0878 8077 4762 [email protected]

Ketika Ibunda Imam Syafii Menolak Harta Anaknya

Pada saat imam Syafi’i masih kecil dan belajar di Makkah, gurunya berkata kepada Syafi’i kecil, “Anak ku, ilmuku telah habis. Kamu pergi ke Madinah dan teruskan ke Irak, di sana banyak orang-orang Alim yang akan memperkokoh keilmuanmu.”
Kemudian Syafi’i menjawab dengan sopan. Baik guru, namun terlebih dahulu ijinkan kami untuk meminta doa restu kepada ibunda kami.
Setibanya Syafi’i di kediaman ibunya, beliau mengatakan maksud dan tujuannya kepada ibu tercinta.
Ibunya terkejut dan merasa berat hati, karena ia akan berpisah dengan anak tercintanya, namun demi kesuksesan masa depan anak tercinta, Sang ibu merelakan dan berkata; “Berangkatlah anak ku, kita bertemu diakhirat saja”. Allahu Akbar.
Dan akhirnya Syafi’i kecil berangkat ke Madinah kemudian dilanjutkan ke Irak dengan doa dan restu dari ibu tercintanya.
Beberapa tahun kemudian, Imam Syafi’i telah menjadi orang hebat, dan mufti yang tersohor namanya, karena memang Imam Syafi’i memilik kecerdasan yang jarang atau bahkan tidak dimiliki anak seusianya.
Sebab dalam sejarah tercatat; Umur 7 tahun beliau telah hafal al-Quran dengan lancar, dan umur 10 tahun telah hafal kitab hadits karya imam Malik, al-Muwatho’.
Kemudian umur 12 tahun beliau telah disahkan menjadi seorang mufti. Namun meskipun demikian hebatnya, beliau tetap tidak berani pulang, karena ibunya belum memanggilnya pulang.
Ibunda Imam Syafi’i dengan Syekh Makkah (Murid Imam Syafi’i)
Tibalah musim haji, semua orang berkumpul di Makkah untuk melakukan ibadah haji, tanpa terkecuali ibunda imam Syafi’i.
Di dalam Masjidil Haram, sudah menjadi pemandangan lazim para ulama terkemuka mengadakan halaqah pengajian yang diikuti oleh para jamaah dan murid-muridnya.
Ada salah satu halaqah yang sangat besar, yang dipimpin seorang ulama yang terkenal Alim, dan halaqah inipun menjadi pusat perhatian para jamaah haji, tak terkecuali ibunda Imam Syafi’i. Kemudian ibunda Imam Syafi’i mendatangi dan mengikuti pengajian ulama yang terkenal Alim tersebut.
Namun anehnya Syekh itu sering mengatakan; “Qola Muhammad bin Idris As-Syafi’i”. “Muhammad bin Idris As-Syafi’i berkata…”.
Karena penasaran, sang ibunda bertanya kepada Syekh tadi; “Wahai syekh, siapakah Muhammad bin As-Syafi’i yang  sering anda sebutkan, dan seakan menjadi idola anda.
Syekh menjawab; “la adalah orang yang sangat Alim, orang yang sangat hebat, guru yang sangat mulia, keilmuannya tiada tandingannya, dan perlu anda ketahui, beliau aslinya dari Makkah, dan kemudian melanjutkan studinya ke Madinah, dan saat ini beliau telah menjadi mufti termulia di Irak .
Kemudian Ibunda Imam Syafi’i berkata, Ketahuilah wahai Syekh, guru anda yang katanya hebat dan mulia itu adalah anakku.
Aku hanya berpesan sampaikan pada guru anda yang bernama Muhammad bin Idris As Syafi’i itu. Apabila ia mau pulang, maka aku telah mengizinkannya.
Syekh yang alim tersebut terkejut dan kagum kepada ibu tua yang mengaku ibu dari gurunya yang alim tersebut. Ternyata ibunda beliau masih hidup.
Kemudian sang Syekh hanya mampu menundukkan kepala tanda hormat seraya mengucapkan; “Iya akan kami sampaikan kepada guru mulia kami”.
Imam Syafii Mendapat Kabar Ibunya
Sesampainya di kota Irak, murid imam Syafi’i tersebut langsung menyampaikan pesan yang menjadi amanahnya.
Mendengar berita itu, Imam Syafi’i sangat gembira, dan memang berita inilah yang ditunggu-tunggu sejak lama.
Karena beliau selalu ingat pesan sang ibu : “Bahwa beliau berdua bertemu diakhirat saja”. Artinya : sudah tidak ada harapan untuk bertemu di dunia.
Setelah menyelesaikan tugasnya, dan dengan waktu yang telah direncanakan, Imam Syafi’i akan segera berangkat pulang, untuk melepas rindu kepada ibunda tercinta.
Karena waktu itu imam Syafi’i adalah ulama mulia dan tersohor, sontak berita kepulangan imam Syafi’i cepat tersebar keseluruh pelosok tanah Irak.
Pecinta dan pengagum Imam Syafi’i memberi bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang kerumahnya. Ada yang memberikan beberapa onta, ada juga yang memberikan beberapa dinar emas.
Sehingga dengan sekejap imam Syafi’i menjadi orang kaya, dikisahkan Imam Syafi’i pulang dengan membawa beberatus onta dan beratus-ratus uang dinar.
Mengutus Murid untuk Izin Bertemu Ibundanya
Tibalah waktunya imam Syafi’i pulang ke ibunda tercinta. Sesampainya imam Syafi’i di batas tapal kota Makkah, imam Syafi’i memerintahkan muridnya untuk memberitahu dan meminta izin kepada ibunya untuk memasuki kota Makkah.
Murid mengetuk pintu rumah ibunda tercinta imam Syafi’i dengan mengucapkan salam : “Assalamualaikum,,,
Ibunda : Wa’alaikumsalam,,, siapa anda?
Murid : Saya muridnya imam Syafi’i, putramu. Kami ingin memberitahukan bahwaImam Syafi’i telah sampai di batas kota Makkah, memohon izin untuk masuk.
Ibunda : Syafi’i anak ku membawa apa?
Murid : la membawa banyak harta, berupa onta dan beberatus uang dinar.
Dengan nada marah sang ibunda menjawab : Sampaikan ke Syafi’i, saya menyuruh meninggalkan kota Makkah bukan untuk mencari harta, bilang ke dia, saya tidak butuh hartanya, dan suruh ia kembali lagi ke kotanya.
Menjalankan Perintah Ibunda Demi Ridhanya
Murid Imam Syafi’i terkejut dengan jawaban ibunya. Kemudian ia kembali kepada gurunya, dan menceritakan tentang apa yang telah ia alami.
Kemudian imam Syafi’i mengatakan; ” Wahai muridku kamu salah menjawab pertanyaan ibuku. Sekarang kamu panggil seluruh penduduk kota Makkah, dan bagikan semua harta yang kita bawa ini.
Kemudian sang murid melakukan apa yang telah diperintahkan gurunya, dan membagikan semua harta itu sampai habis tak tersisa.
Nah, sekarang kamu datangi ibunda ku lagi, dan sampaikan bahwa harta Syafi’i telah habis dibagikan, yang tertinggal hanya ilmu dan kitabnya saja.
Kemudian barulah Imam Syafi’i diperkenankan masuk kota Makkah, dan bertemu melepas rindu dengan ibunda tercinta.
Refleksi Hikmah dari para Ulama:

  1. Jika orang tua rela melepas anaknya untuk mencari ilmu, walaupun jauh disana, maka Allah akan mempertemukan mereka di dunia, apalagi di akhirat.
  2. Orang tua jangan menjadikan anaknya ‘sapi perah’ untuk mencari dunia.
  3. Orang yang mencari ilmu bukan bertujuan untuk dunia, namun ikhlas untuk akhirat, maka ia juga akan diberi bonus oleh berupa kekayaan duniawi.
  4. Doa orang tua adalah kunci sukses dalam menuntut ilmu.
  5. Suri tauladan kesabaran orang tua dan anak ketika proses mencari ilmu.

 
Sumber riwayat : Ceramah Buya Yahya, Ulama Cirebon

Antara Harta dan Ilmu

Ilmu lebih agung dibandingkan harta. Pemilik ilmu lebih terhormat dan dibutuhkan semua insan, dari jelata hingga para raja. Harta hanya berguna dihadapan hajat fakir, miskin dan dhuafa.
Bagi pemilik harta alangkah banyak musuh yang jahat dan kawan tak tulus. Sementara pemilik ilmu akan banyak saudara dan sedikit lawannya.
Musuh musa yang berharta : Fir’aun, jatuh karena sombong mengaku tuhan. Kawan musa yang berilmu adalah khindzir, rendah hati dan menghayati penghambaan. Adam diciptakan lalu dibekali ilmu, bukan harta yang membuatnya unggul dihadapan para malaikat seperti dalam surah Al Baqarah ayat 31-34.
Rabb kita menurunkan wahyu pertama terkait ilmu wahyu pertama terkait ilmu dalam surah Al Alaq ayat 1-5. Allah memerintahkan Dia ditauhidkan dengan ilmu (surah Muhammad ayat 19), bukan dengan harta.
Dalam hadist riwayat Ath-Thabrani, “Terbagi hamba-hamba Allah itu menjadi empat golongan.”

  1. Golongan pertama, dikaruniai Allah ilmu dan harta. Maka dia bertakwa kepada Allah dan menafkahkan hartanya dijalan Allah.
  2. Golongan kedua, diberi Allah ilmu namun tak dilimpahi harta. Maka dia bertakwa kepada-Nya dan selalu berkata pada dirinya, ‘Andai dikarunia seperti hamba pertama, aku akan berbuat sebagaimana dia lakukan.’ Sesungguhnya pahala kedua orang ini sama.
  3. Hamba ketiga, diberi harta tanpa beroleh ilmu. Maka dia tak bertakwa kepada-Nya, berbuat sia-sia dan dosa.
  4. Hamba keempat, tidak berharta dan tidak berilmu. Maka dia bertakwa dan selalu berkata pada dirinya, ‘Andai aku diberi harta seperti hamba ketiga, aku juga akan melakukan hal sia dan kemaksiatan seperti dia.’ Dosa kedua orang ini sama.

Demikian sekelumit hari ini. Sungguh tak hendak membenci harta, tapi mari sedikit banyak mengalih bentuknya menjadi ilmu.

Antara Waktu dan Iman

Tausiyah Iman – 13 Mei 2016
 
Semakin engkau pandai dalam menyikapi waktu, semakin engkau ketahui hakikat keimanan.
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Seorang mukmin belum mengetahui hakikat dari keimanan hingga ia merasa bahwa waktunya lebih berharga baginya daripada hartanya.”
Ustadz Fahmi Bahreisy, Lc
(Baca juga: 2 Jenis Manusia)
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Perlukah Zakat dari Harta Waris yang Didapat?

Assalamualaikum ustad. Perkenalkan , Nama saya sefti dwijayanti teruni . Saya ingin bertanya: Bagaimana hukumnya apabila seseorang menerima harta waris ? Apakah orang tersebut wajib atau tidak membayar zakat, atau sedekah, infaq dan yang lainnya? Kalau memang ada keharusan, apakah ada anjuran berapa jumlah banyaknya? Lalu bagaimana seharusnya mengelola uang harta waris tersebut agar benar-benar bermanfaat bagi si penerima ?
 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengeluarkan zakat dari harta waris yang ia terima, kecuali jika harta tersebut mencapai nishab (jumlah harta yang wajib dizakati) dan sudah mencapai haul (sudah dimiliki selama setahun) sesuai syarat harta zakat biasa.
Namun jika harta waris tersebut baru diterima sehingga belum mencapai setahun atau jika jumlahnya tidak mencapai nishab (yaitu senilai 85 gram emas), maka tidak wajib dizakati.
Sebagai gantinya, bisa bersedekah atau berinfak, tanpa ada ketentuan dan keharusan mengenai berapa besaran atau jumlahnya.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini