0878 8077 4762 [email protected]

Bagaimana Cara Mendapatkan Jodoh?

Assalamualaikum wr.wb
saya mau tanya, saat ini umur saya sudah menginjak umur 30 tahun dan saya seorang wanita, tapi sampai sekarang saya masih belum dapat jodoh. Insyaallah saya sudah melaksanakan segala syariat seperti solat sunah seperti duha dan tahajud, infaq dan sodaqoh juga puasa sunah, walaupun kalau sedang sibuk sering terlewat tapi selalu saya usahakan.
Kiranya apa yang bisa menghambat jodoh seseorang? apakah dosa2 saya yang mungkin secara sengaja atau tidak sengaja termasuk salah satu yang menghambat jodoh saya? apakah yang harus saya lakukan?
terima kasih. wassalamualaikum, wr wb.
 
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbih ajmain. Amma ba’du:
Kami memahami kegelisahan dan kerisauan Anda saat ini. Adalah fitrah jika seorang manusia ketika menginjak usia dewasa ingin mendapatkan pasangan hidup. Bahkan menikah juga merupakan sesuatu yang disyariatkan oleh agama.
Karena itu apa yang Anda lakukan merupakan langkah yang tepat. Anda sudah melakukan sejumlah amal ibadah, sejumlah ketaatan, dan kebaikan. Semoga amal-amal tersebut diterima oleh Allah Swt. Yang perlu dan harus terus Anda lakukan adalah istikamah di dalamnya. Jangan pernah putus asa. Bahkan upayakan agar amal-amal terus semakin berkualitas dan semakin baik. Sebab, ini adalah cara untuk mendapatkan kehidupan yang baik dunia dan akhirat (lihat QS an-Nahl: 97).
Selain memperbanyak ibadah, Anda juga harus menjaga akhlak, adab-adab bergaul dan interaksi, serta penampilan agar benar-benar sesuai dengan ajaran Islam. Tidak ada salahnya Anda meminta kepada pihak-pihak yang bisa dipercaya untuk mencarikan jodoh dan pasangan yang sesuai untuk Anda. Tentu saja bukan dengan kriteria yang sangat ideal dan sempurna, nyaris tanpa cacat. Karena yang semacam itu mustahil. Tidak ada manusia yang tanpa cacat. Namun yang Anda butuhkan adalah calon atau jodoh yang sesuai, layak, shaleh, dan taat.
Kemudian Anda harus menjauhi perbuatan dosa dan maksiat, terutama pergaulan saat ini yang menjurus pada pergaulan bebas, pacaran, dan khalwat muda-mudi yang tak kenal batas dan rambu-rambu agama. Karena semua itu hanya mendatangkan petaka; bukan bahagia. (lihat QS Thaha: 124).
Lalu, jangan lupa dan jangan pernah berhenti untuk berdoa dan meminta yang terbaik kepada Allah Swt. Sebab sebagaimana sabda Nabi saw, doa merupakan senjata orang beriman. Berdoalah kepada Allah dengan penuh ketulusan, keyakinan, dan kesungguhan. Pasti Allah mengijabah dan mengabulkan doa Anda.
Terakhir, jika engkau sudah melakukan itu semua tetapi apa yang Anda harapkan belum juga tiba, yakinlah bahwa Allah sebenarnya sudah mendengar dan mengabulkan pinta Anda. Namun bisa jadi Dia menunda pada waktu yang tepat, atau Dia memberi dan mengabulkan dalam bentuk yang lain. Atau bisa pula Dia tidak memberi di dunia untuk kebaikan Anda dengan menyiapkan gantinya yang terbaik untuk Anda di dalam sorga. Yang harus dilakukan sekarang adalah berusaha dan berdoa. Semoga Allah ridho kepada Anda dan kita semua (QS al-Baqarah: 216).
Wallahu a’lam
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Prinsip Islam Moderat : Iman Kepada Seluruh Rasul

Oleh: Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad li Ulama al Muslimin)
 
Kita meyakini bahwa berdasarkan hikmah-Nya yang mendalam dan rahmat Nya yang luas, Allah SWT tidak membiarkan manusia begitu saja, dan tidak meninggalkan mereka dengan sia-sia. Akan tetapi, Dia mengutus kepada mereka sejumlah Rasul yang memberikan kabar gembira dan peringatan.
Tidak ada satu umatpun melainkan pada mereka ada orang yang memberikan peringatan” (Q.S. Fathir : 48)
Al Qur’an menetapkan bahwa Allah tidak menghisab dan menghukum manusia kecuali setelah menegakkan hujjah dengan mengirimkan seorang Rasul-Nya yang menyampaikan dakwah dan kewajiban kepada Tuhan.
Kami tidak memberikan siksa sebelum mengutus seorang rasul” (Q.S. Al Isra : 15)
Karena itu sejumlah ulama menegaskan bahwa hujjah dan siksa baru diberikan kepada kaum kafir setelah dakwah Islam sampai kepada mereka. Adapun apabila dakwah tersebut sampai dalam bentuk cacat dan buram maka hujjah tidak bisa ditegakkan atas orang yang lalai dan berseberangan.
Yang pasti seluruh manusia senantiasa membutuhkan risalah para Nabi yang telah Allah muliakan diantara seluruh makhluk-Nya. Mereka adalah orang-orang yang paling suci karakternya, paling mulia akhlaknya, serta paling cerdas dan bijak.
Allah lebih mengetahui dimana Dia meletakkan risalah-Nya” (Q.S. Al An’am : 124).
Akal semata tidak cukup untuk menampilkan seluruh hakikat kebenaran. Terutama yang terkait dengan sesuatu yang Allah sukai dan ridhai dari hamba-Nya. Karena itu, akal membutuhkan pembantu yang bisa meluruskannya ketika keliru dan mengingatkannya ketika menyimpang. Pembantu tersebut adalah wahyu baginya ibarat cahaya diatas cahaya.
Tugas para Rasul adalah mengantar manusia menuju jalan Allah yang lurus yang menampung seluruh makhluk yang Allah cintai. Mereka juga bertugas menerangkan kepada manusia yang adil terkait dengan berbagai persoalan besar yang akan manusia kerapkali berbeda pandangannya didalamnya. Allah berfirman
Kami telah mengutus para Rasul Kami dengan membawa petunjuk. Kami turunkan bersama mereka kitab suci dan timbangan agar manusia tegak di atas keadilan” (Q.S. al Hadid : 25).
Sejarah dan pengalaman umat manusia menegaskan bahwa manusia membutuhkan referensi hukum yang lebih tinggi yang mengantarkan mereka menuju kebaikan dan kemashlahatan, tanpa membiarkan mereka kepada akal semata. Seringkali mereka mengetahui mana yang baik dan yang buruk. Namun kemudian nafsu, syahwat, kepentingan pribadi dan bersifat sementara mengalahkan mereka sehingga akhirnya mereka menetapkan undang-undang dan aturan yang berbahaya.
Hal ini seperti yang kita saksikan di Amerika ketika sejumlah negara bagian berusaha mengharamkan minuman keras karena bahaya sudah diketahui bersama. Namun, mereka dikalahkan oleh hawa nafsu sehingga mengeluarkan undang-undang yang membolehkannya untuk diproduksi, disebarkan, diminum, dan diperdagangkan.
Sesuai dengan hikmah-Nya, Allah menghendaki setiap Rasul diutus kepada kaumnya dan risalahnya bersifat sementara untuk jangka waktu tertentu sampai diutus Nabi yang lain. Sejalan dengan itu, Allah menghapus hukum-hukum yang ada berdasarkan kehendak-Nya sesuai dengan waktu dan tempatnya. Allah berfirman
Untuk tiap-tiap umat diantara kalian, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” (Q.S. Al Maidah : 53).
Bisa saja Nabi tersebut mengamalkan syariat sebelumnya sebagaimana yang terjadi pada sebagian besar Nabi Bani Israil.
Ini berlaku sampai Allah SWT mengutus Rasul penutup, Nabi Muhammad, dengan membawa risalah yang bersifat umum, kekal, dan komprehensif. Ia mencakup semua tempat, kekal sepanjang zaman, dan komprehensif meliputi seluruh persoalan hidup manusia. Sebagaimana firman Allah
Kami tidak mengutusmu, kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” (Q.S. Al Anbiya).
Muhammad itu bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kalian. Tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi” (Q.S. Al Ahzab : 40).
Kami turunkan kepadmu Al Kitab (Al Qur’an) sebagai penjelasan atas segala sesuatu serta sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yangberserah diri” (Q.S. An Nahl : 89).
Allah SWT mengetahui bahwa umat manusia telah mencapai masa kematangannya dan Rasul terakhir layak dikirim kepada mereka dengan membawa kitab dan syariat yang terakhir. Syariat tersebut memuat berbagai prinsip dasar yang membuatnya layak berlaku untuk setiap waktu dan tempat.
Dia tanamkan pada syariat tersebut berbagai faktor yang membuatnya abadi, luas, dan lentur sehingga selalu sesuai dengan perkembangan yang ada. Didalamnya Dia juga memberikan formula bagi setiap penyakit dari apotek Islam itu sendiri. Disamping itu, khazanahnya demikian kaya sehingga mampu menjawab semua persoalan serta mampu keluar dari setiap dilema dengan cara yang mudah dan sederhana.
Ciri dari aqidah Islam adalah ia memandang keimanan terhadap seluruh kitab suci yang Allah turunkan dan semua Rasul yang Dia utus sebagai salah satu pilarnya. Dengannya keimanan baru menjadi benar.
Katakanlah (wahai orang-orang mukmin), “Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, berikut apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, juga aoa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya” (Q.S. Al Baqarah: 136).
Islam adalah akidah yang membangun, bukan menghancurkan. Ia menyempurnakan, meluruskan dan membenarkan ajaran sebelumnya.
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)

Bagaimana Cara Aqiqah dan Nasab Anak Di Luar Nikah?

Assalamu’alaikum wr.wb. Ustad, saya mau bertanya, tentang akikah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki bapak, atau dalam kata lain lahir di luar nikah, maka saat meng akikahkan doanya menggunakan bin siapa? bin ibunya seperti nabi isa atau bin kakek dari ibunya boleh tidak?
Terima kasih, sekian pertanyaan saya semoga bermanfaat bagi semua.
 
Jawaban:
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu was salamu ala Asyrafil Anbiya’ wal ursalin. Amma ba’du:
Anak yang lahir di luar nikah dianjurkan untuk diakikahi pula sebagaimana anak lainnya. Ibunyalah yang menanggung biaya akikah dan nafkahnya sesuai kemampuan. Bisa berasal dari hasil usahanya sendiri atau bantuan pihak lain.
Lalu bagaimana dengan nasabnya Nasab anak yang lahir di luar nikah adalah kepada sang ibu; bukan kepada orang yang menzinahi ibunya. juga bukan kepada kakek ibunya.
Dalam Fatawa al-Lajnah ad-Da’imah disebutkan: “Anak zina nasabnya adalah kepada ibunya. Posisinya seperti kaum muslim yang lain selama ibunya juga muslimah”.
Si anak tidak dihukum dan dicela karena perbuatan yang dilakukan oleh ibunya atau karena perbuatan pihak yang menzinahi ibunya. Pasalnya Allah befirman, “Tidaklah seseorang menanggung dosa yang dilakukan oleh orang lain.” (QS Fathir: 18).
Wallahu a’lam. Wassalamu alaikum wr. wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini

Menata Cinta

Oleh : Fauzi Bahreisy
 
Hanya satu kata. Namun, ia memliki dampak dan pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan. Siapa yang bisa menatanya dengan baik ia akan selamat dan bahagia. Namun, siapa yang tidak mampu menata dengan baik, ia akan celaka dan menderita. Satu kata tersebut adalah cinta. Cinta memang bisa menjadi jalan ke surga. Akan tetapi, juga bisa menjadi jalan menuju neraka, naudzubillah.
Cinta ada dua. Cinta yang halal dan cinta yang haram, cinta yang suci dan cinta yang terpolusi, cinta yang diridhai oleh-Nya dan cinta yang dibenci, cinta yang mendatangkan bahagia dan cinta yang mendatangkan petaka. Hal itu tergantung pada bagaimana kita menatanya.
Cinta yang halal dan diridhai adalah cinta seorang mukmin sejati. Pasalnya, ia menata cintanya sesuai dengan petunjuk Al Qur’an dan Sunnah. Ia meletakkan cintanya yang paling besar kepada Allah Swt. Demikian bunyi firman Allah yang tidak pernah keliru dan salah, “Orang-orang mukmin sangat besar cinta mereka kepada Allah Swt.” (QS. Al Baqarah : 165).
Jadi, cinta terbesar seorang mukmin adalah kepada Allah Swt. Mengapa? Manusia mencintai sesuatu karena tiga hal. Bentuknya yang indah, sikapnya yang indah, dan anugerahnya yang indah. Allah memiliki semuanya.
(1) Allah Maha Indah senang kepada yang indah (Allah jamil yuhibbul jamal). Seluruh keindahan yang terdapat di dunia bersumber dari keindahan-Nya. Dialah sumber keindahan. Karena itu nanti di hari akhir ketika manusia ahli surga melihat wajah-Nya, mereka terkesima, takjub.
(2) Allah Maha Baik dan Maha Penyayang. Dia mencipta dengan rahmat, memberi dengan rahmat, memelihara dengan rahmat,  mengampuni dan memaafkan kesalahan hamba, yang menutupi kesalahan hamba, serta Dia pula yang mau mendengar keluh kesah hamba.
(3) Allah Maha Memberi Karunia. Dia yang memberi semua kebutuhan kita. Dia yang menanamkan perasaan cinta. Dia pula yang menghadirkan orang-orang yang kita cinta.
Bayangkan hidup tanpa cinta dan kasih sayang. Hidup ini terasa hambar. Bahkan niscaya tidak akan ada kehidupan. Namun mengapa kita sibuk mencinta tapi tidak pernah berterima kasih, bersyukur, dan mencinta Zat yang telah menganugerahkannya?!
Setelah Allah, seorang mukmin mencintai Rasul-Nya. Hal ini karena beliau hadir dan mempersembahkan hidupnya untuk kebahagiaan kita. Beliau sangat sayang, perhatian, dan memikirkan umatnya. Beliau rela berkorban, tersiksa, dan menderita demi untuk menyampaikan petunjuk yang bisa menyelamatkan kita. Laqad ja’akum rasulum min anfusikum
Beliau yang selalu bermunajat ummati…ummati…beliau pula yang akan memintakan syafaat untuk kita di akhirat.
Lalu seorang mukmin juga mencintai orang tuanya, ayah ibunya. Karena cinta dan ridha orang tua menjadi jalan bahagia. Orang mukmin juga cinta kepada isteri dan anaknya, kepada karib kerabatnya, kepada sesama mukmin dan juga seluruh manusia.
Lihat bagaimana Rasul saw menunjukkan cinta kepada Khadijah ra isterinya. Bahkan setelah Khadijah  wafat beliau tetap mengingat dan mengenangnya. Beliau memintakan ampunan untuknya, memujinya, kadang beliau menyembelih kambing dan memberikan dagingnya kepada teman-teman Khadijah ra.
Beliau juga mencintai Aisyah ra sepeninggal Khadijah. Beliau bercumbu, bersenda gurau, dan memberikan sentuhan kasih sayang kepadanya. Sampai kemudian beliau meninggal di pangkuannya.
Beliau juga mencintai anaknya. Ketika anaknya meninggal beliau tak kuasa menahan tangis sebagai bentuk kasih sayang kepadanya. Kepada Fatimah ra beliau menunjukkan cinta yang sangat besar.
Beliau juga mencintai cucunya. Hasan dan Husein sering beliau gendong dan beliau cium.
Beliau juga cinta kepada para sahabat dan seluruh kaum mukmin, bahkan seluruh makhluknya. Karena beliau memang diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin.
Begitulah cinta seorang mukmin. Cinta yang tulus dan bersih. Cinta yang mendatangkan ketenangan dan kedamaian. Cinta yang sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Cinta tersebut disalurkan sebagaimana yang diinginkan oleh Allah Swt. Sehingga akan mendatangkan ganjaran di surga-Nya.
Namun sebaliknya cinta yang haram adalah cinta yang dibungkus oleh nafsu. Selalu mengajak kepada keburukan dan kepada yang haram. Ia membabi buta dan cenderung seperti binatang. Cinta yang semacam ini dikendalikan oleh setan. Atas nama cinta tidak ada rasa malu. Atas nama cinta kehormatan diabaikan. Atas nama cinta berbagai perbuatan nista dilakukan. Akhirnya alih-alih mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan, ia justru mendapatkan petaka dan kemalangan. Tidak ada kepuasaan. Yang ada hanya kegalauan, kegundahan, kegelisahan, dan penderitaan.
Karena itu, sudah selayaknya kita menata cinta dengan benar sesuai tuntunan Allah agar bahagia untuk selamanya. Di dunia dan di akhirat. Amin.
Sumber :
Artikel Utama Buletin Al Iman.
Edisi 323 – 13 Februari 2015. Tahun ke-8
*****
Buletin Al Iman terbit tiap Jumat. Tersebar di masjid, perkantoran, majelis ta’lim dan kantor pemerintahan.
Menerima pesanan dalam dan luar Jakarta.

Hubungi 0897.904.6692
Email: [email protected]
Dakwah semakin mudah.
Dengan hanya membantu penerbitan Buletin Al Iman, Anda sudah mengajak ribuan orang ke jalan Allah
Salurkan donasi Anda untuk Buletin Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman

Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!

Menjaga Aqidah dan Pemikiran dengan Ushul Fiqih

Oleh: Sugeng Aminudin M.P.I
 
Salah satu sebab perkembangan ushul fiqih terkesan mandeg adalah bahwa wilayah disiplin ilmu ini seakan terbatas pada wilayah hukum saja. Padahal wilayahnya sangat luas dan mencakup semua aspek kehidupan. Jika kita kembalikan makna fiqih secara bahasa yang berarti paham [1] maka seharusnya ushul fiqih bermakna ilmu yang membahas methode, dasar-dasar pendekatan untuk memahami segala sesuatu.
Selaras dengan semangat Syeikh Al-Qardhawi dalam merekonstruksi makna fiqih. Menurut beliau bahwa fiqih adalah sebuah pemahaman yang komprehensif dan utuh terhadap Islam [2]. Anggapan bahwa wilayah cakupan ushul fiqih terbatas pada wilayah hukum saja, dan seolah-olah disiplin ilmu lain tidak butuh ushul fiqih.
Menurut Minhaji [3], hal ini terjadi karena beberapa hal; pertama, karena Imam Syafi’i sebagai pendiri ilmu ini dikenal sebagai ahli hukum. Kedua, hukum Islam dipandang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam. Ketiga, pada masa pra modern, hukum Islam terutama terkait permasalahan madzahib ditengarai sebagai penyebab kemunduran umat Islam, karena itu para pengkaji Islam merasa apriori dan memandang sebelah mata bahkan phobi pada semua hal terkait dengan hukum Islam, terutama  ushul fiqih.
Dengan demikian secara otomatis metode dan pendekatan dalam wilayah kajian ushul fiqih harus diperluas. Hal ini merupakan tantangan para ahli dan akademisi untuk membuat semacam metode komsprehensif, utuh, holistik dan kemudian dari metode ini melahirkan kurikulum yang aplikatif, dinamis, komprehensif, utuh/kulli dan fungsional.
Urgensi Standarisasi Kurikulum Ushul Fiqih dalam Menjaga Aqidah dan Pemikiran
Pada tataran teoritis dan konseptual, kita dapatkan sangat sedikitnya seorang akademisi yang secara serius mendalami ilmu ushul fiqih sebagai basic landasan berpikir bagi disiplin cabang ilmu yang dia tekuni. Kebanyakan adalah para pakar pendidikan, pakar ekonomi, pakar hadist dan lain-lain yang fasih berbicara tentang ilmu yang dia tekuni tetapi awam dalam ushul fiqih. Sebaliknya juga banyak pakar yang mahir ushul fiqih tetapi tidak paham tentang cara penerapan ilmu ushul fiqih dalam masalah kontemporer.
Sebagai contoh kasus adalah terkait konsep qath’i dan zhanni. Qath’i dan zhanni adalah pembahasan ushul fiqih menyangkut persoalan al-tsubut (ketetapan) atau al-wurud (datangnya sumber), dan al-dalalah (penunjukan kandungan makna). Maka jika di katakan sebuah nash qath’iyatu al-tsubut artinya bahwa nash tersebut qath’i (pasti) datangnya dari sumber yang sama sekali tidak diragukan, karena pasti kebenarannya. Jika dikatakan sebuah nash qath’iyatu al-dalalah maka teksnya menunjukkan pada makna tertentu yang dapat dipahami darinya, tidak ada kemungkinan untuk ditakwilkan, dan tidak ada peluang untuk memahami makna selain dari makna tekstualnya.
Banyak para akademisi kita yang notabene sudah bergelar guru besar sekalipun belum mapan dalam memahami konsep qath’i dan zhanni. Mereka merasa bingung atau bahkan imma’ah (membeo) dengan pendapat para oreantalis, yang kita semua tahu bahwa para oreantalis mempelajari Islam bukan untuk khidmah terhadap Islam akan tetapi untuk menghancurkan Islam dari pondasinya. Dan hasilnya mereka, para mahasiswa dan akademisi kita menggugat nash-nash Al Qur’an yang qath’iyatu al-dalalah, yang maknanya sudah jelas dan pasti tidak mengandung makna lain selainnya. Mereka menggugat ayat-ayat waris, jilbab, poligami, gender, zakat, kepemimpinan dan ayat-ayat lain. Mereka beralasan demi keadilan, kemashlahatan maka ayat-ayat tersebut harus ditafsir ulang versi mereka.
Persoalan ini memang bukan hanya persoalan akademik yang solusinya harus melibatkan perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus pengajaran usul fiqih, akan tetapi juga persoalan-persoalan birokrasi dan political will, termasuk di dalamnya sistem pendidikan yang ada.
Ketika menjadi persoalan akademik, maka peran perguruan tinggi menjadi sangat penting dalam pemecahannya. Untuk menjaga aqidah dan pemikiran mahasiswa dan akademisi kita, perguruan tinggi dituntut menyiapkan pengembangan kurikulum dan perumusan silabus yang standar, tepat dan memadai, sehingga mampu menjamin output lulusannya memiliki basis/pondasi aqidah dan pemikiran yang benar.
Dengan dibukanya berbagi program studi keislaman di perguruan tinggi, maka ushul fiqih harusnya menjadi bagian integral dari sistem pengajaran fakultas dan jurusan itu. Dan sudah menjadi keharusan bagi institusi perguruan tinggi untuk mempersiapkan output lulusannya. Lulusan perguruan tinggi Islam harus memiliki kualitas yang memenuhi kualifikasi yang standar pada ilmu ushul fiqih dan aplikasinya khususnya pada kompetensi bidang ilmu yang dia tekuni.
Untuk menjawab tantangan tersebut pemerintah harus berupaya secara sistematis, baik Diknas maupun Depag khususnya yang menangani pendidikan tinggi Islam dengan menyediakan kurikulum ushul fiqih untuk level program studi sarjana S-1, S-2 dan S3. Upaya perubahan dalam pengembangan kurikulum dan silabus dalam sistem pendidikan ushul fiqih harus melibatkan semua elemen institusi pendidikan pada perguruan tinggi Islam termasuklan birokrasi dan political will. Karena jika hal ini di lakukan secara terpisah (masing-masing) oleh seluruh  Perguruan Tinggi hal tersebut  menimbulkan perbedaan kurikulum yang diajarkan, padahal standar yang ingin dicapai sama, yaitu  kurikulum standar yang menjadi acuan bersama.
Saat ini penyusunan kurikulum ushul fiqih oleh masing-masing perguruan tinggi Islam secara sendiri-sendiri dilakukan berdasarkan latar belakang akademik para pengajarnya semata. Bahkan, kurikulum tersebut kadang disusun oleh yang bukan ahlinya. Misalnya disusun oleh ahli pendidikan atau ahli ilmu sosial atau pemikiran Islam. Mereka sama sekali tidak mendalami apalagi memahami ushul fiqih. Hasilnya kurikulum ushul fiqih kurang diimbangi dengan penelitian, analisis dan aplikasi terhadap perkembangan masalah-masalah kontemporer dan kebutuhan kompetensi dari intsitusi-instusi terhadap lulusan perguruan tinggi.
Untuk merumuskan  kurikulum nasional ushul fiqih yang standar yang bisa menjadi acuan perguruan tinggi tersebut, para pakar baik dari kalangan akademisi maupun  praktisi dari kalangan ulama harus terlibat aktif melakukan analisa komprehensif terhadap kurikulum ushul fiqih melalui studi data primer dan studi data sekunder. Dan melakukan kajian, komparasi  dan analisis terhadap kurikulum beberapa perguruan tinggi Islam di Indonesia dan luar negeri. Dari upaya ini akan lahir sebuah kurikulum nasional ushul fiqih yang dapat menjadi acuan (standar)  yang mampu menjawab tantangan dan kemajuan zaman khususnya isu-isu pemikiran kontemporer.
Referensi :
[1] Fiqih scara bahasa berarti paham, lihat Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal 23, sedangkan fiqih secara istilah berarti suatu disiplin ilmu yang membahas hukum-hukum syariat yang berupa amal perbuatan disertai dengan dalil-dalil yang terperinci. Lihat : Syarh Ushul min Ilmi al-Ushul, hal. 25
[2] Yusuf Qardhawi. Aulawiyat al-ahkam fi al-marhalah al-Qadimah. Muasasah Risalah:Beirut 1997, hal.26
[3] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqih, hal.23