0878 8077 4762 [email protected]

Besok Saya Ceraikan Kamu

Assalamualaikum. Ustad. Saya sudah menikah. Tetapi saya melakukan kesalahan yang membuat suami saya marah. “besok saya ceraikan kamu!” katanya. Saya mencoba berbicara dengannya tapi selama beberapa hari hanya itu yg diucapkan. Kemudian dia berubah fikiran. Dia memulangkan saya ke rumah orang tua saya dalam batas waktu yg belum ditentukan dengan tujuan agar saya instropeksi diri dan orang tua ikut menasehati. Saya mau bertanya, apa sebenarnya secara agama saya sudah bercerai dengan suami saya? Kalau suami saya menjemput saya dalam waktu lebih dari 3 bulan, masih sahkah pernikahan kami? Mohon dijawab, terima kasih banyak.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama, bahwa janji untuk menceraikan atau mentalak di masa yang akan datang, tidak membuat jatuh talak. Talak baru jatuh kalau diucapkan dan diniatkan pada saat itu juga. Sehingga ucapan, “Saya akan ceraikan kamu besok” hanya terhitung sebagai janji bukan sebagai talak itu sendiri. Dalam hal ini sangat dianjurkan keesokan harinya ia tidak mewujudkan janjinya itu.
Kedua, memulangkan isteri ke rumah orang tua juga tidak termasuk talak selama tidak disertai dengan niat untuk talak. Apalagi jika jelas seperti yang Anda katakan bahwa maksud suami memulangkan Anda adalah agar Anda melakukan introspeksi dan agar orang tua Anda menasihati.
Karena itu, selama tidak ada ucapan cerai baik shorih maupun kinayah (kiasan) dari suami, maka talak tidak jatuh. Dan kapanpun suami menjemput Anda, hal itu adalah haknya karena Anda merupakan isterinya.
Namun kami sarankan hendaknya suami tidak meninggalkan isteri dalam waktu yang lama selama tidak ada kepentingan mendesak karena ia wajib memberikan nafkah lahir dan batin padanya sebagaimana isteri juga berkewajiban berkhidmah pada suami.
Ketiga, hendaknya Anda berdua berusaha untuk berkomunikasi dengan cara yang baik dan memecahkan persoalan keluarga dengan tenang. Tidak semua masalah berujung pada cerai atau yang mengarah kepadanya.
Cobalah untuk terus bersabar, memahami karakter pasangan, saling mengingatkan, serta saling berdoa agar Allah menumbuhkan keharmonisan dan kebahagiaan dalam keluarga.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb
 

Rujuk Setelah Khuluk

Assalamualaikum pak ustad, saya mau tanya tentang rujuk.nama saya anna saya tinggal di jakarta, sudah setahun setengah saya dan suami pisah rumah dan kami juga sudah bercerai, namun suami tidak pernah menceraikan saya, melainkan keluarga yang menginginkan perceraian kami. Dan sekarang kami, saya dan suami ingin kembali membina rumah tangga lagi. Mohon jawaban dari pak ustad apabila kami ingin rujuk apakah harus menikah ulang? Suami tidak pernah menceraikan saya, tetapi saya yang menggugat cerai suami dan kami sudah resmi bercerai. Terima kasih dan mohon penjelasannya pak ustad. Wassalamualaikum
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Dari keterangan yang Anda berikan di atas yang kami pahami bahwa suami tidak menceraikan; tetapi isteri yang menggugat cerai. Jika wali hakim (pengadilan agama) sudah memutuskan dan mensahkan gugatan cerai isteri berarti khulu’ telah sah. Lalu bagaimana cara untuk rujuk kembali?
Dalam hal ini, karena khulu posisinya sama dengan talak bain sughra maka untuk rujuk kembali harus dengan nikah ulang. Yaitu dengan ijab kabul disertai dengan kehadiran wali dan dua orang saksi.
Semoga Allah memberikan kepada Anda keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah dengan menjadikan pengalaman di masa lalu sebagai pelajaran berharga dan lebih mendekat kepada Allah Swt.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
 

Fatwa Al Azhar Mesir : Apa Hukum Mempersulit Mahar Pernikahan?

Apa hukum mempersulit mahar dalam pernikahan?
 
Jawaban:
Rasulullah saw bersabda “Wahai para pemuda! Barang siapa diantara kalian yang mempunyai kemampuan untuk menikah maka menikahlah. Namun, bagi yang belum mampu maka hendaknya berpuasa, karena puasa dapat meredam syahwatnya”.
Adapun yang dimaksud dengan kemampuan (Al-Baah) dalam hadist adalah kesanggupan dalam menafkahi keluarga, baik itu makan sehari-hari, pakaian dan lain-lain.
Oleh sebab itu, Islam tidak mensyaratkan kaya bagi yang ingin menikah akan tetapi, Islam memberikan syarat kesanggupan dan kemampuan membina rumah tangga agar menjadi keluarga yang bahagia. Islam juga mewajibkan mahar untuk kemashalatan wanita serta untuk menjaga kehormatannya, maka jangan sampai mahar tersebut menjadi penghalang untuk seseorang yang ingin menikah.
Rasulullah saw bersabda kepada seseorang yang ingin menikah  “Nikahlah walaupun dengan mahar cincin dari besi.
Dengan demikian, kalau cincin yang terbuat dari besi saja dapat dijadikan sebagai mahar maka mempersulit pemberian mahar bukanlah bagian dari sunnah karena mahar yang mahal akan menjadi penghalang baginya untuk menikah dan ia bertentangan dengan tujuan utama dari sebuah pernikahan, yaitu menjaga kesucian pemuda dan masyarakat.
Rasulullah saw bersabda “Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak mendatangkan keberkahan.”
Meskipun Islam tidak menetapkan batasan tertentu untuk mahar namun, sunnah Rasulullah saw mengajak kita untuk memudahkan sebuah pernikahan dengan berbagai cara yang baik. Hal ini dapat kita lihat dari cermin kehidupan para sahabat dimana diantara mereka ada yang menikah dengan mahar mengajarkan istrinya Al-Qur’an.
Sebagaimana pesan Rasulullah kepada seorang pemuda yang ingin menikah “Nikahilah wanita dengan hafalan yang engkau miliki
Mengajarkan Al-Quran adalah mahar, maka wajib hukumnya untuk tidak mempersulit mahar. Para orang tua hendaknya memberikan kemudahan mahar kepada anak perempuannya apabila ada orang shalih yang ingin melamarnya. Sehingga hal tersebut dapat menjaga mereka dari perbuatan yang dilarang oleh agama.
Rasul saw telah bersabda “Apabila datang kepada kalian orang yang baik agamanya dan amanah maka nikahkanlah mereka. Jika tidak engkau nikahkan maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar.
Ini adalah nasihat-nasihat dari Rasulullah saw, maka sudah semestinya hal itu menjadi moto bagi orang tua dalam menikahkan anak-anaknya, serta menjadikan nasihat tersebut sebagai pegangan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga ia dapat mengatasi masalah-masalah sosial terutama yang berhubungan dengan masalah mahar.
Wallahu a’lam.
 
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 973
Tanggal : 16/07/2002
Penerjemah : Muhammad Nasir Az Zainy
Editor Ahli : Fahmi Bahreisy, Lc

Bolehkah Menikah Tanpa Wali yang Sah?

Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh ustadz, saya ingin bertanya. Si A (wanita) menikah dengan si B (pria), mereka melakukan pernikahan secara siri, pada saat si A menikah dengan si B, si A meminta kepada orang lain (tidak ada hubungan darah) untuk menjadi Wali Nikahnya. Sedangkan orang tua si A terutama ayahnya masih dalam keadaan hidup. Menurut ustadz bagaimana hukum pernikahan si A dengan si B? Apakah pernikahannya sah? Terima kasih atas pencerahan ustadz. Wasallamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Jumhur ulama sepakat bahwa akad nikah itu harus dengan adanya wali yang sah dan dua saksi yang adil. Tanpa keduanya, maka nikah itu menjadi batal.
Dan harus diperhatikan bahwa akad nikah bukanlah akad antara laki-laki dan wanita, tetapi akad itu dilakukan antara wali wanita dengan calon suaminya. Mereka berdua ini yang melakukan ijab kabul dengan disaksikan dua orang saksi yang adil.
Dalam hal ini yang berhak menjadi wali tidak boleh orang lain, tetapi sudah ada urutannya yang baku dalam hukum Islam. Bila tiba-tiba ada pihak lain yang menjadi wali, maka perbuatan itu dosa besar karena membolehkan terjadinya perzinaan.
Apalagi bila orang-orang yang berhak menjadi wali masih ada dan memenuhi syarat. Maka mengambil alih perwalian sama saja dengan menghalalkan zina. Dan dalam Islam, orang-orang yang menjadi wali bagi wanita telah ada kententuannya sendiri.
Ketika urutan daftar para wali itu telah tidak ada semua (misalnya telah meninggal semua atau berlainan agama), maka Rasulullah SAW bersabda, ”Saya adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” Artinya hakimlah yang menjadi walinya.
Kondisi ini harus dengan syarat bahwa orang-orang yang berhak jadi wali memang telah tidak ada baik karena mati, hilang atau karena sebab lain yang tidak bisa diketahui.
Karena itu, kalau syarat sah pernikahan tidak terpenuhi, berarti harus dilakukan nikah ulang.
Wallahu a’lam. 
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Bagaimana Cara Aqiqah dan Nasab Anak Di Luar Nikah?

Assalamu’alaikum wr.wb. Ustad, saya mau bertanya, tentang akikah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki bapak, atau dalam kata lain lahir di luar nikah, maka saat meng akikahkan doanya menggunakan bin siapa? bin ibunya seperti nabi isa atau bin kakek dari ibunya boleh tidak?
Terima kasih, sekian pertanyaan saya semoga bermanfaat bagi semua.
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu was salamu ala Asyrafil Anbiya’ wal ursalin. Amma ba’du:
Anak yang lahir di luar nikah dianjurkan untuk diakikahi pula sebagaimana anak lainnya. Ibunyalah yang menanggung biaya akikah dan nafkahnya sesuai kemampuan. Bisa berasal dari hasil usahanya sendiri atau bantuan pihak lain.
Lalu bagaimana dengan nasabnya Nasab anak yang lahir di luar nikah adalah kepada sang ibu; bukan kepada orang yang menzinahi ibunya. juga bukan kepada kakek ibunya.
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah disebutkan: “Anak zina nasabnya adalah kepada ibunya. Posisinya seperti kaum muslim yang lain selama ibunya juga muslimah”.
Si anak tidak dihukum dan dicela karena perbuatan yang dilakukan oleh ibunya atau karena perbuatan pihak yang menzinahi ibunya. Pasalnya Allah befirman, “Tidaklah seseorang menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain.” (QS Fathir: 18).
Wallahu a’lam. Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini