by Danu Wijaya danuw | Jan 4, 2017 | Adab dan Akhlak, Artikel
Al Fakri pernah menceritakan; suatu ketika datang kiriman kepada Khalifah Umar bin Khattab beberapa helai pakaian khas Yaman (burd). Lalu, Umar membagikannya kepada kaum muslimin setiap orang satu helai kain. Umarpun mendapat jatah yang sama yaitu satu helai.
Ketika naik keatas mimbar dan hendak menyerukan untuk berjihad. Umar memakai pakaian itu setelah dipotong dan dijahit menjadi kemeja. Tiba-tiba ada orang yang menyela seruannya seraya berkata, “Saya tidak perlu menaati seruan Anda!” Umar tersentak kaget dan bertanya, “Mengapa demikian?”
Orang itu menjawab, “Karena anda lebih mementingkan diri Anda daripada kami. Anda seharusnya mendapat jatah sehelai kain burd dan untuk ukuran tubuh Anda satu potong kain itu tidak cukup karena Anda berperawakan tinggi. Namun mengapa sekarang Anda justru memotongnya menjadi kemeja. Sementara untuk membuat kemeja butuh dua helai kain burd?”
Umar menoleh kearah anaknya yang bernama Abdullah bin Umar seraya berkata, “Abdullah jawablah!” Abdullah bin Umar pun angkat bicara. “Kain burd jatah saya yang saya berikan kepadanya agar cukup untuk kemejanya.”
Orang yang sempat mencurigai Umar itu berkata, “Kalau begitu sekarang saya patuh pada seruan Anda.” Orang itu pun kembali duduk dan mendengarkan seruan jihad yang diperintahkan Umar.
Kisah ini memberikan beberapa pelajaran bagi kita bagaimana semestinya interaksi antara pemimpin dengan rakyatnya agar tercipta negara yang makmur, pemimpin yang adil, dan rakyat yang sentosa.
Pertama, sebagai rakyat harus berani menyuarakan kebenaran dan mengkritik apa yang dianggap salah. Rakyat yang baik bukan rakyat yang membiarkan pemimpinnya melakukan apa saja sesuai kehendaknya, melainkan rakyat yang berani melakukan koreksi terhadap tindak tanduk pemimpinnya.
Sebab ketidakpedulian rakyat terhadap perilaku pemimpinnya hanya akan melahirkan tirani yang tak tahan kritik. Rasulullah bersabda, “Jihad yang paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang jahat.” (H.R. Abu Dawud)
Kedua, sebagai pemimpin harus siap menerima masukan dari rakyat dan semua bawahannya karena pemimpin yang hebat bukan pemimpin yang tak pernah salah. Pemimpin yang hebat adalah pemimpin yang selalu berhati-hati agar tidak salah. Jikapun tetap terjerumus dalam kesalahan, ia mau menerima koreksi dan berani memperbaikinya. Bukan malah membungkam orang yang mengkritiknya.
Abu Sa’id meriwayatkan, “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah dihari kiamat dan tempat duduknya paling dekat dengan-Nya adalah pemimpin yang adil.” (H.R. At Tirmidzi)
Ketiga, setelah keputusan sang pemimpin dikoreksi, kemudian ternyata ia berada dalam kebenaran, maka rakyat harus mematuhi perintahnya. Tidak boleh meragukannya, apalagi sampai menentangnya. Sebab, kepatuhan kepada pemimpin yang baik merupakan kewajiban bagi seluruh rakyat (Q.S. An Nisa ayat 59)
Oleh Abdul Syukur – Republika
by Danu Wijaya danuw | Dec 24, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Umar bin Khathab ra saat memegang amanah sebagai khalifah. Ada sebuah kisah dari banyak teladan beliau tentang toleransi, yaitu saat Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M.
Tiada kekerasan, pembunuhan, pembantaian yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini sebagaimana terjadi saat penaklukan Byzantium sebelumnya. Singkat cerita, penguasa Jerusalem saat itu, Uskup Patriarch Sophorinus, menyerahkan kunci kota dengan begitu saja.
Suatu hari, Umar dan Sophorinus menginspeksi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, beliau ditawar menjadi Sophronius shalat di dalam gereja itu.
Umar menolak seraya berkata, “Jika saya shalat di dalam, orang Islam sesudah saya akan menganggap ini milik mereka hanya karena saya pernah shalat di situ.”
Beliau kemudian mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Di tempat batu itu jatuhlah beliau kemudian shalat. Di tempat Umar shalat kemudian didirikan masjid kecil, tetapi menaranya tinggi melebihi menara gereja sebagai pertanda bahwa Islam lebih unggul dari Kristen.
Untuk menunjukkan toleransi yang tinggi, shalat berjamaah terlarang di masjid tersebut, yang berarti tidak boleh dikumandangkan adzan, karena dikhawatirkan akan mengganggu gereja.
Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristen. Di Gereja lain, Qiyâmah, tempat inilah dibuat perjanjian yang sampai sekarang naskahnya masih bisa dibaca karena terdokumentasi dengan baik.
Yerusalem pada saat itu sudah diganti namanya menjadi Aelia Capitolina (kota Aelia), sehingga perjanjian yang dibuat pun diberi nama Perjanjian Aelia.
Toleransi Umar ini lalu diabadikan dalam sebuah piagam perdamaian yang dinamakan al-‘Uhda al-Umariyyah yang sama dengan Piagam Madinah. Di bawah kepemimpinan Umar hak dan kewajiban mereka dijamin serta dilindungi.
Naskah perjanjian itu berbunyi: “Dengan nama Allah, Yang Maha Pemurah, Lagi Maha Pengasih. Ini adalah jaminan keamanan yang hamba Allah, Umar, Amirul Mukminin, telah memberikan kepada orang-orang Yerusalem. Dia telah memberikan mereka jaminan keamanan bagi diri mereka sendiri untuk rumah-rumah mereka, gereja-gereja mereka, salib mereka, orang sakit dan sehat, kota dan untuk semua ritual milik agama mereka. Gereja-gereja mereka tidak akan dihuni oleh umat Islam dan tidak akan hancur. Baik mereka, maupun tanah mereka, atau salib mereka, atau rumah dan bangunan mereka tidak akan rusak. Mereka tidak akan dipaksa masuk Islam. Tidak akan ada pula orang Yahudi yang tinggal bersama mereka di Yerusalem.
Tidak salah jika kemudian sebagai balas budi, uskup Sophorinus juga menyatakan jaminannya :“Kami tidak akan mendirikan monastery, gereja, atau tempat pertapaan baru di kota dan pinggiran kota kami. Kami juga akan menerima musafir Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam. Kami tidak akan mengucapkan ucapan selamat yang digunakan Muslim. Kami tidak akan memasang salib. di jalan-jalan atau pasar-pasar milik umat Islam.” (lihat al-Tabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar ibn al-Khathab Trans Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, p 191).
Sumber : Satuislam, Republika, inilahcom
by Danu Wijaya danuw | Nov 30, 2016 | Adab dan Akhlak, Artikel
Tawasul (meminta doa) kepada orang shalih termasuk yang dibolehkan. Kita tak pernah tahu siapa yang lebih mustajab doanya.
Banyak sekali contoh dalam sunnah antara lain ketika musim paceklik di zaman Umar. Saat itu banyak kaum muslimin meminta doa Abbas, sebagaimana dulu mereka meminta doa kepada Rasulullah saw.
“Ya Allah, sesungguhnya dahulu ketika berdoa kepada-mu kami bertawassul dengan Nabi-Mu, Engkau pun menuruhkan hujan kepada kami. Dan sekarang kami bedoa kepada-Mu dengan bertawassul dengan paman Nabi kami, maka berilah kami hujan.” (HR. Bukhari)
Bahkan Rasulullah saw pernah meminta doa kepada Umar bin Khattab saat berangkat Umrah. “La tansanaa fii du’aaika ya ukhayya (Jangan lupakan kami dalam doamu wahai saudaraku tercinta).” Maka umar berbahagia mendengar pesan Rasul tersebut.
Jika Nabi yang lebih shalih daripada Umar pun minta didoakan olehnya, bagaimana dengan kita. Jadi sungguh indah saling meminta didoakan. Dan lebih indah lagi saling mendoakan dalam ketidak salingtahuan hingga diijabah.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media
by Danu Wijaya danuw | Sep 23, 2016 | Artikel, Dakwah
Menurut Abu Bakar Ash Shiddiq, “Jika pasar mengalahkan masjid, maka masjid akan mati. Jika masjid mengalahkan pasar, maka pasar akan hidup.”
Adapun Umar bin Khattab bertutur, “Negeri akan baik jika orang shalihnya kuat, orang jahatnya lemah. Namun negeri pun rusak jika sebaliknya.”
“Pemimpin yang mudah menyerah pada tekanan menjatuhkan negara dalam kekacauan. Jernihlah selalu dengan ibadah.” papar Ustman bin Affan.
Sementara Ali bin Abi Thalib berujar, “Seperti apa rakyat, demikianlah Allah memberi pemimpin sebagai wajah mereka. Selanjutnya, maukah dia membaikkan diri?”
Umar bin Abdul Aziz pun menambahkan, “Memaksakan perubahan serta merta, melahirkan penolakan menyeluruh. Mulailah perbaikan dari pemahaman mendasar.”
by Danu Wijaya danuw | Sep 20, 2016 | Artikel, Dakwah
Seperti yang dilakukan Umar bin Khattab ketika bergunung-gunung harta Kemaharajaan Persia kilau kemilau berhasil didapat kaum muslimin dan memenuhi kota Madinah.
Semua mengucap selamat dan doa-doa indah atas keberkahannya menggelorakan jihad, meninggikan kalimat Allah, memakmurkan muslimin. Tetapi dipojok sana, sang Khalifah menangis tersedu-sedu. Dihamparan intan, emas, dan segala benda mewah, air matanya tumpah.
“Mengapa kau menangis, hai Amirul Mukminin?” tanya seorang sahabat, “bukankah Allah telah bukakan keberkahan langit dan bumi bagi ummat ini melalui tanganmu?”
Maka Umar mendongak dengan mata memerah dan pipi basah, “Dusta, Demi Allah ini Dusta! Demi Allah bukan begitu! Sebab andai semua ini kebaikan,” ujarnya menunjuk tumpukan berlian dan mas kencana, “mengapa ia tak terjadi di zaman Abu Bakar, juga tidak di zaman Rasulullah? Maka demi Allah, ini semua pasti bukan puncak kebaikan!”
Sungguh pandangan jernih. Harta berlimpah itu bukan kebaikan. Sebab jika ia kebaikan harusnya terjadi pada orang terbaik.
Sedangkan sabda Nabi adalah benar, “Sebaik-baik kurun adalah masaku, kemudian yang berikutnya, kemudian yang mengikutinya.” HR. Bukhari-Muslim
Maka adakah hari ini kita menimbang kebaikan yang melimpahi dengan ukuran orang-orang terbaik soal rezeki, ibadah dan dakwah?
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media