0878 8077 4762 [email protected]

Hukum Memelihara Anjing

Assalamu’alaikum wr wb. Untuk ustad/ustadzah kami ingin bertanya :

  1. Istri saya adalah seorang dokter hewan, dan kami memiliki seekor anjing untuk dipelihara dengan tujuan untuk menjaga klinik kami, apakah hal tsb diperbolehkan?
  2. Di klinik kami juga menerima anjing titipan yg sakit dr klien untuk masa penyembuhan (rawat inap) apakah juga diperbolehkan?
  3. Kami ingin mengembangkan usaha breeding anjing bagaimana hukumnya? Demikian yg kami tanyakan. Terima kasih Wassalamu’alaikum wr wb

 
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Pertama, tidak boleh memelihara anjing kecuali kalau ada tujuan atau kebutuhan mendesak. Pasalnya, Nabi saw bersabda, “Barangsiapa memelihara anjing selain anjing untuk menjaga hewan ternak, anjing untuk berburu, atau anjing yang disuruh menjaga tanaman, maka setiap hari pahalanya akan berkurang sebesar satu qirath” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas dan sejumlah hadits lainnya yang senada para ulama membolehkan memelihara anjing jika tujuannya untuk berburu atau menjaga. Syaratnya anjing tersebut harus ditempatkan di tempat yang jauh dari perabot rumah tangga atau barang yang sering disentuh oleh manusia, terutama keluarga, agar terhindar dari najisnya.
Kedua, tidak ada larangan bagi seseorang untuk berbuat baik kepada binatang, termasuk anjing. Apalagi jika ia berada dalam kondisi sakit selama bisa menghindarkan diri dari najis dan bahayanya. Perbuatan baik dalam menolong hewan dan merawatnya termasuk perbuatan ihsan.
Dalam sebuah hadits disebutkan: “Ketika seseorang berjalan dan merasa sangat haus, ia singgah di sebuah sumur. Ia minum dari air sumur tersebut lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang tampak sangat kehausan. Ia merasa bahwa rasa haus yang dialami oleh anjing tersebut seperti yang ia alami sebelumnya. Maka, ia lepaskan sepatu khufnya lalu ia pergunakan sebagai wadah untuk mengambil air dan diberikanlah air tersebut kepada anjing tadi. Dengan perbuatannya tersebut, Allah berterima kasih dan memberikan ampunan untuk orang itu.” (HR Bukhari Muslim)
Ketiga, terkait dengan hukum breeding (ternak) anjing, maka hal itu sangat terkait dengan sejauh mana najisnya dapat dihindari dan tujuannya. Dengan kata lain, selama najisnya dapat dihindari dan selama ada kebutuhan mendesak yang sesuai dengan tuntunan syariah, maka hal itu tidak dilarang.
Namun jika najisnya sulit dihindari dan tidak ada kebutuhan mendesak, apalagi hanya untuk bisnis semata, maka hal itu tidak dibenarkan.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Kaos Bertuliskan Lafadz Allah, Bolehkah?

Assalamu alaikum, Saya memiliki bisnis kaos anak yang kami beru nama “Kaos Edukatif Anak Muslim”, Tulisan pada kaos kami berisi hal-hal edukatif Islam yang kami maksudkan sebagai alternatif bagi anak agar anak anak jangan hanya memakai kaos yang bergambar barbie, naruto dan super hero lain. Namun demikian kami ingin mengkonsultasikan tentang beberapa desain yang rencana akan kami Rilis, salah satunya alah Desain dengan tulisan : Subhanallah, Glory be to Allah, Maha Suci Allah. Kami ingin mengetahui dari sisi syariah apa hukum tulisan Allah pada kaos, dan juga kami rencana membuat gantungan kunci dengan tulisan yang sama. Mohon lihat file terlampir untuk disain yang kami maksud. Jazakumullah khair
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Setiap muslim hendaknya menghindari perbuatan atau tindakan yang mengarah pada penghinaan, penistaan, dan perendahan terhadap nama Allah. Termasuk hendaknya tidak memberikan peluang kepada orang lain untuk melakukan hal tersebut.
Nah membuat, menuliskan, dan memakai pakaian, kaos, perhiasan, serta benda bertuliskan nama Allah membuka peluang adanya penistaan tersebut. Apalagi di zaman sekarang saat pengetahuan dan kesadaran beragama umat Islam tidak begitu kuat.
Bisa jadi pakaian, kalung, atau gantungan kunci yang bergambar atau bertuliskan nama Allah tersebut dipakai saat masuk ke dalam toilet, dipakai tidur, atau diletakkan di tempat yang tidak layak.
Ibnu Hajar al-Haytsami berkata, “Dilarang menginjak kertas atau kain yang bertuliskan nama Allah dan nama Rasul-Nya. Sebab hal itu mengandung unsur penghinaan…”
Ketika ditanya tentang boleh tidaknya masuk ke kamar kecil dengan pakaian bertuliskan nama Allah, Lajnah Daimah menjawab, “Tidak boleh nama Allah dituliskan di atas pakaian. Juga makruh hukumnya masuk kamar kecil dengan pakaian tersebut karena di dalamnya ada unsur merendahkan nama Allah Swt.”
Karena itu, hendaknya nama Allah tidak dituliskan baik di atas kaos atau gantungan kunci, terkecuali apabila aman dan terjaga dari adanya unsur merendahkan nama-Nya yang agung dan mulia.
Adapun edukasi untuk anak bisa dilakukan dengan cara atau tulisan lain yang benar dan aman secara syariat. Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bolehkah Mengazankan Bayi Yang Baru Lahir?

Assalamu’alaikum wr wb. Ustad yang semoga dicintai Allah. Amiin. Ustad, saya ingin bertanya. Apakah dibolehkan dalam Islam mengazankan bayi ketika lahir.

Suriansyah Arya

Jawaban:

Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang akan mengendalikan arah hidupnya.

Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan bayi. Ada yang menyebut bid’ah karena tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan. Demikianlah, wallahu a’lam. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa adzan disyariatkan.

Dari Abu Rafi’, dari ayahnya, ia berkata:

“Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi No. 1514, katanya: hasan shahih. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf No.7986, Ahmad No. 23869)

Syaikh Al Albany berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, 4/400. Dia juga menghasankan dalam kitabnya yang lain, Shahih Sunan Abi Daud No. 5105 dan Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1514) Selain itu Imam Al Hakim juga menshahihkannya, namun Imam Adz Dzahabi telah mengoreksinya.

Selain itu, Al Imam Al Hafizh Yahya bin Said Al Qaththan juga menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh seorang rawi yang dhaif, munkar, dan mudhtharib (guncang). (Imam Ibnul Qaththan, Bayanul Wahm wal Iham fi Kitabil Ahkam, No. 2135. 1997M-1418H. Dar Ath Thayyibah, Riyadh)

Namun Syaikh Al Albani dalam penelitian akhirnya dia mendhaifkan hadits ini. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:

“Syaikh Nashir (Al Albani) telah menghasankan hadits tersebut dalam sebagian kitabnya, tetapi pada kahirnya dia menarik kembali pendapat itu. Sebab dalam isnad hadits ini terdapat seorang yang dhaif, yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah. Beliau telah enyebutkan bahwa dalam kitab Syu’abul Iman karya Imam Al Baihaqi ada hadits dari Al Hasan yang terkait dengan azan, dan telah disebutkan: hadits tersebut (riwayat Al Baihaqi) merupakan penguat hadits ini (riwayat At Tirmidzi dari Abu Rafi’ di atas, pen). Dan Syaikh Nashir berkata: setelah buku tersebut diterbitkan saya melihat isnadnya ternyata ada seorang yang wadhaa’ (pemalsu hadits) dan matruk (ditinggalkan), dahulu sebelumnya hadits tersebut dianggap sebagai penguat hadits Abu Rafi’ yang ada pada kami. Oleh karena itu tidak benar menjadikan hadits tersebut sebagai penguat selama di dalamnya terdapat seorang yang pendusta dan matruk. Maka, kesimpulannya hadits ini tidak memiliki syahid (penguat). Dan, jika dalam pembahsan ini tidak ada dasar kecuali hadits ini yang di isnadnya terdapat kelemahan perawinya yaitu ‘Ashim bin ‘Ubaidullah, maka tidaklah ada satu pun yang bisa dijadikan argument dalam masalah ini (azan untuk bayi), kecuali jika ada hadits lain yang menguatkannya, maka hal itu dimungkinkan. Ada pun jika takwil terhadap hadits ini dan hadits lainnya yang terdapat pada Imam Al Baihaqi yang di dalamnya terdapat wadhaa’ (pemalsu) dan matruk, maka aktifitas azan pada telinga bayi tidaklah shahih, karena hadits ini (riwayat Tirmidzi dari Abu Rafi’, pen) terdapat seseorang yang lemah. Sedangkan hadits itu (Al Baihaqi) ada yang seorang yang wadhaa’ dan matruk, maka tidaklah salah satu menjadi penguat bagi yang lainnya. Maka tidaklah benar berhukum dengan hadits ini. Oleh karena itu, hadits ini dihukumi tidak shahih selama dengan sanad seperti ini.” (Syarh Sunan Abi Daud, No. 580)

Syaikh Syu’aib Al Arnauth juga mendhaifkan hadits ini dengan penjelasan yang panjang. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23869)

Jadi, pandangan yang lebih kuat adalah hadits ini adalah dhaif, sebagaimana dikatakan oleh Imam Adz Dzahabi, Imam Yahya bin Said Al Qaththan, Syaikh Syu’aib Al Arnauth, Syaikh Al Albani, dan lainnya.

Namun demikian ada baiknya kita menyimak perkataan Syaikh Syu’aib Al Arnauth sebagai berikut:

Kami berkata: bersama kelemahan hadits dalam masalah ini, mayoritas umat dahulu dan sekarang telah mengamalkan hadits ini, hal itu seperti yang diisyaratkan oleh At Timirdzi setelah dia meriwayatkan hadits ini, dengan ucapan beliau: hadits ini diamalkan. Dan, para ulama telah menyampaikan hal ini dalam bab-bab kitab-kitab mereka dan mereka menyunnahkannya. (Ibid)

Perkataan Imam At Tirmidzi yang dimaksud adalah:

Sebagian ulama telah berpendapat dengan hadits ini. (Sunan At Tirmidzi No. 1514)

Setelah masa Imam At Tirmidzi banyak sekali ulama di berbagai madzhab yang mengamalkan hadits tersebut. Diantaranya, Imam Ibnul Qayyim dalam kitab At Tuhfah-nya, bahwa azan (dan juga iqamah) untuk bayi baru dilahirkan adalah sunah.

Dalam kitabnya itu beliau menulis:

Bab keempat: Sunahnya azan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri. (Lihat Tuhfatul Maudud fi Ahkamil Maulud, Hal. 21, Cet. 1. 1983M- 1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah) . lalu beliau menyebutkan beberapa hadits, termasuk hadits ini.

Wallahu a’lam

Ustadz Farid Nu’man Hasan

Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bagaimana Menghitung Zakat Tabungan dan Perhiasan Emas?

Assalamualaikum, wr, wb. Nama saya Yanti, karyawan swasta dan sudah menikah. Saya bersama kakak saya patungan membeli rumah untuk orang tua dan untuk sementara ini saya dan orang tua yang menempati rumah tersebut, saya juga punya tabungan serta perhiasan emas. Bagaimanakah cara penghitungan zakat mal yg harus saya keluarkan? Atas perhatian dan jawabannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr wb
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin wash-shalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya’ wal Mursalin. wa ba’du:
Rumah yang Anda tempati tidak terkena zakat. Rumah yang dizakati adalah rumah yang diperjualbelikan. Itupun dengan syarat tertentu. Yang mungkin terkena zakat dari harta Anda adalah tabungan dan perhiasan emas.
Tabungan atau simpanan termasuk yang harus dikeluarkan zakatnya jika jumlahnya telah mencapai nishab sebagaimana yang telah ditentukan dan mencapai haul (satu tahun).
Adapun aturan zakat tersebut menurut fuqoha diqiyaskan (analogikan) kepada zakat emas dan perak. Dalam hal ini jika seseorang memiliki uang tunai, tabungan, maupun deposito yang jumlahnya mencapai harga emas seberat 85 gram, dan telah berlalu satu tahun dari waktu kepemilikannya (berlalu satu haul) maka ia wajib untuk mengeluarkan zakatnya sebanyak 2,5% setiap tahunnya.
Hal yang sama berlaku pada emas atau perhiasan emas ketika jumlahnya mencapai 85 gram dan sudah dimiliki setahun dengan kadar 2,5%.
Apakah boleh uang simpanan digabung dengan emas?
Uang dan emas adalah dua jenis harta yang berbeda apalagi pada masa sekarang ini. Karena itu, keduanya tidak bisa disatukan dalam perhitungan zakat. Kondisinya dapat disamakan dengan sapi yang tidak bisa disatukan atau digabung dengan kambing dalam perhitungan zakatnya. Masing-masing dihitung sendiri-sendiri dan memiliki ketentuan yang berbeda. Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Membaca Alquran Pada Jam Kerja

Assalamu alaikum wr.wb. Ijin bertanya, apakah tadarus Alquran pada jam kerja (dilakukan di waktu kerja) dan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang pegawai diperbolehkan oleh islam ? Setahu saya bekerja mencari nafkah yang halal untuk anak dan istri merupakan suatu ibadah? Mohon pencerahannya… Wassalam,

Firdaus Wajdi Muhammad

Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Wa ba’du:
Benar bahwa bekerja mencari nafkah yang halal untuk keluarga juga bagian dari ibadah. Dan memenuhi akad atau perjanjian dengan tempat kita bekerja merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh dilanggar. “Wahai orang-orang beriman, penuhilah akad (perjanjian) yang telah kalian buat.” (QS al-Maidah: 1).
Karena itu, pada saat jam kerja tidak boleh melakukan aktivitas lain, termasuk membaca Alquran, jika hal itu akan mengganggu atau melalaikan dari tugas-tugas kantor yang wajib Anda lakukan.
Namun jika Anda sudah menunaikan tugas yang ada, lalu untuk mengisi waktu kosong, Anda mengisinya dengan membaca Alquran, hal tersebut tidak dilarang. Terkecuali basis akad dan perjanjiannya, tidak hanya terikat dengan beban tugas, tetapi juga jam kerja.
Misalnya ada pasal perjanjian di mana pegawai tidak boleh melakukan tugas lain selama di kantor selain pekerjaan kantor.
Dalam kondisi demikian, Anda harus mencari waktu lain di luar jam kantor untuk membaca Alquran. Prinsipnya, yang wajib harus didahulukan daripada yang sunnah.
Semoga Allah memberikan kemudahan untuk taat kepada-Nya. Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini