0878 8077 4762 [email protected]

Saat Bergembira

Oleh : M. Lili Nur Aulia
 
Rasulullah SAW bersabda,
Orang yang berpuasa memiliki dua kegembiraan: bila berbuka puasa ia gembira, dan bila bertemu dengan Rabbnya ia bergembira dengan puasanya” (HR. Bukhari)
Ketika terdengar suara adzan, sebisa mungkin nikmatilah berbuka puasa bersama dengan kumandang adzan. Jangan lupa berdo’a disela-sela berbuka. Ketahuilah bahwa bagi orang yang berpuasa ada waktu yang manjur ketika berbuka puasa. Lalu doa apakah yang akan dipanjatkan kepada Allah?
Setelah berbuka puasa, segeralah lakukan shalat berjamaah di masjid.
Waktu Mustajab untuk Berdoa
Bila Anda memiliki keperluan kepada Allah dan Anda menginginkan agar keperluanitu terpenuhi, maka kesempatan itu telah datang. Sekarang saatnya, Anda berpuasa dan bagi orang yang berpuasa ada saat-saat mustajab. Berdo’alah dengan sungguh-sungguh, pada momen-momen lain yang mustajab.
Anda bisa berdo’a hingga meneteskan airmata karena rasa takut kepada Allah. Atau berdo’a setelah Anda bersedekah secara diam-diam, atau setelah Anda meringankan hajat seorang muslim. Ketahuilah hal tersebut akan mempercepat do’a Anda terkabul.
Abdullah Bin Mas’ud berkata: “Barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah kelak dalam kondisi muslim, hendaklah ia menjaga shalatnya yang telah diserukan kepadanya. ”
Asuransi Bagi Amal Shalih
Sebagian orang begitu bernafsu untuk mengasuransikan kendaraan, bangunan dan bahkan jiwanya. Maka jadilah Anda orang yang bersemangat untuk mengansuransikan hidup Anda dalam beribadah.
Misalnya adalah ketika Anda akan melakukan shalat, hendaklah membawa orang lain hingga Anda mendapat pahala seperti pahala orang yang Anda ajak.
Begitupula bagi orang yang berpuasa hendaklah memberikan buka puasa bagi orang lain, agar memiliki pahala seperti orang yang berpuasa meski hanya memberikan sebutir kurma, seteguk air dan susu.
Setiap mukmin yang memberi makan muslim lain yang lapar, akan diberikan makan dari buah-buahan surga. Barangsiapa yang memberi minum bagi mukmin yang kehausan maka Allah akan memberinya minum dengan (rahiqil makhtum) yaitu air minum dari surga.
Abdullah bin Umar tidak berbuka puasa kecuali bersama anak-anak yatim dan orang miskin.
Banyak kaum salaf mengatakan, “Sungguh, dengan aku mengundang sepuluh sahabatku, kemudian aku suguhkan jamuan makanan yang mereka sukai, lebih aku cintai dari pada membebaskan sepuluh budak dari anak Ismail”.
 
Sumber :
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia

Fiqih Sunnah : I'tikaf bagian 1

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Pensyariatan I’tikaf
Ijma’ ulama menyebutkan bahwa i’tikaf disyariatkan dalam agama. “Nabi saw beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf hingga dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Para sahabat dan para istri Rasulullah juga melakukan i’tikaf bersama Nabi, dan tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menyatakan keutamaannya.
Abu Daud berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad ra., ‘Apakah ada keterangan tentang keutamaan i’tikaf yang engkau ketahui?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali keterangan yang lemah.'”
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf itu ada dua macam, yaitu sunah dan wajib.

  • I’tikaf sunah dilakukan oleh seseorang secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah saw, terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
  • Sedangkan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang karena dia mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf, bisa disebabkan oleh nazar umum, seperti perkataannya, “Aku bernazar akan melakukan i’tikaf.” Atau dengan nazar khusus, seperti “Jika aku sembuh, aku akan i’tikaf.”

Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,
Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya.”
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Ya Rasulullah, aku telah bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam. Nabi saw. bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Waktu I’tikaf
I’tikaf wajib hendaknya dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinazarkan. Jika ia bernazar akan beri’tikaf satu hari atau lebih, hendaknya ia melaksanakan seperti yang telah dinazarkannya.
Sedangkan i’tikaf sunah, tidak ada batas waktu tertentu. Nazarnya sudah terpenuhi jika ia berdiam di masjid dengan niat i’tikaf, lama atau sebentar, dan ia akan mendapat pahala selama berada di masjid. Jika ia keluar dari masjid kemudian ingin kembali i’tikaf, maka ia harus memperbarui niat i’tikaf.
Ya’la bin Umaiyah berkata, “Aku berdiam di masjid selama satu jam untuk i’tikaf.”
Atha’ berkata, “Sudah disebut i’tikaf seseorang yang berdiam di masjid. Jika seseorang duduk di masjid karena mengharap pahala, maka ia dikatakan beri’tikaf. Jika tidak, maka tidaklah disebut beri’tikaf.
Seseorang yang sedang melakukan i’tikaf sunah, boleh menghentikan i’tikafnya kapan saja meskipun belum sesuai yang diniatkannya.
Aisyah meriwayatkan,
Jika ingin beri’tikaf, Nabi shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf. Suatu kali, beliau ingin beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan tempat i’tikaf. Lalu tempat itu pun dibuatkan.
Aisyah berkata, ‘Melihat hal itu, aku juga menyuruh dibuatkan untukku. Lalu aku juga dibuatkan. Kemudian istri-istri Nabi yang lain juga minta dibuatkan. Lalu dibuatkan. Ketika Nabi akan shalat subuh, beliau melihat tempat-tempat i’tikaf itu, beliau berkata ‘Apa ini? Apakah kalian menginginkan kebaikan?
‘Aisyah berkata, ‘Lalu Nabi saw. menyuruh membongkar tempat i’tikafnya dan tempat i’tikaf para istrinya. Kemudian beliau menunda i’tikaf di sepuluh hari pertama (bulan Syawwal).”
Perintah Nabi saw kepada para istri beliau untuk membongkar tempat i’tikaf dan menghentikan i’tikaf mereka padahal mereka sudah berniat melakukan i’tikaf adalah bukti bolehnya menghentikan i’tikaf sekalipun sudah dimulai.
Hadits ini juga merupakan dalil diperbolehkannya suami melarang istrinya beri’tikaf sampai ia memberi izin. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Para ulama berbeda pendapat mengenai; jika suami sudah memberi izin, apakah setelah itu boleh melarangnya?
Menurut Syafi’i, Ahmad, dan Daud, suami boleh menghentikan i’tikaf sunah yang sebelumnya dilakukan istrinya meskipun sebelumnya sudah mendapat izin.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus seorang muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid, dan nifas. Dengan demikian, i’tikaf tidak sah jika dilakukan orang kafir, anak kecil yang belum mumayyiz, orang junub, perempuan yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika salah satu dari dua hal ini; diam di masjid dan niat ibadah, tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut i’tikaf.
Mengenai wajibnya niat dapat dirujuk pada firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga merujuk ke sabda Rasulullah saw., “Segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Dalil keharusan i’tikaf di masjid adalah firman Allah, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka (para istri kalian) saat kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Artinya, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di luar masjid, tentu larangan bersenggama tidak khusus untuk i’tikaf di masjid karena senggama bertentangan dengan i’tikaf. Jadi, maksud ayat itu adalah menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid.
Pendapat Para Ulama Fiqih tentang Masjid yang Sah Digunakan I’tikaf
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf.

  • Abu Hanifah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dipergunakan shalat jamaah lima waktu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Setiap masjid yang mempunyai muazin dan imam, bisa dijadikan tempat i’tikaf.” (H.R. Daruquthni). Akan tetapi, hadits ini mursal dan dha’if, tidak bisa dijadikan dalil.
  • Imam Malik, Syafi’i, dan Daud berpendapat bahwa i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, karena tidak ada satu hadits shahih pun yang memberikan batasan dalam masalah ini.
  • Para ulama Syafi’iyah berpendapat, i’tikaf lebih utama jika dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah sendiri i’tikaf di masjid jami’. Selain itu, jumlah jamaah yang shalat di masjid jauh lebih banyak. Dan sebaiknya tidak i’tikaf diselain masjid jami’, jika masa i’tikafnya mengenai shalat Jum’at, agar tidak memutus i’tikafnya.

Orang yang sedang beri’tikaf boleh sebagai muazin, meskipun tempat azan berada di menara masjid, masalah pintu menara berada di dalam masjid atau di serambi, karena semua itu masih termasuk masjid. Jika pintu menara berada di luar masjid, maka i’tikafnya batal jika hal itu disengaja.
Mengenai serambi masjid, maka menurut para ulama Hanafiyah, para ulama Syafi’iyah dan Ahmad (dalam satu riwayatnya), termasuk masjid.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad (dalam satu riwayat yang lain), tidak termasuk masjid. Karena itu, orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh ke serambi masjid.
Jumhur ulama berpendapat, tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di masjid rumah sendiri, karena masjid di rumah itu tidak dikatakan masjid, dan semua ulama sepakat, bahwa itu boleh dijual. Dan ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa para istri Nabi saw. melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Puasa Orang yang Sedang I’tikaf
Berpuasa saat i’tikaf adalah perbuatan yang baik dan jika tidak puasa, tidak mengapa.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, pada masa Jahiliah aku telah bernazar akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Nabi bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Perintah Nabi agar Umar ra memenuhi nazarnya itu adalah dalil bahwa berpuasa bukan merupakan syarat i’tikaf, karena puasa tidak sah di malam hari.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Abu Sahl bercerita, “Seorang wanita dari keluargaku punya tanggungan i’tikaf. Maka aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawab, ‘Ia tidak harus berpuasa kecuali jika ia sendiri yang bernazar hendak melakukannya.’ Maka Zuhri berkata, ‘I’tikaf tidak sah kecuali disertai puasa.’ Umar bertanya, ‘Apakah itu dari Nabi saw.?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Dari Umar?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Abu Sahl berkata, ‘Kalau tidak salah, Umar berkata, “Dari Utsman?”‘ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku meninggalkannya dan pergi menemui Atha’ dan Thawus untuk menanyakan hal itu. Thawus berkata, ‘Wanita itu tidak wajib puasa kecuali jika ia bernazar akan puasa.’ Atha’ juga mengatakan demikian.”
* bersambung
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Memakai Salep di Bibir Saat Puasa

Assalamualaikum ustadz. Apakah mengoleskan obat salep pada bibir yang sariawan dapat membatalkan puasa?
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Pemakaian salep, bedak, minyak, atau obat pada bagian tertentu di bagian luar tubuh tidak membatalkan puasa karena biasanya tidak sampai masuk ke rongga tenggorokan atau ke perut.
Hanya saja jika khawatir ada bagian darinya yang masuk ke perut, apalagi ketika diletakkan di bibir, maka hendaknya pemakaian salep tersebut tidak dilakukan di siang hari. Namun di malam hari setelah berbuka.
Adapun yang jelas-jelas membatalkan puasa di antaranya:

  1. Makan dan minum dengan sengaja serta yang termasuk dalam kategori tersebut
  2. Jimak atau berhubungan di siang hari Ramadhan
  3. Mengeluarkan mani dengan sengaja
  4. Muntah dengan sengaja
  5. Keluarnya darah haid dan nifas.

Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb. 

Orang yang Boleh Tidak Puasa dan Wajib Mengqadha

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Orang yang sedang sakit dan orang yang sedang musafir boleh tidak puasa, tetapi mereka wajib mengqadha.
Allah Ta’ala berfirman, “...dan barangsiapa sakit atau dalam perjalan (dan ia tidak puasa), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 184)
Mu’adz ra. berkata, “Sesungguhnya, Allah telah mewajibkan puasa kepada Nabi. Allah menurunkan firman-Nya, ‘Hai orang-orang yang beriman, kalian diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (Yaitu) di hari-hari yang telah ditentukan. Maka, jika di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Dan orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), maka wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan orang miskin.‘ (Al-Baqarah: 184)
Karena itu, ada yang memilih berpuasa dan ada yang memilih membayar fidyah. Semua pilihan itu diperbolehkan.
Kemudian Allah menurunkan ayat lain, ‘(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, hendaklah ia berpuasa.’ (Al-Baqarah: 185)
Oleh karena itu, puasa diwajibkan kepada orang yang mukim dan sehat. “Sedangkan orang yang sakit atau sedang musafir diperbolehkan tidak puasa. Orang tua renta yang tidak kuat puasa diwajibkan membayar fidyah.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Baihaqi dengan sanad yang shahih)
Sakit yang menyebabkan bolehnya tidak berpuasa adalah sakit berat yang akan semakin parah jika berpuasa atau dikhawatirkan akan memperlambat kesembuhan.
Pengarang Al-Mughni meriwayatkan, “Diceritakan bahwa beberapa ulama salaf membolehkan tidak puasa meskipun sakit yang diderita secara ringan, seperti luka di jari atau sakit gigi, karena ayat di atas meriwayatkan ‘sakit’ secara umum. Selain itu, jika musafir saja dibolehkan tidak puasa meskipun ia mampu puasa, maka begitu juga dengan orang yang ‘sakit’, ia boleh tidak berpuasa meskipun mampu melakukannya”. Pendapat ini juga dianut oleh Bukhari, Atha’, dan Ahlu Zhahir.”
Orang yang sehat akan jatuh sakit karena berpuasa, maka boleh tidak puasa seperti orang yang sakit. Begitu juga dengan orang yang sedang berpuasa dan merasa sangat kelaparan atau kehausan, hingga mungkin akan celaka, maka ia harus membatalkan puasa dan mengqadha di hari lain, meskipun ia orang sehat dan mukim.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian.” (An-Nisa’: 29)
Juga firman-Nya, “Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untuk kalian dalam agama.” (Al-Hajj: 78)
Jika orang yang sedang sakit itu memilih berpuasa dan mau menahan rasa sakitnya, maka puasanya sah. Hanya saja, tindakannya itu hukumnya makruh karena tidak memilih keringanan yang disukai Allah, dan siapa tahu mungkin ia mendapatkan bahaya karena perbuatannya itu. Sebagian sahabat pada masa Rasulullah saw memilih berpuasa dan sebagian lagi memilih tidak puasa. Namun, kedua kelompok ini melakukannya berdasarkan fatwa dari Rasulullah.
Hamzah Al-Islami berkata kepada Rasulullah saw., “Ya Rasulullah, aku merasa kuat untuk berpuasa ketika sedang dalam perjalanan. Salahkah aku apabila tetap berpuasa?
Rasulullah saw. bersabda, “Itu adalah keringanan dari Allah Ta’ala. Barangsiapa yang menerimanya, itu adalah lebih baik, dan siapa yang masih ingin berpuasa, maka tidak ada salahnya.” (H.R. Muslim)
Abu Sa’id Al-Khudri ra. menceritakan, “Kami berpergian bersama Rasulullah saw. ke Mekah. Saat itu, kami berpuasa. Kami berhenti di suatu tempat. Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Kalian telah dekat dengan musuh kalian. Tidak berpuasa akan lebih menguatkan kalian.
Ini adalah rukhshah (keringanan). Di antara kami ada yang tetap berpuasa, dan ada yang membatalkan puasanya. Kemudian kami berhenti di suatu tempat lain, maka Nabi saw bersabda, “Besok pagi, kalian akan berhadapan dengan musuh kalian. Tidak berpuasa lebih menguatkan kalian. Karena itu, janganlah berpuasa. Ini merupakan keharusan, maka kami pun tidak berpuasa. Di kemudian hari, ketika dalam perjalanan bersama Rasulullah, kami berpuasa.” (H.R. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)
Abu Sa’id Al-Khudri menceritakan, “Kami berperang bersama Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Di antara kami ada yang puasa dan ada yang tidak. Orang yang puasa tidak menyalahkan yang tidak puasa, dan yang tidak puasa tidak menyalahkan yang puasa. Mereka berpendapat bahwa orang yang kuat berpuasa lalu ia memilih berpuasa, maka itu baik baginya. Dan, orang yang merasa lemah lalu memilih untuk tidak puasa, maka itu lebih baik baginya.” (H.R. Ahmad dan Muslim)
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Masturbasi Saat Puasa

Assalamu’alaikum, semoga rahmat Allah selalu menyertai kita. Hal yang ingin saya tanyakan, apabila seseorang masturbasi saat puasa Ramadhan apakah membatalkan puasanya dan wajib mengganti puasa? Jika hal tersebut terjadi bertahun-tahun yang lalu, apakah juga terkena kewajiban membayar fidyah? Dan apabila terkena kafarat, apakah kafarat harus dibayarkan segera ketika bulan puasa? Mohon jawabannya ustad. Jazakumullah khairan katsiran.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Pertama-tama perlu diketahui bahwa onani atau masturbasi menurut jumhur ulama adalah haram baik dilakukan di bulan ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Ia tidak sejalan dengan surat Al-mukminun: 5-7.
Kedua, Orang yang dengan sengaja melakukan onani di bulan Ramadhan sampai mengeluarkan mani, tidak hanya berdosa tetapi juga menjadikan puasanya batal. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Ketiga, karena itu, ia harus mengganti puasanya di hari yang lain serta harus bertobat kepada Allah Swt dengan tobat nasuha. Namun tidak ada kewajiban membayar kaffarah untuknya.
Keempat, jika onani atau masturbasi itu terjadi pada ramadhan-ramadhan yang lalu, artinya lewat satu tahun, maka di samping membayar hutang puasa, menurut jumhur juga harus membayar fidyah. Yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dari puasa yang rusak atau batal tadi.
Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah cukup dengan membayar hutang puasa sebanyak hari yang terlewat; tanpa perlu membayar fidyah.
Sementara menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, membayar fidyah adalah termasuk amalan baik jika dikerjakan. hanya saja, jika ditinggalkan insya Allah tidak berdosa.
Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb.