0878 8077 4762 [email protected]

Bagaimana Nafkah Suami bagi Isteri Yang Bekerja?

Assalamualaikum wr wb, Saya sudah menikah hampir 4 tahun dan dikaruniai 2 anak dengan kondisi rumah tangga tidak serumah karena lokasi kerja suami saya yang jauh (pelosok) dan berpindah-pindah. Kami berdua sama-sama bekerja, namun secara penghasilan, penghasilan saya lebih besar daripada suami. Selama ini gaji suami digunakan untuk membayar cicilan KPR, membeli tiket pulang pergi dari lokasi kerja ke rumah, serta untuk biaya hidupnya disana. Sedangkan penghasilan saya digunakan untuk biaya operasional rumah tangga, seperti; kebutuhan hidup (makan, minum di rumah), keperluan anak (susu, popok, dan kebutuhan lain), menggaji Asisten Rumah Tangga, biaya terkait komplek perumahan (arisan, iuran sampah, iuran RT, biaya listrik dll) serta kebutuhan saya pribadi. Selama ini jika saya tidak meminta kepada suami, suami saya tdk memberikan uang (diluar cicilan KPR).
Yang ingin saya tanyakan adalah:

  1. Apakah dengan membayar cicilan KPR (rumah atas nama suami) sudah termasuk dalam nafkah kepada istri?
  2. Suami saya tidak secara terbuka melaporkan kondisi keuangannya, namun saya pernah menemukan slip ATM tabungan suami saya yang ternyata saldonya cukup banyak dan saya tidak menyangka. Apakah suami wajib memberitahukan kepada istri mengenai kondisi keuangannya secara terbuka? Atau hal itu hak prerogatif suami untuk memberitahukannya atau tidak?
  3. Apakah Istri memiliki kewajiban untuk menceritakan kondisi keuangan istri, baik seluruh kebutuhan rumah tangga dan kondisi finansial istri?

Demikian pertanyaan dari saya. Besar harapan saya Ustad/Ustadzah berkenan memberi pandangan. Terimakasih atas perhatian Ustad/Ustadzah. Wassalamualaikum wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Sebelumnya kami doakan semoga Anda berdua diberikan rumah tangga bahagia yang berhias sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Perlu diketahui bahwa nafkah keluarga (isteri dan anak) merupakan tanggung jawab suami. Hal ini sesuai dengan firman-Nya pada surat al-Baqarah: 233. Pemberian nafkah tersebut meliputi kebutuhan anak isteri terhadap makan, minum, pakaian, tempat tinggal, pengobatan jika sakit, dan kebutuhan dasar lainnya.
Hanya saja, kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga disesuaikan dengan kemampuan suami. (QS ath-Thalaq: 7). Allah tidak membebani di luar kemampuannya. Kalau kemudian suami tidak mampu memenuhi kewajiban memberikan nafkah secara sempurna, lalu isteri memberikan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan tersebut, maka hal itu merupakan bentuk kebaikan isteri pada suami (bukan kewajibannya).
Karena itu, suami tidak boleh memanfaatkan kemampuan finansial isteri untuk melalaikan kewajibannya dalam memberi nafkah. Sebab kewajiban memberi nafkah tetap menjadi tanggung jawab suami, sementara isteri kalaupun mampu hanya sekedar membantu.
Oleh sebab itu, mencermati kondisi Anda di atas, ada baiknya dilakukan komunikasi dan pembicaraan terkait dengan pemberian nafkah suami. Anda boleh berterus terang dan meminta kesediaan suami untuk memenuhi kewajibannya memberi nafkah dengan baik; bukan dalam konteks memaksa atau menuntut secara berlebihan.
Suami tidak wajib memberitahukan kas yang ia miliki di bank. Demikian pula dengan isteri. Yang terpenting bagaimana suami memenuhi kewajiban memberi nafkah sesuai kemampuan.
Hanya saja keterbukaan, kerja sama, dan upaya untuk saling membantu dan memahami adalah cara terbaik untuk menciptakan suasana saling percaya antar anggota keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Tidak Mampu Tapi Ingin Menikah, Bolehkah?

Assalamu’alaikum.
Saya Dewi 20 tahun. Saya mau tanya, saya mau menikah. Tapi calon suami saya bisa di bilang orang tidak mampu. Begitupun juga saya. Dia sudah niat menikahi saya. Dia usaha sampai berhutang buat menikahi saya. Yang ingin saya tanyakan bagaimana hal itu dalam pandangan islam? Yang saya takutkan awal kami mau menikah sudah berhutang. Takutnya penikahannya nanti jadi nya buruk. Katanya sebaik-baik pernikahan itu pernikahan yg paling mudah. Mohon di jawab ya, saya perlu sekali jawaban nya, terima kasih banyak.
Wasalamualaikum wr.wb
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Terkait dengan orang yang ingin menikah namun kondisinya secara materi tidak mampu, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa orang yang tergolong fakir boleh menikah dan hendaknya dibantu untuk dinikahkan. Alasannya Rasul saw pernah menikahkan sahabat dengan mahar hafalan Alquran karena ia tidak memiliki harta. Alasan lainnya karena Allah befirman, “Jika mereka fakir, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka.” (QS an-Nur: 32).
Menurut Ibn Abbas ra, ayat ini merupakan perintah Allah untuk menikah serta memerintahkan para wali untuk menikahkan orang merdeka dan budak mereka dengan menjanjikan kecukupan di dalamnya.” Bahkan berdasarkan ayat tersebut Ibn Mas’ud ra berkata, “Carilah kecukupan (kekayaan) dengan lewat cara menikah!.”
Di samping itu Nabi saw bersabda, “Ada tiga orang yang Allah jamin akan dibantu. Di antaranya orang menikah yang ingin menjaga kehormatan.” (HR an-Nasai).
Pendapat kedua bahwa orang fakir yang tidak mampu menikah, hendaknya tidak memaksakan diri untuk menikah. Pasalnya Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu atas ba’ah, hendaknya ia menikah…
Menurut pendapat yang kuat maksud dari ba’ah di sini adalah mahar dan nafkah keluarga. Sebab, sesudahnya Nabi saw menegaskan bahwa yang tidak mampu hendaknya berpuasa. Jadi yang ingin menikah namun tidak mampu hendaknya berpuasa sebab puasa lebih bisa mengendalikan dan menjaga kehormatan.
Selain itu, Rasul saw pernah tidak memberikan rekomendasi kepada Fatimah untuk menikah dengan orang yang ingin meminangnya dengan alasan, “Orang itu miskin tidak punya harta.” Jadi ternyata kemampuan memberi nafkah juga menjadi pertimbangan.
Dengan melihat pada kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa idealnya seseorang yang hendak menikah memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah keluarga yang memang menjadi kewajibannya. Namun jika tidak mampu hendaknya bersabar dengan terus berusaha seraya berpuasa dan berdoa.
Akan tetapi, jika ia sangat mengkhawatirkan kondisi dirinya yang tidak mampu mengendalikan gejolak nafsu dan khawatir jatuh kepada yang haram, maka dalam kondisi demikian ia boleh menikah dengan meminta bantuan dari orang atau lembaga tertentu, atau bisa pula dengan berhutang.
Dengan harapan bahwa pernikahannya yang didasari oleh niat baik itu akan membuka pintu-pintu rezeki dari Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan beri jalan keluar padanya dan Allah beri rezeki dari tempat yang tak terduga.” Juga “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah mudahkan urusannya.” (QS ath-Thalaq 3 dan 4).
Hanya saja itu dengan catatan bahwa isteri mengetahui dan ridha dengan kondisi suaminya serta siap bersabar menghadapi berbagai kondisi yang ada pasca pernikahan mereka.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Bagaimana Cara Mendapatkan Jodoh?

Assalamualaikum wr.wb
saya mau tanya, saat ini umur saya sudah menginjak umur 30 tahun dan saya seorang wanita, tapi sampai sekarang saya masih belum dapat jodoh. Insyaallah saya sudah melaksanakan segala syariat seperti solat sunah seperti duha dan tahajud, infaq dan sodaqoh juga puasa sunah, walaupun kalau sedang sibuk sering terlewat tapi selalu saya usahakan.
Kiranya apa yang bisa menghambat jodoh seseorang? apakah dosa2 saya yang mungkin secara sengaja atau tidak sengaja termasuk salah satu yang menghambat jodoh saya? apakah yang harus saya lakukan?
terima kasih. wassalamualaikum, wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Kami memahami kegelisahan dan kerisauan Anda saat ini. Adalah fitrah jika seorang manusia ketika menginjak usia dewasa ingin mendapatkan pasangan hidup. Bahkan menikah juga merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh agama.
Karena itu apa yang Anda lakukan merupakan langkah yang tepat. Anda sudah melakukan sejumlah amal ibadah, sejumlah ketaatan, dan kebaikan. Semoga amal-amal tersebut diterima oleh Allah Swt. Yang perlu dan harus terus Anda lakukan adalah istikamah di dalamnya. Jangan pernah putus asa. Bahkan upayakan agar amal-amal terus semakin berkualitas dan semakin baik. Sebab, ini adalah cara untuk mendapatkan kehidupan yang baik dunia dan akhirat (lihat QS an-Nahl: 97).
Selain memperbanyak ibadah, Anda juga harus menjaga akhlak, adab-adab bergaul dan interaksi, serta penampilan agar benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. Tidak ada salahnya Anda meminta kepada pihak-pihak yang bisa dipercaya untuk mencarikan jodoh dan pasangan yang sesuai untuk Anda. Tentu saja bukan dengan kriteria yang sangat ideal dan sempurna, nyaris tanpa cacat. Karena yang semacam itu mustahil. Tidak ada manusia yang tanpa cacat. Namun yang Anda butuhkan adalah calon atau jodoh yang sesuai, layak, shaleh, dan taat.
Kemudian Anda harus menjauhi perbuatan dosa dan maksiat, terutama pergaulan saat ini yang menjurus pada pergaulan bebas, pacaran, dan khalwat muda-mudi yang tak kenal batas dan rambu-rambu agama. Karena semua itu hanya mendatangkan petaka; bukan bahagia. (lihat QS Thaha: 124).
Lalu, jangan lupa dan jangan pernah berhenti untuk berdoa dan meminta yang terbaik kepada Allah Swt. Sebab sebagaimana sabda Nabi saw, doa merupakan senjata orang beriman. Berdoalah kepada Allah dengan penuh ketulusan, keyakinan, dan kesungguhan. Pasti Allah mengijabah dan mengabulkan doa Anda.
Terakhir, jika engkau sudah melakukan itu semua tetapi apa yang Anda harapkan belum juga tiba, yakinlah bahwa Allah sebenarnya sudah mendengar dan mengabulkan pinta Anda. Namun bisa jadi Dia menunda pada waktu yang tepat, atau Dia memberi dan mengabulkan dalam bentuk yang lain. Atau bisa pula Dia tidak memberi di dunia untuk kebaikan Anda dengan menyiapkan gantinya yang terbaik untuk Anda di dalam sorga. Yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha dan berdoa. Semoga Allah ridho kepada Anda dan kita semua (QS al-Baqarah: 216).
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bagaimana Hukumnya Talak yang Sudah Terucap?

Assalamualaikum wr.wb. Bagaimana hukumnya mengucapkan talak secara tidak langsung kepada istri? Itupun saya ucapkan karena menuruti keinginan istri. Apakah itu sudah jatuh talak? Dan apakah saya berdosa kalau menggantungkan status pernikahan, karena sebenarnya saya ingin mempertahankan kebutuhan rumah tangga saya, tetapi sekarang kami sudah pisah ranjang. Hak dan kewajiban suami istri juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terimakasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama perlu diketahui bahwa talaq adalah ungkapan perceraian yang keluar dari pihak suami kepada istrinya dalam kondisi sadar, baik diminta oleh isteri atau tidak, baik lewat lisan, tulisan maupun isyarat. Serta baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, setelah talaq dijatuhkan maka akan berlaku masa iddah bagi istri (tidak boleh ada akad ijab qabul pernikahan) selama 3 kali suci karena istri masih menjadi hak suami untuk rujuk kembali, seperti dalam Quran Surat at-Talaq : ayat 4.
Selama masa iddah tersebut isteri boleh dirujuk tanpa perlu nikah ulang. Namun bila lewat masa iddah harus dengan nikah ulang. Ini berlaku bila talaknya masih merupakan talak satu atau dua.
Ketiga, bila masa iddah sudah habis dan suami belum merujuk juga maka ikatan suami isteri otomatis sudah putus.
Kami berharap semoga Anda berdua diberikan jalan terbaik oleh Allah. Pada dasarnya ikatan pernikahan harus dijaga semaksimal mungkin. Namun bila berbagai usaha sudah dilakukan (termasuk berdoa) maka serahkan semua kepada Allah.
Wallahu a’lam
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Perlukah Zakat dari Harta Waris yang Didapat?

Assalamualaikum ustad. Perkenalkan , Nama saya sefti dwijayanti teruni . Saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya apabila seseorang menerima harta waris ? Apakah orang tersebut wajib atau tidak membayar zakat, atau sedekah, infaq dan yang lainnya? Kalau memang ada keharusan, apakah ada anjuran berapa jumlah banyaknya? Lalu bagaimana seharusnya mengelola uang harta waris tersebut agar benar-benar bermanfaat bagi si penerima ?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengeluarkan zakat dari harta waris yang ia terima, kecuali jika harta tersebut mencapai nishab (jumlah harta yang wajib dizakati) dan sudah mencapai haul (sudah dimiliki selama setahun) sesuai syarat harta zakat biasa.
Namun jika harta waris tersebut baru diterima sehingga belum mencapai setahun atau jika jumlahnya tidak mencapai nishab (yaitu senilai 85 gram emas), maka tidak wajib dizakati.
Sebagai gantinya, bisa bersedekah atau berinfak, tanpa ada ketentuan dan keharusan mengenai berapa besaran atau jumlahnya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini