0878 8077 4762 [email protected]

Dan Fajarpun Datang

Oleh : M. Lili Nur Aulia
 
Setelah Anda sahur, keluarlah dari rumah lebih awal sebelum adzan dikumandangkan. Jangan lupa berdo’a berangkat ke masjid sebagaimana yang dilakukan Rasulullah saw, ketika beliau mengucapkan do’a,
Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya, di dalam lisanku cahaya, dan di dalam pendengaranku cahaya. Jadikanlah di dalam penglihatanku cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya. Jadikanlah dari atasku cahaya dan dari bawahku cahaya. Ya Allah, berikanlah aku cahaya.” (HR. Muslim)
Masuklah masjid dan berdoa,
Yang Allah, berilah shalawat serta salam kepada Nabi saw. Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. Nasai dan Ibnu Majah)
Kemudian, “Shalatlah dua rakaat penghormatan untuk masjid (tahiyatul masjid) sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Berusahalah Anda menjadi muadzin yang mengumandangkan adzan jika diizinkan. Karena adzan memiliki keutamaan besar.
Sebagaimana disabdakan Nabi saw,
Muadzin (orang yang adzan) itu akan diampuni dosa-dosanya sesuai dengan panjangnya suara adzannya, siapapun yang mendengarnya pasti membenarkannya, dia mendapatkan pahala orang-orang yang shalat bersamanya.” (Shahih at Targib wat Tarhib)
Renungkanlah. Jika Anda adzan untuk shalat subuh dan di belakang Anda ada orang yang shalat sedikitnya 10 orang, maka seakan Anda shalat sepuluh malam. Karena siapa saja yang shalat subuh dalam jamaah seakan dia shalat semalaman.
Dan Anda – wahai muadzin – adalah orang Yang telah menunjuki mereka yang shalat bersama Anda kepada kebaikan ini dengan adzan agar mereka datang dan shalat.
Maka jadilah setiap orang yang shalat di masjid menjadi timbangan kebaikan Anda.
 
Sumber :
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia

Fiqih Sunnah : I'tikaf bagian 2

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Mulai dan Berakhirnya I’tikaf
Telah dijelaskan bahwa i’tikaf sunnah tidak terbatas waktunya. Apabila seseorang masuk masjid dan berniat untuk taqarrub kepada Allah dengan berdiam di dalamnya, berarti ia beri’tikaf hingga ia keluar dari masjid itu. Dan jika seseorang berniat hendak beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hendaknya ia mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam.
Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang hendak beri’tikaf bersamaku, hendaknya ia beri’tikaf di sepuluh hari terakhir.” Maksudnya adalah sepuluh malam terakhir. Jadi, dimulai malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh.
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa jika Nabi hendak beri’tikaf, beliau shalat subuh lalu masuk ke tempat i’tikafnya, adalah bermakna bahwa beliau masuk ke tempat i’tikaf pribadinya di masjid, bukan awal masuknya beliau ke masjid. Masuknya beliau ke masjid adalah sejak sorenya.
Mengenai waktu keluar masjid bagi orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan adalah setelah matahari terbenam. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i.
Sedangkan Malik dan Ahmad, berpendapat, “Boleh keluar setelah matahari terbenam. Tetapi lebih baik lagi jika ia keluar dari masjid saat hendak pergi untuk shalat Id.”
Atsram meriwayatkan dengan sanadnya, dari Abu Ayub dari Abu Qalabah, “Pada malam Hari Raya Fitri, dia (Abu Qalabah) bermalam di masjid dan esok paginya dia berangkat untuk shalat Id. Saat beri’tikaf, ia tidak menggelar tikar atau sajadah apa pun untuk tempat duduknya. Ia duduk seperti jamaah yang lain. Pada hari Raya Fitri itu aku mendatanginya. Aku melihat seorang anak perempuan dengan dandanan rapi. Aku kira dia adalah anak perempuannya. Ternyata dia adalah budak wanitanya yang setelah itu dimerdekakan. Lalu dia pergi untuk shalat Id.”
Ibrahim berkata, “Mereka suka jika orang yang beri’tikaf sepuluh hari terakhir Ramadhan menghabiskan malam Hari Raya Idul Fitri di masjid. Kemudian esok paginya berangkat untuk shalat Id.”
Orang yang bernazar melakukan i’tikaf sehari atau beberapa hari, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbit fajar kemudian keluar dari masjid setelah matahari benar-benar terbenam, baik untuk i’tikaf di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Sedangkan orang yang bernazar hendak beri’tikaf satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ingin melakukannya secara sukarela, hendaknya ia masuk masjid sebelum terbenamnya matahari dan kemudian keluar dari masjid setelah terbitnya fajar.
Ibnu Hazm berkata, “Sebabnya karena permulaan malam adalah setelah matahari terbenam, dan berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban kecuali menurut apa yang telah dijanjikan atau diniatkannya.
Jika seseorang bernazar akan beri’tikaf selama satu bulan, atau hendak melakukannya selama itu secara sukarela, maka permulaannya adalah malam pertamanya. Ia masuk masjid sebelum matahari terbenam, kemudian keluar masjid (saat i’tikafnya berakhir di akhir bulan) ketika matahari benar-benar terbenam, baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya.”
Amal Sunah dan Makruh bagi Orang yang Beri’tikaf
Orang yang sedang beri’tikaf disunahkan memperbanyak ibadah-ibadah sunah dan menyibukkan diri dengan shalat, membaca Al-Qur’an, tasbih, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, berdoa, membaca shalawat Nabi saw, dan aktivitas lain yang mendekatkan kita kepada Allah dan menghubungkan manusia dengan Penciptanya yang Maha Agung. Termasuk juga, mempelajari suatu ilmu, menelaah kitab-kitab tafsir, menelaah buku-buku hadits, membaca sejarah para nabi dan orang-orang shalih, serta buku-buku fiqih dan keagamaan. Orang yang beri’tikaf disunahkan mendirikan kemah di ruangan masjid, mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi saw.
Orang yang beri’tikaf dimakruhkan melakukan perbuatan dan ucapan yang tidak perlu. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Bashrah bahwa Nabi saw bersabda, “Salah satu tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak berguna.” Makruh baginya sengaja tidak berbicara karena meyakini hal itu dapat mendekatkan dirinya kepada Allah.
Bukhari, Abu Daud, dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata, “Ketika Nabi saw berkhutbah, ada seorang laki-laki berdiri. Nabi bertanya tentang orang itu. Lalu para sahabat menjawab, ‘Dia adalah Abu Israel. Ia bernazar untuk tidak duduk, tidak bernaung, tidak berkata-kata, dan selalu berpuasa.”
Nabi bersabda, “Suruhlah ia berbicara, bernaung, duduk, dan meneruskan puasanya.”
Abu Daud meriwayatkan dari Ali ra bahwa Nabi saw bersabda, “Tidak lagi disebut yatim orang yang telah akil balig, dan seseorang tidak boleh membisu sehari penuh sampai malam.”
Yang Dibolehkan bagi Orang yang Sedang I’tikaf
1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar keluarga
Shafiyyah berkata, “Saat itu, Rasulullah saw sedang beri’tikaf. Aku datang menjenguknya di waktu malam. Aku bercakap-cakap dengannya, kemudian aku berdiri dan hendak pulang. Ternyata Rasulullah juga berdiri dan mengantarkan aku pulang.”
Shafiyyah tinggal di rumah Usamah bin Zaid. Saat itu, ada dua orang Anshar sedang lewat. Ketika melihat Nabi, keduanya mempercepat jalan mereka. Maka Nabi saw bersabda, ‘Janganlah kalian terburu-buru. Ia adalah Syafiyyah binti Huyay.’ Mereka berkata, ‘Subhanallah, ya Rasulullah.’ Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya setan itu mengalir dalam tubuh manusia melalui aliran darah. Maka aku khawatir kalau-kalau setan membisikkan sesuatu ke dalam hati kalian.’ (atau Nabi bersabda, ‘membisikkan keburukan’). (h.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud)
2. Menyisir rambut, memotong rambut, memotong kuku, membersihkan badan dari debu dan daki, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian.
3. Keluar masjid untuk keperluan yang tidak bisa dielakkan.
Aisyah bercerita, “Ketika sedang i’tikaf, Rasulullah menjulurkan kepalanya kepadaku, lalu aku menyisirnya. Dan beliau tidak masuk ke rumah, kecuali untuk buang hajat.” (h.r. Bukhari, Muslim, dan lainnya)
Ibnu Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa orang yang beri’tikaf boleh keluar dari tempatnya beri’tikaf untuk buang air besar atau kecil karena hal itu merupakan keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dilakukan di masjid. Begitu juga keperluan makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkannya ke masjid.
Jika akan muntah, ia juga boleh keluar masjid. Intinya, semua keperluan yang tidak dapat dielakkan dan tidak mungkin dikerjakan di masjid, ia boleh keluar masjid untuk keperluan tersebut, dan tidak membatalkan i’tikafnya, asalkan ia keluar masjid tidak terlalu lama. Begitu juga dengan keperluan mandi dan mencuci pakaian.”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib berkata, “Jika seorang beri’tikaf, hendaknya ia turut menghadiri shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, menjenguk orang sakit, dan menemui istrinya untuk mengatur keperluannya yang dibutuhkan selama beri’tikaf. Dia (Ali ra) pernah memberi keponakannya tujuh ratus dirham dari hasil gajinya untuk keperluan membeli seorang budak untuk membantu pekerjaannya. Keponakannya itu berkata, ‘Aku sedang beri’tikaf.’ Ali berkata, ‘Apa salahnya jika kamu pergi ke pasar lalu membelinya?'”
Qatadah juga membolehkan orang yang beri’tikaf merawat dan mengantar jenazah dan menjenguk orang sakit, dan tidak perlu duduk.
Ibrahim An-Nakha’i berkata, “Mereka lebih menyukai jika orang yang i’tikaf mensyaratkan hal-hal berikut. Meskipun tanpa mensyaratkan pun hal-hal ini sudah menjadi haknya: menjenguk orang sakit, tidak memasuki bangunan yang beratap, mengerjakan shalat Jum’at, mengantarkan jenazah, dan buang hajat.” Selanjutnya ia berkata, “Dan tidak masuk ke dalam bangunan yang beratap, kecuali untuk suatu keperluan.”
Khatthabi berkata, “Sejumlah ulama mengatakan bahwa orang yang sedang beri’tikaf boleh menghadiri shalat Jum’at, menjenguk orang sakit, dan mengantarkan jenazah. Hal ini diriwayatkan dari Ali ra. Juga merupakan pendapat Said bin Jubair, Hasan Bashri, dan An-Nakhai.”
Abu Daud meriwayatkan dari Aisyah, “Nabi saw biasa lewat pada orang yang sakit saat beliau beri’tikaf. Ia lewat dan menyapa orang yang sakit itu, tanpa berhenti.
Mengenai keterangan yang diriwayatkan dari Aisyah bahwa menurut sunah orang yang beri’tikaf tidak boleh menjenguk orang yang sakit, maka maksudnya adalah agar ia tidak meninggalkan tempat i’tikaf dengan tujuan hanya untuk menjenguknya. Tetapi tidak mengapa jika ia sekadar lewat, lalu menyapa dan menanyainya tanpa berhenti di tempat itu.”
4. Ia boleh makan, minum, dan tidur di masjid dengan syarat tetap menjaga kebersihannya. Ia juga dibolehkan melakukan akad nikah di dalam masjid. Juga melakukan transaksi jual-beli dan lainnya di dalam masjid.
Hal-Hal yang Membatalkan I’tikaf
1. Sengaja keluar masjid tanpa ada suatu keperluan walau hanya sebentar. Dengan begitu, “diam di masjid” yang merupakan rukun sudah tidak terpenuhi.
2. Murtad, karena bertentangan dengan ibadah. Juga berdasarkan firman Allah, “Sungguh, jika engkau mempersekutukan (Allah), maka niscaya hapuslah amalmu.” (Az-Zumar: 65)
3. Kehilangan akal sehat karena gila atau mabuk, karena hilangnya sifat mumayyiz yang merupakan syarat sahnya i’tikaf.
4. Haid
5. Nifas karena bertentangan dengan suci dari haid dan nifas yang menjadi syarat sahnya i’tikaf.
6. Bersenggama
Allah berfirman, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka ketika kalian beri’tikaf di masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kalian langgar.” (Al-Baqarah: 187)
Menyentuh tanpa syahwat tidak membatalkan i’tikaf. Satu dari istri Nabi saw menyisir rambut beliau pada saat beliau beri’tikaf. Adapun mencium atau menyentuh disertai nafsu, maka menurut Abu Hanifah dan Ahmad, orang itu telah melakukan kesalahan karena telah berbuat yang dilarang baginya. Tetapi i’tikafnya tidak batal selama tidak sampai keluar mani.
Imam Malik berpendapat, i’tikafnya batal karena merupakan persentuhan yang diharamkan, sama seperti jika keluar mani.
Sedangkan Imam Syafi’i punya dua pendapat. Pendapat yang satu dengan dengan pendapat yang pertama dan yang lain sama dengan pendapat yang kedua.
Ibnu Rusyd berkata, “Adapun yang menjadi sebab perbedaan pendapat ini adalah apakah ayat di atas mengandung kata mustarak, antara makna hakiki dan makna majazi, bermakna umum atau tidak. Kelompok yang mengatakannya bermakna umum, berpendapat bahwa ayat di atas menyebutkan larangan senggama dna permulaan senggama. Sedangkan kelompok yang mengatakannya tidak bermakna umum (inilah pendapat yang populer dan dianut kebanyakan ulama), mengatakan bahwa yang dilarang dalam ayat itu bisa senggama dan bisa permulaan senggama. Jika bermakna senggama, secara ‘ijma, maka tentu tidak bisa dimaknai selaing senggama, karena satu kata tidak mungkin punya makna hakiki dan majazi secara bersamaan. Kelompok yang menghukumi keluarnya mani sama dengan senggama, karena keluarnya mani semakna dengan senggama. Dan, kelompok yang menganggapnya berbeda adalah karena pada hakikatnya keluarnya mani berbeda dengan sanggama.”
Mengqadha I’tikaf
Barangsiapa yang sudah mulai melakukan i’tikaf secara sukarela, kemudian menghentikannya, maka ia disunahkan untuk mengqadha’. Ada juga yang mewajibkannya. Tirmidzi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai seseorang yang menghentikan i’tikaf sebelum menyelesaikan masa yang ia niatkan.”
Imam Malik berpendapat, jika waktu i’tikaf itu telah berlalu, ia wajib mengqadha. Alasannya adalah hadits yang menyatakan bahwa Nabi saw. menghentikan i’tikafnya, lalu beliau melakukannya di sepuluh hari bulan Syawwal.
Imam Syafi’i berpendapat, jika ia tidak menazarkan i’tikafnya, atau mewajibkan sesuatu terhadap dirinya, tetapi melakukannya secara sukarela, lalu ia hentikan di tengah jalan, maka ia tidak wajib mengqadha, kecuali jika ia sendiri yang ingin mengqadha.
Imam Syafi’i berkata, “Suatu amal yang bisa tidak engkau lakukan, lalu kau lakukan, kemudian kau hentikan di tengah jalan, maka kau tidak wajib mengqadhanya kecuali haji dan umrah.”
Adapun orang yang bernazar i’tikaf selama satu atau beberapa hari, lalu memulainya tetapi kemudian menghentikannya sebelum selesai, maka menurut kesepakatan ulama, ia wajib mengqadha bila sanggup. Seandainya ia meninggal dunia sebelum mengqadha, maka ia tidak perlu qadha’. Tetapi menurut Ahmad, walinya wajib mengqadha sebagai gantinya.
Abdur-Razap meriwayatkan bahwa Abdul Karim bin Umayyah berkata, “Aku pernah mendengar Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah mengatakan, ‘Ibu kami meninggal dunia, padahal ia memiliki kewajiban beri’tikaf.’ Maka aku tanyakan kepada Ibnu Abbda, lalu ia berkata, ‘Beri’tikaflah sebagai gantinya, dan berpuasalah.'”
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Aisyah beri’tikaf sebagai ganti i’tikaf saudara lelakinya yang telah meninggal dunia.
Orang yang Beri’tikaf berdiam diri di bagian Masjid dan Mendirikan Tenda
1. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, bahwa Rasulullah saw beri’tikaf sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Nafi’ berkata, “Abdullah bin Umar memperlihatkan kepadaku tempat i’tikaf Rasulullah saw.”
2. Ibnu Umar ra juga mriwayatkan, “Jika Rasulullah saw beri’tikaf, beliau menggelar kasur atau meletakkan tempat tidur di belakang tiang At-Taubah.”
3. Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Nabi saw beri’tikaf di kemah model Turki yang di pintunya diletakkan selembar tikar.
Bernazar untuk I’tikaf di Masjid Tertentu
Seseorang yang bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi atau di Masjid Aqsa, maka ia wajib memenuhi nazarnya di masjid yang telah ditetapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Kendaraan tidak perlu dipersiapkan kecuali menuju tiga masjid: Masjidil-Haram, Masjidil Aqsa, dan Masjidku ini.”
Adapun bernazar i’tikaf di masjid selain tiga masjid ini, maka ia tidak wajib beri’tikaf di masjid tersebut. Ia boleh beri’tikaf di masjid yang dikehendakinya, karena Allah tidak menetapkan satu tempat tertentu untuk beribadah kepada-Nya. Juga karena masjid yang satu tidak lebih mulia dibandingkan masjid yang lain, kecuali tiga masjid yang telah disebutkan itu.
Nabi bersabda dalam sebuah hadits shahih, “Shalat di masjidku ini lebih utama daripada seribu rakaat shalat di masjid-masjid lainnya, kecuali Masjidil-Haram. Dan shalat di Masjidil Haram lebih utama daripada shalat di masjidku sebanyak seratus kali.”
Jika seseorang telah menazarkan i’tikaf di Masjid Nabawi, ia boleh memenuhi nazarnya dengan beri’tikaf di Masjidil Haram, karena Masjidil Haram lebih utama daripada Masjid Nabawi.
 
Sumber :
Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq. Penerbit Al-I’tishom Cahaya Umat

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 2)

d. Wanita hamil dan menyusui
Wanita yang sedang hamil atau menyusui tetap harus berpuasa di bulan Ramadhan, sama dengan wanita – wanita yang lain, selagi ia mampu untuk melakukannya.
Jika ia tidak sanggup untuk berpuasa karena kondisi fisiknya yang tidak memungkinkan, maka ia boleh berbuka sebagaimana wanita yang sedang sakit, dan wajib mengqadhanya jika kondisi tersebut sudah stabil kembali. Allah berfirman :
( فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر )
Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” (QS. Al Baqarah: 184)
Apabila ia mampu untuk berpuasa, tapi khawatir berbahaya bagi kandungan atau anak yang disusuinya, maka ia boleh berbuka dengan berkewajiban untuk mengqadha di hari lain dan membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin.
Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas saat mengomentari penjelasan yang termuat dalam surat Al Baqarah: 184, yang artinya “Dan wajib bagi orang yang menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah
Beliau berkata : “Ayat ini adalah rukhshah (keringanan) bagi orang yang lanjut usia, lelaki dan perempuan, wanita hamil dan menyusui, jika khawatir terhadap anak-anaknya maka keduanya boleh berbuka dan memberi makan (fidyah)” (HR. Abu Daud).
Hal yang sama juga diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radliallahu ‘Anhu, dan tidak ada seorangpun dari sahabat yang menentangnya (lihat Al Mughni: Ibnu Qudamah 4/394).
e. Waktu mengqadha puasa bagi seorang wanita
Wanita yang memiliki hutang puasa (harus mengqadha) karena sakit atau bepergian maka waktu mengqadhanya dimulai sejak satu hari setelah I’dul fitri dan tidak boleh diakhirkan sampai datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Barangsiapa mengakhirkan qadha puasa sampai datangnya Ramadhan berikutnya tanpa udzur syar’i, maka disamping mengqadha ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin, sebagai hukuman atas kelalaiannya. (Lihat: Al mughni 4/400, fatwa Ibnu Baz dan fatwa Ibnu Utsaimin).
Para ulama telah sepakat bahwa qadha puasa Ramadhan itu tidak diharuskan untuk dilakukan secara terus menerus dan berurutan, karena tidak ada dalil yang menjelaskan akan hal itu. Kecuali waktu yang tersisa di bulan Sya’ban itu hanya cukup untuk qadha puasa, maka tidak ada cara lain kecuali terus-menerus dan berurutan. (Al Fiqhu Al Islami Wa Adillatuhu: 2/680).
f. Mengkonsumsi tablet anti haidh pada bulan Ramadhan
Hendaknya seorang wanita tidak mengkonsumsi tablet anti haidh, dan membiarkan darah kotor itu keluar sebagaimana mestinya, sesuai dengan ketentuan yang telah Allah gariskan.
Karena di balik keluarnya darah tersebut ada hikmah yang sesuai dengan tabiat kewanitaan.
Jika hal ini dihalang-halangi maka jelas akan berdampak negatif pada kesehatan wanita tersebut, dan bisa menimbulkan bahaya bagi rahimnya. Pada umumnya wanita yang melakukan hal ini kelihatan pucat, lemas dan tidak bertenaga. Sedangkan Rasulullah Saw bersabda:
” لا ضرر ولا ضرارا” رواه ابن ماجة في الأحكام
Tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan dirinya, juga tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan orang lain.” (HR. Ibnu Majah) (lihat: fatawa Ulama Najd, dan 30 Darsan li Shoimat).
Namun apabila ada wanita yang melakukan hal seperti ini, maka hukumnya sebagai berikut:
Apabila darah haidhnya benar-benar telah berhenti, maka puasanya sah dan tidak diwajibkan untuk mengqadha.
Tetapi apabila ia ragu, apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau tidak, maka hukumnya seperti wanita haidh, ia tidak boleh melakukan puasa. (lihat: Masail ash Shiyam, hal 63 dan Jami’u Ahkamin Nisa’ 2/393).
g. Mencicipi makanan
Kehidupan seorang wanita tidak bisa dipisahkan dengan dapur, baik ia sebagai ibu rumah tangga, maupun sebagai juru masak di sebuah rumah makan, restoran atau hotel.
Karena kelezatan masakan yang ia olah adalah menjadi tanggung-jawabnya, maka ia akan selalu berusaha mengetahui rasa masakan yang diolahnya.
Hal itu mengharuskan ia untuk mencicipi masakannya. Jika itu dilakukan, bagaimana hukumnya? Batalkah puasanya?
Para ulama memfatwakan tidak dilarang wanita mencicipi masakannya, asal sekadarnya saja, dan tidak sampai ke tenggorokannya. Hal ini diqiyaskan kepada berkumur-kumur ketika berwudhu (Jami’ Ahkamin Nisa’).
 
Sumber:
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

Fiqih Sunnah : I'tikaf bagian 1

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Pensyariatan I’tikaf
Ijma’ ulama menyebutkan bahwa i’tikaf disyariatkan dalam agama. “Nabi saw beri’tikaf setiap bulan Ramadhan selama sepuluh hari, sedangkan pada tahun wafatnya, beliau beri’tikaf hingga dua puluh hari”. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Para sahabat dan para istri Rasulullah juga melakukan i’tikaf bersama Nabi, dan tetap melakukan i’tikaf sepeninggal beliau. Hanya saja, walaupun i’tikaf itu merupakan bentuk pendekatan diri kepada Allah, tetapi tidak ditemukan sebuah hadits pun yang menyatakan keutamaannya.
Abu Daud berkata, “Aku bertanya kepada Ahmad ra., ‘Apakah ada keterangan tentang keutamaan i’tikaf yang engkau ketahui?’ Ia menjawab, ‘Tidak, kecuali keterangan yang lemah.'”
Macam-Macam I’tikaf
I’tikaf itu ada dua macam, yaitu sunah dan wajib.

  • I’tikaf sunah dilakukan oleh seseorang secara sukarela untuk mendekatkan diri kepada Allah, mengharapkan pahala dari-Nya, dan mengikuti sunah Rasulullah saw, terutama di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
  • Sedangkan i’tikaf wajib adalah i’tikaf yang dilakukan oleh seseorang karena dia mewajibkan dirinya untuk beri’tikaf, bisa disebabkan oleh nazar umum, seperti perkataannya, “Aku bernazar akan melakukan i’tikaf.” Atau dengan nazar khusus, seperti “Jika aku sembuh, aku akan i’tikaf.”

Bukhari meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,
Barangsiapa yang telah bernazar akan melakukan suatu kebaikan kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya.”
Bukhari juga meriwayatkan bahwa Umar ra berkata, “Ya Rasulullah, aku telah bernazar akan beri’tikaf di Masjidil Haram satu malam. Nabi saw. bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Waktu I’tikaf
I’tikaf wajib hendaknya dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinazarkan. Jika ia bernazar akan beri’tikaf satu hari atau lebih, hendaknya ia melaksanakan seperti yang telah dinazarkannya.
Sedangkan i’tikaf sunah, tidak ada batas waktu tertentu. Nazarnya sudah terpenuhi jika ia berdiam di masjid dengan niat i’tikaf, lama atau sebentar, dan ia akan mendapat pahala selama berada di masjid. Jika ia keluar dari masjid kemudian ingin kembali i’tikaf, maka ia harus memperbarui niat i’tikaf.
Ya’la bin Umaiyah berkata, “Aku berdiam di masjid selama satu jam untuk i’tikaf.”
Atha’ berkata, “Sudah disebut i’tikaf seseorang yang berdiam di masjid. Jika seseorang duduk di masjid karena mengharap pahala, maka ia dikatakan beri’tikaf. Jika tidak, maka tidaklah disebut beri’tikaf.
Seseorang yang sedang melakukan i’tikaf sunah, boleh menghentikan i’tikafnya kapan saja meskipun belum sesuai yang diniatkannya.
Aisyah meriwayatkan,
Jika ingin beri’tikaf, Nabi shalat subuh, lalu masuk ke tempat i’tikaf. Suatu kali, beliau ingin beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Beliau menyuruh dibuatkan tempat i’tikaf. Lalu tempat itu pun dibuatkan.
Aisyah berkata, ‘Melihat hal itu, aku juga menyuruh dibuatkan untukku. Lalu aku juga dibuatkan. Kemudian istri-istri Nabi yang lain juga minta dibuatkan. Lalu dibuatkan. Ketika Nabi akan shalat subuh, beliau melihat tempat-tempat i’tikaf itu, beliau berkata ‘Apa ini? Apakah kalian menginginkan kebaikan?
‘Aisyah berkata, ‘Lalu Nabi saw. menyuruh membongkar tempat i’tikafnya dan tempat i’tikaf para istrinya. Kemudian beliau menunda i’tikaf di sepuluh hari pertama (bulan Syawwal).”
Perintah Nabi saw kepada para istri beliau untuk membongkar tempat i’tikaf dan menghentikan i’tikaf mereka padahal mereka sudah berniat melakukan i’tikaf adalah bukti bolehnya menghentikan i’tikaf sekalipun sudah dimulai.
Hadits ini juga merupakan dalil diperbolehkannya suami melarang istrinya beri’tikaf sampai ia memberi izin. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama.
Para ulama berbeda pendapat mengenai; jika suami sudah memberi izin, apakah setelah itu boleh melarangnya?
Menurut Syafi’i, Ahmad, dan Daud, suami boleh menghentikan i’tikaf sunah yang sebelumnya dilakukan istrinya meskipun sebelumnya sudah mendapat izin.
Syarat-Syarat I’tikaf
Orang yang beri’tikaf harus seorang muslim, mumayyiz, suci dari junub, haid, dan nifas. Dengan demikian, i’tikaf tidak sah jika dilakukan orang kafir, anak kecil yang belum mumayyiz, orang junub, perempuan yang sedang haid atau nifas.
Rukun-Rukun I’tikaf
Hakikat I’tikaf adalah berdiam di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah. Jika salah satu dari dua hal ini; diam di masjid dan niat ibadah, tidak terpenuhi maka tidak bisa disebut i’tikaf.
Mengenai wajibnya niat dapat dirujuk pada firman Allah, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Juga merujuk ke sabda Rasulullah saw., “Segala perbuatan itu tergantung pada niat, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang diniatkannya.”
Dalil keharusan i’tikaf di masjid adalah firman Allah, “Dan janganlah kalian bersenggama dengan mereka (para istri kalian) saat kalian sedang i’tikaf di masjid.” (Al-Baqarah: 187)
Artinya, seandainya i’tikaf itu sah dilakukan di luar masjid, tentu larangan bersenggama tidak khusus untuk i’tikaf di masjid karena senggama bertentangan dengan i’tikaf. Jadi, maksud ayat itu adalah menyatakan bahwa i’tikaf hanya sah dilakukan di masjid.
Pendapat Para Ulama Fiqih tentang Masjid yang Sah Digunakan I’tikaf
Para fuqaha berbeda pendapat mengenai masjid yang sah dijadikan tempat i’tikaf.

  • Abu Hanifah, Ishaq, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa i’tikaf itu sah dilakukan di setiap masjid yang dipergunakan shalat jamaah lima waktu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi saw., “Setiap masjid yang mempunyai muazin dan imam, bisa dijadikan tempat i’tikaf.” (H.R. Daruquthni). Akan tetapi, hadits ini mursal dan dha’if, tidak bisa dijadikan dalil.
  • Imam Malik, Syafi’i, dan Daud berpendapat bahwa i’tikaf bisa dilakukan di setiap masjid, karena tidak ada satu hadits shahih pun yang memberikan batasan dalam masalah ini.
  • Para ulama Syafi’iyah berpendapat, i’tikaf lebih utama jika dilakukan di masjid jami’ karena Rasulullah sendiri i’tikaf di masjid jami’. Selain itu, jumlah jamaah yang shalat di masjid jauh lebih banyak. Dan sebaiknya tidak i’tikaf diselain masjid jami’, jika masa i’tikafnya mengenai shalat Jum’at, agar tidak memutus i’tikafnya.

Orang yang sedang beri’tikaf boleh sebagai muazin, meskipun tempat azan berada di menara masjid, masalah pintu menara berada di dalam masjid atau di serambi, karena semua itu masih termasuk masjid. Jika pintu menara berada di luar masjid, maka i’tikafnya batal jika hal itu disengaja.
Mengenai serambi masjid, maka menurut para ulama Hanafiyah, para ulama Syafi’iyah dan Ahmad (dalam satu riwayatnya), termasuk masjid.
Sedangkan menurut Malik dan Ahmad (dalam satu riwayat yang lain), tidak termasuk masjid. Karena itu, orang yang sedang beri’tikaf tidak boleh ke serambi masjid.
Jumhur ulama berpendapat, tidak sah bagi seorang wanita untuk beri’tikaf di masjid rumah sendiri, karena masjid di rumah itu tidak dikatakan masjid, dan semua ulama sepakat, bahwa itu boleh dijual. Dan ada riwayat shahih yang menyebutkan bahwa para istri Nabi saw. melakukan i’tikaf di masjid Nabawi.
Puasa Orang yang Sedang I’tikaf
Berpuasa saat i’tikaf adalah perbuatan yang baik dan jika tidak puasa, tidak mengapa.
Bukhari meriwayatkan dari Ibnu Umar ra. bahwa Umar bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, pada masa Jahiliah aku telah bernazar akan beri’tikaf satu malam di Masjidil Haram.” Nabi bersabda, “Penuhilah nazarmu itu!”
Perintah Nabi agar Umar ra memenuhi nazarnya itu adalah dalil bahwa berpuasa bukan merupakan syarat i’tikaf, karena puasa tidak sah di malam hari.
Sa’id bin Manshur meriwayatkan bahwa Abu Sahl bercerita, “Seorang wanita dari keluargaku punya tanggungan i’tikaf. Maka aku bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz. Lalu ia menjawab, ‘Ia tidak harus berpuasa kecuali jika ia sendiri yang bernazar hendak melakukannya.’ Maka Zuhri berkata, ‘I’tikaf tidak sah kecuali disertai puasa.’ Umar bertanya, ‘Apakah itu dari Nabi saw.?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Umar bertanya, ‘Dari Umar?’ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Abu Sahl berkata, ‘Kalau tidak salah, Umar berkata, “Dari Utsman?”‘ Zuhri menjawab, ‘Tidak.’ Lalu aku meninggalkannya dan pergi menemui Atha’ dan Thawus untuk menanyakan hal itu. Thawus berkata, ‘Wanita itu tidak wajib puasa kecuali jika ia bernazar akan puasa.’ Atha’ juga mengatakan demikian.”
* bersambung
 
Sumber : Kitab Fiqih Sunah Jilid I karya Sayyid Sabiq
Penerbit : Al-I’tishom Cahaya Umat

Panduan Iktikaf bagian 3

Waktu I’tikaf
Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yang dinadzarkan, sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja, pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan  juga bisa singkat. Minimal :

  • Dalam madzhab Hanafi adalah “sekejab tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat”.
  • Atau dalam madzhab Syafi’I, “sesaat atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri)”
  • Dan dalam madzhab Hambali, “satu jam saja”.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tadi, waktu i’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipratekkan langsung oleh Nabi  Saw, yaitu 10 hari terakhir di bulan Ramadhan.
Tempat I’tikaf
Ahli fiqh berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk i’tikaf.
Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa i’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjama’ah
Sedangkan Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, baik yang digunakan untuk shalat berjama’ah ataupun tidak.
Sedangkan pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa sebaiknya i’tikaf itu dilakukan di masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat Jum’at, agar ia tidak perlu ke luar masjid ketika mau melakukan shalat Jum’at, dan lebih afdhal lagi bila i’tikaf itu dilaksanakan di salah satu dari tiga masjid, yaitu Masjid al Haram (di Mekah), Masjid Nabawi (di Madinah), atau Masjid al Aqsha di Palestina (lihat, Al Mughni: 4/462, Fiqh Sunnah: 1/402).
Syarat-syarat I’tikaf
Orang yang i’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:

  1. Muslim
  2. Berakal
  3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas

Oleh karena itu i’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafir, anak yang belum mumayiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.
Rukun I’tikaf
Niat yang ikhlas. Hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
Berdiam di masjid (QS Al-Baqarah : 187).
Awal dan Akhir I’tikaf 
Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadhan, maka waktunya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21 sebagaimana sabda Rasulullah Saw: ”Barangsiapa yang ingin i’tikaf dengan aku, hendaklah ia i’tikaf pada 10 hari terakhir”.
Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama  mengatakan yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai akan dilaksanakannya shalat Ied.
*bersambung
 
Sumber :
Buku Panduan Ibadah Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center