Membayar Fidyah Dengan Uang

Assalaamu’alaikum wr.wb. Menyambung pertanyaan lalu, apakah fidyah boleh dibayar dengan uang tunai? Dan apakah fidyah yang beberapa hari itu boleh diberikan hanya kepada seorang saja? Terimakasih. Mohon jawaban.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Wa ba’du:
Fidyah wajib dikeluarkan salah satunya apabila seseorang tidak mampu melaksanakan puasa Ramadhan.
Allah berfirman, “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan. Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu Mengetahui.” (Al-Baqarah: 184).
Sesuai dengan firman Allah di atas, fidyah dilakukan dengan memberi makan kepada seorang miskin (untuk setiap hari yang ditinggalkan).
Dari sini pula jumhur ulama berpendapat bahwa fidyah harus dengan makanan sesuai dengan redaksi ayatnya.
Namun kalangan Hanafi membolehkan diganti dengan uang senilai fidyah tersebut.
Menurut kami, jika Anda ingin berhati-hati, bisa mengambil pendapat jumhur yang mengharuskan fidyah dengan makanan.
Namun Anda juga boleh mengambil pendapat kalangan Hanafi jika dipandang memberikan manfaat dan maslahat.
Lalu terkait dengan pemberian fidyah tersebut, apakah boleh fidyah beberapa hari diberikan hanya kepada seorang fakir atau seorang miskin?.
Dalam hal ini kalangan Syafii, Hambali, dan Maliki berpandangan bahwa hal tersebut boleh.
Fidyah untuk beberapa hari bisa diberikan sekaligus, bisa secara bertahap, bisa kepada sejumlah fakir miskin, dan bisa pula kepada seorang fakir.
Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustad Fauzi Bahreisy

Masturbasi Saat Puasa

Assalamu’alaikum, semoga rahmat Allah selalu menyertai kita. Hal yang ingin saya tanyakan, apabila seseorang masturbasi saat puasa Ramadhan apakah membatalkan puasanya dan wajib mengganti puasa? Jika hal tersebut terjadi bertahun-tahun yang lalu, apakah juga terkena kewajiban membayar fidyah? Dan apabila terkena kafarat, apakah kafarat harus dibayarkan segera ketika bulan puasa? Mohon jawabannya ustad. Jazakumullah khairan katsiran.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi washahbih. Amma ba’du:
Pertama-tama perlu diketahui bahwa onani atau masturbasi menurut jumhur ulama adalah haram baik dilakukan di bulan ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Ia tidak sejalan dengan surat Al-mukminun: 5-7.
Kedua, Orang yang dengan sengaja melakukan onani di bulan Ramadhan sampai mengeluarkan mani, tidak hanya berdosa tetapi juga menjadikan puasanya batal. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
Ketiga, karena itu, ia harus mengganti puasanya di hari yang lain serta harus bertobat kepada Allah Swt dengan tobat nasuha. Namun tidak ada kewajiban membayar kaffarah untuknya.
Keempat, jika onani atau masturbasi itu terjadi pada ramadhan-ramadhan yang lalu, artinya lewat satu tahun, maka di samping membayar hutang puasa, menurut jumhur juga harus membayar fidyah. Yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dari puasa yang rusak atau batal tadi.
Akan tetapi menurut imam Abu Hanifah cukup dengan membayar hutang puasa sebanyak hari yang terlewat; tanpa perlu membayar fidyah.
Sementara menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, membayar fidyah adalah termasuk amalan baik jika dikerjakan. hanya saja, jika ditinggalkan insya Allah tidak berdosa.
Wallahu a’lam Wassalamu alaikum wr.wb. 

Orang yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa dan Wajib Membayar Fidyah

Oleh : Sayyid Sabiq
 
Jika berpuasa, di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, benar-benar memberatkan. Maka orang tua renta, orang sakit yang kecil kemungkinan sembuh, dan para pekerja berat yang penghasilannya pas-pasan, diperbolehkan tidak berpuasa
Dan sebagai gantinya, mereka harus memberi makan satu orang miskin setiap hari, satu mud, setengah sha’ atau satu sha’, sesuai perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena dari Sunnah sendiri tidak ada keterangan yang menetapkan takarannya yang pas.
Ibnu Abbas berkata, “Orang tua renta diperbolehkan tidak puasa, tetapi ia harus memberi makan satu orang miskin setiap hari, dan tak perlu mengqadha.” (H.R. Daruquthni dan Hakim)
Keduanya menyatakan bahwa riwayat ini shahih.
Atha’ meriwayatkan bahwa ia mendengar Ibnu Abbas ra. membaca ayat, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata, “Ayat itu tidak- mansukh (terhapus). Ayat ini diperuntukkan bagi orang tua renta yang tidak mampu berpuasa. Karena itu, ia harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya.” (H.R. Bukhari)
Orang sakit yang kecil kemungkinan untuk dapat sembuh dan tidak kuat berpuasa, maka hukumnya sama dengan orang tua renta, tidak ada bedanya. Begitu juga dengan para pekerja berat yang penghasilannya pas-pasan.
Syekh Muhammad Abdu berkata, “Maksud ayat ‘…..orang yang berat menjalankannya...” adalah orang-orang tua renta, orang-orang yang sakit menahun yang kecil kemungkinannya sembuh, dan orang-orang yang sama keadaannya dengan mereka, misalnya saja para pekerja berat, seperti para pekerja di tambang batu bara atau para narapidana yang menjalani kerja paksa seumur hidupnya yang benar-benar kesulitan jika harus berpuasa, sementara itu mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Begitu juga dengan wanita hamil dan yang sedang menyusui. Jika mereka berpuasa akan membahayakan keselamatan diri mereka dan anak-anak mereka, maka mereka boleh tidak puasa tetapi wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengqadha. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
(Simak: Video Ceramah Hukum-Hukum Puasa)
Ikrimah ra. meriwayatkan bahwa mengenai firman Allah, “…dan bagi orang yang berat menjalankannya…”
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini merupakan “keringanan bagi orang tua renta yang tidak kuat berpuasa. Keduanya boleh tidak puasa dan menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
Begitu juga dengan wanita hamil atau wanita yang sedang menyusui, jika berpuasa akan membahayakan anak mereka, maka mereka boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah membayar fidyah”. (H.R. Abu Daud)
Bazzar juga meriwayatkan hadits yang sama, dengan tambahan di bagian akhirnya,
Saat itu, Ibnu Abbas berkata kepada wanita yang sedang hamil, ‘Kamu sama dengan orang yang tidak mampu berpuasa. Kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.” (Daruquthni menshahihkan sanad riwayat ini.)
Nafi’ menceritakan bahwa Ibnu Umar pernah ditanya mengenai perempuan hamil yang khawatir akan keselamatan anaknya jika ia berpuasa, maka ia menjawab, “Ia tidak perlu puasa, tetapi ia harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya, satu mud gandum.” (H.R. Malik dan Baihaqi).
(Baca juga: Rukun Puasa)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya, Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak puasa dan mengqashar shalat, sedangkan wanita hamil atau menyusui diberi keringanan untuk tidak puasa.”
Para ulama Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui harus mengqadha dan tidak perlu membayar fidyah.
Ahmad dan Syafi’i berpendapat bahwa jika puasanya akan membahayakan anaknya maka ia lebih baik tidak puasa, tetapi harus mengqadha dan membayar fidyah. Namun jika puasanya akan membahayakan dirinya saja atau dirinya dan anaknya maka ia harus mengqadha dan tidak perlu membayar fidyah.
Sumber:
Fiqh Sunnah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat

Fiqih Wanita Berkaitan dengan Ramadhan (bagian 1)

Oleh: Sharia Consulting Center
 
Wanita muslimah yang sudah baligh dan berakal, pernah mengalami haid dan hamil maka ia wajib berpuasa di bulan Ramadhan, sebagaimana perintah puasa dalam Al Qur’an. Namun bila syarat tidak terpenuhi seperti wanita bukan muslim, belum baligh, tidak berakal, dan dalam keadaan haidh atau nifas maka tidak diwajibkan berpuasa.
1. Wanita haidh atau nifas
Wanita yang sedang haidh atau nifas diharamkan melakukan puasa, jika ia melakukannya maka berdosa. Apabila seorang wanita sedang berpuasa keluar darah haidhnya baik di pagi, siang, sore ataupun sudah menjelang terbenamnya matahari, maka ia wajib membatalkannya. Dan wajib meng-qadha (mengganti) setelah ia bersuci. Sedangkan jika wanita tersebut suci sebelum fajar walaupun sekejap, maka ia wajib berpuasa pada hari itu walau mandinya baru dilakukan setelah fajar.
(Simak juga: Video Empat Langkah Menuju Ramadhan)
2. Wanita tua yang tidak mampu berpuasa
Seorang wanita yang lanjut usia yang tidak mampu lagi untuk berpuasa dan jika berpuasa akan membahayakan dirinya, maka justru ia tidak boleh berpuasa, melihat firman Allah
“….Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu dalam kebinasaan…” (Q.S. Al Baqarah ayat 195)
Disebabkan orang yang lanjut usia itu tidak bisa diharapkan untuk bisa mengqadha, maka baginya wajib membayar fidyah saja (tidak wajib meng-qadha) dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin berdasarkan firman Allah swt.
(Baca juga: Visi Ramadhan Umat Muslim)
Dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka ia harus membayar fidyah dengan memberi makan setiap hari satu orang miskin” (Q.S. Al Baqarah : 184)
Kemudian dalam riwayat Bukhari
Dari Atha ia mendengar Ibnu Abbas membaca ayat yang artinya “Wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya untuk membayar fidyah yaitu memberi makan satu orang miskin” Ibnu Abbas berkata : “Ayat ini tidak dinasakh, ia untuk orang yang lanjut usia baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup berpuasa hendaknya memberi makan setiao hari satu orang miskin”. *bersambung
Sumber :
Panduan Lengkap Ibadah Ramadhan, Sharia Consulting Center

X