by Danu Wijaya danuw | Jan 23, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh : KH Rahmat Abdullah
Makna at tajarrud bagi kami adalah
Agar anda membersihkan fikrah anda dari segala pengaruh dasar-dasar hidup dan sosok pribadi orang-orang selain fikrahmu, sebab ia paling tinggi dan paling komplit dari yang lainnya.
Firman Allah :
“Celupan Allah dan siapakah yang paling baik celupannya dari Allah?” (Q.S. Al Baqarah : 138)
(Hasan al Bana)
Siapapun yang telah berazam menjadikan jihad dan dakwah sebagai jalan hidupnya lalu berfikir dapat keluar dari kesibukannya untuk sejenak mengambil nafas, maka itu adalah benih penyesalan. Sikap menghindar dari pengorbanan terkadang mengalahkan totalitas (tajarrud) sebagai kemutlakan sikap dakwahnya. Kelezatan berkurban yang seharusnya jadi impian setiap dai seyogyanya dapat diraih langsung dari mujahadah (usaha keras), qanaah (rasa penerimaan) dan ridha menghadapi segala cobaan dijalan dakwah.
Kalau ada sesuatu yang sangat menyita perhatian dan menuntut pengorbanan, itulah cinta. Tak ada bukit yang cukup tinggi, tak ada lautan yang cukup dalam, tak ada luka yang cukup pedih bila cinta kekasih telah memenuhi seluruh relung hati.
Medan Dakwah yang Keras
Dakwah telah dikenal bertabiat “thuulu’t thariq, katsratu’aqabat, wa qillatur rijal” (jalanannya panjang, hambatannya banyak dan tokoh pendukungnya sedikit). Bila da’inya bermental ayam negeri yang tak tahan angin, maka kiamat dakwah sudah terdengar serunainya.
Sedikit diantara mereka yang berjalan di atas permadani, makan dari roti lembut dan tidur nyenyak diatas sutera, namun mampu mengubah dunia dengan perjuangan yang keras dan sungguh-sungguh. Pilihan hanya satu yaitu tauhid atau syirik maupun taat atau maksiat.
Ketika pembebasan terjadi, seorang aktifis dakwah hanya punya satu pilihan yaitu dakwah atau tidak sama sekali. Ketinggian adab mereka kepada Allah sampai membuat mereka merasakan malu kepada-Nya untuk berfikir, bertindak atau berkhayal di luar syariah. Mereka orang dengan langkah berderap di bumi sedang jiwa mereka melayang di langit.
Tajarrud dan Fanatisme Buta
Tak ada manfaat keyakinan dakwah yang penganutnya ragu-ragu memasyarakatkan dan membelanya. Kadang seorang kader menjadi gamang diserang tuduhan fanatik, sekretarian atau fundamentalis. Padahal penuduh itu sendiri tak mengerti ucapan yang mereka bunyikan. Dengan kejernihan mata hati (bashirah), ketajaman argumentasi dan pertanda-pertanda yang tak dapat diragukan seharunya mereka maju karena para pembela kebatilan membelanya dengan yakin, bangga dan penuh percaya diri.
Tajarrud dalam istilah dakwah adalah totalitas memberi ruang seluas-luasnya bagi para da’i untuk berkiprah. Ia harus menjadi orbit dan kutub memimpin lingkungan dalam gerak keabadian ibadah. Inilah yang dilakukan Khalifah pertama Abu Bakar Shiddiq ra. Dalam surat Ali Imran ayat 44 yang dibacakannya merupakan sesuatu untuk mengingatkan hakikat kehidupan. Betapa Muhammad SAW itu tetaplah seorang manusia yang ada batas hidupnya. Namun lebih dari itu, ayat tersebut bermakna risalah tak boleh berhenti. Aspek pemerintahan, peradilan, dan berbagai tugas yang diperankan Rasulullah SAW tetap harus jalan.
Sang Desertir
Ketika seorang santri, kyai atau da’i mulai menjalani dakwahnya dengan perasaan jenuh, syetan mulai menyusupkan lupa akan tabiat dakwahnya. Selanjutnya akan kehilangan rasa santun, kasih sayang, baik sangka dan empati. Lihatlah kisah Bal’am (dalam Q.S. Al Araf: 175-176) yang kisahnya ia tak beroleh manfaat apapun dari ilmunya yang banyak.
Maka mulialah ahli Madinah, dimana kaum anshar mencintai saudara mereka sendiri kaum Muhajirin sebagai bukti dakwah yang hakiki. Belum lagi sang Rasul berhijrah ke negeri mereka, setiap rumah Madinah sudah rata memiliki banyak penghuni muslim. “Fi kulli duri’i anshar khair” setiap rumah Anshar selalu ada kebajikan, demikian pesan Rasul.
Salman al Farisi tak kehilangan tajarrudnya dengan mengusulkan taktik pertahanan Khandaq. Benteng galian yang biasa dibuat bangsanya di tanah Persia.
Ummu Salamah juga tetap dalam keutuhan tajarrud-nya, ketika menceritakan patung-patung yang dilihatnya di negeri Habasyah dengan cita rasa seninya yang tinggi. Begitupun Rasulullah SAW tak meragukan keimanan Umar bin Khattab yang membawa selembar Taurat dari teman yahudinya.
Sehingga pendidikan tajarrud yang kita dapatkan dari berbagai peristiwa sejarah telah mengantarkan kita betapa aspek ini tak dapat disikapi ringan apalagi main-main.
Referensi :
Untukmu Kader Dakwah, Penerbit Pustaka Da’watuna, KH Rahmat Abdullah
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 23, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman
Oleh: Fauzi Bahreisy
Aksi-aksi terorisme yang belakangan ini kembali terjadi sungguh menyesakkan dada. Karena pelakunya orang Islam, maka ini menjadi peluang dan kesempatan beberapa pihak untuk mengarahkan tuduhan atau stigma negatif kepada Islam dan umat Islam. Padahal Islam justru sangat membenci dan menolak tindakan teror.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Nu’man ibn Basyir ra disebutkan, “Kami bersama Rasulullah SAW dalam sebuah perjalanan. Lalu ada seorang yang mengantuk di atas untanya. Melihat itu ada yang mengambil anak panah dari sarungnya dengan maksud mempermainkan orang yang mengantuk tadi. Maka, orang tersebut kaget dan bangun dari tidurnya. Seketika Rasul SAW bersabda, “Tidak boleh seorang muslim menakut-nakuti muslim lainnya.” (HR Ahmad dan Abu Daud).
Dari hadits di atas jelas bahwa canda yang membuat orang lain kaget dan takut saja sangat dilarang oleh Rasul SAW. Apalagi, tindakan teror yang dengan sengaja bertujuan menebarkan ketakutan dan kecemasan kepada masyarakat.
Dalam hadits lain, Rasul SAW menegaskan, “Seorang mukmin adalah yang orang lain merasa aman atas darah dan harta mereka.” (HR at-Tirmidzi). “Seorang muslim adalah yang orang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya.” (HR Bukhari Muslim).
Dari hadits di atas dapat dipahami, sejatinya seorang mukmin mendatangkan rasa aman dan seorang muslim menghadirkan keselamatan dan kedamaian bagi orang-orang sekitar.
Islam memang agama rahmat dan damai. Setiap bertemu, muslim yang satu dengan muslim yang lain, saling memberi salam mendoakan keselamatan. Surga disebut sebagai negeri keselamatan dan kedamaian. Salah satu nama Allah juga as-Salam.
Dalam Al Qur’an disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia dengan banyak suku dan bangsa agar mereka saling mengenal; bukan bermusuhan (Lihat QS al-Baqarah: 13). Allah pun menyuruh berbuat baik dan berbuat adil kepada siapapun, meski berbeda agama, selama ia hidup berdampingan secara damai (Lihat QS al-Mumtahanah: 8-9).
Bahkan kepada binatang sekalipun seorang muslim harus berbuat baik dan tidak boleh berbuat aniaya. Diriwayatkan bahwa ada yang masuk surga karena kebaikannya memberi minum seekor anjing yang kehausan.
Ada pula yang masuk neraka karena seekor kucing, ia mengikatnya kemudian tidak memberinya makan dan tidak juga melepaskannya mencari makanan dari serangga bumi. (HR Bukhari Muslim)
Kalau kepada binatang saja kita diperintah untuk berbuat baik, apalagi kepada sesama manusia. Dalam agama, termasuk dosa besar menumpahkan darah tanpa alasan yang dibenarkan. Perang hanya boleh dilakukan dalam kondisi umat Islam diperangi atau membantu kaum lemah yang teraniaya (QS an-Nisa: 75). Itupun dengan catatan tidak boleh membunuh mereka yang tidak ikut perang, tidak boleh merusak pohon, serta siap menerima tawaran damai.
Kalau dalam perang saja, Islam memberikan rambu-rambu dan etika apalagi dalam kondisi damai. Oleh sebab itu Islam tersebar dan dipeluk banyak manusia lebih karena akhlak dan dakwah yang dilakukan secara damai. Termasuk tersebarnya Islam di Indonesia.
Rasul SAW pernah bangkit berdiri ketika ada jenazah Yahudi yang lewat. Ketika ditanya beliau bersabda, “Bukankah dia juga manusia?!” (HR Bukhari Muslim). Beliau juga pernah menjenguk pelayannya yang Yahudi ketika sakit. Lalu karena melihat kebaikan dan perhatian Rasul SAW, ayahnya yang juga Yahudi mengizinkan si anak masuk Islam. Beliau bersabda, “Sayangi yang di bumi, niscaya yang di langit menyayangi kalian.” (HR al-Bukhari).
Kalau kemudian saat ini ada tindakan teror yang dilakukan secara serampangan oleh orang yang mengaku muslim, hal itu bisa karena dangkalnya pemahaman agama, karena penyakit nifak, atau karena rekayasa musuh yang ingin menghancurkan nama baik Islam.
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman
Edisi 357 – 22 Januari 2016. Tahun ke-8.
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah.
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Jan 22, 2016 | Artikel, Buletin Al Iman, Dakwah
Oleh: Syeikh Said Ramadhan Al-Buthy rahimahullah
Di dalam buku sejarah dan sirah nabawiyyah telah ditegaskan bahwa Rasulullah SAW mengalami berbagai macam kesulitan dalam menjalankan tugas dakwah di jalan Allah SWT. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa kaum musyrikin pernah mengambil kotoran unta lalu dilemparkan ke kepala beliau saat berada dalam kondisi sujud. Beliau juga pernah diusir dari Thaif disertai dengan lemparan batu yang dilakukan oleh para pemuda kota Thaif. Beliau disakiti baik dengan sikap maupun ucapan. Suatu saat beliau juga pernah pergi ke pasar, lalu berjumpa dengan salah seorang kaum musyrikin yang sedang membawa segenggam tanah, lalu dilemparkan tanah tersebut ke kepala beliau. Beliau kembali pulang ke rumahnya, lalu Fatimah membersihkan sisa tanah dari kepala beliau sambil menangis. Di dalam hadits yang lainnya juga disebutkan bahwa ia pernah mengikatkan batu di perutnya karena rasa lapar yang dialaminya selama tiga hari.
Apa hikmah dibalik semua ini? Apakah ini sesuai dengan kedudukan beliau yang merupakan hamba yang paling dicintai oleh Allah? Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah, “Allah SWT pasti akan memberikan karunia-Nya kepadamu hingga engkau merasa ridha.” serta firman Allah yang lainnya, “Allah akan melindungimu dari gangguan manusia”? Bukankah rasa cinta “mengharuskan-Nya” untuk menjaga beliau dari berbagai gangguan dan kesulitan serta memberikan berbagai kemudahan untuk mencapai kebahagiaan? Lantas mengapa Allah mengujinya, padahal ia sedang berdakwah untuk membela agama dan syari’at-Nya?
Jawabannya ialah bahwa berbagai macam gangguan dan cobaan yang dialami olehnya adalah salah satu bentuk amal yang paling mulia yang ingin ia ajarkan kepada ummatnya. Kedudukannya sama dengan ibadah, muamalah, dan akhlak yang beliau ajarkan kepada mereka. Beliau mengajarkan shalat didepan para sahabatnya, lalu berkata, “Shalatlah kalian sebagaimana aku shalat.” Beliau juga melaksanakan haji bersama mereka, lalu berkata, “Lakukanlah manasik haji sebagaimana yang aku lakukan.” Sebagaimana beliau mengajarkan kedua hal tadi kepada para sahabatnya, ia juga mengajarkan mereka untuk bersabar dalam setiap kesulitan yang dihadapi. Siap menerima tantangan dan rintangan dakwah di jalan Allah sebagai bentuk ketundukan dan penghambaannya kepada-Nya. Beliau tahu bahwa apa yang ia rasakan, akan dirasakan pula oleh ummatnya di setiap tempat dan waktu, sehingga harus ada keteladanan yang siap dicontoh oleh ummatnya.
Apa yang beliau hadapi adalah sebuah pelajaran bahwa berdakwah di jalan Allah adalah inti dari sikap menghamba kepada-Nya. Penghambaan kepada-Nya tidaklah sempurna tanpa adanya sebuah taklif. Sebuah taklif tidak akan terlaksana tanpa dilalui dengan kesulitan dan pengorbanan. Seseorang tidaklah dikatakan sebagai muslim yang hakiki jika ia tidak siap menjalani dua tujuan berikut ini:
Pertama, membangun masyarakat muslim sebagaimana yang telah Allah perintahkan. Kedua, merealisasikan tujuan tersebut melalui jalan yang penuh dengan duri, kesulitan, kepedihan, dan berbagai macam tantangan yang menyakitkan. Dengan kata lain, Allah SWT tidak hanya mewajibkan kepada hamba-Nya untuk siap mewujudkan sebuah tujuan, namun, disamping itu ia juga mewajibkan mereka untuk siap berjalan diatas duri dan rintangan untuk sampai kepada tujuan tadi.
Allah SWT bisa saja menjadikan jalan menuju tegaknya masyarakat yang islami begitu mudah untuk dilalui, akan tetapi cara tersebut tidak akan menampakkan ketundukan dan penghambaan seseorang kepada-Nya. Jalan tersebut tidak bisa menjadi bukti bahwa ia telah mengorbankan dirinya dan hartanya demi agama Islam dan ia telah menundukkan hawa nafsunya pada ketetapan-Nya. Jika demikian caranya, tidak ada bedanya antara orang mukmin dengan orang munafik, antara orang yang jujur dengan keimanannya dengan orang yang memiliki keimanan palsu. Dan inilah yang disebutkan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya, “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, “Kami telah beriman,” dan mereka tidak diuji? Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. al-Ankabuut: 1-3).
Oleh karenanya, kesulitan dan rintangan ini bukan sekedar sebuah ujian saja, akan tetapi ia adalah jalan menuju tujuan akhir yang telah Allah perintahkan agar kita sampai kepadanya. Seandainya kaum muslimin merenungkan hal ini, maka tidak akan ada lagi rasa pesimis dan sedih atas apa yang mereka hadapi. Bahkan, sebaliknya pasti akan tumbuh rasa optimisme yang tinggi bahwa inilah jalan menuju kemenangan. Sebab, semakin tinggi tantangan dan ujian yang harus dilalui, maka akan semakin besar pula peluang datangnya kemenangan dan pertolongan Allah.
*Diterjemahkan oleh: Fahmi Bahreisy, Lc
Sumber:
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 322 – 6 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.
Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 20, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Ibadah
Assalamualaikum Wr. Wb. Saya mau bertanya mengenai shalat isyraq. Saya pernah dengar bahwa salah satu syaratnya adalah shalat berjamaah dan dzikir. Apakah boleh disela-sela berdzikir kita melakukan percakapan. Misalnya kita akan mengingatkan pengurus masjid bahwa saya yang akan mengunci pintu karena saya yang pulang paling akhir ? Sehingga pengurus masjid tidak perlu menunggu saya. Mohon penjelasannya. Terima kasih.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Apa yang dsebut dengan shalat isyraq didasarkan pada hadits Nabi saw yang berbunyi, “Siapa yang shalat fajar (subuh) berjamaah lalu duduk sambil berzikir mengingat Allah sampai matahari terbit, kemudian shalat dua rakaat, maka ia mendapatkan seperti pahala berhaji dan umrah secara sempurna dan sempurna.” (HR at-Tirmidzi).
Berdasarkan hadits di atas maka syarat mendapatkan pahala haji dan umrah seperti yang ditegaskan oleh Nabi saw adalah sebagai berikut:
- Shalat subuh secara berjamaah (di masjid atau mushalla)
- Duduk berzikir sampai matahari terbit.
- Setelah matahari terbit dan agak tinggi (sepenggalah) melakukan shalat dua rakaat.
Siapa yang meninggalkan salah satunya tidak mendapatkan pahala di atas. Lalu bagaimana dengan orang yang berbicara atau bercakap-cakap di sela zikirnya?
Yang paling baik memang mengamalkan teks hadits tersebut secara lahir. Yakni berzikir dan tidak berbicara sampai matahari terbit. Namun demikian, jika dalam kondisi tertentu, terpaksa berbicara atau bercakap-cakap, sementara sebagian besar waktunya masih dalam kondisi zikir, hal itu diperbolehkan.
Dalam kitab Mirqatul Mafatih, Ali al-Qari bahkan membolehkan aktvitas bertawaf, menuntut ilmu, dan duduk di majelis ilmu, selama masih shalat subuh berjamaah, berzikir mengingat Allah, dan tetap berada di masjid tempat shalat subuh berjamaah tadi. Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Jan 20, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Ibadah
Assalamualaikum pak ustad, mau tanya apa hukumnya saat sholat menghadap kasur tempat tidur? Terima kasih.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr.wb. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Wash-shalatu wassalamu ala Asyrafil Anbiya wal Mursalin. wa’ ba’du:
Tidak ada larangan menunaikan shalat, sementara di depannya ada kasur atau tempat tidur. Rasulullah SAW juga pernah melakukan shalat sementara di depan beliau terdapat isteri beliau, Aisyah ra sedang terbaring di atas tempat tidur.
Hanya saja, dalam kondisi ketika kita akan atau sedang shalat di depan kita ada orang yang sedang tidur, hendaknya ada jarak atau pembatas. Selanjutnya yang dilarang adalah shalat menghadap kubur secara langsung.
Rasul SAW bersabda,
لا تجلسوا على القبور ولا تصلوا إليها
“Jangan kalian duduk di atas kubur dan shalat menghadap kepadanya.” (HR Muslim)
Juga hendaknya dihindari shalat menghadap gambar atau patung.
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini