Perjuangan Orang Tua Terbang dari Papua agar Anak Paham Agama

Jakarta – Banyak cara dilakukan untuk memberikan pendidikan agama terbaik bagi buah hati. Salah satunya dengan memasukkan anak ke pondok pesantren.
Hal inilah yang dilakukan pasangan suami-istri Syaifullah dan Linda, yang mengantarkan anak keduanya Muhammad Ariel Fadhilah Putra masuk ke Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an, Tangerang.
Butuh perjuangan karena mereka datang langsung dari Papua. Kendati demikian, Linda mengaku senang dengan pilihan anaknya masuk pondok pesantren.
“Pasti ada rasa berat melepas anak ke tempat yang jauh. Namun saya senang saat ia memilih pesantren sebagai tempat pendidikan selanjutnya. Saya juga memiliki keyakinan pesantren akan mendidik anak saya tumbuh menjadi insan yang cerdas, beriman, dan bertakwa” ujar Linda dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/6/2018).
Alasan lain Linda memilih pesantren sebagai tempat pendidikan anaknya adalah kekhawatirannya pada dunia pergaulan saat ini yang rentan akan pengaruh buruk narkoba, minuman keras, atau perilaku kekerasan, seperti tawuran.
Kecemasan akan pergaulan modern itu jugalah yang membuat pasangan Fanny Indrawan dan Puput Puji Lestari, yang berasal dari Lampung, memasukkan putranya Muhammad Raffy Abipraya Indrawan ke Pondok Pesantren Tahfidz Daarul Qur’an.
Menurut mereka, selain akan mengenalkan anak-anak pada ajaran Islam sejak dini, dunia pesantren akan membuat karakter positif pada anak.
Menurutnya sang ibu, memilih pesantren sebagai tempat pendidikan pasti membutuhkan kesiapan mental bagi calon santri dan orang tua.
Ketua Daarul Qur’an, Ustadz Ahmad Jamil mengatakan sangat bersyukur dengan semakin banyaknya orang tua yang mempercayakan pondok pesantren sebagai tempat pendidikan selanjutnya bagi putra dan putrinya.
“Alhamdulillah, ini harus kita syukuri bersama. Semoga ini menjadi pertanda baik bahwa Allah berkehendak kebaikan untuk generasi saat ini dan mendatang sebagaimana sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari,
‘Barangsiapa yang dikehendaki Allah (mendapat) kebaikan, maka akan dipahamkan ia dalam (masalah) agama,” jelasnya.
 
Sumber : Detik

Pilihlah Suami Yang Taat Agama Dan Berakhlak Mulia

Kiat pertama yang harus dilakukan seorang wanita agar sukses membangun rumah tangga bahagia, langgeng, rukun, serta jauh dari permusuhan adalah mentaati perintah Rasulullah SAW. Sebagaimana Sabda beliau :
“Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang untuk melamar, nikahkan dia. Jika tidak, pasti akan terjadi fitnah di bumi ini sekaligus kerusakan.”
Para sahabatnya bertanya, “Rasulullah, meskipun pada diri itu terdapat kekurangan?”
Rasulullah menjawab, “Apabila orang yang kalian ridhai agama dan akhlaknya datang untuk melamar, nikahkan dia,” jawab Rasulullah tiga kali. (HR. Tirmidzi).
Artinya apabila kalian tidak menikahkan seorang pria yang taat beragama dan berakhlak mulia, meskipun tidak kaya, tidak terhormat, atau tidak terpandang.
Namun karena kalian lebih menyukai sosok yang kaya, terhormat, dan terpandang, meskipun dia tidak taat beragama dan tidak berakhlak mulia, hal ini akan mengakibatkan kerusakan yang parah.
Mungkin akan banyak wanita yang hidup tanpa suami, dan banyak pula pria yang hidup tanpa isteri. Zina dan perbuatan nista akan tersebar luas. Hal ini akan menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan wasiat dalam memperlakukan wanita. Dengan demikian, akhlak mulia harus bersanding dengan agama, dan harus dijadikan pertimbangan utama dalam menentukan pasangan hidup.
Pria yang taat beragama dan mulia pastia akan memperlakukan isterinya dengan baik, apabila dia mencintainya. Dan, jika dia tidak menyukai isterinya, dia takkan pernah menghinanya, kalau tidak bisa mempertahankan rumah tangganya, dia pasti menceraikan isterinya dengan cara yang baik pula.
 
Sumber: Kiat Menjadi Muslimah Seutuhnya/karya: Adnan Tharsyah/Penerbit: Senayan Publishing/Diposting : Ruang Muslimah

Keluar Cairan Saat Dipijat

Assalamualaikum wr wb. Ustad, saya pria muslim 60 tahun, duda cerai mati. Pada tahun 2007 saya diperintah dokter untuk periksa foto MRI dan hasilnya adalah ada saraf tulang belakang saya yang terjepit. Menurut dokter untuk kesembuhan satu-satunya jalan hanya operasi, atas pertimbangan keluarga saya tidak boleh operasi. Adapun efek dari saraf terjepit adalah kedua kaki saya gringgingan/semutan 24 jam nonstop dan juga berakibat pada disfungsi ereksi/impotensi. Untuk mengurangi rasa sakit saya sering terapi pijat di daerah pinggang dan sekitar pantat dengan posisi tengkurap. Namun masalahnya adalah pada saat dipijat ada beberapa kali dari penis saya mengeluarkan sperma padahal di daerah kemaluan tidak tersentuh sama sekali dan juga tidak bisa ereksi. Pertanyaan saya adalah bagaimana hukumnya dengan keluarnya sperma tersebut apakah termasuk hal-hal yg dilarang agama? Mohon petunjuk dan arahannya. Terima kasih Ustad. Wassalamualaikum wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Kami ikut prihatin dengan kondisi yang Anda alami saat ini. Semoga Anda diberi ketabahan dan kesabaran dalam menghadaji ujian tersebut. Insya Allah banyak kebaikan yang Anda dapatkan.
Terkait dengan sperma yang keluar saat dipijat, pertama-tama harus dibedakan terlebih dahulu antara mani dan madzi.
Mani biasanya keluar dengan syahwat, keluar dengan terasa, agak kental, dan memiliki bau yang khas.
Sementara madzi biasanya keluar saat ada rangsangan, keluar tanpa terasa, agak cair (tidak sekental mani), dan tidak memiliki bau seperti mani.
Kalau yang keluar madzi maka, Ali ra pernah menyuruh al-Miqdad ibn al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi saw tentang madzi. Nabi saw menjawab, “Cukup dengan berwudhu.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Namun jika yang keluar mani, maka apabila keluarnya tanpa terasa dan tanpa disertai syahwat, menurut jumhur ulama cukup dengan wudhu sama seperti madzi; tanpa harus mandi.
Yang mengharuskan mandi apabila keluar dengan syahwat. Kemudian karena ia keluar tanpa disengaja dan bukan dengan maksud istimna (onani atau masturbasi), maka tidak ada dosa.
Hanya saja tampaknya Anda harus mengonsultasikan kondisi Anda dengan dokter untuk mengetahui sebab-sebabnya serta pengaruhnya pada kesehatan.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Ya Allah Tetapkan Hatiku Pada Agama-Mu

Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
 
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad).
Hadits di atas menunjukkan kepada kita sikap tidak istiqomah yang menjadikan seseorang baik pada pagi hari dan telah menjadi kafir pada sore harinya atau sebaliknya. Inilah kondisi umat pada era yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jaminan bagi seseorang akan menjadi baik dan berada dalam ketaatan kepada Allah SWT selamanya.
Terkadang kita merasa tenang-tenang saja akan kondisi hati kita. Padahal kita tidak mempunyai kekuatan apapun terhadap hati kita. Terkadang ia merasa baik dan dipenuhi ketaatan kepada-Nya, namun terkadang ia berpaling dari mengingat-Nya lantaran bisikan nafsu syetan yang menguasainya. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
Diriwayatkan dari Nawwas bin Sam’an ia berkata aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah ada satu hatipun melainkan berada diantara dua jemari dari jari jemari Ar Rahman bila ia kehendaki Ia akan meneguhkannya dan bila Ia kehendaki Ia akan menyesatkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).
Dan dari Abu Musa Al Asy’ari ia berkata : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya hati ini laksana bulu ditengah padang pasir tandus yg dibolak-balikkan oleh angin
Menyadari akan ketidakmampuan kita dalam menajaga hati kita, hendaknya kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar membimbing, mengarahkan dan menetapkannya dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah do’a, sebagaimana tercantum dalam kita As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sering membaca doa
يَا مُقَــلِّـبَ اْلقُــلٌــوْبِ ثَبِّــتْ قَــلْبِـــيْ عَــلَى دِيْنـِــكَ
(Wahai Dzat yg meneguhkan hati teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu)
Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau sering membaca doa ini apakah engkau merasa khawatir?’ Beliau menjawab “Ya lalu apa yg membuat aku merasa aman wahai Aisyah sementara hati para hamba berada diantara dua jari jemari Ar Rahman” Maka bila engkau telah mengetahui bahwasanya hati para hamba berada diantara dua jari dari jari jemari Ar Rahman, Ia bolak-balikkan sekehandaknya.”

Menjaga Aqidah dan Pemikiran dengan Ushul Fiqih

Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Salah satu sebab perkembangan ushul fiqih terkesan mandeg adalah bahwa wilayah disiplin ilmu ini seakan terbatas pada wilayah hukum saja. Padahal wilayahnya sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fiqih secara bahasa yang berarti paham [1] maka seharusnya ushul fiqih bermakna ilmu yang membahas methode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu.
Selaras dengan semangat Syeikh Al-Qardhawi dalam merekonstruksi makna fiqih. Menurut beliau bahwa fiqih adalah sebuah pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam [2]. Anggapan bahwa wilayah cakupan ushul fiqih terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqih.
Menurut Minhaji [3], hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’i sebagai pendiri ilmu ini dikenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum Islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam. Ketiga, pada masa pra modern, hukum Islam terutama terkait permasalahan madzahib ditengarai sebagai penyebab kemunduran umat Islam, karena itu para pengkaji Islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum Islam, terutama  ushul fiqih.
Dengan demikian secara otomatis metode dan pendekatan dalam wilayah kajian ushul fiqih harus diperluas. Hal ini merupakan tantangan para ahli dan akademisi untuk membuat semacam metode komsprehensif, utuh, holistik dan kemudian dari metode ini melahirkan kurikulum yang aplikatif, dinamis, komprehensif, utuh/kulli dan fungsional.
Urgensi Standarisasi Kurikulum Ushul Fiqih dalam Menjaga Aqidah dan Pemikiran
Pada tataran teoritis dan konseptual, kita dapatkan sangat sedikitnya seorang akademisi yang secara serius mendalami ilmu ushul fiqih sebagai basic landasan berpikir bagi disiplin cabang ilmu yang dia tekuni. Kebanyakan adalah para pakar pendidikan, pakar ekonomi, pakar hadist dan lain-lain yang fasih berbicara tentang ilmu yang dia tekuni tetapi awam dalam ushul fiqih. Sebaliknya juga banyak pakar yang mahir ushul fiqih tetapi tidak paham tentang cara penerapan ilmu ushul fiqih dalam masalah kontemporer.
Sebagai contoh kasus adalah terkait konsep qath’i dan zhanni. Qath’i dan zhanni adalah pembahasan ushul fiqih menyangkut persoalan al-tsubut (ketetapan) atau al-wurud (datangnya sumber), dan al-dalalah (penunjukan kandungan makna). Maka jika di katakan sebuah nash qath’iyatu al-tsubut artinya bahwa nash tersebut qath’i (pasti) datangnya dari sumber yang sama sekali tidak diragukan, karena pasti kebenarannya. Jika dikatakan sebuah nash qath’iyatu al-dalalah maka teksnya menunjukkan pada makna tertentu yang dapat dipahami darinya, tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari makna tekstualnya.
Banyak para akademisi kita yang notabene sudah bergelar guru besar sekalipun belum mapan dalam memahami konsep qath’i dan zhanni. Mereka merasa bingung atau bahkan imma’ah (membeo) dengan pendapat para oreantalis, yang kita semua tahu bahwa para oreantalis mempelajari Islam bukan untuk khidmah terhadap Islam akan tetapi untuk menghancurkan Islam dari pondasinya. Dan hasilnya mereka, para mahasiswa dan akademisi kita menggugat nash-nash Al Qur’an yang qath’iyatu al-dalalah, yang maknanya sudah jelas dan pasti tidak mengandung makna lain selainnya. Mereka menggugat ayat-ayat waris, jilbab, poligami, gender, zakat, kepemimpinan dan ayat-ayat lain. Mereka beralasan demi keadilan, kemashlahatan maka ayat-ayat tersebut harus ditafsir ulang versi mereka.
Persoalan ini memang bukan hanya persoalan akademik yang solusinya harus melibatkan perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus pengajaran usul fiqih, akan tetapi juga persoalan-persoalan birokrasi dan political will, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang ada.
Ketika menjadi persoalan akademik, maka peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam pemecahannya. Untuk menjaga aqidah dan pemikiran mahasiswa dan akademisi kita, perguruan tinggi dituntut menyiapkan pengembangan kurikulum dan perumusan silabus yang standar, tepat dan memadai, sehingga mampu menjamin output lulusannya memiliki basis/pondasi aqidah dan pemikiran yang benar.
Dengan dibukanya berbagi program studi keislaman di perguruan tinggi, maka ushul fiqih harusnya menjadi bagian integral dari sistem pengajaran fakultas dan jurusan itu. Dan sudah menjadi keharusan bagi institusi perguruan tinggi untuk mempersiapkan output lulusannya. Lulusan perguruan tinggi Islam harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi yang standar pada ilmu ushul fiqih dan aplikasinya khususnya pada kompetensi bidang ilmu yang dia tekuni.
Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah harus berupaya secara sistematis, baik Diknas maupun Depag khususnya yang menangani pendidikan tinggi Islam dengan menyediakan kurikulum ushul fiqih untuk level program studi sarjana S-1, S-2 dan S3. Upaya perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus dalam sistem pendidikan ushul fiqih harus melibatkan semua elemen institusi pendidikan pada perguruan tinggi Islam termasuklan birokrasi dan political will. Karena jika hal ini di lakukan secara terpisah (masing-masing) oleh seluruh  Perguruan Tinggi hal tersebut  menimbulkan perbedaan kurikulum yang diajarkan, padahal standar yang ingin dicapai sama, yaitu  kurikulum standar yang menjadi acuan bersama.
Saat ini penyusunan kurikulum ushul fiqih oleh masing-masing perguruan tinggi Islam secara sendiri-sendiri dilakukan berdasarkan latar belakang akademik para pengajarnya semata. Bahkan, kurikulum tersebut kadang disusun oleh yang bukan ahlinya. Misalnya disusun oleh ahli pendidikan atau ahli ilmu sosial atau pemikiran Islam. Mereka sama sekali tidak mendalami apalagi memahami ushul fiqih. Hasilnya kurikulum ushul fiqih kurang diimbangi dengan penelitian, analisis dan aplikasi terhadap perkembangan masalah-masalah kontemporer dan kebutuhan kompetensi dari intsitusi-instusi terhadap lulusan perguruan tinggi.
Untuk merumuskan  kurikulum nasional ushul fiqih yang standar yang bisa menjadi acuan perguruan tinggi tersebut, para pakar baik dari kalangan akademisi maupun  praktisi dari kalangan ulama harus terlibat aktif melakukan analisa komprehensif terhadap kurikulum ushul fiqih melalui studi data primer dan studi data sekunder. Dan melakukan kajian, komparasi  dan analisis terhadap kurikulum beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia dan luar negeri. Dari upaya ini akan lahir sebuah kurikulum nasional ushul fiqih yang dapat menjadi acuan (standar)  yang mampu menjawab tantangan dan kemajuan zaman khususnya isu-isu pemikiran kontemporer.
Referensi :
[1] Fiqih scara bahasa berarti paham, lihat Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal 23, sedangkan fiqih secara istilah berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci. Lihat : Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[2] Yusuf Qardhawi. Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qadimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997, hal.26
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal.23

X