by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 17, 2016 | Konsultasi Umum
Assalamualaikum wr wb.
Saya Andri. Mau bertanya apa hukum menambal atau mengganti gigi yang patah karena habis kecelakaan?
Wassalamualaikum wr wb.
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Secara umum Islam melarang seseorang merubah ciptaan Allah. Allah menerangkan keinginan setan dalam Al Qur’an, “Dan aku benar-benar akan menyesatkan mereka, akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan menyuruh mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan aku suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka merubahnya.” (QS an-Nisa: 119).
Nabi SAW juga bersabda, “Allah SWT melaknat orang yang mentato dan minta ditato, orang yang mencukur alisnya, dan yang meratakan gigi dengan kikir yang bertujuan untuk mempercantik diri dengan mengubah ciptaan Allah“.
Jadi, pada prinsipnya tidak boleh merubah ciptaan Allah dengan berbagai bentuknya di atas, termasuk merapikan dan menambal gigi selama tujuannya hanya untuk mempercantik diri dan sejenisnya.
Namun jika hal itu dilakukan karena kondisi darurat dan ada kebutuhan mendesak yang dibenarkan oleh syariat, maka diperbolehkan.
Misalnya ketika gigi patah atau rusak, padahal sangat dibutuhkan untuk bisa mengunyah makanan dengan baik atau agar tidak ada kendala dalam berbicara, dalam kondisi demikian memperbaiki, menambal, atau menggantinya tentu saja tidak dilarang.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 5, 2016 | Artikel, Qur'anic Corner
Oleh: Fauzi Bahreisy
Setelah menjelaskan tentang keberadaan dua golongan manusia: golongan yang bersyukur dan golongan yang kufur, Allah melanjutkannmya dengan balasan yang akan Dia berikan nanti untuk masing-masing mereka.
إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَلَاسِلَ وَأَغْلَالًا وَسَعِيرًا
Kami telah sediakan untuk orang-orang kafir: rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala (QS al-Insan: 4)
Allah telah menyediakan siksa dan hukuman bagi orang kafir. Siksa tersebut tidak hanya disiapkan; tetapi telah disediakan. Karena itu kata kerja yang dipergunakan bukan أعْدَدْنَا (telah menyiapkan); melainkan أعتدنا (telah menyediakan).
Ini memberikan kesan lebih kuat dan lebih dalam. Pasalnya, sesuatu yang disiapkan belum tentu tersedia. Namun, sesuatu yang telah tersedia berarti telah siap dan telah ada.
Di samping itu, menurut pandangan ulama ahlu sunnah wal jamaah, ayat di atas juga menjadi dalil bahwa neraka saat ini telah ada dan telah tercipta. Pandangan ini diperkuat oleh sejumlah hadits Rasul saw. yang mengisyaratkan telah terciptanya neraka dan sorga. Di antaranya hadits tentang perjalanan manusia sesudah mati dan setelah dikubur.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Thabrani, ketika telah mendapat pertanyaan dari malaikat, orang yang berada dalam kubur akan diperlihatkan pintu yang menuju neraka. “Bukakan untuknya pintu menuju neraka!” Maka, dibukalah pintu menuju neraka untuknya.”
Lalu, apa bentuk siksa yang didapat orang kafir? Salah satu yang disebutkan dalam surat ini adalah rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Rantai dipakai untuk mengikat kaki mereka. Belenggu dipakai untuk mengikat tangan ke leher. Sementara, neraka yang menyala adalah untuk membakar sehingga mereka menjadi kayu bakar jahannam.
Ada sebuah pertanyaan yang muncul; yaitu mengapa Allah menyebutkan rantai dan belenggu sebagai salah satu siksa bagi orang kafir di antara sekian banyak siksa yang diberikan kepada mereka? Apalagi penyebutan neraka yang menyala-nya sudah mencakup dan meliputi semua jenis siksa?
Menurut Dr. Fadhil Shalih al-Samira’I, hal itu terkait dengan kebebasan yang Allah berikan sebelumnya ketika manusia berada di dunia. Bukankah sebelumnya Allah memberikan kebebasan untuk memilih sehingga ada yang bersyukur dan ada yang kufur?!
Nah, karena orang kafir ketika berada di dunia tidak memanfaatkan kebebasan tersebut untuk memilih jalan yang benar, maka di akhirat kebebasan tadi tertutup bagi mereka. Sebagai akibatnya, kaki, tangan dan leher mereka terikat; tak bisa bebas bergerak. Itulah balasan bagi orang yang tak bisa memanfaatkan peluang kebebasan yang Allah berikan ketika di dunia.
Bayangkanlah bagaimana kondisinya ketika ia digiring ke neraka yang menyala-nyala dalam kondisi demikian. Sungguh sebuah gambaran yang menyeramkan. Semoga Allah melindungi kita darinya.
إِنَّ الْأَبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا
Orang-orang yang berbuat kebajikan meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur (QS al-Insan: 5)
Setelah menggambarkan siksa yang diberikan kepada orang kafir, Allah mengetengahkan gambaran penduduk surga. Sengaja gambaran tentang nikmat yang diberikan kepada orang mukmin yang pandai bersyukur diletakkan sesudah berbicara tentang siksa padahal penyebutan orang yang beryukur pada ayat ketiga diletakkan sebelum orang yang kufur. Hal itu di antaranya untuk memberikan ruang yang lebih luas bagi penjelasan tentang berbagai kenikmatan yang ada. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, yang dimaksudkan untuk mendekatkan pada kondisi yang sebenarnya sehingga kita terpacu untuk bisa meraihnya. Orang-orang yang berbuat kebajikan. Inilah golongan yang mendapatkan kenikmatan di surga.
Sebenarnya ada dua kata dalam bahasa Arab yang sama-sama mengacu kepada pelaku kebajikan dalam bentuk plural: أبرار dan بررة. Hanya saja di dalam Alquran ada perbedaan penggunaan untuk keduanya. Bentuk pertama dipergunakan untuk manusia, sementara bentuk kedua dipergunakan untuk malaikat; tidak pernah dipergunakan untuk manusia. Lihat misalnya dalam surat Abasa ayat 15 dan 16:
كِرَامٍ بَرَرَةٍ (16) قُتِلَ الْإِنْسَانُ مَا أَكْفَرَهُ (17)
Di tangan Para penulis (malaikat), yang mulia dan berbuat bajik.
Mengapa demikian? Tidak lain karena kata abrar mengacu kepada pelaku kebajikan yang jumlahnya sedikit, sedangkan bararah mengacu kepada pelaku kebaikan yang jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan penjelasan Allah yaitu bahwa malaikat seluruhnya taat dan tunduk kepada-Nya, sementara tidak demikian dengan manusia. Hanya sedikit jumlah manusia yang beriman dan bersyukur di tengah limpahan karunia Allah yang tak terhingga. Fakta dan kondisi saat ini menjadi bukti atasnya.
Berapa banyak orang yang taat? Berapa banyak orang yang jujur? Berapa banyak orang yang melaksanakan salat lima waktu secara istikamah? Berapa banyak yang rutin mengaji? Allah befirman,
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ (13)
Sedikit sekali di antara hamba-Ku yang pandai bersyukur (QS Saba: 13)
Meminum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. Inilah nikmat yang didapatkan oleh orang yang berbuat bajik dan taat. Penggunaan kata kerja “meminum” dalam bentuk mudhari (present tense) mengisyaratkan bahwa mereka bisa minum kapan saja mereka kehendaki tanpa ada yang menghalangi. Lebih dari itu, bukan sembarang minuman yang mereka reguk. Tetapi, minuman istimewa karena dicampur dengan air kafur; yang aromanya wangi, berwarna putih, dan lezat rasanya.
Menurut Sayyid Quthb, dahulu orang-orang Arab biasa mencampur khamar yang biasa mereka minum dengan kafur atau dengan jahe untuk menambah kenikmatan. Ternyata minuman sejenis itu juga disediakan oleh Allah di surga. Hanya saja, tentu kualitasnya jauh berbeda. Pasalnya, apa yang terdapat di surga jauh lebih lezat, lebih segar, dan jauh lebih nikmat daripada apa yang terdapat di dunia. Dalam hal ini kafur yang berada di surga berupa mata air seperti diterangkan oleh ayat selanjutnya.
عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (6)
(Yaitu) mata air (di surga) yang hamba-hamba Allah minum darinya. Mereka dapat mengalirkannya ke mana saja (QS al-Insan: 6)
Ya, itulah yang dimaksud dengan kafur. Ia merupakan mata air yang mengalir di dalam surga. Lalu, siapa yang berhak mendapatkan dan meminum mata air tersebut secara langsung tanpa dicampur?
Hamba-hamba Allah minum darinya. Ini menunjukkan bahwa ibadullah (hamba Allah) yang dimaksud pada ayat di atas memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada al-abrâr (pelaku kebajikan dan ketaatan). Pasalnya ibadullah meminum air kafur tersebut secara murni tanpa dicampur dengan yang lain, sementara al-abrar meminum kafur hanya sebagai campuran.
Perumpamaannya adalah seperti orang yang meminum susu murni dan orang yang meminum susu dicampur dengan air. Tentu kedudukan antara kedua orang tersebut berbeda. Memang di akhirat nanti manusia terbagi tiga kelompok.
Allah befirman, “Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya. Lalu gunung-gunung dihancurluluhkan seluluh-luluhnya. Maka, jadilah ia debu yang beterbangan. Dan kamu menjadi tiga golongan: yaitu (1) golongan kanan. Alangkah mulianya golongan kanan itu. Dan (2) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu. Selanjutnya (3) orang-orang yang cekatan dalam kebaikan. Mereka Itulah al-muqarrabûn (yang didekatkan kepada Allah. Mereka berada dalam surga kenikmatan” (QS al-Waqiah: 4-12)
Nah, dalam hal ini al-abrar adalah golongan kanan, orang kafir golongan kiri, sementara ibadullah adalah orang yang cekatan dalam kebaikan yang kedudukannya dekat dengan Allah (al-muqarrabun). Jadi, orang yang cekatan dan menunjukkan ketaatan yang istimewa sebagai hamba Allah mendapatkan kedudukan khusus di sisi-Nya.
Di antara keistimewaan tersebut adalah pemberian mata air kafur sebagai minuman mereka. Tidak hanya sekedar minuman murni, bahkan, mereka dapat mengalirkannya ke mana saja. Artinya, mata air tersebut bisa dipancarkan ke mana saja mereka kehendaki dan di mana saja mereka berada. Entah ketika mereka berada di istana, rumah, kebun, ataupun majlis tempat duduk mereka. Entah dalam kondisi berdiri, duduk, tidur, ataupun di saat mereka berjalan. Subhanallah!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 23, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fauzi Bahreisy
Aksi-aksi terorisme yang belakangan ini kembali terjadi sungguh menyesakkan dada. Karena pelakunya orang Islam, maka ini menjadi peluang dan kesempatan beberapa pihak untuk mengarahkan tuduhan atau stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Padahal Islam justru sangat membenci dan menolak tindakan teror.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nu’man ibn Basyir ra disebutkan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Lalu ada seorang yang mengantuk di atas untanya. Melihat itu ada yang mengambil anak panah dari sarungnya dengan maksud mempermainkan orang yang mengantuk tadi. Maka, orang tersebut kaget dan bangun dari tidurnya. Seketika Rasul SAW bersabda, “Tidak boleh seorang muslim menakut-nakuti muslim lainnya.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dari hadits di atas jelas bahwa canda yang membuat orang lain kaget dan takut saja sangat dilarang oleh Rasul SAW. Apalagi, tindakan teror yang dengan sengaja bertujuan menebarkan ketakutan dan kecemasan kepada masyarakat.
Dalam hadits lain, Rasul SAW menegaskan, “Seorang mukmin adalah yang orang lain merasa aman atas darah dan harta mereka.” (HR at-Tirmidzi). “Seorang muslim adalah yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami, sejatinya seorang mukmin mendatangkan rasa aman dan seorang muslim menghadirkan keselamatan dan kedamaian bagi orang-orang sekitar.
Islam memang agama rahmat dan damai. Setiap bertemu, muslim yang satu dengan muslim yang lain, saling memberi salam mendoakan keselamatan. Surga disebut sebagai negeri keselamatan dan kedamaian. Salah satu nama Allah juga as-Salam.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan banyak suku dan bangsa agar mereka saling mengenal; bukan bermusuhan (Lihat QS al-Baqarah: 13). Allah pun menyuruh berbuat baik dan berbuat adil kepada siapapun, meski berbeda agama, selama ia hidup berdampingan secara damai (Lihat QS al-Mumtahanah: 8-9).
Bahkan kepada binatang sekalipun seorang muslim harus berbuat baik dan tidak boleh berbuat aniaya. Diriwayatkan bahwa ada yang masuk surga karena kebaikannya memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Ada pula yang masuk neraka karena seekor kucing, ia mengikatnya kemudian tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya mencari makanan dari serangga bumi. (HR Bukhari Muslim)
Kalau kepada binatang saja kita diperintah untuk berbuat baik, apalagi kepada sesama manusia. Dalam agama, termasuk dosa besar menumpahkan darah tanpa alasan yang dibenarkan. Perang hanya boleh dilakukan dalam kondisi umat Islam diperangi atau membantu kaum lemah yang teraniaya (QS an-Nisa: 75). Itupun dengan catatan tidak boleh membunuh mereka yang tidak ikut perang, tidak boleh merusak pohon, serta siap menerima tawaran damai.
Kalau dalam perang saja, Islam memberikan rambu-rambu dan etika apalagi dalam kondisi damai. Oleh sebab itu Islam tersebar dan dipeluk banyak manusia lebih karena akhlak dan dakwah yang dilakukan secara damai. Termasuk tersebarnya Islam di Indonesia.
Rasul SAW pernah bangkit berdiri ketika ada jenazah Yahudi yang lewat. Ketika ditanya beliau bersabda, “Bukankah dia juga manusia?!” (HR Bukhari Muslim). Beliau juga pernah menjenguk pelayannya yang Yahudi ketika sakit. Lalu karena melihat kebaikan dan perhatian Rasul SAW, ayahnya yang juga Yahudi mengizinkan si anak masuk Islam. Beliau bersabda, “Sayangi yang di bumi, niscaya yang di langit menyayangi kalian.” (HR al-Bukhari).
Kalau kemudian saat ini ada tindakan teror yang dilakukan secara serampangan oleh orang yang mengaku muslim, hal itu bisa karena dangkalnya pemahaman agama, karena penyakit nifak, atau karena rekayasa musuh yang ingin menghancurkan nama baik Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 357 – 22 Januari 2016. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 13, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh : Fauzi Bahreisy
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Mendekati kiamat akan muncul para pendusta. Maka berhati-hatilah terhadap mereka.” (HR Muslim).
Hadits diatas menggambarkan kondisi akhir zaman. Satu kondisi yang tampaknya mulai terasa sekarang seiring dengan melemahnya nilai-nilai iman.
Saat ini orang sudah tidak merasa risih berdusta. Bahkan kedustaan, kebohongan, dan kepalsuan masuk ke dalam seluruh sendi kehidupan. Mulai dari lingkungan keluarga, pendidikan, bisnis, hiburan, politik, birokrasi hingga pemerintahan. Semuanya tidak lepas dari praktek dusta, kecurangan, dan kepalsuan.
Ada yang berdusta untuk kepentingan dunia; untuk mendapatkan harta, tahta, dan wanita. Ada yang berdusta untuk mencelakakan saudaranya karena dendam dan kebencian. Ada juga yang berdusta karena canda, hobi, dan kebiasan. Akhirnya virus penyakit dusta ini menyebar ke mana-mana.
Cukuplah kita memahami bahaya besar dari dusta ketika Allah menyebutkannya dalam Al Qur’an sebanyak 280 kali seraya memberikan ancaman keras kepada orang yang biasa berdusta sekaligus menafikan keimanannya. Di antaranya Allah befirman, “Allah tidak memberi petunjuk kepada orang yang boros dan pendusta.” (QS Ghafir: 28). “Celaka bagi orang yang pembohong dan pendosa.” (QS al-Jatsiyah: 7). “Orang yang mengadakan kebohongan adalah orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah. Mereka adalah para pendusta.” (QS an-Nahl: 105).
Peringatan Allah tersebut tidak lain untuk kemaslahatan manusia. Pasalnya dusta bisa mendatangkan berbagai dampak buruk dan bahaya sebagai berikut:
Pertama, dusta membuat pelakunya tidak bisa tenang dan selalu merasa gelisah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Jujur mendatangkan ketenangan, sementara dusta mendatangkan keragu-raguan (kegelisahan).” Bagaimana bisa tenang, orang yang berdusta akan selalu dibayang-bayangi oleh rasa takut dan khawatir kalau kebohongannya diketahui orang.
Kedua, dusta menjadi penyebab jatuhnya citra, nama baik, dan kehormatan si pelaku. Orang menjadi kehilangan kepercayaan padanya.
Bayangkan kalau dalam satu komunitas satu dengan yang lain sudah tidak saling mempercayai?!
Ketiga, dusta menjadi bagian dari bentuk kemunafikan sehingga mengancam eksistensi iman. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, “Tanda orang munafik ada tiga, yaitu:
1. Apabila berbicara ia berdusta
2. Apabila berjanji ia ingkar, dan
3. Apabila dipercaya ia khianat
Keempat, kalaupun si pendusta selamat dan aman di dunia dimana ia berhasil membungkus segala kepalsuan, kedustaaan, dan kebohongannya dengan berbagai macam intrik dan tipudaya sehingga orang tetap percaya, maka di sisi Allah ia tidak akan bisa selamat. Bahkan dalam hadits disebutkan. “Dusta mengantar pada kejahatan, dan kejahatan mengantar kepada neraka. Manakala seseorang terus berdusta dan berusaha berdusta, ia akan ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR al-Bukhari)
Karena itu, tidak ada jalan lain kalau kita ingin hidup tenang, bahagia, tehormat, dipercaya dan sukses dunia akhirat maka jalannya adalah menghias diri dengan kejujuran.
Kejujuran adalah modal dasar orang-orang istimewa. Allah Subhanahu Wa Ta’ala befirman, “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Ibrahim dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 41). “Ceritakan (wahai Muhammad SAW) kisah Idris dalam al-Kitab (Al Qur’an). Ia adalah orang yang jujur dan juga seorang Nabi.” (QS Maryam: 56). Nabi Yusuf ‘Alaihissalam juga disebut dan dikenal sebagai orang jujur (lihat QS Yusuf: 46). Apalagi Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sejak muda beliau dikenal sebagai sosok yang jujur dan dapat dipercaya.
Wallahua’lam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 355 – 8 Januari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Dec 21, 2015 | Konsultasi Ibadah
Assalamu alaikum. Kalau wanita yang sedang ruku terlihat telapak kakinya yang tidak tertutup mukena, sholat tersebut batal tidak? Atau mengulangi sholat lagi?
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama-tama bahwa menutup aurat, terutama dalam shalat adalah wajib. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat al-A’raf: 31 yang menyuruh untuk memakai baju atau pakaian saat melakukan shalat. (lihat Tafsir Ibn Katsir).
Menurut jumhur ulama aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan. Sementara menurut Abu Hanifah, selain itu adalah telapak kaki. Menurutnya ia bukan merupakan aurat karena termasuk yang biasa terlihat seperti wajah.
Karena itu, kalau berpegang pada pandangan jumhur, yang boleh terlihat dari wanita di saat shalat hanya muka dan telapak tangan. Sementara kaki tidak boleh terlihat. Namun kalau berpegang pada pandangan Abu Hanifah, telapak kaki wanita boleh terlihat.
Untuk keluar dari perbedaan dan untuk kehatia-hatian, sebaiknya telapak kaki wanita juga tertutup entah dengan baju, mukena, atau kaos kaki. Lalu kalaupun kemudian masih ada aurat yang terlihat ketika shalat, jika aurat yang terlihat hanya sedikit dan tidak disengaja, maka menurut pendapat kalangan Hambali tidak batal sehingga tidak perlu mengulang shalat.
Wallahu a’lam. Wassalamu alaikum wr.wb.
ed : danw