permintaannya; Orang yang menambahkan perkara agama, orang yang mendustakan takdir Allah, orang yang congkak dan diktator yang menghina orang yang Allah muliakan dan membela orang yang dihinakan oleh-Nya, orang yang meninggalkan sunnahku, orang yang menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah, dan orang yang mengharamkan apa yang dihalalkan oleh-Nya.”
Dari hadits diatas, sudah jelas bahwa sebab tertolaknya perbuatan bid’ah ialah bahwa seorang mubtadi’ (orang yang melakukan bid’ah), memasukkan sebuah amal yang diluar bagian dari agama menjadi salah satu bagian darinya. Semua bentuk penambahan dan perubahan dalam syari’ah adalah perbuatan yang dilarang, karena satu-satunya pemilik aturan hanyalah Allah SWT. Contohnya sangat banyak, diantaranya ialah penambahan shalat yang diluar dari ketentuan syariat, baik itu shalat wajib ataupun shalat sunnah, berpuasa pada hari tertentu karena ada keutamaan pada hari itu padahal tidak ada keterangannya dalam Al-Qur`an atau Sunnah, mengkhususkan satu makanan saja untuk dikonsumsi sebagai bentuk sikap zuhud, dll.
Adapun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada anggapan bahwa hal itu adalah bagian dari agama atau ibadah, dan ia tujukan untuk mewujudkan sebuah kemaslahatan, baik duniawi atau pun ukhrawi, maka ia bukanlah perbuatan bid’ah walaupun ia adalah hal yang baru. Ia bisa masuk dalam kategori sunnah hasanah atau sunnah sayyi`ah sebagaimana yang tertera dalam hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Barang siapa yang memberikan contoh yang baik dalam agama Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka. Dan barang siapa yang memberi contoh perbuatan buruk, maka ia akan mendapatkan dosanya dan dosa dari orang yang melakukannya tanpa mengurangi dosa mereka.”
Amalan yang termasuk dalam sunnah hasanah sangatlah banyak, diantaranya ialah perayaan maulid Nabi dan momen keislaman lainnya yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin. Tentu saja perayaan tersebut harus bersih dan jauh dari hal-hal yang dapat menyebabkan kemudharatan dan menghalangi terwujudnya kemaslahatan. Perayaan-perayaan tersebut bukanlah bagian dari bid’ah, sebab orang yang mengamalkannya tidak menganggap bahwa perayaan tersebut bagian dari prinsip agama, sehingga kalaupun tidak dirayakan ia tidak akan mendapatkan dosa karenanya.
Ia hanyalah sebuah kegiatan kemasyarakatan dengan harapan dapat mewujudkan sebuah kebaikan bagi agama. Selain itu, perayaan tersebut juga bukan bagian dari sunnah sayyi`ah, dengan catatan perayaan tersebut tidak bercampur kemaksiatan atau perbuatan yang bertentangan dengan syari’ah. Apabila dalam perayaan tersebut terdapat kemaksiatan, maka jangan menilai bahwa perayaannya yang haram, akan tetapi kemaksiatan itulah yang haram. Betapa banyak dzikir yang diamalkan oleh seseorang yang disertai dengan pelanggaran. Lantas apakah kita akan mengatakan bahwa dzikir itulah yang tidak syar’i dan haram?
Memang betul, bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh masyarakat dimana di dalamnya ada pembacaan sirah kehidupan Nabi Muhammad saw adalah sebuah perkara yang baru muncul setelah masa kenabian. Bahkan, ia baru muncul pada permulaan abad ke-6 Hijriyah. Akan tetapi, apakah dengan sebatas itu ia dinamakan sebagai perbuatan bid’ah dan termasuk dalam hadits, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami, maka ia akan tertolak? Kalau memang seperti itu, maka buanglah jauh-jauh semua perkara baru setelah era Rasulullah saw sebab itu semua adalah bid’ah. Yang lebih aneh lagi adalah banyak diantara kita yang melakukan muktamar, seminar, forum pertemuan keislaman, dll tanpa ada anggapan bahwa perbuatan tersebut adalah bid’ah. Tidak ada perbedaan antara muktamar dengan perayaan momen keislaman.
Oleh sebab itu, kita tidak boleh mengingkari perkara yang baru seperti disebut diatas. Perkara tersebut bisa diterima dan bisa ditolak dilihat dari tujuan dan cara yang dilakukannya. Ia bagaikan air yang mana warnanya dapat berubah-ubah sesuai dengan warna dari wadah yang ia tempati.
Dan pada akhirnya, saya ingin katakan seandainya kita salah dalam memahami makna bid’ah, dan makna yang benar dari bid’ah ialah semua perkara yang baru walaupun ia bukan bagian dari prinsip agama, sebagaimana yang difahami oleh saudara kita yang lain, maka permasalahan ini adalah bagian dari ijtihad. Diantara adab dalam melakukan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, bahwa yang wajib untuk diingkari adalah sebuah kemungkaran yang telah disepakati secara bersama-sama, bukan pada sebuah kemungkaran yang masih diperselisihkan dan termasuk dalam masalah ijtihadiyah.
Sebab hal itu hanya akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan diantara kaum muslimin dan akan meruntuhkan persatuan umat Islam. Di sekeliling kita masih banyak kemungkaran yang nyata yang harus kita bersihkan. Tidak sepantasnya kita berpaling darinya dan memerangi permasalahan yang diperselisishkan. Dan diantara kemungkaran yang nyata yang harus kita lawan adalah kemungkaran yang ada dalam diri kaum muslimin berupa permusuhan dan rasa benci diantara mereka. Ini adalah sebuah bencana dan musibah yang besar yang harus kita perangi agar kita bisa bangkit dari keterpurukan.
Barang siapa yang ingin melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mulailah dari dalam diri kita sendiri agar kita memiliki benteng yang kokoh untuk menghadapi musuh kita bersama. Benteng yang kokoh itu dibangun atas landasan keikhlasan kepada Allah SWT semata. Ikhlas adalah kunci utama yang dapat menghilangkan segala bentuk perasaan egois dan fanatisme kelompok. Jika kita menang terhadap diri kita, maka kita akan bisa memenangkan agama ini hanya untuk Allah semata. *akhir
SumberKitab Al Islaam Malaadz kulli Mujtama’ al Insaniyyah.
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc

Tidaklah Semua Hal yang Baru Termasuk dalam Bid’ah (1)

Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
 
Dari segi istilah bid’ah adalah sebuah perbuatan sesat yang wajib untuk dijauhi dan dihindari. Tidak ada perbedaan dan keraguan menganai hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami (agama), maka ia akan tertolak.” Begitu juga hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur`an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang dibuat-buat, dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”
Akan tetapi, apa maksud dari bid’ah? Apakah maksud dari kata bid’ah dilihat dari segi bahasa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehingga semua hal-hal yang baru yang muncul dalam kehidupan manusia dan belum pernah dilakukan dan belum dikenal oleh Rasulullah saw dan para sahabat disebut dengan bid’ah? Jika demikian, maka seluruh kaum muslimin dari bagian barat dunia hingga ke ujung timur berada dalam kesesatan yang tak bisa mereka hindari. Sebab, mereka tenggelam dalam lautan perbuata bid’ah dalam setiap perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan. Bangunan rumah mereka termasuk bid’ah, perlengkapan rumah mereka bid’ah, makanan mereka juga bid’ah, busana mereka juga bid’ah, dan semua kegiatan dan acara yang mereka lakukan adalah bagian dari pebuatan bid’ah yang sesat!
Jika demikian, tidak hanya kaum muslimin di masa sekarang ini yang jatuh ke dalam kesesatan tersebut, akan tetapi ia juga menimpa pada generasi para sahabat hingga datangnya hari kiamat. Pasalnya, kehidupan setelah masa Rasulullah saw akan terus mengalami perubahan dan pembaharuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Mereka tidak dapat mengendalikan arus perubahan kehidupan dan mempertahankannya hanya dalam satu bentuk dan satu metode saja. Bahkan, kehidupan singkat yang dialami oleh Rasulullah saw bersama dengan para sahabat telah mereka lalui dengan berbagai macam hal-hal yang baru. Hanya saja para sahabat mendapat karunia yang besar dimana mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Beliau menerima realita baru dalam kehidupan ini tanpa ada perasaan risih dan tidak nyaman dengan hal itu. Betapa banyak ‘urf (kebiasaan) baru yang beliau temukan namun tetap ia terima. Betapa banyak metode dan cara yang baru yang muncul dalam kehidupan para sahabat, namun tetap ia akui bahkan didukung olehnya. Tentunya, setelah beliau melihat bahwa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan hukum Islam. Terlebih lagi jika hal itu dapat mempermudah jalan dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan dari sini para ulama menetapkan sebuah kaidah, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.” Para ulama dari kalangan Hanafiyah dan lainnya juga menetapkan bahwa al-‘urf –dengan syarat-syarat tertentu- adalah salah satu sumber penetapan hukum syari’ah yang tidak boleh disepelekan.
Dengan demikian, maksud dari bid’ah tidak ditinjau dari segi bahasa. Saya juga belum pernah mendapatkan salah seorang ulama dan fuqaha yang memaknai bid’ah secara bahasa. Maka itu, makna bid’ah yang benar ialah dilihat dari istilah syar’i. Lantas apa makna bid’ah secara istilah syar’i?
Ada banyak definisi terkait dengan makna bid’ah. Semuanya memiliki makna yang sama walaupun redaksi dan kalimat yang dipergunakan berbeda-beda. Namun, saya akan memilih dua definisi yang ditegaskan oleh Imam as-Syathibi di dalam kitab al-I’tisham. Hal ini dikarenakan dua faktor; yang pertama karena Imam Syathibi dianggap ulama yang berada di garis terdepan yang membahas mengenai masalah ini dengan analisa dan penjelasan yang rinci. Dan yang kedua, karena ia adalah salah satu ulama yang paling memusuhi perkara bid’ah dan sangat berhati-hati akan hal itu.
Definisi yang pertama dari bid’ah ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah dengan maksud berlebih-berlebihan dalam beribadah kepada Allah azza wa jalla.”
Definisi kedua ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah, yang mana hal itu ia lakukan dengan tujuan yang sama dengan tujuan dari pelaksanaan syari’ah.”
Imam Syathibi memaknai bid’ah dengan dua definisi diatas dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang hanya membatasi makna bid’ah pada ibadah saja. Sebagian ulama yang lain memaknai secara umum mencakup semua jenis amal dan dan perbuatan tidak hanya ibadah, walaupun pada akhirnya beliau lebih cenderung memaknai bid’ah terbatas pada ibadah saja, baik itu terkait dengan ibadah hati  yaitu akidah atau ibadah berupa amal yang terlihat yang mencakup ibadah-ibadah lainnya. *bersambung
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc