0878 8077 4762 [email protected]

Bom Kampung Melayu, MUI: Ingat! Terorisme Haram Hukumnya

JAKARTA – Ledakan bom bunuh diri Kampung Melayu, Jakarta Timur mengundang perhatian mendalam dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Lembaga Islam terkemuka di Indonesia itu menyampaikan duka mendalam kepada segenap keluarga korban.
“Semoga almarhum para korban husnul khotimah dan keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menerima musibah ini,” demikian pernyataan resmi dari MUI.
Dalam kesempatan ini, MUI pun mengingatkan lagi soal fatwa nomor 3 Tahun 2014 tentang terorisme. Bunyinya: Terorisme adalah tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan Negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat.
“Ingat! MUI sudah menetapkan dalam fatwa Nomor 3 Tahun 2014 bahwa perbuatan terorisme adalah haram hukumnya,” tegas Wakil Ketua Umum MUI, Zainut Tauhid Sa’adi di Jakarta, Kamis (25/5/2017).
Zainut mengatakan dua ledakan bom bunuh diri Kampung Melayu pada Rabu 24 Mei 2017 membuktikan bahwa gerakan terorisme di Indonesia masih sangat kuat dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak. Sebab terorisme, baginya adalah musuh negara.
“Sungguh ini adalah tragedi kemanusiaan yang sangat keji dan memilukan. Oleh karena itu, kejadian ini perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak, khususnya aparat keamanan, tokoh agama dan masyarakat,” ucapnya.
Petinggi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini memastikan MUI mengutuk keras pelaku bom di Kampung Melayu. Ia meyakinkan tindakan pelaku sangat biadab dan jauh dari nilai-nilai agama. “Siapa pun pelakunya, mereka adalah manusia yang sudah kehilangan nilai kemanusiaannya,” kecam dia.
Seperti diketahui, dua ledakan bom bunuh diri menyebabkan lima orang tewas. Rinciannya, tiga polisi sedangkan dua lainnya terduga pelaku. Korban luka dalam ledakan bom bunuh diri ini sebanyak 10 orang.
 
Sumber : okezone

Fatwa MUI : Hukum Menggunakan Atribut Non Muslim

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor 56  Tahun 2016
Tentang
HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), setelah
MENIMBANG : 
a. bahwa di masyarakat terjadi fenomena di mana saat peringatan hari besar agama non-Islam, sebagian umat Islam atas nama toleransi dan persahabatan, menggunakan atribut dan/atau simbol keagamaan nonmuslim yang berdampak pada siar keagamaan mereka;
b. bahwa untuk memeriahkan kegiatan keagamaan non-Islam, ada sebagian pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lain sebagainya, bahkan kantor pemerintahan  mengharuskan karyawannya, termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan dari non-muslim;
c. bahwa terhadap masalah tersebut, muncul pertanyaan mengenai hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim;
d. bahwa oleh karena itu dipandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim guna dijadikan pedoman.
MENGINGAT 
1. Al-Quran
a. Firman Allah SWT yang menjelaskan tentang toleransi dan hubungan antar agama, khususnya terkait dengan ibadah, antara lain:
قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ(1)لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ(2)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(3)وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ(4)وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ(5)لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ(6)
“Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu, dan untukkulah, agamaku” (QS. al-Kafirun: 1-6)
b. Firman Allah SWT yang menjelaskan larangan mengikuti jalan, petunjuk, dan syi’ar selain Islam, antara lain:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“..dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-An’am: 153)
2. Hadis Rasulullah SAW, antara lain:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
“Dari Ibnu Umar ra, dari Rasulullah Saw beliau bersabda: Selisihilah kaum musyrikin, biarkanlah jenggot panjang, dan pendekkanlah kumis” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتْبَعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى َقالَ فمَنْ
Dari Abi Sa’id al-Khudri ra dari Nabi Saw: “Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti tuntunan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka memasuki lubang biawakpun tentu kalian mengikuti mereka juga” Kami berkata: Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara? Maka beliau berkata: “Maka siapa lagi?.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Ibnu Umar ra, Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dalam golongan mereka.”(HR Abu Dawud)
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَلَا بِالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْأَصَابِعِ وَتَسْلِيمَ النَّصَارَى الْإِشَارَةُ بِالْأَكُفِّ
Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: “Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya”. (HR. al-Tirmidzi)
3. Qaidah Sadd al-Dzari’ah, dengan mencegah sesuatu perbuatan yang lahiriyahnya boleh akan tetapi dilarang karena dikhawatirkan akan mengakibatkan perbuatan yang haram, yaitu pencampuradukan antara yang hak dan bathil.
4. Qaidah Fidhiyyah:
دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Mencegah kemafsadatan lebih didahulukan (diutamakan) daripada menarik kemaslahatan”
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat Imam Khatib al-Syarbini dalam  kitab “Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati Alfazh al-Minhaj, Jilid 5 halaman 526, sebagai berikut:
ﻭَﻳُﻌَﺰَّﺭُ ﻣَﻦْ ﻭَﺍﻓَﻖَ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭَ ﻓِﻲ ﺃَﻋْﻴَﺎﺩِﻫِﻢْ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻤْﺴِﻚُ ﺍﻟْﺤَﻴَّﺔَ ﻭَﻳَﺪْﺧُﻞُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭَ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺬِﻣِّﻲٍّ ﻳَﺎ ﺣَﺎﺝُّ ، ﻭَﻣَﻦْ ﻫَﻨَّﺄَﻩُ ﺑِﻌِﻴﺪِﻩِ….
“Dihukum  ta’zir terhadap orang-orang yang menyamai dengan kaum kafir dalam hari-hari raya mereka, dan orang-orang yang mengurung ular dan masuk ke dalam api, dan orang yang berkata kepada seorang kafir dzimmi  ‘Ya Hajj’, dan orang yang mengucapkan selamat kepadanya (kafir dzimmi) di hari raya (orang kafir)…”.
2. Pendapat Imam Jalaluddin al-Syuyuthi  dalam Kitab “Haqiqat al-Sunnah wa al-Bid’ah : al-Amru bi al-Ittiba wa al-Nahyu an al-Ibtida’, halaman  42:
ومن البدع والمنكرات مشابهة الكفار وموافقتهم في أعيادهم ومواسمهم الملعونة كما يفعله كثير من جهلة المسلمين من مشاركة النصارى وموافقتهم فيما يفعلونه …والتشبه بالكافرين حرام وإن لم يقصد ما قصد
Termasuk bid’ah dan kemungkaran adalah sikap menyerupai (tasyabbuh) dengan orang-orang kafir dan menyamai mereka dalam hari-hari raya dan perayaan-perayaan mereka yang dilaknat (oleh Allah). Sebagaimana dilakukan banyak kaum muslimin yang tidak berilmu, yang ikut-ikutan orang-orang Nasrani dan menyamai mereka dalam perkara yang mereka lakukan… Adapun menyerupai orang kafir hukumnya haram sekalipun tidak bermaksud menyerupai”.
9. Fatwa MUI tentang Perayaan Natal Bersama pada Tanggal 7 Maret 1981.
10. Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Presentasi dan makalah Prof. DR. H. Muhammad Amin Summa, MA, SH., SE tentang Seputar Sya’airillah.
11. Pendapat, saran, dan masukan yang berkembang dalam Sidang Komisi Fatwa MUI pada tanggal 14 Desember 2016.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG HUKUM MENGGUNAKAN ATRIBUT KEAGAMAAN NON-MUSLIM
Pertama  :  Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :
Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau  umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
Kedua  : Ketentuan Hukum
1. Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
2. Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
Ketiga  :  Rekomendasi
1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan  tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan  (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim  untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.
Ketiga :  Penutup
1. Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di :   Jakarta
Pada tanggal :
14 Rabi’ul Awwal 1438 H
14 Desember  2016 M
MAJELIS ULAMA INDONESIA
KOMISI FATWA
Ketua
PROF. DR. H. HASANUDDIN AF, MA
Sekretaris
DR. HM. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA

Fatwa MUI Perkuat Toleransi dan Kebebasan Beragama dari Pemaksaan

Sudah menjadi tugas Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memberikan bimbingan kepada umat Islam dalam menjalankan ajaran agama, salah satunya melalui fatwa. 
Keputusan MUI Nomor 56 Tahun 2016 dikeluarkan pada 14 Desember 2016. Salah satu pertimbangannya adalah adanya pemilik usaha seperti hotel, super market, departemen store, restoran dan lainnya bahkan kantor pemerintah mengharuskan karyawannya termasuk yang muslim untuk menggunakan atribut keagamaan non muslim.
Dengan pertimbangan tersebut, MUI mengeluarkan fatwa mengenai pengenaan atribut non-muslim terutama karena pemaksaan atau instruksi dari perusahaannya.
Dalam menyikapi hal tersebut MUI melalui Komisi Fatwa berharap umat Islam tetap menjaga kerukunan dan keharmonisan beragama tanpa menodai ajaran agama serta tidak mencampuradukkan akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
DPR, Jazuli Juwaini
“Jadi, fatwa MUI termasuk fatwa tentang penggunaan atribut agama lain bagi seorang Muslim, adalah sudah tepat dan tugas MUI sebagai bentuk tanggung jawab guna membimbing umat,” katanya dalam siaran pers, Jumat (16/12).
Perihal pelaksanaan fatwa haram penggunaan atribut non-Muslim itu sendiri, Jazuli berpendapat bahwa esensinya adalah justru untuk memperkuat toleransi dan menjaga kerukunan antarumat beragama melalui sikap penghormatan terhadap perbedaan keyakinan beragama di Indonesia.
“Prinsipnya tidak boleh ada pemaksaan terhadap keyakinan beragama bagi pemeluk agama lain. Karyawan Muslim yang tidak mau menggunakan atribut agama lain, tidak boleh dipaksa apalagi diberi sanksi. Demikian juga sebaliknya umat Islam juga tidak akan memaksakan keyakinannya kepada agama lain termasuk dalam hal atribut keagamaan,
Hal itu tidak akan mengurangi kemeriahan perayaan hari besar setap agama yang sejak bertahun-tahun selalu meriah dirayakan di Indonesia. Bahkan hari besar setiap agama di Indonesia ditetapkan sebagai hari libur nasional. “Inilah wajah toleransi antar umat beragama Indonesia yang patut kita syukuri bersama.” ungkap Jazuli
Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin
Menteri Agama mengatakan fatwa mengikat yang meminta fatwa. Fatwa merupakan pendapat hukum dari ahli hukum atas pertanyaan pihak yang meminta.
”Ini berpulang pada Muslim, apakah ikuti fatwa itu atau tidak. Fatwa itu bukan putusan pengadilan. Tapi dengan hal ini, menurut pandangan saya, baik ditanyakan kepada ulama yang lebih punya kapasitas,” ungkap Lukman.
Soal ormas yang melakukan sweeping penggunaan atribut non Muslim oleh Muslim, Lukman mengatakan harus diperjelas dulu bagaimana sweeping-nya. Kalau disertai ancaman, hal itu hanya bisa dilakukan aparat. Selain aparat, tidak boleh ada upaya pemaksaan. Kalau begitu, yang terjadi adalah aksi anarkis. Yang boleh melakukan itu hanya aparat atau instansi yang diberi kewenangan hukum.
Umat Islam, juga diminta saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-Muslim dalam menjalankan ibadahnya.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf Amin
Ketua MUI meluruskan maksud dari fatwa haram tentang penggunaan atribut agama lain pada saat hari raya agama tersebut.
Dikatakannya, bahwa fatwa itu dimaksudkan untuk memberikan satu pegangan kepada umat Islam agar tidak menggunakan atribut agama lain. Pasalnya hal itu dilarang dalam Islam.
“Karena itu tidak dibolehkan dalam Islam,” ujar Ma’ruf.
Oleh sebab itu, ia meminta kepada para pengusaha di pusat perbelanjaan atau lainnya untuk tidak memaksakan karyawannya yang beragama Islam untuk memakai atribut natal.
Sementara, jika masih ada pusat perbelanjaan yang mengharuskan karyawan bergama Islam menggunakan atribut natal, Ma’ruf meminta agar masyarakat atau yang lainnya segera melaporkannya ke aparat kepolisian.
“Nanti yang eksekusi bukan kita (MUI), tapi pemerintah atau pihak kepolisian,” katanya.
Selanjutnya, dia berpesan kepada kepada organisasi masyarakat (ormas) Islam untuk tidak melakukan sweeping ke pusat-pusat perbelanjaan.
Biarkanlah aparat kepolisian yang bekerja menertibkan para pemilik perbelanjaan yang nakal itu. “Jangan melakukan tindakan sendiri atau sweeping,” pungkasnya
 
MUI juga meminta umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memperoduksi, memberikan atau memperjual belikan atribut keagamaan non muslim.
 
Sumber : Republika, Jawapos

6 Rekomendasi MUI Terkait Fatwa Atribut Keagamaan Nonmuslim Haram Dipakai

MUI baru saja mengeluarkan fatwa yang menyatakan haram hukumnya bagi seorang muslim menggunakan atribut keagamaan agama lain. Bersamaan dengan itu, MUI mengeluarkan rekomendasi terkait.
“Ada rekomendasi yang dikeluarkan terkait dengan fatwa itu,” ujar Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam di Jakarta, 14/12/2016).
Berikut Rekomendasi dalam fatwa tersebut:

  1. Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
  2. Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
  3. Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
  4. Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
  5. Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari’at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
  6. Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

“Fatwa ini berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata dibutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini,” kata Asrorun.
Fatwa ini ditetapkan di Jakarta pada Rabu 14 Desember 2016 hari ini.
 
Sumber : detik, mui

Fatwa Para Ulama Rabithah Ulama Muslim Tentang Aksi Demonstrasi Damai Tanggal 4 November

Saudara kami tercinta, Al-Ustad Harman Tajang, Lc.M.Hi bertanya kepada sejumlah Ulama Rabithah Alam Islamy dengan bentuk pertanyaan yang sama melalui WA.
Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wahai Syaikh yang kami cintai. Mohon penjelasan anda tentang perkara penting yang terjadi ditengah masyarakat Indonesia secara umum dan umat Islam khususnya, yaitu mengenai Gubernur DKI Jakarta yang beberapa waktu lalu mengolok-olok Al Quran dan membodoh-bodohi ulama di negeri kami ini. Dia beragama Nasrani (kristen). Sedangkan pernyataannya itu membuat marah dan murka kaum muslimin di sini.
Pada tanggal 4 November 2016 akan dilakukan aksi demonstrasi damai dalam rangka menuntut agar ia diadili berdasarkan hukum. Dan undang-undang yang berlaku disini membolehkan hal itu, demonstrasi akan dilaksanakan secara damai, beradab, tidak ada anarkisme, bagaimana  nasehat dan bimbingan anda?  Apakah boleh bagi kami turut serta atau berpartisipasi dalam aksi demonstrasi ini.. Jazakumullah khairan.
 
Jawaban :
1. Syaikh Musa Al-‘Amiriy Al Baidhani
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Wajib bagi kalian untuk berpartisipasi.”
2.  Syaikh Muhammad Abdul Karim
“Ya boleh, bahkan bisa jadi wajib.”
3.  Syaikh Dr. Muhammad Al-‘Arifi
“Wa’alaikumussalam. Aku memohon kepada Allah agar ia menjagamu dan menunjukimu pada kebaikan, dan menolong agama-Nya, kitab-Nya, dan sunah Nabi-Nya”.
4. Syaikh Ihsan Al-‘Utaibi
“Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh, Tentu boleh bahkan wajib”.
5. Syaikh Nashir Al-Hunainiy
“Justru itu adalah di antara kewajiban-kewajiban bagi yang mampu”.
6. Syaikh Abdullah Al-Atsary. (Penulis kitab Al-Wajiiz Fii Manhaji Salaf Ashabil Hadits).
“Semoga Allah memuliakanmu wahai saudaraku Ustadz Harman Tajang. Ya. Wajib bagi kalian untuk berpartisipasi dalam aksi demonstrasi itu jika ummat islam telah berkumpul untu aksi itu sebagai pembelaan terhadap Agama Allah yang suci ini. Semoga Allah menjadikanmu orang yang bermanfaat bagi islam dan muslimin atas segala hal yang di ridhoi Allah”.
7. Syaikh Abdul Muhsin
“Wa’alaikumussalam wa Rahmatullah wabarakatuh, hayyakumullah Syaikh Harman.
Demonstrasi itu tidak ada dalam nash syariat, itu adalah sarana yang hukumnya mengikuti hukum tujuannya.
Jika tujuan syar’i, sebagaimana kondisi yang diceritakan dalam pertanyaan, dan peluang maslahatnya lebih besar dibanding kerusakannya, dan pemerintah sudah mengizinkan, maka itu tidak apa-apa.”
 
Sumber : Farid Nu’man Hasan, Join Channel bit.ly/1Tu7OaC