by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 29, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum. Ketika shalat Isya sedang dilaksanakan di masjid, ada seorang jamaah yang lewat di hadapan para makmum yang sedang shalat. Lalu salah seorang dari mereka memberi isyarat kepadanya untuk tidak meneruskan langkahnya, tapi orang itu tidak mempedulikan isyarat tersebut dan tetap melewati shaf para makmum. Selesai shalat, banyak para jamaah yang mencemooh orang yang lewat tersebut. Mohon penjelasan mengenai hukum masalah ini.
Jawaban :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Pada suatu ketika, saya mendatangi Rasulullah saw sambil menaiki seekor keledai betina. Pada saat itu saya telah mendekati usia baligh. Ketika saya sampai, Rasulullah saw sedang melakukan shalat berjamaah di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka saya melewati salah satu shaf lalu melepaskan keledai saya itu dan membiarkannya merumput. Setelah itu saya masuk dalam barisan shaf tanpa ada seorang pun yang mencela apa yang saya lakukan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi, dalam Syarh Muslim, berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa shalat anak yang masih kecil adalah sah dan bahwa pembatas shalat imam adalah pembatas bagi makmum yang di belakangnya”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari , “Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas ini mengkhususkan hadits Abu Said ra yang isinya,”Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang berjalan di hadapannya“.
Hadits Abu Said ini khusus bagi imam dan orang yang melakukan shalat sendiri. Sedangkan makmum, maka tidak apa-apa jika ada orang yang berjalan di hadapannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas ini. Dan tidak ada perselisihan para ulama dalam masalah ini”.
Dengan demikian, pembatas shalat (as-sutrah) adalah khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedangkan berjalan melewati shaf para makmum adalah perbuatan yang dibolehkan. Hal ini karena pembatas shalat imam adalah pembatas shalat bagi para makmum juga.
Namun demikian, kebolehan berjalan di depan makmum itu bukan berarti dibolehkan begitu saja, tanpa alasan atau tata cara tertentu. Berjalan di depan makmum dibolehkan jika terdapat keperluan, seperti jika seseorang tidak dapat mencapai tempat wudhu atau tidak dapat mengambil barangnya kecuali dengan melewati para makmum tersebut. Begitu juga jika dia hendak mengisi kekosongan di suatu shaf, dan lain sebagainya. Semua itu perlu diperhatikan agar para makmum tidak disibukkan dengan perkara yang tidak penting.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 1787
Tanggal : 04/05/2008
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 27, 2016 | Fatwa
Apa hukum melakukan shalat dua rakaat secara berjamaah di masjid setelah shalat Isya’ guna mengingatkan kepada orang-orang tentang kesunnahan shalat Qiyamul Lail dan memotivasi mereka agar melaksanakannya di rumah?
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa shalat yang tidak disunahkan untuk dilakukan secara berjamaah, karena didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw yang selalu melakukannya sendiri, tidak apa-apa untuk dilakukan secara berjamaah, tanpa ada kemakruhan sama sekali.
Hal ini didasarkan pada perbuatan Ibnu Abbas ra yang menjadi makmum Nabi saw dalam shalat tahajud di rumah bibinya, Ummul Mukminin, Maimunah ra. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Ibnu Mas’ud ra dan yang lainnya juga pernah shalat qiyamul lail di belakang Nabi saw, padahal sebagaimana diketahui bahwa shalat qiyamul lail tidak disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjamaah kecuali pada bulan Ramadhan, tapi hal itu dibolehkan sebagaimana telah disebutkan.
Jika ada sejumlah orang berkumpul untuk melaksanakan shalat Tahajud secara bersama-sama, maka hal itu dibolehkan selama tidak mewajibkannya kepada orang-orang. Jika terdapat pemaksaan maka perbuatan itu dimasukkan ke dalam perbuatan bid’ah, karena memaksakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat.
Oleh karena itulah, ketika pada suatu malam Nabi saw. melakukan salat Tahajud di masjid, lalu ada seseorang yang menjadi makmum beliau dan hal itu terulang-ulang, maka beliau pun meninggalkannya pada malam keempat. Setelah salat Shubuh, beliau menghadap kepada para jamaah dan mengucapkan syahadat lalu bersabda,
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﻒَ ﻋَﻠَﻰَّ ﻣَﻜَﺎﻧُﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻰْ ﺧَﺸِﻴْﺖُ ﺃَﻥْ ﺗُﻔْﺘَﺮَﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺘَﻌْﺠِﺰُﻭﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ
“Sebenarnya aku mengetahui keberadaan kalian, tapi aku takut kebiasaan itu dianggap wajib sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Aisyah).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Nabi saw. mendatangi masjid Quba setiap hari Sabtu terkadang dengan berjalan kaki dan terkadang menaiki tunggangan.”
Abdullah bin Umar pun melakukan hal yang sama. Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bâri, mengatakan, “Hadits ini, dalam semua jalurnya yang berbeda-beda, menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari untuk melakukan beberapa amal saleh dan membiasakannya secara terus menerus.”
Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, maka shalat dua rakaat setelah shalat Isya adalah dibolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali, dengan syarat tidak ada keyakinan tentang keharusan untuk melakukannya.
Jika shalat tersebut dilakukan dengan mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya dan menganggap orang yang menolaknya telah berbuat dosa, maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela, karena dengan hal itu dia telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Wallahu subhanahu, wa ta’ala a’lam
Sumber :
Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 565 Tanggal: 20/03/2005
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc
by Syahrul syahrul | Feb 26, 2016 | Fatwa
Pertanyaan : Ada sebagian orang menamakan diri mereka dengan Ahlul Qur’an dan Hadits atau Ahlu At-Tauhid, sedangkan mereka memiliki beberapa prinsip :
- Mengingkari Ijma’ dan Qiyas sebagai hujjah
- Dilarang mengikuti salah satu mazhab dari mazhab yang empat atau lainnya dan mewajibkan kepada setiap orang untuk berijtihad walupun mereka tidak mengerti bahasa Arab.
- Tidak membolehkan berhujjah dengan perkataan para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum karena mereka mengklaim bahwa para sahabat telah menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallim.
Jawaban :
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Pernyataan sesat tersebut tidak boleh dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tidak juga kepada Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi, bahkan tidak termasuk ke dalam salah satu mazhab yang ada di dalam Islam.
Sesuai dengan kesepakatan para ulama bahwa Ijma’ adalah salah satu hukum Islam yang sudah jelas kedudukannya, yang tidak boleh dilanggar. Ia telah menjadi identitas Islam dan merupakan bagian dari Islam yang diketahui secara pasti.
Adapun dalil yang berkaitan dengan hal tersebut adalah firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An-Nisa’ : 115).
Hadits-hadits yang telah di riwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa umat Islam tidak akan bersepakat (berijma’) dalam kesesatan.
Demikian juga kalangan yang menerima adanya Qiyas dari kalangan Fuqaha’ telah sepakat bahwa Qiyas merupakan hujjah dengan syarat-syarat tertentu yang telah digariskan di dalam kitab-kitab ushul. Bahkan sekelompok dari Fuqaha’ berfatwa bahwasanya kalau seandainya para Fuqaha’ diberikan harta wakaf, maka golongan yang mengingkari qiyas tidak berhak mendapakan bagian darinya.
Sedangkan sebuah pernyataan yang mewajibkan ijtihad bagi setiap orang, walaupun orang tersebut tidak mengerti bahasa Arab dan pernyataan yang mengharamkan taqlid (mengikuti) mazhab yang empat dan yang lainnya, itu semua adalah sebuah sikap yang bodoh yang tidak pantas disematkan kepada orang-orang yang berakal. Karena membebankan orang-orang awam untuk berijtihad sama dengan membebankan orang yang lumpuh untuk melakukan penerbangan, dan Itu adalah kewajiban di luar batas kemampuan.
Apabila ia berpendapat bahwa mengikuti mazhab yang empat adalah perbuatan yang haram, maka hal ini sama saja dengan melakukan penghancuran terhadap pondasi-pondasi Islam atas nama Islam, dan menghilangkan sunnah dengan klaim bahwa ia berpegang kepada sunnah. Dengan demikian, para ulama wajib melakukan intervensi untuk memerangi fitnah tersebut, yang telah menyebarkan pernyataan-pernyataan sesat.
Adapun yang berkaitan dengan hujjah atau tidaknya perkataan para sahabat yang berselisih, maka itu termasuk perkara khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama, yang mana pembahasan tentang hal tersebut telah dijelaskan di dalam kitab-kitab ushul.
Akan tetapi, diwajibkan kepada setiap muslim untuk menjaga adab terhadap sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menemani sebaik-baik makhluk-Nya yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Mereka adalah orang-orang yang membawa Islam dan yang menyampaikan syari’at-Nya. Sehingga mencela mereka dengan sengaja adalah bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dan termasuk adab yang tercela terhadap mereka radhiallahu ‘anhum. Akan tetapi berbaik sangkalah kepada mereka dengan mengatakan: ini adalah derajat ilmunya fulan, atau: kemungkinan hadits ini belum sampai kepadanya, atau: hadits ini menurutnya radhiyallahu ‘anhu tidak shahih.
Oleh karena itu, wajib bagi setiap muslim untuk mencintai Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa aalihi wasallam dan berusaha untuk mengikuti agama-Nya yang benar, serta tidak boleh mengambilnya dari sumber yang tidak jelas, sebagaimana Al-Imam Ahmad ibn Siiriin rahimahullah berkata : “Bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah bagian dari agama maka, perhatikanlah dari siapa kamu mengambil agama-mu”.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 39
Tanggal : 12/09/2006
Penerjemah : Syahrul
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc
by Muhammad Syukron msyukron | Feb 10, 2016 | Fatwa
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Termaktub dalam hadits bahwasanya Nabi SAW bersabda “Saya adalah sayyid (pemimpin) anak keturunan Adam as” (HR.Muslim)
Maka Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin seluruh manusia sejak zaman Nabi Adam AS sampai hari kiamat kelak, bahkan beliau SAW juga merupakan pemimpin bangsa manusia, jin dan malaikat.
Allah SWT mencela orang-orang yang memanggil Nabi SAW dengan namanya tanpa menyandarkan lafadz pemuliaan. Allah SWT berfirman “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian yang lain” (QS. An-Nur : 63).
Allah SWT juga berfirman “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap ang lain, nanti pahala segala amalmu akan terhapus sedangkan kamu tidak menyadari” (QS.Al-Hujurat : 2).
Karenanya bagian dari kurangnya adab ketika meyebut nama Nabi Muhammad SAW tanpa bershalawat kepadanya atau tanpa menyebutkan kalimat penghormatan dan pemuliaan kepadanya.
Adapun penyebutan lafadz “sayyidina” dalam sholat para ulama fiqh berbeda pendapat, dan yang berlaku di dalam madzhab kita adalah diperbolehkannya menambahkan lafadz tersebut meskipun lafadz tersebut bukan termasuk ke dalam kalimat tasyahud yang Nabi SAW ajarkan kepada para sahabatnya.
Hal tersebut dikarenakan penambahan lafadz “sayyidina” merupakan bagian dari ketaatan atas apa yang diperintahkan kepada kita dalam menunjukan adab yang baik kepada Nabi SAW. Bukankah kita mengetahui kisah tentang Abu Bakar Ash-Shidiq RA yang menolak menjadi imam shalat ketika Nabi SAW terlambat karena harus mendamaikan orang-orang yang berselisih, padahal Nabi SAW telah memberikan wasiat kepadanya untuk menggantikan posisinya (menjadi imam shalat), namun Abu Bakar Ash-Shidiq RA berkata “Siapakah Ibnu Abi Qohafah (Abu Bakar Ash-Shidiq) sehingga bersedia menjadi imam sholat yang diantara makmumnya adalah Nabi Muhammad SAW” (HR.Muttafaqun ‘Alaih).
Para ulama sepakat dengan kaidah “menunjukan adab yang baik (lebih) itu lebih utama dari melaksanakan sesuai dengan yang dicontohkan” dengan dalil sikap penolakan Ali bin Abi Thalib menghapus kalimat “Rasulullah” dalam buku perdamaian Hudaibiyah.
Para ulama berkata “Walaupun Nabi SAW tidak mengajarkan para sahabatnya kalimat “sayyidina” dalam shalat, kita menambahkannya dalam rangka kesungguhan dalam menunjukan adab kepada Nabi SAW, karenanya sebagian ulama berpendapat bolehnya menambahkan lafadz tersebut (sayyidina) dalam sholat.
Diantara mereka yang berpendapat seperti itu adalah Al-‘Izzu bin Abdussalam, Al-Qarafi, Ar-Ramli, Al-Jalal Al-Mahli, Qulubi, Asy-Syarqawi, Hashfaki, Ibnu ‘Abidin, An-Nafrawi, dan lain-lain.” (Mughni Al-Miftah 1/384, Hasyiah tuhfatul Muhtaj 2/88, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah 11/346).
Kesimpulannya adalah barang siapa yang menambahkan kalimat “sayyidina” dalam tasyahud shalat ia telah menunjukan adab yang baik kepada Nabi SAW, tidak ada keraguan dalam hal itu. Dan barang siapa yang meninggalkannya dalam shalatnya karena mengikuti kalimat yang Nabi SAW ajarkan pada sahabatnya maka hal tersebut pun diperbolehkan, tidak ada keraguan dalam hal itu.
Orang yang pertama mengagungkan Nabi SAW dengan penyebutan lafadz “sayyidina”, dan orang yang kedua mengagungkan Nabi SAW dengan meninggalkan kalimat yang tidak diajarkan Nabi SAW, dan keduanya berada dalam kebaikan.
Yang terpenting adalah janganlah sebagian kita berprasangka buruk terhadap sebagian yang lain, sedangkan kita telah sepakat bahwa wajib hukumnya mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad SAW. Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk bersatu dan tegak dalam persatuan, terlebih didalam kehidupan kita saat ini yang orang-orang diluar Islam ingin memecah belah kaum muslimin melalui perbedaan seperti ini. Mereka memiliki kaidah “farriq tasud” (cerai beraikanlah maka anda akan menguasai). Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
dikoreksi oleh Syeikh DR. Nuh Ali Salman –rahimahullah–
Nomor Fatwa: 512
Tanggal fatwa: 14 Februari 2010
Penerjemah: M. Syukron Muchtar
by Muhammad Syukron msyukron | Feb 9, 2016 | Fatwa
Tidak ada larangan melaksanakan perayaan ulang tahun jika perayaan tersebut dilakukan untuk mengingat nikmat yang telah Allah berikan.
Dengan catatan tidak menjadikan perayaan tersebut sebagai hari raya/ ibadah dan didalamnya tidak terdapat hal-hal yang diharamkan agama. Seperti ikhthilat (bercampur baur lawan jenis yang bukan muhrim), membuka aurat, dan hal-hal yang telah diharamkan lainnya.
Hal tersebut didasari firman Allah SWT yang mengisahkan Nabi Isa AS : “Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari wafatku, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (QS.Maryam : 33).
Juga didasari hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Qatadah Al-Anshari bahwasannya Nabi SAW ditanya tentang puasa pada hari senin, beliau SAW menjawab : “itu hari kelahiranku, hari aku diangkat sebagai nabi”
Dalil tersebut menunjukan bahwa hari kelahiran merupakan hari nikmat yang kita wajib mensyukurinya. Dan hadits memberikan isyarat akan bolehnya melaksanakan perayaan hari nikmat. Maka hari lahir dan hari diangkatnya Nabi SAW merupakan dua nikmat yang wajib untuk disyukuri.
Menunjukan sikap ramah dengan cara menampakan rasa senang atas nikmat juga merupakan bentuk syukur, hal tersebut didasari dengan keumuman firman Allah SWT : “Katakanlah wahai Muhammad : Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya hendaklah dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus : 58)
Dan bagi kerabat dekat dibolehkan untuk ikut dalam perayaan jika hal tersebut dapat membuatnya bahagia, dan itu sangat disukai dalam agama. Ibnu Syahin dalam kitabnya At-Targhib meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan sanad laa ba-sa bihi, “Rasulullah SAW ditanya : amal apa yang paling utama? Beliau SAW menjawab “Membuat bahagia saudara seiman atau membayarkan hutangnya atau memberinya makan”
Dikuatkan juga dengan hadits yang diriwayatkan Ath-Thabrani dengan sanad dhaif dari Umar bin Khatab RA berkata : “Rasulullah SAW ditanya : amal apa yang paling utama? Beliau SAW menjawab “Membuat bahagia saudara seiman atau memberinya makan atau memberinya pakaian atau memenuhi kebutuhannya” .
Juga dikuatkan dengan hadits yang diriwayatkan Ibnu Wahab dalam kitabnya Al-Jami’ dari Muhammad bin Muslim Ath-Thoifi bahwasannya telah sampai kepadanya bahwa Nabi SAW bersabda “Diantara amal mulia setelah hal-hal yang diwajibkan adalah membuat senang saudara seiman”.
Jika perayaan hari lahir (ulang tahun) didasari oleh hal yang dibenarkan oleh agama seperti bersyukur atas nikmat dan mengucapkan rasa syukur itu serta dimaksudkan untuk membuat bahagia saudara seiman maka hukumnya adalah diperbolehkan. Dan hal tersebut bukanlah termasuk kedalam bid’ah madzmumah. Wallahu a’lam
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 3619
Tanggal : 01/05/2011
Penerjemah : Muhammad Syukron Muchtar
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 7, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum ustad. Saya mempunyai seorang saudara perempuan yang telah berusia 45 tahun. dia adalah seorang guru besar di Fakultas Kedokteran pada sebuah Universitas. Apa hukumnya jika ia hendak menghadiri seminar-seminar tanpa didampingi oleh mahramnya? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhinya sehingga dia dapat berpergian tanpa mahramnya dan tidak berdosa karenanya?
Jawaban:
Kaidah umum menyatakan bahwa seorang perempuan yang berpergian wajib ditemani oleh seorang mahramnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرْأَةُ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja sebagian ulama membolehkan perempuan untuk berpergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Adiy bin Hatim r.a bahwa Nabi saw bersabda kepadanya:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
“Jika kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hirah (wilayah Irak) hingga (Makkah) berthawaf di sekeliling ka’bah. Dia tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ، حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
“Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hirah hingga ia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ditemani seorang pun.”
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri diatas menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya rasa aman selama perjalanan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pendapat ini karena adanya kelapangan dan kemudahan di dalamnya. tapi bagaimanapun juga seorang wanita harus mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya jika ia telah bersuami atau dari walinya jika belum bersuami.
Maka, berdasarkan pertanyaan diatas, saudara perempuan anda boleh berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya jika dia yakin keamanannya terjamin selama perjalanan.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc