0878 8077 4762 [email protected]

5 Makna Dibalik Ibadah Qurban

Shalat Idul Adha sudah kita lakukan bersama-sama, baik di lapangan maupun di masjid. Sebagian di antara kita juga sudah menyembelih hewan qurban. Bagi yang belum, perlu didoakan semoga dilain waktu bisa berkurban.
Ternyata masih banyak diantara kaum muslimin yang belum mengerti tentang ibadah qurban ini. Ada yang menyangka bahwa qurban itu cukup dilakukan sekali seumur hidup sebagaimana haji.
Karena pemahaman yang tidak tepat ini akhirnya banyak kaum muslimin yang hanya melaksanakan qurban sekali seumur hidupnya, walaupun setiap tahun mampu melakukannya.
Sebenarnya yang dipentingkan dalam ibadah ini memang bukan penyembelihannya, tetapi makna di balik penyembelihan itulah yang lebih diutamakan.
1. Qurban mengajari sifat berbagi
Lewat qurban ini kita di ajari oleh Allah swt agar menghilangkan sifat egoistis, kita harus membuang jauh-jauh sifat ini.
Qurban adalah latihan agar umat islam membiasakan diri memperhatikan orang lain, menghilangkan sifat kikir dan pelit, dengan membagi-bagikan sebagian rezeki yang dikaruniakan kepadanya.
Karena itu qurban tidak cukup dilakukan sekali seumur hidup. Setiap kali kita menjumpai tanggal 10 Dzulhijjah ditambah 3 hari Tasyri’ saat kita dikaruniai kelapangan rezeki, maka kita laksanakan perintah qurban ini.
2. Peringatan Bagi yang Tidak Berkurban
Jika tidak, Rasulullah memberikan peringatan keras kepada kita dalam sebuah sabdanya,
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا
Dari Abi hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih qurban, janganlah mendekati tempat shalat kami”. (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).
Hadits ini melarang orang Islam yang tidak menyembelih untuk tidak mendekati masjid atau tempat shalat. Seolah-olah orang itu bukan muslim atau munafik.
3. Rasulullah Memberi Semangat Berkurban
Rasulullah juga memberikan semangat agar umatnya dengan sukacita melaksanakan perintah ini. Bahkan mengatasnamakan kurbannya untuk umatnya.
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata, “Saya menghadiri shalat idul-Adha bersama Rasulullah saw di mushalla (tanah lapang). Setelah beliau berkhutbah, beliau turun dari mimbarnya dan didatangkan kepadanya seekor kambing.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyembelihnya dengan tangannya, sambil mengatakan: Dengan nama Allah. Allah Maha Besar. Kambing ini dariku dan dari orang-orang yang belum menyembelih di kalangan umatku
Tidak hanya peringatan dan anjuran yang diberikan oleh Nabi kepada kita. Lebih dari itu, Rasululloh sendiri memberikan contoh dalam bentuk praktek nyata. Tidak tanggung-tanggung, bahkan beliau sekali berqurban, dua ekor Kibas dipersembahkan.
4. Memberikan Kurban yang Terbaik
Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam agar dalam berqurban memilih hewan yang terbaik.
Melalui ibadah ini kita dilatih oleh Allah untuk selalu memberikan yang terbaik kepada orang lain. Jika memberi kepada orang lain, apapun bentuknya selalu kita pilih yang terbaik, bukan sebaliknya.
Allah pernah memerintahkan kepada Qabil dan Habil untuk berqurban. Kedua-duanya diberi kebebasan untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhannya.
Qabil, karena sifat egois, kikir dan pelitnya, memilih buah-buahan yang sudah busuk, sayuran yang sudah kering, dan hasil pertanian yang jelek.
Adapun Habil memilih domba yang paling besar, gemuk dan sehat untuk dijadikan sebagai qurban.
Jelas, Allah tidak menerima qurban Qobil, akan tetapi menerima qurban Habil. Peristiwa qurban kedua anak adam ini diabadikan oleh Allah dalam Al Qur’an. Allah swt berfirman,
“Dan ceritakanlah kepada manusia kisah dua orang anak adam menurut yang sesungguhnya tatkala keduanya melakukan qurban. Qurban salah seorang daripadanya diterima, sedangkan seorang lagi ditolak. Maka yang ditolak kurbannya itu berkata (kepada saudaranya): Aku akan bunuh engkau, Jawab saudaranya: Sesungguhnya Tuhan hanyalah menerima (qurban) orang-orang yang taqwa” (Q.S. Al Maidah: 27)
5. Kurban bukan Darah dan Daging, tapi Taqwa
Sebenarnya bukan kurus atau gemuknya sembelihan itu yang dapat sampai kepada Allah, bukan pula daging atau darahnya. Yang sampai kepada Alloh adalah nilai taqwa di balik pelaksanaan ibadah tersebut.
Seorang yang bertaqwa tentu saja akan dengan suka cita mempersembahkan yang terbaik untuk Tuhannya. Sedangkan bagi mereka yang tidak bertaqwa, mungkin saja melaksanakan perintah Allah ini , tapi akan selalu memilih yang terjelek diantara yang dimilikinya.
Allah swt berfirman, “Allah tidak menerima dagingnya dan tidak pula darahnya. Akan tetapi Allah menerima nilai taqwa kalian.” (Q.S. Al Hajj: 37)
Semestinya spirit kurban tidak hanya terhenti pada prosesi penyembelihan hewan pada Hari Raya Idul Adha, tetapi harus berlanjut sepanjang waktu. Karena pada kurban, mewujud iman dan takwa paling nyata dari seorang hamba.
Dalam hubungannya dengan ibadah qurban ini, Allah meminta kejujuran kita. Biarlah diri kita sendiri yang menila, apakah kita tergolong mampu berqurban atau tidak. Semoga kita senantiasa semakin mendekatkan diri kepada Allah swt.
 
Sumber : Al Qalam

Hakikat Dzikir

Manusia senantiasa dituntut untuk selalu melakukan perubahan dan perbaikan dalam kehidupannya. Dalam setiap pergantian hari harus ada upaya untuk memperbaiki diri dan kembali menuju kepada Allah SWT. Proses perbaikan diri ini membutuhkan sarana untuk membantu kita dalam menjalani perubahan ini.
Ada dua hal penting yang saya yakini bahwa ia adalah wasilah yang penting dalam proses tarbiyyah diri. Namun, kedua hal ini seringkali kita abaikan dan tidak kita perhatikan, yaitu Dzikir dan Istighfar. Dalam kesempatan kali ini, kita akan sama-sama merenungkan hakikat dzikir kepada Allah SWT.
Urgensi Berdzikir Kepada Allah
Dzikir adalah sebuah amalan yang paling dibutuhkan oleh hati seorang mukmin. Ia dapat membantunya untuk merasakan lezatnya iman dan mengantarkannya dari iman yang hanya tertanam dalam akal menuju iman yang tertancap kuat dalam hati, sehingga ia akan memancarkan buahnya dalam sikap dan perilaku.
Yang dinamakan dengan dzikir bukanlah sebatas kalimat yang diucapkan oleh lisan, akan tetapi harus disertai dengan kesadaran diri akan kebersamaan kita dengan Allah SWT. Boleh jadi lisan kita berdzikir, akan tetapi hati tetap lalai dari-Nya. Dan bisa juga lisan ini tidak mengucapkan dzikir, namun hati ini tetap berdzikir dan menggerakkannya untuk mencari ridha Allah dan cinta-Nya.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah bahwa keutamaan dzikir tidak hanya terdapat pada tasbih, tahlil, tahmid, takbir dan sejenisnya saja, akan tetapi semua amal yang dilandasi pada ketaatan kepada Allah termasuk dalam kategori dzikir”
Hal tersebut sebagaimana ditegaskan juga oleh Sa’id bin Jubair ra dan ulama lainnya, yaitu menghendaki seorang muslim agar senantiasa mengingat Allah SWT. Selama ia menghadirkan hatinya dalam setiap kondisi, baik dalam berucap dan bersikap, disertai dengan niat untuk taat dan beribadah kepada-Nya, maka ia termasuk dalam kategori orang yang sedang berdzikir.
Ini pula yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman-Nya, “Dan orang-orang yang banyak berdzikir kepada Allah, baik laki-laki atau wanita.” (QS. al-Ahzaab: 35).
Dan juga firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang banyak. Dan bertasbihlah pada pagi dan petang hari.” (QS. al-Ahzaab: 41-41).
Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Abbas saat mengomentari ayat tadi, “Maksudnya ialah mereka berdzikir kepada Allah setiap selesai dari shalatnya, di pagi hari dan petang hari, di tempat tidurnya, saat ia bangun dari tidurnya, dan setiap kali pergi keluar dari rumahnya.”
Jika secara lafadz yang dimaksud dengan dzikir adalah ucapan lisan yang berupa do’a, tasbih, tahmid, dan semacamnya, maka ia juga memiliki bentuk yang lainnya yaitu berupa sikap dan perilaku dengan cara menjaga adab dalam setiap kondisi.
Misalnya saja masuk ke dalam masjid dengan mendahulukan kaki kanan dan keluar dengan kaki kiri, atau masuk ke kamar mandi dengan kaki kiri kemudian keluar dengan kaki kanan, makan menggunakan tangan kanan, dan adab-adab yang lain. Banyak yang mengira bahwa itu hanyalah sebatas kebiasaan saja, padahal hal itu merupakan salah satu cara untuk menyadarkan hati.
Buah dari Berdzikir Kepada Allah
Buah dari selalu ingat kepada Allah terwujud dengan turunnya rahmat Allah. Ia akan memberikan kekuatan tekad dan keistiqomahan.
Hal ini disebabkan karena dua hal;
Pertama, Dzikir merupakan benteng yang melindungi manusia dari godaan dan tipu daya setan.
Kedua, Orang yang berdzikir kepada Allah dapat menjadikan hati selalu hadir bersama Allah SWT. Ia akan menjadikannya semakin cinta dan takut kepada-Nya.
Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadits qudsi, dimana Allah SWT berfirman, “Aku adalah teman dekat orang yang selalu mengingatku (berdzikir), dan aku selalu bersamanya saat ia mengingatku.”
Berdzikir akan memudahkan turunnya ampunan dari Allah. Ia adalah nutrisi yang dapat memperkuat rasa cinta dan takut kepada Allah. Yang demikian ini akan menjadikan manusia semakin berkomitmen untuk berada di jalan syariatnya dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ia juga menjadi sebab datangnya ketenangan dalam hati. Inilah yang selalu dicari-cari oleh seluruh manusia, bahkan ini adalah perkara yang paling diimpikan oleh manusia, yaitu ketenangan hidup.
 
Penerjemah: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber: www.naseemalsham.com

Hakikat Iman

Iman bukan hanya klaim dan pengakuan.
Iman adalah keyakinan yang disertai dengan amal perbuatan (Hasan al-Bashri).
Karena itu, iman harus tampak pada cinta, loyalitas, ibadah, sikap, akhlak, muamalah, pembelaan, perjuangan dan seluruh sisi kehidupan.
Jika tidak, iman hanya ada pada selembar KTP atau pada gerakan shalat yang tanpa makna…
Ustadz Fauzi Bahreisy
(Baca juga: Pembelaan Terhadap Islam)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Sudahkah Kita Bersyukur?

Oleh: Ahmad Sodikun, S.Pd.I., M.Pd.I
 
Syaikh Nashr bin Muhammad As-Samarqandi dalam Syathrun Mintanbiihil Ghafilin menyebutkan, “Sebagian para tabi’in berkata “Barang siapa mendapat berbagai nikmat hendaknya mengucapkan Alhamdulillah. Barang siapa sering merasa sedih dan gelisah hendaknya mengucapkan istighfar (astaghfirullah). Barang siapa ditimpa kemiskinan hendaknya mengucapkan laa haulaa walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adziim.”
Membaca tahmid (Alhamdulillah) ketika mendapatkan nikmat merupakan salah satu indikator orang yang bersyukur. Pertanyaannya “Apakah bersyukur cukup hanya dengan mengucapkan hamdalah (Alhamdulillah)?
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota badan (Minhajul-Qasidin hal.103).
Adapun tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah :
1. Mengakui dan meyakini bahwa nikmat tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)….” (QS. An-Nahl : 53).
Meskipun secara zahir kita mendapatkan nikmat itu melalui banyak wasilah misalkan dari teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya, semuanya itu adalah hanyalah perantara yang Allah Ta’ala gunakan untuk memberikan nikmat-Nya.
2. Mencintai Allah Ta’ala sang pemberi nikmat.
3. Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.
Adapun tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat tersebut pada kita. Hamba yang bersyukur kepada Allah Ta’ala ialah hamba yang bersyukur dengan lisannya. Allah sangat senang apabila dipuji oleh hamba-Nya. Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa memuji Allah Ta’ala.
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Dan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)”. (QS. Adh Dhuha: 11)
Seorang hamba yang setelah makan mengucapkan rasa syukurnya dengan berdoa, maka ia telah bersyukur. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, dari Mu’adz bin Anas, dari ayahnya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ طَعَامًا فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى أَطْعَمَنِى هَذَا وَرَزَقَنِيهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلٍ مِنِّى وَلاَ قُوَّةٍ . غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang makan makanan kemudian mengucapkan: “Alhamdulillaahilladzii ath’amanii haadzaa wa rozaqoniihi min ghairi haulin minnii wa laa quwwatin” (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makanan ini, dan merizkikan kepadaku tanpa daya serta kekuatan dariku), maka diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Tirmidzi no. 3458. Tirmidzi berkata, hadits ini adalah hadits hasan gharib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata :
إِنَّ اللَّهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ الأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشَّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا
Sesungguhnya Allah Ta’ala sangat suka kepada hamba-Nya yang mengucapkan tahmid (alhamdulillah) sesudah makan dan minum” (HR. Muslim no. 2734).
Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat tersebut untuk melakukan amal sholeh dan menahan diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya. Dan semua yang kita lakukan akan ditanya dan dimintai pertanggungjawabannya.
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Kemudian engkau pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang telah engkau terima di dunia)“. (QS. At-Takatsur : 8)
Saudaraku mari kita jadikan syukur mendarah daging dengan tubuh, kemudian menjadi nafas kehidupan serta menjadi tingkah laku dan perbuatan kita. Dengan demikian sebenarnya kita telah mendapatkan kenikmatan yang jauh lebih besar daripada nikmat yang telah kita terima. Al-Hasan meriwayatkan :
Apabila Allah memberi seorang hamba nikmat, besar maupun kecil, lalu ia bersyukur kepada Allah, maka ia telah diberi nikmat yang lebih besar dari yang ia terima.” (H.R. Hakim)
Wallahu a’lam