by Danu Wijaya danuw | Jun 20, 2017 | Artikel, Berita, Nasional
JAKARTA – Setiap sepuluh hari terakhir Ramadhan, umat Islam berbondong-bondong melakukan iktikaf di Masjid Istiqlal untuk mendapatkan Lailatul Qadar. Mereka melakukan ibadah seperti shalat malam, membaca Alquran, dan berdoa kepada Allah.
Namun, pada tahun ini ada yang berbeda dari pelaksanaan iktikaf di Masjid Istiqlal. Pengurus Masjid Istiqlal kali ini tidak menyediakan hidangan sahur untuk para jamaah.
Lantaran tahun ini tidak ada bantuan dari pemerintah dan hanya mengandalkan swadaya dari masyarakat.
“Tahun yang lalu kan biasanya disediakan 1.000 per malam. Nah tahun ini enggak,” ujar Kepala Bagian Protokol dan Humas Masjid Istiqlal, Abu Hurairah Abd Salam Sabtu (17/6).
Ia menuturkan, pada setiap sepuluh hari terakhir Ramadhan Masjid Istiqlal selalu menggelar shalat malam berjamaah yang dimulai dari pukul 01.00 WIB. Sebelum melaksanakan ibadah tersebut, Imam Besar Masjid Prof Nasaruddin Umar memberikan tausyiah kepada jamaah,
“Kami sudah mengadakan Qiyamul Lail sejak malam ke-21 kemarin. Itu mulainya dari jam satu pagi didahuluhui dengan tausyiah Imam Besar,” ucapnya.
Ia menambahkan, meskipun tidak ada hidangan sahur pada tahun ini jamaah yang melakukan iktikaf di Masjid Istiqlal tidak terpengaruh. Justru, menurut dia, jamaah mengalami peningkatan.
Sangat disayangkan untuk hal ibadah keagamaan dihentikan dengan alasan efisiensi anggaran. Jika dibanding pengeluaran untuk keduniaan bisa hutang hingga Rp 3.000 triliun. Padahal peserta dari masyarakat kurang mampu dengan adanya sahur gratis, jadi termotivasi untuk iktikaf.
Ibadah iktikaf sendiri akan mendapat keberkahan, maghfirah dan rahmat, terutama keistimewaan malam lailatul qadar yang lebih baik dari 1.000 bulan. Dan seringkali imam qiyamul lail bersama jamaah mendoakan pemimpin dan kesejahteraan negeri ini.
Sumber : Republika/LintasParlemen
by Danu Wijaya danuw | Jun 27, 2016 | Artikel, Ramadhan
Waktu I’tikaf
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja, pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat. Minimal :
- Dalam madzhab Hanafi adalah “sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat”.
- Atau dalam madzhab Syafi’I, “sesaat atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri)”
- Dan dalam madzhab Hambali, “satu jam saja”.
Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tadi, waktu i’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipratekkan langsung oleh Nabi Saw, yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Tempat I’tikaf
Ahli fiqh berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk i’tikaf.
Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjama’ah
Sedangkan Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah ataupun tidak.
Sedangkan pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya i’tikaf itu dilakukan di masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at, agar ia tidak perlu ke luar masjid ketika mau melakukan shalat Jum’at, dan lebih afdhal lagi bila i’tikaf itu dilaksanakan di salah satu dari tiga masjid, yaitu Masjid al Haram (di Mekah), Masjid Nabawi (di Madinah), atau Masjid al Aqsha di Palestina (lihat, Al Mughni: 4/462, Fiqh Sunnah: 1/402).
Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
- Muslim
- Berakal
- Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas
Oleh karena itu i’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumayiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
Niat yang ikhlas. Hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
Berdiam di masjid (QS Al-Baqarah : 187).
Awal dan Akhir I’tikaf
Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ”Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan aku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir”.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat Ied.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Ibadah Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Danu Wijaya danuw | Jun 26, 2016 | Artikel, Ramadhan
Hukum I’tikaf
Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf, khususnya 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan oleh Rasulullah Saw. Rasulullah Saw sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Aisyah, Ibnu Umar dan Anas Radliallahu ‘Anhum meriwayatkan: ”Rasulullah Saw selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan ” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini dilakukan oleh beliau hingga wafat, bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari.
Demikian pula halnya dengan para sahabat dan istri Rasulullah Saw senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata : ”Sepengetahuan saya tidak ada seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa i’tikaf itu bukan sunnah”.
Keutamaan dan Tujuan I’tikaf
Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad: Tahukah Anda hadits yang menunjukkan keutamaan i’tikaf? Ahmad menjawab: Tidak, kecuali hadits yang lemah”.
Namun demikian tidaklah mengurangi nilai ibadah i’tikaf itu sendiri sebagai taqarrub kepada Allah SWT. Cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah, para Shahabat, para Istri Rasulullah Saw, dan para ulama salafus shalih senantiasa melakukan ibadah ini.
I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqarrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tetapi teramat tinggi nilainya.
Jauh dari rutinitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Khaliq (Pencipta). Bermunajat sambil berdo’a dan beristighfar kepada-Nya, sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas keseharian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti.
Ibnu Qoyyim berkata: “I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati orang yang beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah”.
Macam-macam I’tikaf
I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam :
- I’tikaf sunnah yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela, semata- mata untuk bertaqarrub kepada Allah, seperti i’tikaf 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan.
- I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan nadzar atau janji, seperti ucapan seseorang: “Kalau Allah Ta’ala menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari”, maka i’tikaf tiga hari itu menjadi wajib hukumnya.
*bersambung
Sumber : Buku Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Sharia Consulting Center scc | Jun 6, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: Sharia Consulting Center
1. Sahur
Walaupun dengan seteguk air, karena bisa menguatkan fisik seseorang untuk berpuasa di siang harinya, sesuai dengan sabda Rasulullah Saw bersabda :
” تسحروا فإن السحور بركة ” رواه البخاري ومسلم
“Makan sahurlah kalian, karena sahur itu berkah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan sunnahnya lagi, sahur itu dilakukan diakhir malam menjelang fajar, agar pengaruh sahur untuk kekuatan fisik di siang hari itu masih terasa.
2. Menyegerakan berbuka.
Ketika sudah adanya keyakinan bahwa matahari sudah terbenam, dan sebelum dilakukannya shalat Maghrib. Rasulullah Saw bersabda :
” لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر ” متفق عليه
“Manusia masih dalam kebaikan selagi ia masih mau menyegerakan berbuka puasa” (Muttafaqun alaih).
Makanan berbuka yang digunakan untuk berbuka pertama kali, sunnahnya adalah korma, atau manis manisan, atau air.
3. Berdo’a ketika akan berbuka
Dengan do’a yang ma’tsur dari Rasulullah Saw:
” اللهم لك صمت ، وعلى رزقك أفطرت ، وعليك توكلت ، وبك آمنت ، ذهب الظمأ ، وابتلت العروق ، وثبت الأجر إن شاء الله تعالى ، يا واسع الفضل اغفرلي ، الحمد لله الذي أعانني فصمت ، ورزقني فأفطرت ”
“Ya Allah untuk-Mu aku berpuasa, dan dengan rezeki-Mu aku berbuka, kepada-Mu aku berserah diri, dan kepada-Mu aku beriman, hilanglah rasa haus, tenggorokan menjadi basah. Semoga pahala dilimpahkan, insya Allah, wahai Dzat yang Maha luas anugerahnya ampunilah aku, segala puji bagi Dzat yang telah memberikan pertolongan kepadaku hingga aku bisa berpuasa, dan memberikan rezeki kepadaku hingga aku bisa berbuka”
4. Menahan anggota tubuh.
Untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa mengurangi pahala puasa, seperti perkataan atau perbuatan yang tidak ada manfaatnya. Rasulullah Saw:
” من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan atau perbuatan kotor, maka Allah tidak merasa butuh baginya yang telah meninggalkan makanan dan minumannya” (HR Bukhari).
(Baca juga: Penentuan Awal Ramadhan dalam Perspektif Sunnah)
5. Berusaha untuk mandi janabah
Yaitu mandi setelah haidh atau nifas sebelum fajar, agar puasanya sejak pagi sudah dalam keadaan suci, walaupun jika mandinya dilakukan setelah fajar tetap puasanya dianggap sah.
6. Memberi makan buka puasa
Memberi pada orang lain untuk berbuka puasa baik makanan ringan, minuman atau lainnya, walaupun yang lebih utama adalah yang mengenyangkan. Rasulullah Saw bersabda:
” من فطر صائما كان له مثل أجره غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيء ” رواه الترمذي وصححه
“Barangsiapa yang memberi makan pada orang yang berpuasa, maka baginya pahala puasa, tanpa harus mengurangi pahalanya orang yang puasa itu.” (HR. Turmudzi)
7. Berbuat baik pada sanak saudara dan kerabat, serta memperbanyak shadaqah kepada faqir miskin
Agar mereka bisa menjalankan puasa dengan tenang tanpa harus memikirkan kebutuhan makan dan minum pada hari itu. Sebagaimana yang tersurat dalam satu riwayat:
” كان صلى الله عليه وسلم أجود الناس بالخير ، وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل ”
“Rasulullah Saw adalah orang yang paling dermawan dalam berbagai macam kebaikan, dan paling banyak kedermawanan beliau dilakukan pada bulan Ramadhan saat Jibril menemuinya.”
8. Menyibukkan diri dengan dzikir, tilawah al Qur’an dan menghadiri kajian-kajian Islam
Karena kebaikan yang dilakukan di bulan Ramadhan, pahalanya akan dilipatgandakan, dan karena Jibril selalu datang menemui Nabi setiap bulan Ramadhan untuk saling membaca dan memperdengarkan Al Qur’an.
(Baca juga: Bagaimana Melatih Anak Berpuasa)
9. I’tikaf
Terutama pada sepuluh hari yang terakhir di bulan Ramadhan, sebagai sarana yang paling ampuh untuk menjalankan perintah-perintah Allah dan meninggalkan berbagai larangan larangannya. Disamping sebagai upaya untuk dapat menggapai malam Lailatul Qadar. Hal-hal yang berkaitan dengan i’tikaf akan dibahas dalam bab tersendiri insya Allah.
Sumber:
Panduan Lengkap Ramadhan, Sharia Consulting Center