by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 8, 2016 | Artikel
Oleh: Syaikh Sa’id Ramadhan al-Buthy rahimahullah
Dari segi istilah bid’ah adalah sebuah perbuatan sesat yang wajib untuk dijauhi dan dihindari. Tidak ada perbedaan dan keraguan menganai hal itu. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Barang siapa yang membuat hal-hal yang baru dalam urusan kami (agama), maka ia akan tertolak.” Begitu juga hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Sebaik-baik perkataan adalah kitabullah (Al-Qur`an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Nabi Muhammad saw. Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah sesuatu yang dibuat-buat, dan setiap perbuatan bid’ah adalah sesat.”
Akan tetapi, apa maksud dari bid’ah? Apakah maksud dari kata bid’ah dilihat dari segi bahasa yang dikenal oleh masyarakat umum, sehingga semua hal-hal yang baru yang muncul dalam kehidupan manusia dan belum pernah dilakukan dan belum dikenal oleh Rasulullah saw dan para sahabat disebut dengan bid’ah? Jika demikian, maka seluruh kaum muslimin dari bagian barat dunia hingga ke ujung timur berada dalam kesesatan yang tak bisa mereka hindari. Sebab, mereka tenggelam dalam lautan perbuata bid’ah dalam setiap perbuatan dan tindakan yang mereka lakukan. Bangunan rumah mereka termasuk bid’ah, perlengkapan rumah mereka bid’ah, makanan mereka juga bid’ah, busana mereka juga bid’ah, dan semua kegiatan dan acara yang mereka lakukan adalah bagian dari pebuatan bid’ah yang sesat!
Jika demikian, tidak hanya kaum muslimin di masa sekarang ini yang jatuh ke dalam kesesatan tersebut, akan tetapi ia juga menimpa pada generasi para sahabat hingga datangnya hari kiamat. Pasalnya, kehidupan setelah masa Rasulullah saw akan terus mengalami perubahan dan pembaharuan yang tidak bisa dielakkan oleh manusia. Mereka tidak dapat mengendalikan arus perubahan kehidupan dan mempertahankannya hanya dalam satu bentuk dan satu metode saja. Bahkan, kehidupan singkat yang dialami oleh Rasulullah saw bersama dengan para sahabat telah mereka lalui dengan berbagai macam hal-hal yang baru. Hanya saja para sahabat mendapat karunia yang besar dimana mereka hidup bersama Rasulullah saw.
Beliau menerima realita baru dalam kehidupan ini tanpa ada perasaan risih dan tidak nyaman dengan hal itu. Betapa banyak ‘urf (kebiasaan) baru yang beliau temukan namun tetap ia terima. Betapa banyak metode dan cara yang baru yang muncul dalam kehidupan para sahabat, namun tetap ia akui bahkan didukung olehnya. Tentunya, setelah beliau melihat bahwa hal itu tidak bertentangan dengan prinsip dasar dan hukum Islam. Terlebih lagi jika hal itu dapat mempermudah jalan dalam rangka tegaknya agama Islam. Bahkan dari sini para ulama menetapkan sebuah kaidah, “Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah.” Para ulama dari kalangan Hanafiyah dan lainnya juga menetapkan bahwa al-‘urf –dengan syarat-syarat tertentu- adalah salah satu sumber penetapan hukum syari’ah yang tidak boleh disepelekan.
Dengan demikian, maksud dari bid’ah tidak ditinjau dari segi bahasa. Saya juga belum pernah mendapatkan salah seorang ulama dan fuqaha yang memaknai bid’ah secara bahasa. Maka itu, makna bid’ah yang benar ialah dilihat dari istilah syar’i. Lantas apa makna bid’ah secara istilah syar’i?
Ada banyak definisi terkait dengan makna bid’ah. Semuanya memiliki makna yang sama walaupun redaksi dan kalimat yang dipergunakan berbeda-beda. Namun, saya akan memilih dua definisi yang ditegaskan oleh Imam as-Syathibi di dalam kitab al-I’tisham. Hal ini dikarenakan dua faktor; yang pertama karena Imam Syathibi dianggap ulama yang berada di garis terdepan yang membahas mengenai masalah ini dengan analisa dan penjelasan yang rinci. Dan yang kedua, karena ia adalah salah satu ulama yang paling memusuhi perkara bid’ah dan sangat berhati-hati akan hal itu.
Definisi yang pertama dari bid’ah ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah dengan maksud berlebih-berlebihan dalam beribadah kepada Allah azza wa jalla.”
Definisi kedua ialah, “Cara beragama yang dibuat-buat yang menyerupai syari’ah, yang mana hal itu ia lakukan dengan tujuan yang sama dengan tujuan dari pelaksanaan syari’ah.”
Imam Syathibi memaknai bid’ah dengan dua definisi diatas dengan alasan bahwa ada sebagian ulama yang hanya membatasi makna bid’ah pada ibadah saja. Sebagian ulama yang lain memaknai secara umum mencakup semua jenis amal dan dan perbuatan tidak hanya ibadah, walaupun pada akhirnya beliau lebih cenderung memaknai bid’ah terbatas pada ibadah saja, baik itu terkait dengan ibadah hati yaitu akidah atau ibadah berupa amal yang terlihat yang mencakup ibadah-ibadah lainnya. *bersambung
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 7, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum ustad. Saya mempunyai seorang saudara perempuan yang telah berusia 45 tahun. dia adalah seorang guru besar di Fakultas Kedokteran pada sebuah Universitas. Apa hukumnya jika ia hendak menghadiri seminar-seminar tanpa didampingi oleh mahramnya? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhinya sehingga dia dapat berpergian tanpa mahramnya dan tidak berdosa karenanya?
Jawaban:
Kaidah umum menyatakan bahwa seorang perempuan yang berpergian wajib ditemani oleh seorang mahramnya. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas r.a bahwa Rasulullah saw bersabda:
لا تُسَافِرُ المَرْأَةُ إلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ، وَلَا يَدْخُلُ عَلَيْهَا رَجُلٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
“Seorang perempuan tidak boleh berpergian tanpa ditemani oleh seorang mahram. Dan dia tidak boleh dikunjungi oleh seorang laki-laki kecuali dia bersama mahramnya.” (Muttafaq ‘alaih)
Hanya saja sebagian ulama membolehkan perempuan untuk berpergian sendiri jika jalan yang akan ditempuhnya dan tempat yang akan didatanginya dalam kondisi aman. Pendapat ini didasarkan pada hadits ‘Adiy bin Hatim r.a bahwa Nabi saw bersabda kepadanya:
فَإِنْ طَالَتْ بِكَ حَيَاةٌ، لَتَرَيَنَّ الظَّعِينَةَ تَرْتَحِلُ مِنَ الحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالكَعْبَةِ لاَ تَخَافُ أَحَدًا إِلَّا اللَّهَ
“Jika kamu berumur panjang, niscaya kamu akan melihat seorang perempuan melakukan perjalanan sendiri dari Hirah (wilayah Irak) hingga (Makkah) berthawaf di sekeliling ka’bah. Dia tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan,
فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا الْأَمْرَ، حَتَّى تَخْرُجَ الظَّعِينَةُ مِنَ الْحِيرَةِ، حَتَّى تَطُوفَ بِالْبَيْتِ فِي غَيْرِ جِوَارِ أَحَدٍ
“Demi Allah, Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seorang perempuan akan pergi dari Hirah hingga ia melakukan thawaf di Ka’bah tanpa ditemani seorang pun.”
Para ulama yang membolehkan perempuan keluar sendiri diatas menyatakan bahwa ‘illat (sebab hukum) larangan seorang perempuan pergi sendirian adalah tidak adanya rasa aman selama perjalanan. Oleh karena itu, kita dapat mengambil pendapat ini karena adanya kelapangan dan kemudahan di dalamnya. tapi bagaimanapun juga seorang wanita harus mendapat izin terlebih dahulu dari suaminya jika ia telah bersuami atau dari walinya jika belum bersuami.
Maka, berdasarkan pertanyaan diatas, saudara perempuan anda boleh berpergian tanpa ditemani oleh mahramnya jika dia yakin keamanannya terjamin selama perjalanan.
Wallahu a’lam.
Sumber: Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
by M. Nasir Azzainy mnasirazzainy | Jan 27, 2016 | Fatwa
Apakah benar bahwa umat Muhammad SAW tidak kekal dineraka dan hanya diazab sesuai dengan amal perbuatannya?
Jawaban:
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW.
Neraka merupakan tempat yang kekal bagi orang-orang yang meninggalkan dunia ini dalam keadaan tidak beriman kepada Allah.
Hal ini telah ditegaskan oleh Allah SWT dalam firmannya :
“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong” (QS. Al-Ahzaab: 64-65).
Mereka ingin keluar dari neraka tersebut, padahal mereka sekali-sekali tidak dapat keluar dari padanya, dan bagi mereka azab yang kekal (Q.S. Al Maidah: 37).
Adapun orang-orang yang meninggal dalam keadaan beriman kepada Allah, maka mereka akan dimasukkan ke neraka, karena dosa-dosa mereka dan akan diazab sesuai dengan kesalahan yang mereka lakukan didunia. Kemudian akan dikeluarkan darinya (neraka) dengan rahmat dari Allah SWT dan syafaat dari Rasulullah SAW.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Ketika penduduk surga telah masuk ke surga dan penduduk neraka telah masuk neraka. Lalu Allah Ta’ala berkata, ‘Keluarkan dari neraka siapa yang didalam hatinya ada iman sebesar biji sawi.” (HR. Bukhari).
Salah seorang ulama terkemuka Abu Hasan Al-Asy’ari mengatakan bahwa “orang-orang dari kalangan mu’tazilah dan khawarij beranggapan bahwa orang orang fasik (muslim yang bermaksiat kepada Allah) akan dimasukkan ke dalam neraka dan mereka kekal didalamnya disebabkan kefasikan mereka.
Sedangkan Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa mereka tidaklah kekal didalamnya namun akan dikeluarkan darinya”.
Wallahu a’lam.
Sumber : Darul Ifta’ al-Urduniyah (Majelis Fatwa Yordania)
Nomor Fatwa : 534 | Tanggal : 14-3-2010
Penerjemah : Muhammad Nasir Az Zainy | Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 26, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Cukuplah satu firman Allah yang suci menjadi dalil atas janji-Nya tersebut, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata, “Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (QS. al-Baqarah: 214)
Hal ini juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya, dimana beliau memberikan nasihat kepada Khabbab bin Arb.
Pada saat itu ia datang kepada Rasulullah SAW dalam kondisi ia baru saja mendapatkan siksaan hingga membuatnya hampir mati. Lalu ia menyingkapkan badannya yang terkena api dan berkata kepada beliau, “Ya Rasulullah, tidakkah kau berdo’a agar Allah menolong kita.?” Rasulullah SAW menjawab ucapannya, “Sesungguhnya kaum sebelum kalian, mereka rambutnya disisir dengan sisir besi hingga terkelupas kulit dan dagingnya dan yang tersisa hanya tulangnya saja. Akan tetapi, hal itu tidak membuat mereka berpaling dari agamanya. Allah pasti akan memberikan kemenangan, hingga pada saatnya nanti seseorang yang berkendara dari San’a ke Hadramaut tidak akan merasa ketakutan kecuali hanya kepada Allah saja.”
Apa makna perkataan Rasulullah SAW diatas? Ini adalah sebuah penegasan, bahwa jika engkau mengeluhkan siksaan dan ujian di jalan dakwah, maka ketahuilah bahwa begitulah jalan dakwah yang sebenarnya. Ia adalah Sunnatullah yang telah Ia tetapkan kepada seluruh hamba-Nya. Ujian dan rintangan yang kau hadapi dengan sabar dan ridha, hanyalah sebuah jembatan menuju sebuah kemenangan.
Namun, mungkin ada yang bertanya, apakah ini berarti bahwa kita boleh meminta kepada Allah agar Ia mengirimkan berbagai macam ujian dan cobaan kepada kita? Atau dengan kata lain, bolehkah kita mengharapkan datangnya ujian dan siksaan di saat kita berdakwah di jalan-Nya?
Jawabannya dengan tegas tidak boleh. Pasalnya, Allah-lah yang mengetahui kemampuan kita dalam menerima ujian dari-Nya. Ia hanya menginginkan bukti dari keimanan dan ketundukan kita kepada-Nya, melalui berbagai macam ujian dan cobaan. Allah juga hanya ingin menyadarkan kita, bahwa semua manusia kedudukannya adalah hamba kepada-Nya.
Inilah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW disaat beliau diusir dari Thaif, beliau bermunajat kepada Allah seraya mengakui kelemahan dan kebutuhannya kepada-Nya, “Ya Allah, aku mengadukan kepada-Mu lemahnya kekuatanku, minimnya kemampuanku, dan hinanya aku di mata manusia.Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih, Engkaulah Tuhan bagi hamba-hamba yang lemah, dan Engkau adalah Tuhanku.”
Ini adalah sebuah ikrar dari beliau bahwa ia hanyalah seorang hamba yang lemah dihadapan Allah SWT. Ini bukanlah sebuah keluhan dan kegelisahan yang beliau utarakan kepada Allah, sebab di dalam lanjutan munajatnya, beliau berkata, “Sekiranya Engkau tidak murka kepadaku, maka aku ridha (tidak peduli terhadap apa yang menimpa)…… dengan cahaya wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan memberikan kemudahan dalam urusan dunia dan akhirat, Aku berlindung dari murka-Mu dan kemarahan-Mu.”
Inilah dua poros utama dari sikap menghamba kepada Allah, yaitu: Ridha atau pasrah atas takdir-Nya, dan selalu berlindung dan bersandar kepada-Nya. Dan kedua-duanya tidaklah saling bertentangan. Menyadari kelemahan dan kehinaan dihadapan-Nya adalah sebuah sikap menghamba kepada-Nya, dan berdoa memohon bantuan kepada-Nya juga sebuah bentuk ubudiyyah kepada-Nya.
Rasulullah tidak pernah meminta agar ditimpakan kepadanya cobaan dan siksaan yang berat, bahkan di saat ia merasa lemah dan tidak mampu, ia langsung berlindung kepada-Nya agar diberikan kemudahan dan pertolongan dari-Nya. Di sisi lain, ia tetap bersabar dan ridha menjalani tantangan dakwah ini.
Dan begitulah, seorang mukmin yang jujur dengan keimanannya. Ia akan ridha terhadap ujian dan cobaan yang ia hadapi. Terlebih lagi jika hal itu dalam rangka mewujudkan tujuan yang mulia, yaitu membangun sebuah masyarakat dan komunitas muslim yang shaleh dan sesuai dengan syariat Islam.
Wahai saudaraku, Rasulullah SAW telah mengalami siksaan dan ujian yang begitu pedih. Namun, beliau memberikan keteladanan kepada kita bagaimana menyikapi ujian tersebut dengan penuh kesabaran dan keteguhan. Beliau benar-benar menepati janji dari risalah yang telah Allah tugaskan kepadanya. Dan sekarang, apakah kita sudah siap melanjutkan tugas dari Rasulullah SAW? Apakah kita sudah berada di jalan yang telah ditempuh olehnya? Sudahkah kita meneladani beliau dalam menjalankan misi dakwah Islam ini? Simpanlah jawaban tersebut untuk kau sampaikan nanti di hadapan Allah SWT.
Allahul musta’an, ni’mal mawla wa ni’man nashiir.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: redaksi.alimancenter@gmail.com
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 16, 2016 | Konsultasi Ibadah
Assalamu’alaikum wr. wb. Bapak ustad yang terhormat, saya ingin bertanya : Dalam hal mengucapkan salam sekarang ini banyak sekali orang mengucapkan kata “Assalamu’alaikum Warahmatullahi ta’ala Wabarakatuh”
Pertanyaannya adalah apakah kalimat itu pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Siapa yang pertama kali menggunakan kalimat tersebut? Dan lebih afdol mana dengan ucapan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Terima kasih sebelum dan sesudahnya. Wassalamu’alaikum wr. wb.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Dalam hadits riwayat at-Tirmidzi disebutkan bahwa Nabi saw bersabda, “Bila seseorang bertemu dengan saudaranya, hendaknya ia mengucap, ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh.”
Dalam hadits riwayat Bukhari yang berasal dari Aisyah ra disebutkan bahwa ia berkata, “Rasulullah saw pada suatu hari bersabda, ‘Ya A’isy, ini Jibril mengucapkan salam untukmu.’ Akupun menjawab, ‘Wa alayhis salam wa rahmatullah wa barakaatuh. Rasulullah, engkau melihat apa yang tidak aku lihat.‘”
At-Tirmidzi dan Abu Daud juga meriwayatkan bahwa Imran ibn Hushayn berkata, “Seseorang datang kepada Nabi saw seraya berkata, ‘Assalamu alaikum!’ Beliau menjawab salamnya lalu duduk. ‘Sepuluh’ ujar beliau. Lalu orang lain datang seraya mengucap, ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah.’ Beliau menjawab salamnya dan duduk. beliau pun berkata, ‘Dua puluh.’ Lalu datang lagi orang lain seraya mengucap, ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh.’ Beliau menjawabnya dan duduk kemudian berkata, ‘Tiga puluh.‘”
Hadits-hadits di atas serta sejumlah hadits lain menjadi dalil bahwa Rasulullah dan juga para sahabat terbiasa mengucap salam dengan redaksi ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh. Bisa juga mencukupkan dengan Assalamu alaikum! atau dengan Assalamu alaikum wa rahmatullah.
Hanya saja, semakin lengkap salam yang dibaca (seperti yang pertama) semakin banyak pahala yang didapat. Dengan demikian lafal lain entah itu dengan tambahan ta’ala seperti pada ungkapan ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah ta’ala wa barakaatuh, atau dengan tambahan di belakang seperti ‘Assalamu alaikum wa rahmatullah wa barakaatuh wa maghfiratuh’ tidaklah kuat.
Lebih baik bagi kita merujuk pada apa yang beliau ajarkan dan apa yang menjadi kebiasaan sahabat sebagai generasi terbaik.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini