by Danu Wijaya danuw | Sep 12, 2017 | Artikel, Kisah Sahabat
Suatu hari, Umar bin Khattab berkunjung ke rumah Nabi. Nabi tinggal di sebuah ruangan kecil, bersebelahan dengan masjidnya.
Ruangan ini sekarang termasuk dalam bagian Masjid Nabi yang indah di Madinah. Tapi pada waktu itu, temboknya dibangun dari lumpur dan batu, atap pohon palem dan tangkai, dan lantainya adalah pasir. Pintu-pintunya langsung menjorok ke halaman dan tempat shalat.
Umar mengetuk dan meminta izin untuk masuk. “Bolehkah Umar bin Al-Khattab masuk, wahai Rasulullah?” kata Umar.
“Ya, masuklah, Umar,” jawab Nabi.
Umar memasuki ruangan dimana Nabi sedang beristirahat. Dia pertama kali menyapa Nabi, “Assalamualaikum…”
“Wa’alaikumsalam, keselamatan untukmu,” jawab Nabi.
Umar duduk di lantai dan mulai memperhatikan ruangan itu untuk pertama kalinya. Tidak ada tempat tidur di ruangan itu. Nabi waktu itu tengah terbaring di atas sebuah tikar. Sebagian tubuhnya ada di lantai dan sebagian di atas tikar.
Tikar itu kasar dan lantainya keras. Tanda dari tikar itu terlihat di tubuhnya. Nabi mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan yang kasar. Nabi punya bantal, tapi bantal itu terbuat dari daun berduri pohon palem.
Tidak ada yang lain di ruangan itu, tidak ada lemari pakaian, tidak ada makanan berlimpah untuk dimakan, tidak ada kasur yang nyaman.
Sebagai gantinya, di sudut ada beberapa daun berry, dan setumpuk kecil gandum, dan sepotong kulit yang belum diolah sedang digantung.
Air mata mulai mengalir di mata Umar. Ketika Nabi melihat Umar menangis, Nabi bertanya kepadanya, “Kenapa kau menangis, Umar?”
Umar menjawab dengan suara pahit, “Dan mengapa aku tidak menangis, wahai Nabi Allah? Aku melihat tempat tidur dan tanda dari tikar di punggungmu, aku melihat semua barang milikmu yang sederhana, dan namun engkau adalah Nabi Allah dan Rasul pilihan-Nya!
“Kaisar Byzantium dan Persia tinggal dalam kemewahan dan kenyamanan. Takhta mereka terbuat dari emas dan pakaian dan tempat tidurnya terbuat dari sutra terbaik,” Umar masih berkata.” Dan inilah yang engkau miliki. Inilah hartamu.”
Nabi tersenyum dan memandangi Umar dengan lembut. “Apakah engkau tidak bahagia, hai Umar bahwa kita akan menerima kekayaan dan harta kita dan kenyamanan dalam kehidupan yang kekal nanti?”
“Raja-raja dunia ini telah menerima bagian penuh mereka di sini, dan bahkan bagian ini tidak akan berguna bagi mereka segera setelah mereka berangkat dari dunia ini. Bagian kita akan datang nanti, tapi begitu kita menerimanya, maka akan tetap bersama kita selamanya.” lanjut sang Rasul menyemangati.
Sumber : Jalan Sirah
Keterangan gambar :
- Kotak besar adalah Masjid Nabawi dulu
- Kotak kecil adalah rumah Rasul
- dan Gunung Uhud dibelakangnya.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | May 9, 2016 | Artikel, Tausiyah Iman
Tausiyah Iman – 30 April 2016
Setiap manusia pasti mengidamkan rumah yang penuh dengan keberkahan, rumah yang menjadi surga bagi penghuninya. Namun, bagaimana mungkin ia terwujud jika di dalamnya diisi oleh syaithan?
Hadits berikut ini bisa menjadi solusi agar rumah kita barokah.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian jadikan rumah-rumah kalian sebagai kuburan, sesungguhnya syaithan menjauh dari rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah” (H.R. Muslim).
Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc
(Baca juga: Menjadi Pendengar yang Baik)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 24, 2016 | Konsultasi Umum
Assalamualaikum wr. wb. Kedua orang tua kami meninggal pada tahun 2008. Kami ahli warisnya terdiri dari 6 orang bersaudara (5 Laki-laki dan 1 Perempuan). Sebelum orang tua meninggal, beliau (Bapak) berencana akan menjual rumah dan tanah satu-satunya harta warisan yang dimiliki oleh orang tua, tetapi beberapa ahli waris menolak dengan alasan bahwa tanah dan rumah tersebut lokasinya sangat strategis karena berada di persimpangan dan sangat strategis untuk dagang, sementara kehidupan para ahli waris hampir semuanya masih ikut orang tua.
Karena perdebatan yang cukup sengit akhirnya diputuskan tanah dan rumah tersebut tidak jadi di jual dan yang cukup mengejutkan, Bapak melarang tanah dan rumah tersebut di jual dan beliau mengatakan ” Tidak selamat hidup kalian (Ahli Waris) dunia akhirat jika sampai menjual tanah dan rumah tersebut”. Namun persoalan yang timbul setelah kedua orang tua meninggal, kehidupan saudara-saudara saya tetap masih dalam keadaan pas-pasan dan dengan kondisi ini membuat mereka mengusulkan untuk di jual dan yang menjadi permasalahan adalah terbentur dengan ucapan almarhum Bapak. Dengan informasi di atas ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan :
- Apakah kami berdosa jika tetap menjual tanah dan rumah tersebut sementara kami kehidupannya masih pas-pasan. Di satu sisi kami sangat tergantung dengan harta warisan tersebut. Selain itu saudara-saudara saya tinggal di tempat yang sama, yang sudah barang tentu dengan kondisi ini terjadi perselisihan yang tidak pernah ada penyelesaian bahkan sebelum orang tua meninggal sekalipun perselisihan antar saudara sangat sering terjadi dan sampai detik ini. Tujuan kami ingin menjual tanah dan rumah tersebut adalah agar kami dapat membuka kehidupan baru dan agar perselisihan dapat terselesaikan.
- Kami ahli warisnya terdiri dari 5 laki-laki dan 1 perempuan, bagaimanakah pembagian harta warisannya? Apakah jika rumah dan tanah tersebut di jual dan uang hasil penjualan di bagi rata apakah adil?
Atas jawabannya, diucapkan terima kasih.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu was-salamu ala Asyrafil Anbiya’ wal Mursalin. wa ba’du:
Seluruh peninggalan mayit menjadi milik sah ahli warisnya. Dengan kata lain, kepemilikannya otomatis berpindah dari mayit kepada para ahli warisnya. Ketika harta peninggalan tersebut sudah dimiliki oleh ahli waris, maka mereka berhak untuk memergunakannya. Tentu sesudah hutang, nadzar, atau berbagai kewajiban mayit lainnya ditunaikan.
Karena itu, jika mayit berwasiat melarang memperjualbelikan harta peninggalannya, hal itu tidak wajib dipatuhi. Sebab, harta tersebut bukan lagi harta mayit, tapi sudah menjadi harta ahli warisnya. Ahli warisnya yang lebih mengetahui maslahat mereka. apalagi jika kondisinya seperti yang Anda sebutkan.
Kedua, berdasarkan hukum Islam, waris untuk anak laki-laki adalah dua kali dari yang diterima anak perempuan. Namun kalau ketika bapak Anda meninggal, ibu (isteri almarhum) masih hidup, berarti sebelum dibagikan kepada anak-anaknya, ibu atau isteri almarhum mendapat 1/8.
Baru kemudian dibagi kepada anak-anaknya di mana anak laki mendapat dua bagian anak perempuan. Adapun jika sesudah masing-masing mengetahui haknya, lalu mereka sepakat untuk membagi rata, hal itu diperbolehkan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini