0878 8077 4762 [email protected]

Nasihat Imam Ahmad

Imam Ahmad menasihatkan, “Tidaklah seseorang menghina saudara muslimnya atas suatu dosa, melainkan dia juga jatuh pada dosa yang sama sebelum matinya.”
Lanjut Ahmad bin Hanbal, “Lunakkanlah hatimu dengan hanya memasukkan yang halal kedalam perutmu.”
“Jika bumi mengecil jadi seremah roti, lalu seorang muslim menyuapkan itu pada saudaranya, ini bukanlah pemborosan.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Nasihat Imam Syafi'i

Asy Syafi’i menasihatkan, “Belumlah menjadi saudaramu dia yang masih membuatmu harus berpura-pura. Siapa yang jika kau senangkan, memujimu dengan yang tak kau miliki. Kala marahnya, juga akan menjelekkanmu mengada-ngada.”
“Siapa mendengar hanya dengan telinga kan menjadi tukang cerita. Namun bila menyimak dengan hati kan menjadi fakih yang ahli.”
Lanjut Asy-Syafi’i, “Menasihati dengan kata-kata, bak muazin yang merdu suaranya. Menasihati dengan teladan mulia, kan jadi imam dalam segala.”
“Kuburu akhlak tuk diteladani dari tiap insan yang kutemui, bagai seorang ibu mencari anak semata wayangnya hilang.”
“Mimpi terburuk adalah bertemu amal jelek kita, dalam tidur yang disebut kubur. Lalu saat bangun terhalangi dari rahmat-Nya.”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Posisi Islam dalam Seseorang

Seorang ulama hanabillah dari Baghdad, Abul Wafa’ Ali bin Aqil -rahimahullah- (531 H) berkata : “Jika engkau ingin melihat bagaimana posisi Islam dalam diri seseorang,
Jangan kau nilai saat dia berada di masjid atau saat ia mengucapkan “labaikallahumma labbaik” pada waktu wukuf.
Akan tetapi perhatikanlah bagaimana sikap dia terhadap pembenci syariah.”
Seringkalinya seorang muslim yang melindungi dan berkasih sayang pada orang-orang pembenci syariah Islam merupakan cerminan diri kemunafikan.

Adab Ayyub 'alayhis-salam

Allah berfirman, “Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayyub, ketika dia menyeru Tuhannya, ‘sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan’.” (Q.S. Shaad : 41)
Menurut tafsir Syaikh Muhammad Ali Ash Shabuni dalam Rawa’i’ul Bayan, Perkataan Ayyub berupa ‘Sesungguhnya aku diganggu syaitan’ adalah ungkapan penuh adab kepada Allah. Menyandarkan segala penderitaan yang dialami kepada syaitan.
Dengan menginsyafi kebaikan dan keburukan yang merupakan ketetapan-Nya, derita dan lara tak patut dihadirkan dalam ucap. Inilah keagungan adab.
Sebagaimana Ibrahim as tahu bahwa jika dia sakit, Allah juga yang menakdirkan. Tetapi dia nyatakan, “Allah yang memberiku makan dan minum. Tatkala aku sakit, Dia menyembuhkanku.” (Q.S. Asy Syu’araa : 79-80). Adabnya menuntun untuk menisbatkan sakit itu pada dirinya sendiri.
Kisah Ayyub yang beroleh berlipat musibah, Allah letakkan di Surah Shaad tepat setelah cerita Nabi Daud dan Sulaiman. Seakan Allah hendak menyampaikan kepada umatnya, “Tiada hamba yang diberi nikmat dunia berlebih kepada Daud dan Sulaiman, maka teladani kesyukuran mereka. Tiada hamba yang diberi bencana dunia berlebih kepada Ayyub, maka teladani kesabaran mereka.”
Ulama Sufyan Ats Tsaury pernah ditanya, “Mana yang lebih utama, orang kaya yang syukur? Ataukan orang miskin yang sabar?” Jawab beliau, “Sama mulianya. Sebab Allah memuji Sulaiman dalam surah Shaad ayat 30 dan Allah memuji Ayyub dalam surah Shaad ayat 44. Kalimat pujian untuk keduanya sama.
Begitu juga kalimat indah nabi Ya’qub, ”Semata aku adukan kesusahan diri dsri kesedihan hatiku kepada Allah.” Q.S. Yusuf ayat 86.
Dan kalimat mulia Nabi Muhammad saw tatkala diusir dari Thaif, dilempari batu, dikejar dengan olok-olok dan kotoran. “Ya Allah, pada-Mu kuadukan lemahnya diriku dan kurangnya siasatku.”
Lagi-lagi adab, beliau tidak mengadukan orang lain. Sebenarnya bisa saja beliau saw berdoa, “Ya Allah, kuadukan pada-Mu kerasnya hati mereka dan jahatnya perlakuan mereka.”
Tetapi Muhammad saw adalah guru dalam adab mulia kepada Allah dan sesama manusia. Tiada yang dia adukan selain dirinya.
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillah, ProU Media

Pemaafnya Yusuf 'alayhis-salam

Dalam memperbaiki hubungan, ada hal-hal yang tak harus kita katakan. Betapapun penting dan/atau menyakitkan. Itulah yang diajarkan si tampan Yusuf.
Ketika sudah menjadi salah seoranf penguasa Mesir, Yusuf meloncatkan cerita tentang dibuangnya dia ke sumur oleh saudara-saudaranya. Yusuf berujar, “Sesungguhnya Rabbku telah berbuat baik kepadaku, ketika Dia mengeluarkanku dari penjara” (Q.S. Yusuf : 100). Yusuf tidak berkata, “Ketika Dia mengeluarkanku dari sumur.
Sebab kata ‘sumur’ akan menusuk hati saudara-saudaranya. Melukai nurani mereka dalam sesal dan malu. Dengan ridha Yusuf membiarkan cerita tentang kezaliman saudara-saudaranya dikubur bersama kemaafan yang dihulurkan.
Ketika Yusuf bertemu bapaknya kembali yaitu Nabi Ya’qub, Yusuf menaikkan ke singgasananya. Ketika itu, Ya’qub dan istrinya beserta sebelas anaknya tidak sanggup menahan dirinya untuk sujud sebagai penghormatan kepada Yusuf. (Q.S. Yusuf : 100)
Dan ingatlah Yusuf akan kiasan mimpinya terdahulu maksud 11 bintang, bulan dan mentari yang sujud. Maka Yusuf berujar, “Ayahanda tercinta, inilah takwil mimpiku yang dahulu. Sungguh Allah telah mewujudkan jadi nyata.” (Q.S. Yusuf : 4)
Teringat kembali penjara yang gelap dan pengap, dimana Yusuf bawakan cahaya untuk dua penghuni lainnya yang nyaris putus asa. Jujur dan ilmumu tentramkan mereka. Yusuf berujar, “Hai kedua penghuni penjara, manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (Q.S. Yusuf : 31)
Tetapi demikianlah Allah Maha Mengatur, agar kemunculanmu tepat waktu. Ketika negeri membutuhkan pahlawan penuh ilmu, maka kau tak ragu mengambil peran itu. Berawal dari bendaharawan mesir kala itu (Q.S. Yusuf : 55), jabatan pemerintahan mesir diambil saat isinya kepahitan dan penuh tanggungjawab mematikan.
Kemudian saat saudaramu terkena paceklik dan hendak meminta bantuan kepada pejabat mesir yang ditemuinya yaitu engkau Yusuf sendiri, yang tak diketahui mereka, maka yang diambilmu adalah melepas rindu dengan saudara-saudaramu. Bukan tergoda balas dendam.
Ditambah betapa sabarnya Yusuf. Kau tahan murka saat saudara-saudara yang meminta bantuan tadi memfitnah adik kandung Yusuf dan Yusuf sendiri. Kala bersepuluh saudara berkata, “Adiknya pencuri, kakaknya, Yusuf pun maling!” (Q.S. Yusuf : 77)
Yusuf tahu adik kandungnya Bunyamin dari ibu yang sama (Q.S. Yusuf : 8) tak terbukti seperti itu. Pialang raja mesir malah terlihat tergeletak dikarung mereka.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, Suatu ketika Rasulullah pernah ditanya tentang orang yang paling mulia? Beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa.” Maka para sahabat berkata, “Bukan ini maksud pertanyaan kami?” Beliau pun bersabda, “Yaitu Yusuf seorang Nabi Allah, putera Nabi Allah (Ya’qub), putera dari putera penghulu Nabi Allah (Ibrahim).”
 
Sumber :
Menyimak Kicau Merajut Makna, Salim A. Fillaj, ProU Media

Pemimpin yang Mau Menemui Ulama

Pernahkah kita mendengar kisah tentang Khalifah Harun al-Rasyid yang mau menemui ulama. Ia adalah raja adidaya yang bertahta di masa Bani Abasiyah. Wilayah kekuasaannya amat luas. Jauh lebih luas dibanding Bumi Pertiwi ini.
Ia juga penguasa yang kuat, yang mampu membawa kekhalifahan Islam berada pada masa keemasan. Ia mampu membangun Baghdad sebagai salah satu pusat ilmu pengetahuan dunia pada saat itu.
Pemimpin perkasa seperti beliau amat menghormati ulama. Dalam sebuah kisah yang masyhur diceritakan bahwa beliau mendatangi Imam Malik dan duduk dengan takzim di hadapannya untuk mendengarkan pembacaan kitab al-Muwattha’, kitab yang ditulis oleh Imam Malik.
Tak sekadar itu, sang khalifah sempat ditegur oleh Imam Malik karena kedapatan bersandar saat sang imam membacakan kitabnya. Menurut Imam Malik, bersandar dalam majelis ilmu bukanlah adab yang baik. Sang khalifah pun patuh kepadanya.
Para ulama memang dikenal sebagai seorang pribadi yang baik dan santun. Maka hormati ulama dengan menemuinya. Sebab, kata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,
Ulama adalah pewaris Nabi. Barang siapa menyakiti ulama, berarti dia telah menyakiti Rasulullah.”
Amat disayangkan apabila ada seorang penguasa negeri yang menutup pintu dan menghindar saat ulama mau menemuinya.
Tidaklah seorang pemimpin atau seorang penguasa menutup pintunya dari orang-orang yang memiliki kebutuhan, keperluan, serta orang-orang fakir kecuali Allah akan menutup pintu langit dari keperluan, kebutuhan dan hajatnya.” (Hadist As Shahihah Syaikh Al Bani)