by Danu Wijaya danuw | Mar 27, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita berpandangan bahwa syariah Islam adalah wahyu Allah swt yang tercermin dalam Al Qur’an dan sunnah Nabi yang shahih. Sementara, fiqih Islam adalah aktivitas akal seorang muslim yang berijtihad dalam rangka memahami Al Qur’an dan as Sunnah, serta mengambil kesimpulan hukum amaliyah darinya. Dengan demikian, syariah adalah wahyu Tuhan, sementara fiqih adalah hasil aktivitas manusia.
Hanya saja fiqih tersebut dalam ijtihad, pemikiran, dan pelaksanaan istinbath hukumnya harus mengacu kepada pertimbangan syariah, rasio, dan bahasa yang harus dijadikan pegangan oleh muslim.
Kaum muslimin telah berhasil menemukan sebuah ilmu yang dianggap sebagai salah satu kebanggaan warisan ilmiah Islam. Yaitu ilmu ushul fiqih yang menjadi acuan dalam memberikan sebuah dalil terkait dengan sesuatu yang ada nash-nya ataupun yang tidak ada nash-nya. Bahkan sebelum ilmu ushul fiqih ditulis dengan cara metodologis, para fukaha sudah mengacu kepada kaidah-kaidahnya meski istilah dan namanya belum ada. Cara tersebut dilakukan baik oleh kalangan yang lebih cenderung kepada atsar (naqli) maupun oleh kalangan yang lebih cenderung memergunakan akal.
Yang diinginkan oleh sejumlah pihak dari sikap meninggalkan fiqih Islam atau mencampakkannya dari khazanah peradaban kita sebenarnya adalah agar kita atau mencampakkan seluruh syariat Islam dari kehidupan. Sebab, ia berada dalam rahim fiqih itu sendiri.
Hanya saja kita dituntut untuk memilah antara yang sudah baku/permanen dan yang bisa berubah, yaitu hukum-hukum yang sesuai waktu dan tempatnya, tetapi tidak sesuai lagi pada saat ini, karena perubahan kondisi seperti ungkapan, “Perubahan hukum bisa terjadi akibat perubahan zaman.” Hal inilah yang disebutkan oleh majalah al Ahkam dalam salah satu materinya.
Kami dalam Persatuan Ulama Islam Sedunia berpegang pada fiqih yang beraliran moderat, yang memahami nash demi nash sesuai dengan tujuan umum tanpa mempertentangkan antara keduanya. Selain itu, kami memahami nash sesuai konteks, berbagai faktor, dan sebab yang mempengaruhinya. Lalu memilah antara tujuan yang bersifat tetap dan sarana yang bisa berubah, memilah antara urusan ibadah dan urusan muamalah.
Sebab, prinsip utama ibadah adalah segalanya terlarang, kecuali jika ada syariat yang membolehkan. Sebaliknya prinsip utama muamalah adalah segalanya boleh, kecuali ada nash syariat yang melarangnya.
Sama sekali bukan syariat walau lewat takwil, apabila persoalan apapun yang keluar dari keadilan menuju ketidakadilan, dari rahmat menuju kebalikannya, serta dari kebijaksanaan menuju kepada kesia-siaan.
Kemudian kami berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam agama selalu terbuka dan akan senantiasa terbuka. Pasalnya tidak ada seorangpun yang berhak menutup pintu yang telah dibuka oleh Allah dan RasulNya. Bahkan ia termasuk fardhu kifayah atas umat. Bahwa tidak boleh ada satu era yang kosong dari seseorang mujtahid yang bertugas menjelaskan hukum syariat terkait dengan berbagai hal yang baru ditemui oleh manusia.
Pada zaman sekarang ini kita lebih membutuhkan ijtihad faktual, karena zaman yang telah sangat berubah daripada zaman generasi sebelum kita di era ijtihad fiqih.
Para pengikut Abu Hanifah berkata, “Ini adalah perbedaan masa dan waktu, bukan perbedaan hujah dan dalil”.
Padahal jarak antara zaman mereka dan zaman imam mereka demikian dekat, dan kehidupan saat itu relatif tenang, apalagi beberapa abad setelah era ijtihad. Ditambah lagi segala sesuatu dalam kehidupan kita telah berubah dari sebelumnya.
Karena itu, kita harus membuka pintu ijtihad yang bersifat global dan parsial, mutlak maupun terikat, yang muncul dalam berbagai persoalan baru maupun hasil seleksi dari fiqih warisan.
Sejatinya, pintu ijtihad hanya terbuka bagi orang yang ahli dan pada tempatnya. Yang dimaksud ahli adalah setiap orang yang memiliki syarat-syarat kelayakan fundamental seperti yang disepakati oleh para ahli ushul dan fuqaha, diantaranya
- Memahami Al Qur’an dan as Sunnah secara mendalam, sehingga mampu mengambil kesimpulan hukum darinya
- Menguasai bahasa Arab berikut seluruh ilmunya
- Mengetahui ushul fiqih dan tujuan-tujuan syariat
- Memahami fiqih dan perbedaan pandangan diantara para ulama, sehingga mampu merumuskan fiqih yang terbentuk pada dirinya lewat istinbath hukum-hukum amaliyah dari dalilnya satu persatu.
Selain itu, ijtihad tersebut juga harus pada tempatnya. Yaitu wilayah hukum yang bersifat zhanni (tidak pasti). Yang dimaksud dengannya adalah persoalan yang dalilnya masih bersifat zhanni baik dari segi keberadaanya, petunjuknya, maupun keduanya. Sebagian besar syariat berasal dari pintu ini.
Sementara untuk segala persoalan yang bersifat qath’i (sudah baku dan pasti) tidak ada ruang bagi ijtihad didalamnya. Jumlahnya juga sedikit. Hanya saja, ia sangat penting. Ia menggambarkan sejumlah hal yang bersifat baku yang bisa menjaga persatuan umat dari segi akidah, pemikiran, emosi, dan perilaku sehingga tidak terurai dan terpecah dari yang tadinya satu unat menjadi banyak. Semua persoalan yang bersifat zhanni dikembalikan kepada yang bersifat qath’i dan dipahami sesuai dengan kerangkanya.
Kami mengajak untuk membuka pintu ijtihad perbandingan antar seluruh mazhab agar bisa sampai kepada fiqih Islam yang integral. Kami juga mengajak untuk mendirikan sejumlah lembaga ilmiah yang menghimpun para wakil dari berbagai mazhab Islam untuk mengkaji dan berijtihad dalam berbagai persoalan yang terkait dengan umat
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 27, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamualaikum wr wb. Ustad, saya pria muslim 60 tahun, duda cerai mati. Pada tahun 2007 saya diperintah dokter untuk periksa foto MRI dan hasilnya adalah ada saraf tulang belakang saya yang terjepit. Menurut dokter untuk kesembuhan satu-satunya jalan hanya operasi, atas pertimbangan keluarga saya tidak boleh operasi. Adapun efek dari saraf terjepit adalah kedua kaki saya gringgingan/semutan 24 jam nonstop dan juga berakibat pada disfungsi ereksi/impotensi. Untuk mengurangi rasa sakit saya sering terapi pijat di daerah pinggang dan sekitar pantat dengan posisi tengkurap. Namun masalahnya adalah pada saat dipijat ada beberapa kali dari penis saya mengeluarkan sperma padahal di daerah kemaluan tidak tersentuh sama sekali dan juga tidak bisa ereksi. Pertanyaan saya adalah bagaimana hukumnya dengan keluarnya sperma tersebut apakah termasuk hal-hal yg dilarang agama? Mohon petunjuk dan arahannya. Terima kasih Ustad. Wassalamualaikum wr wb.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Kami ikut prihatin dengan kondisi yang Anda alami saat ini. Semoga Anda diberi ketabahan dan kesabaran dalam menghadaji ujian tersebut. Insya Allah banyak kebaikan yang Anda dapatkan.
Terkait dengan sperma yang keluar saat dipijat, pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu antara mani dan madzi.
Mani biasanya keluar dengan syahwat, keluar dengan terasa, agak kental, dan memiliki bau yang khas.
Sementara madzi biasanya keluar saat ada rangsangan, keluar tanpa terasa, agak cair (tidak sekental mani), dan tidak memiliki bau seperti mani.
Kalau yang keluar madzi maka, Ali ra pernah menyuruh al-Miqdad ibn al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi saw tentang madzi. Nabi saw menjawab, “Cukup dengan berwudhu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun jika yang keluar mani, maka apabila keluarnya tanpa terasa dan tanpa disertai syahwat, menurut jumhur ulama cukup dengan wudhu sama seperti madzi; tanpa harus mandi.
Yang mengharuskan mandi apabila keluar dengan syahwat. Kemudian karena ia keluar tanpa disengaja dan bukan dengan maksud istimna (onani atau masturbasi), maka tidak ada dosa.
Hanya saja tampaknya Anda harus mengonsultasikan kondisi Anda dengan dokter untuk mengetahui sebab-sebabnya serta pengaruhnya pada kesehatan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 27, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamualikum ustadz, saya mau bertanya. Apakah diperbolehkan dalam islam memperbesar alat vital secara islam, sekarang ini banyak klinik yang menawarkan pengobatan terhadap alat vital pria dengan cara pemijatan atau memberiobat herbal untuk tujuan nantinya memuaskan istri agar rumah tangga harmonis. Apa hukumnya ya ustadz. Terimakasih mohon dijawab ya. Wassalamualaikum.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pada dasarnya operasi, pijat, atau cara terapi apapun yang dilakukan selama ditujukan untuk mengobati atau memperbaiki yang cacat atau yang mengganggu, hukumnya boleh.
Namun jika bentuk dan fungsi organ tubuh tersebut sudah baik dan normal sehingga terapi yang dilakukan hanya untuk sekedar mempercantik diri atau menambah kenikmatan seksual, maka hal itu tidak dibenarkan. Karena termasuk dalam kategori merubah ciptaan Allah, mengikuti hawa nafsu dan bisikan setan.
Dalam Q.S. an-Nisa 118-119 Allah berfirman,
Setan berkata, “Aku akan mengambil dari hamba-hamba-Mu bahagian yang sudah ditentukan (untukku). Aku benar-benar akan menyesatkan mereka, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya. Akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” Barangsiapa yang menjadikan syaitan menjadi pelindung selain Allah, Maka Sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.”
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah ibn Mas’ud juga disebutkan, “Allah melaknat para wanita yang mentato tubuhnya dan yang minta ditato, yang mencabut dan minta dicabutkan alisnya, yang merenggangkan gigi demi kecantikan yang merubah ciptaan Allah.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Jadi merubah ciptaan Allah yang sudah normal diharamkan. Hal itu tentu saja untuk kebaikan dan kemaslahatan manusia. Perlu diketahui bahwa tujuan yang baik harus dilakukan dengan cara yang baik dan dibenarkan dalam Islam.
Sebab, keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga sangat ditentukan oleh sejauh mana suami dan isteri membangun rumah tangganya di atas rambu-rambu agama; bukan sebaliknya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Danu Wijaya danuw | Mar 24, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita meyakini bahwa sumber akidah, syariah, akhlak, nilai, berikut sejumlah konsep dan standarnya adalah Al Qur’an al Karim. Ia merupakan sumber yang terpelihara yang tidak mengandung kebathilan sama sekali. Ia adalah landasan utama dan sumber dari segala sumber. Ia menjadi rujukan dan dalil bagi sumber-sumber lainnya. Bahkan kedudukan as Sunnah sebagai hujjah tetap merujuk kepada Al Qur’an.
Tidaklah dibenarkan seorang muslim yang komitmen kepada syahadatain lalu meragukan kebenaran nash Al Qur’an, meragukan kondisinya yang terlindung dari perubahan berupa penambahan maupun pengurangan, serta kedudukannya sebagai hujjah, apapun mazhabnya serta apapun kelompoknya. Entah ia dari sunni, syiah, ja’fari, zaydi atau ibadhi.
Al Qur’an merupakan kitab suci seluruh kaum muslimin. Hanya Al Qur’an yang demikian terang, mudah dan terpelihara.
“Kami yang menurunkan Al Qur’an sebagai peringatan dan Kami pula yang menjaganya” (Q.S. Al Hijr : 9)
“Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang” (Q.S. An Nisa : 174).
“Kami mudahkan Al Qur’an sebagai pelajaran. Maka adakah yang mau mengambil pelajaran?” (Q.S. Al Qamar : 17).
Allah menurunkan Al Qur’an yang berbahasa Arab. Jadi, ia memang berbahasa Arab. Namun, kandungan dan tinjauannya bersifat universal. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Allah,
“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam” (Q.S. Al Furqan : 1).
Karena itu, kaum muslimin wajib menerjemahkan maknanya kedalam berbagai bahasa di dunia sehingga mereka bisa menyampaikan risalah Allah ini kepada manusia, memberikan hujjah kepada mereka, serta menegakkan universalitas dakwah.
As Sunnah yang shahih menjadi sumber Islam yang kedua setelah Al Qur’an. As Sunah itulah yang disampaikan oleh para sahabat dan keluarga Nabi saw kepada kita lewat berbagai jalur yang bisa dipercaya. Salah satu tugas yang Allah berikan kepada RasulNya adalah menerangkan Al Qur’an kepada manusia.
“Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (Q.S. An Nahl : 44).
Al Qur’an berperan sebagai petunjuk ilahi bagi alam semesta. Sementara Assunnah berperan sebagai penjelasan Nabi kepada manusia yang berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan beliau. Kadang ia menafsirkan apa yang dinyatakan oleh Al Qur’an secara global atau mengkhususkan apa yang masih umum, serta membatasi apa yang masih bersifat mutlak. Allah memerintahkan untuk menaati RasulNya karena beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Ketaatan beliau berarti ketaatan kepada Allah swt. Allah berfirman,
“Siapa yang taat kepada Rasul berarti ia taat kepada Allah” (Q.S. An Nisa : 80).
Karena itu Allah mengaitkan ketaatan kepada RasulNya dengan ketaatan kepadaNya. Kalau hal itu dilakukan maka mereka akan mendapatkan petunjuk dan cinta Allah. Allah berfirman,
“Katakanlah “Taatilah kepada Allah dan taatilah kepada Rasul!…. Jika kalian menaatinya pasti kalian mendapat petunjuk.” (Q.S. An Nur : 54).
“Katakanlah “Jika kalian mencintai Allah, ikutilah aku! Pasti Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian” (Q.S. Ali Imran : 31).
Al Qur’an tidak akan bisa dipahami secara sempurna tanpa kehadiran kehadiran As Sunnah, baik yang berupa ucapan sebagai bagian terbesar maupun berupa amal perbuatan seperti sunah yang terkait dengan penjelasan tentang shalat lima waktu dan manasik haji yang tidak dijelaskan eksplisit di Al Qur’an. Itu semua merupakan sunah dalam bentuk amal perbuatan yang diyakini secara mutawatir.
Sebaliknya As Sunah juga tidak dapat dipahami secara benar jika dilepaskan dari Al Qur’an. Akan tetapi ia harus dipahami sesuai kerangka pemikirannya. Sebab penjelasan tidak boleh berlawanan dengan sesuatu yang ia jelaskan.
As Sunah dengan kedudukannya sebagai penjelas Al Qur’an telah disepakati oleh seluruh mazhab dan aliran Islam.
Yang penting kedua sumber tersebut dipahami lewat kerangka bahasa Arab yang dengannya Al Qur’an diturunkan dan hadist diriwayatkan, serta sesuai dengan jumlah kaidah yang digariskan oleh para ulama terpercaya. Khususnya ulama ushul fiqih. Ia adalah kaidah yang sebagian besarnya sudah disepakati dan hanya sebagian kecil saja yang masih diperselisihkan.
Sumber syariat lainnya seperti ijma, qiyas, akal, istishlah, istihsan, urf, serta sejumlah syariat sebelum kita dan istishab, kedudukan semuanya sebagai hujjah tetap bersumber dari dua sumber utama diatas. Al Qur’an dan Sunnah.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)
by Danu Wijaya danuw | Mar 19, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Perbedaan merupakan rahmat Allah swt terhadap manusia. Seandainya syariat hanya berupa satu pandangan tentu akan menyulitkan umat. Perbedaan menjadi khazanah kekayaan pemahaman dan kelapangan bagi umat. Keragaman pandangan membuka ruang untuk memilih dalil yang paling kuat, jalan yang paling tepat, serta yang paling sesuai untuk mewujudkan sejumlah tujuan syariat dan kemashlahatan makhluk. Kita telah melihat bagaimana umat demikian lapang menerima berbagai mazhab dan pandangan.
Perbedaan yang ada mengarah kepada kekayaan dan variasi, bukan perbedaan yang mengarah kepada konflik dan pertentangan. Kita semua juga harus komitmen dengan etika berbeda pendapat dan mengetahui fiqih ikhtilaf atau yang dikenal fiqih i’tilaf (fiqih persatuan). Maksudnya pandangan boleh berbeda, tetapi hati kita tidak boleh berbeda.
Dalam menghadapi berbagai persoalan umat yang besar ini kita harus berdiri dalam satu barisan seperti satu bangunan yang kokoh saling menguatkan. Kita tidak boleh memberikan celah untuk musuh yang sedang menunggu kesempatan guna mencerai beraikan persatuan dan memecah belah kita. Terutama dalam kurun waktu yang sulit ini dimana umat dihadapkan pada makar yang paling hebat dan agamanya sedang dihadapkan pada bahaya.
Persatuan umat harus diawali diantara para ulama yang memimpin umat lewat hukum-hukum syariat diatas landasan. Yang kita tuju adalah adanya dialog yang konstruktif yang bertujuan memperlihatkan kebenaran dan membuka pintu kerjasama dalam kebaikan. Dialog tersebut pertama-tama harus terwujud diantara para ulama dan pemikir dalam suasana persaudaraan serta dibawah kerangka ilmiah dan sikap objektif, jauh dari lontaran pemikiran yang membabi buta.
Selanjutnya kita meyakini bahwa hubungan antara muslim dan saudara sesama muslim berdasarkan prasangka yang baik serta mengantarkan menuju kebaikan. Seorang muslim tidak boleh memposisikan saudaranya sebagai orang yang berdosa, fasik, dan ahli bid’ah kecuali dengan dalil qath’i. Dan hal terburuk adalah mengkafirkan tanpa hujjah dan bukti yang jelas.
Hadist-hadist shahih yang demikian banyak mengingatkan kita untuk tidak mengkafirkan antar kaum muslimin. Hal ini tak boleh dipandang remeh agar setiap kelompok tidak mudah mengkafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Nabi saw bersabda,
“Siapa yang menyebut seseorang sebagai kafir atau mengatakan, “Musuh Allah!” padahal tidak demikian, maka kondisi tersebut kembali kepadanya.” (H.R. Muslim dan Ahmad dari Abu Dzarr al Ghifari ra.)
“Jika seseorang berkata kepada saudaranya, Wahai orang kafir!” maka kekafiran melekat pada salah satu dari keduanya jika ia memang seperti yang dikatakan. Namun, jika tidak ia kembali kepada yang mengucapkannya.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Ibn Umar)
Sikap mengkafirkan adalah dosa agama, kesalahan ilmiah, dan sebuah kejahatan sosial. Sebab ia memicu perpecahan umat dan bisa memicu munculnya kondisi yang diperingatkan oleh Rasulullah saw.,
“Janganlah sesudah kepergianku kalian kembali saling membunuh.”
Meskipun tindakan mengkafirkan diperbolehkan jika disertai dengan bukti-bukti nyata, namun ia harus ditujukan kepada jenis perbuatannya bukan kepada orangnya. Misalnya dengan berkata, “Siapa yang mengucapkan ini dan itu berarti ia telah kafir. Siapa yang berbuat demikian berarti ia kafir. Siapa yang mengingkari ini berarti ia kafir.” Jadi tidak boleh menyebutkan orangnya dengan berkata, “Fulan kafir”, kecuali setelah adanya interogasi, penelitian, dan pemeriksaan tanpa disertai keraguan sedikitpun. Ini hanya dapat dilakukan oleh peradilan.
Amal yang paling utama disisi Allah adalah berusaha merekatkan kaum muslimin, memperbaiki hubungan diantara mereka, menghilangkan sebab-sebab perpecahan diantara kelompok dan golongan mereka.
“Orang-orang beriman itu bersaudara. Karena itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S. Al Hujurat : 10)
Dengan melihat kepada kesamaan akidah, syariat dan tujuan mereka dikumpulkan oleh persaudaraan atas landasan iman, maka Islam memberikan kepada persaudaraan ini sejumlah hak yang tetap dalam hal pembelaan solidaritas dan perlindungan.
“Muslim yang satu saudara bagi muslim yang lain. Ia tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya dizalimi.”
Kaum muslimin adalah bersaudara. Mereka disatukan oleh akidah yang sama, kiblat yang sama, iman kepada kitab yang sama, rasul yang sama, dan syariat yang sama. Mereka harus menghilangkan seluruh faktor yang bisa memecah belah kesatuan mereka. Entah itu berupa sikap fanatisme ras dan teritorial, sikap mengekor, sikap mengikuti hawa nafsu, dan egoisme yang menginjak-injak kepentingan umat dan bahkan menampakkan loyalitas kepada musuh umat Islam.
“Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu dan Aku adalah Tuhanmu. Maka sembahlah Aku” (Q.S. Al Anbiya : 92)
Mereka harus merelaisasikan solidaritas Islam dari sebatas wacana kepada amal yang nyata. Mereka harus saling mendukung secara politis diberbagai blok dunia. Umat Islam layak menjadi sebuah blok terbesar jika mereka mau merespon seruan Tuhan.
“Berpegang teguhlah kalian semua kepada tali Allah dan jangan berpecah belah” (Q.S. Ali Imran : 103)
Kaum muslimin harus bahu membahu untuk membebaskan negeri Islam dari para perampasnya sesuai dengan orientasi untuk meraih kemashlahatan Islam yang paling tinggi, serta kebutuhan dan tuntutan dibidang militer, ekonomi,dan kemanusiaan. Aktivitas mereka dalam hal ini merupakan jihad yang paling utama dalam Islam. Siapa yang tidak mampu seorang diri melawan agresor dan memerdekakan negerinya, maka seluruh kaum muslimin berkewajiban menolongnya semampu mungkin.
“Janganlah kalian saling bertikai! Jika demikian kalian pasti gagal dan kehilangan kekuatan” Q.S. Al Anfal : 46
Palestina khususnya menjadi tempat jihad kaum muslimin pada saat ini. Ia adalah tanah air kenabian, tempat Isra Mi’raj Nabi saw, serta negeri tempat Masjidil Aqsa. Ia adalah persoalan setiap muslim. Karena itu, seluruh umat Islam harus membantu apa yang dibutuhkan oleh penduduknya agar negeri mereka yang terampas bisa merdeka, agar rakyatnya bisa mendapatkan haknya kembali, serta agar mereka bisa menegakkan negara yang merdeka ditanah airnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)