by Danu Wijaya danuw | Aug 17, 2016 | Artikel, Dakwah
Ditengah kegelapan Abbasiyah kala itu adakah yang menyalakan lentera dan tidak hanya mengutuk kegelapan? Alhamdulillah, ada namanya Abu Yusuf, yang menjadi Al Qadhi (Hakim Agung). Kelak dialah yang mengubah kerajaan itu menjadi rechstaat (negara hukum).
Dia adalah murid utama Abu Hanifah. Kata Abu Hanifah, “Dia adalah salah satu muridku yang paling banyak menghafal dan memahami ilmu” Imam Dawud bin Rasyid berkata, “Sekiranya murid Abu Hanifah hanyalah Abu Yusuf seorang, cukuplah itu menjadi kebanggaannya atas seluruh manusia.”
Abu Yusuf berijtihad masuk kedalam kekuasaan pribadi khalifah Ar Rasyid. Sebab Ar Rasyid tumbuh dalam bimbingan seorang Ulama. Abu Yusuf berbeda dari gurunya Abu Hanifah yang berlawanan dengan pemerintahan. Dia menerima dan menduduki jabatan Qadhi Al Qudhat, hakim agung dimasa Harun Ar Rasyid. Abu Yusuf menciptakan pijakan syariat Allah dalam kerajaan Abbasiyah yabg tercatat dalam sejarah.
Berkat syarat Abu Yusuf lain, bisa membawa serta 50 murid terbaik Abu Hanifah untuk mengisi jabatan kehakiman diberbagai wilayah. Kerja keras Abu Yusuf membuahkan hasil yaitu Al Kharaaj yang menjadi dasar hukum kerajaan Abbasiyah.
Kita lagi-lagi belajar bahkan dalam sistem yang tak disukai entah monarki ataupun demokrasi tetap ada kebaikan yang bisa dihadirkan. Perubahan dari Abu Yusuf membuat Abbasiyah lebih dekat pada syariat Allah.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media
by Danu Wijaya danuw | Aug 16, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Alim agung itu adalah Raja’ bin Hajwah. Betapa gigih upayanya memasukkan nama Umar bin Abdul Aziz sebagai pengganti khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Konspirasinya agar Bani Umayyah mau menerima dan siasatnya agar Umar bin Abdul Aziz bersedia.
Akhirnya pada masa Umar bin Abdul Aziz keadilan kemudian tergelar, kemakmuran hingga tak seorangpun bersedia menerima zakat, ketentraman sampai serigala pun enggan memangsa domba, kezaliman dan bid’ah sesat terhapus.
Kita belajar dari Raja’ untuk mengamalkan kaidah ushul, “Maa laa tudraku kulluhu fa laa tutraku kulluh, Apa-apa yang tidak bisa kita raih sepenuhnya, jangan ditinggalkan sepenuhnya.”
Raja’ tidak mengutuk sistem mulk monarki dinasti umayyah yang seringkali berbuat zalim sebagai kekufuran warisan Romawi dan Persia. Dia mendekati khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dan berikhtiar menghadirkan kebaikan didalamnya.
Suatu saat, Umar bin Abdul Aziz mengeluh penguasa zalim pada masanya dalam doa, “Al Hajjaj di Irak, Al Walid bin Abdul Malik di Syam, Qurrah bin Syirk di Mesir, Ustman bin Hayyan di Madinah, Khalid bin Abdullah Al Qashari di Mekkah. Ya Allah, sepenuh bumi ini telah penuh dengan angkara murka. Maka selamatkanlah umat ini.” Doa yang terekam oleh Ibnu Al Atsir dalam Al Kamil fit Tarikh 4/132
Allah menjawab doa Umar bin Abdul Aziz itu dengan dirinya. Menakdirkan dua tahun kekuasaannya yang singkat menjadi buah bibir sepanjang sejarah. Dua tahun yang lahir dari Raja’, seorang alim yang tak berputus asa ditengah sistem monarki yang bobrok.
Raja’ dan Umar bin Abdul Aziz sendiri memang tak kuasa mengubah sistem itu. Setelah Umar wafat kembalilah Baitul Maal melayani penguasa, foya-foya istana berjaya, dan kezaliman merebak dimana-mana. Mari bersama Raja’ bin Haiwah melakukan sesuatu didalamnya, bukan hanya mengutuk gelap dan sistem yang tak sreg di hati ini.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media
by Danu Wijaya danuw | Aug 15, 2016 | Artikel, Dakwah
“Hati-hati, nak!” ujar Abu Hanifah pada seorang anak yang berlari dan terjatuh. “Jatuhku ini sembuhnya cepat wahai Syaikh,” sahut si anak, “tapi kalau kau yang tergelincir, umat akan tersesat.”
“Aku takut atas amanah ini!” ujar Umar bin Abdul Aziz setelah diangkay menjadi Khalifah. “Yang kami takutkan justru kami tidak takut!” sahut Imam Asy-Sya’bi
“Dimasa Abu Bakar dan Umar kehidupan makmur dan sentosa, mengapa dimasamu banyak fitnah dan sengketa?” hardik seorang khawaraj. Maka Ali pun menyahut, “Sebab dimasa Abu Bakar dan Umar rakyatnya seperti aku, sedangkan dimasaku rakyatnya seperti kamu.”
“Apa hikmah diciptakannya lalat?” tanya Al Walid ibn Abdul Malik yang sewenang-wenang dalam mengemban kekhalifahan. “Untuk menghinakan para penguasa yang sombong!” sahut Thawus ibn Kaisan Al Yamani.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media
by Danu Wijaya danuw | Aug 13, 2016 | Artikel, Dakwah
Apa itu hikmah? Kata Ibnul Qayim Al Jauziyah, “Segala kemanfaatan yang kita hadirkan, dinilai dari sudut pandang mitra bicara dan amal.”
Menurut Al Qurtuby dalam Al Jami’, bukan karena kisah Ibrahim mencari tuhan lewat benda-benda alam, melainkan kisah strategi dakwahnya. Mari mengambil pelajaran saat dia memenggal berhala kaumnya, lalu ditangkap. “Tanya saja patung itu!” ujar Ibrahim saat di interogasi. Hujahnya tak terbantahkan, kaumnya terbungkam.
Al Qardhawi dalam Fi Fiqhil Aulawiyat dalam menafsirkan surah An Nahl ayat 125 lafaz “hikmah mau’izah jidal” ialah mengurut efektivitas dan prioritas yang harus diambil dalam metode dakwah.
Ibrahim akhirnya memilih tokoh paling berkuasa bernama namrudz (surah Al Baqarah: 258). “Tuhanku menghidupkan dan mematikan.” ujar Ibrahim. Raja itu menghadirkan 2 tawanan, 1 dibunuh dan 1 dilepas. “Aku juga” katanya. “Tuhanku datangkan mentari di timur. Coba datangkan ia dari barat.” sanggah Ibrahim. Hujah dahsyat. Raja itu terbungkam.
Maka dari itu kebermanfaatan, Abu Bakar menyerahkan Rp 1,8 Miliar (40.000 dirham) kepada Nabi dihari pertama masuk Islam untuk proyek sosial dakwah. Berbeda dengan Al Walid ibn Mughirah yang dihinakan Allah dalam surah Al Balad.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media
by Danu Wijaya danuw | Aug 13, 2016 | Artikel, Dakwah
Mari sejenak mengingat kisah pembunuh 99 nyawa dari Bani Israil itu. Apa yang menjadikannya membunuh untuk ke 100 kalinya?
Maka si pembunuh bertanya kepada rahib ibadah, “Telah kuhabisi 99 jiwa, mungkinkah taubatku diterima?”
Tersebab ilmu terbatas dan melupakan kebaikan taubat, maka jadilah si rahib sebagai korban ke 100
Lalu berjumpalah si pembunuh dengan ‘alim yang tersenyum. Bahwa si pembunuh masih bisa bertaubat, dan menuntunnya ke surga.
Begitupula si Badui yang mengencingi masjid. Itupun dilihat Rasul sebagai bibit kebaikan yang tak layak dicela dan dibenci.
Kita ingat pesan Nabi, “Janganlah kalian membantu syaitan atas saudaramu!” Jadilah penuh kasih. Ahli kebaikan berbaik hatilah. Beri penghargaan, ketulusan dan arahan penuh cinta.
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, Penerbit Pro-U Media