by M. Lili Nur Aulia mlilinuraulia | Jun 14, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh: M. Lili Nur Aulia
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum datangnya lima perkara: manfaatkan masa mudamu sebelum datangnya masa tuamu, manfaatkanlah masa sehatmu sebelum datangnya masa sakitmu, manfaatkanlah masa kayamu sebelum datangnya masa fakirmu, manfaatkanlah masa luangmu sebelum datang masa sibukmu dan manfaatkanlah masa hidupmu sebelum datangnya masa matimu.”
Besok Anda akan pergi, dimanakah bekal Anda?! Tahun-tahun adalah fase-fase, bulan-bulan adalah jarak yang sangat jauh, hari-hari adalah jarak yang begitu panjang, nafas adalah langkah-langkah dan ketaatan-ketaatan adalah modal, kemaksiatan adalah perampok yang membegal milik berharga kita di tengah jalan, dan keuntungan adalah surga, sedangkan kerugian artinya adalah neraka. Maka bangun dan bangkitlah untuk melakukan kebaikan dan kibarkanlah slogan Anda di bulan ini seperti:
- Sudah lewat waktu tidur dan telah datang waktu ibadah
- Tidak akan ada seorangpun yang mendahului saya mendekati Allah.
- Saya akan sungguh-sungguh beribadah kepada-Mu tidak sebagaimana hari yang lalu.
- Saya akan menyegerakan taat kepada-Mu wahai Tuhanku agar Engkau ridha.
- Mari Bersama orang-orang shalih generasi pertama.
- Sungguh saya akan lebih mendekat kepada Rabb-ku yang akan memberiku petunjuk.
Gantungkan slogan ini di dalam kamar tidur Anda atau di dalam mobil Anda atau letakan ia pada barang bawaan Anda; agar selalu mengingatkan Anda dengan ketaatan.
Sumber:
Ramadhan Sepenuh Hati, M. Lili Nur Aulia
by Sharia Consulting Center scc | Jun 14, 2016 | Artikel, Ramadhan
Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam riwayat Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat ‘Aisyah -yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw mendirikan tarawih bersama para sahabat- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya, sekalipun dalam riwayat ‘Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh Nabi Saw tentang jumlah rakaat shalat malam, baik di dalam maupun di luar Ramadhan.
Namun riwayat ini tampak pada konteks yang lebih umum yaitu shalat malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan para ulama yang meletakkan riwayat ini pada bab shalat malam secara umum.
Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada bab shalat tahajud, Imam Malik dalam Muwatha’ pada bab shalat witir Nabi Saw (lihat Fathul Bari 4/250; Muwatha’ dalam Tanwir Hawalaik: 141).
Hal tersebut memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13, 21, 23, 36, bahkan 39 rakaat.
Akar persoalan ini sesungguhnya kembali pada riwayat-riwayat berikut:
a. Hadits Aisyah:
مَا كَانَ يَزِيدُ فِي رَمَضَانَ وَلَا فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
Artinya: “Nabi tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari 11 rakaat baik di dalam maupun di luar Ramadhan” (lihat al-Fath : ibid).
b. Imam Malik dalam Muwatha’-nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad-Dari untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 11 rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang.
Namun dalam riwayat Yazid bin ar-Rumman dinyatakan bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat (lihat al-Muwatha’ dalam Tanwirul Hawalaik: 138).
c. Imam at-Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya menjalankan shalat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir).
Pendapat ini didukung oleh ats-Tsauri, Ibnu Mubarak dan asy-Syafi’i (lihat Fiqhu Sunnah: 1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz, kaum muslimin shalat tarawih hingga 36 rakaat ditambah witir tiga rakaat.
Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa masalah tersebut sudah lama menurutnya (al-Fath: ibid ).
e. Imam asy-Syafi’i dari riwayat az-Za’farani mengatakan bahwa ia sempat menyaksikan umat Islam melaksanakan tarawih di Madinah dengan 39 rakaat. Sedangkan di Makkah 33 rakaat. Dan menurutnya hal tersebut memang memiliki kelonggaran (al-Fath : ibid).
Dari riwayat diatas jelas bahwa akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan.
Ibnu Hajar berpendapat: “Bahwa perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan rakaat-rakaat yang panjang, maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan demikian sebaliknya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Asy-Syafi’i: “Jika shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Jika shalatnya pendek dan jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun aku lebih senang pada yang pertama”.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa :
- Orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah mencontoh Nabi Saw.
- Dan yang melaksanakan dengan shalat 23 mereka telah mencontoh Umar Ra
- Sedang yang menjalankan 39 rakaat atau 41 mereka telah mencontoh Salafus shalih dari generasi sahabat dan tabi’in.
Bahkan menurut Imam Malik ra hal itu telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga diungkapkan Imam Ahmad ra bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam jumlah rakaat tarawih, melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dan seterusnya).
Imam az-Zarqani mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang.
Namun menjadi bergeser pada 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena keberatan dalam mendirikannya oleh umat Islam.
Bahkan hingga bergeser menjadi 36 (tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat hasyiah Fiqhu Sunnah : 1/195).
Dengan demikian tidak ada alasan yang mendasar untuk saling memperdebatkan satu dengan yang lain dalam jumlah shalat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat. Padahal persatuan umat adalah sesuatu yang wajib.
Jika kita perhatikan dengan cermat maka yang menjadi perhatian dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media yang komunikatif antara hamba dan Rabb-Nya lahir dan batin, sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya di manapun berada.
*bersambung
Sumber :
Buku Panduan Lengkap Ramadhan, penerbit Sharia Consulting Center
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 13, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Jika berpuasa, di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, benar-benar memberatkan. Maka orang tua renta, orang sakit yang kecil kemungkinan sembuh, dan para pekerja berat yang penghasilannya pas-pasan, diperbolehkan tidak berpuasa
Dan sebagai gantinya, mereka harus memberi makan satu orang miskin setiap hari, satu mud, setengah sha’ atau satu sha’, sesuai perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena dari Sunnah sendiri tidak ada keterangan yang menetapkan takarannya yang pas.
Ibnu Abbas berkata, “Orang tua renta diperbolehkan tidak puasa, tetapi ia harus memberi makan satu orang miskin setiap hari, dan tak perlu mengqadha.” (H.R. Daruquthni dan Hakim)
Keduanya menyatakan bahwa riwayat ini shahih.
Atha’ meriwayatkan bahwa ia mendengar Ibnu Abbas ra. membaca ayat, “Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin.” (QS. Al-Baqarah: 184)
Ibnu Abbas berkata, “Ayat itu tidak- mansukh (terhapus). Ayat ini diperuntukkan bagi orang tua renta yang tidak mampu berpuasa. Karena itu, ia harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya.” (H.R. Bukhari)
Orang sakit yang kecil kemungkinan untuk dapat sembuh dan tidak kuat berpuasa, maka hukumnya sama dengan orang tua renta, tidak ada bedanya. Begitu juga dengan para pekerja berat yang penghasilannya pas-pasan.
Syekh Muhammad Abdu berkata, “Maksud ayat ‘…..orang yang berat menjalankannya...” adalah orang-orang tua renta, orang-orang yang sakit menahun yang kecil kemungkinannya sembuh, dan orang-orang yang sama keadaannya dengan mereka, misalnya saja para pekerja berat, seperti para pekerja di tambang batu bara atau para narapidana yang menjalani kerja paksa seumur hidupnya yang benar-benar kesulitan jika harus berpuasa, sementara itu mereka memiliki harta untuk membayar fidyah.
Begitu juga dengan wanita hamil dan yang sedang menyusui. Jika mereka berpuasa akan membahayakan keselamatan diri mereka dan anak-anak mereka, maka mereka boleh tidak puasa tetapi wajib membayar fidyah dan tidak wajib mengqadha. Ini adalah pendapat Ibnu Umar dan Ibnu Abbas.
(Simak: Video Ceramah Hukum-Hukum Puasa)
Ikrimah ra. meriwayatkan bahwa mengenai firman Allah, “…dan bagi orang yang berat menjalankannya…”
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini merupakan “keringanan bagi orang tua renta yang tidak kuat berpuasa. Keduanya boleh tidak puasa dan menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin setiap harinya.
Begitu juga dengan wanita hamil atau wanita yang sedang menyusui, jika berpuasa akan membahayakan anak mereka, maka mereka boleh tidak puasa dan sebagai gantinya adalah membayar fidyah”. (H.R. Abu Daud)
Bazzar juga meriwayatkan hadits yang sama, dengan tambahan di bagian akhirnya,
“Saat itu, Ibnu Abbas berkata kepada wanita yang sedang hamil, ‘Kamu sama dengan orang yang tidak mampu berpuasa. Kamu harus membayar fidyah dan tidak perlu mengqadha.” (Daruquthni menshahihkan sanad riwayat ini.)
Nafi’ menceritakan bahwa Ibnu Umar pernah ditanya mengenai perempuan hamil yang khawatir akan keselamatan anaknya jika ia berpuasa, maka ia menjawab, “Ia tidak perlu puasa, tetapi ia harus memberi makan satu orang miskin setiap harinya, satu mud gandum.” (H.R. Malik dan Baihaqi).
(Baca juga: Rukun Puasa)
Dalam sebuah hadits disebutkan, “Sesungguhnya, Allah memberi keringanan bagi musafir untuk tidak puasa dan mengqashar shalat, sedangkan wanita hamil atau menyusui diberi keringanan untuk tidak puasa.”
Para ulama Hanafi, Abu Ubaid, dan Abu Tsaur berpendapat bahwa wanita hamil atau menyusui harus mengqadha dan tidak perlu membayar fidyah.
Ahmad dan Syafi’i berpendapat bahwa jika puasanya akan membahayakan anaknya maka ia lebih baik tidak puasa, tetapi harus mengqadha dan membayar fidyah. Namun jika puasanya akan membahayakan dirinya saja atau dirinya dan anaknya maka ia harus mengqadha dan tidak perlu membayar fidyah.
Sumber:
Fiqh Sunnah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat
by Adi Setiawan Lc. MEI Adi Setiawan | Jun 13, 2016 | Artikel, Ramadhan, Tausiyah Iman
Tausiyah Iman – 24 Mei 2016
Membiasakan diri dan mendidik jiwa untuk bertaqwa merupakan hikmah terbesar dari puasa Ramadhan. Meninggalkan yang sebenarnya dibolehkan terlebih lagi yang terlarang.
Semua dilakukan semata-mata patuh terhadap perintah Allah SWT dan berharap masuk surga dari pintu ar-royyan yang telah dijanjikan.
Sabar dalam melaksanakan perintah puasa akan mempermudah untuk meninggalkan segala yang haram.
Bukankah sabda Rasulullah SAW :
“ash-shiyam nisfus shobri, puasa itu setengah dari kesabaran” (HR. Ibnu Majah).
(Baca juga: Tanda Orang Tertipu)
Ustadz Adi Setiawan, Lc., MEI
•••
Join Channel Telegram: http://tiny.cc/Telegram-AlimanCenterCom
Like Fanpage: fb.com/alimancentercom
•••
Rekening donasi dakwah:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 13, 2016 | AlimanCenter.TV, Ramadhan
Video Program Spesial Ramadhan: Hukum-Hukum Shaum (Puasa) oleh Ust. Hilman Rosyad, Lc.
Youtube HD: https://youtu.be/iMCFHFUItYc
AlimanCenter.Com | Membuka Wawasan – Menggugah Kesadaran
by Yayasan Telaga Insan Beriman (Al-Iman Center) | Jun 12, 2016 | Artikel, Ramadhan
Oleh : Sayyid Sabiq
Rukun puasa ada dua. Dari keduanya akan terwujud hakikat puasa yang sebenarnya. Dua rukun itu adalah:
1. Menahan diri dari semua yang membatalkan puasa, sejak terbit fajar hingga matahari terbenam.
Allah berfirman, “Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetpkan Allah bagi kalian, makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Setelah itu, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)
Maksud benang putih dan benang hitam adalah terangnya siang dan gelapnya malam, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Adi bin Hatim bercerita,
“Ketika turun ayat, “……..hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam…..”
Aku ambil seutas benang hitam dan seutas bang putih, lalu aku taruh di bawah bantal dan aku amati di waktu malam, dan ternyata tidak dapat aku bedakan.
Maka pagi-pagi, aku datang menemui Rasulullah saw dan aku ceritakan kepada beliau hal itu. Nabi saw bersabda, ‘maksudnya adalah gelapnya malam dan terangnya siang.‘”
2. Berniat.
Allah berfirman, “Padahal mereka hanya diperintahkan menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata.” (Al-Bayyinah: 5)
Rasulullah saw, juga bersabda, “Setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.”
Berniat puasa hendaknya sebelum fajar, di tiap malam di hari-hari Ramadhan, sebagaimana disebutkan oleh Hafsah bahwa Rasulullah saw pernah bersabda,
“Barangsiapa yang tidak membulatkan niatnya untuk berpuasa sebelum fajar, maka tidak sah puasanya.” (H.R. Ahmad dan Ash-habus Sunan. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban).
Niat berpuasa boleh dilakukan kapan saja, yang penting di malam hari dan tidak harus diucapkan, karena niat itu di hati dan bukan di lisan.
Hakikat niat adalah menyengaja melakukan suatu perbuatan untuk menaati perintah Allah Ta’ala dan mengharapkan keridhaan-Nya. Oleh karena itu, siapa yang makan sahur di malam hari dengan maksud akan berpuasa sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, berarti ia telah berniat.
Begitu juga dengan orang yang bertekad akan menghindari segala hal yang dapat membatalkan puasa di siang hari dengan ikhlas karena Allah, maka ia telah berniat, walaupun ia tidak makan sahur.
Banyak ulama yang berpendapat bahwa niat puasa sunah boleh dilakukan di siang hari, jika orang itu belum makan dan minum.
(Baca juga: Siapa Saja Yang Diwajibkan Puasa?)
Aisyah menceritakan, “Pada suatu hari, Rasulullah saw. masuk rumah dan berkata, “Kalian punya makanan?’ Kami menjawab, ‘Tidak ada.’ Beliau berkata, ‘Kalau begitu aku berpuasa.‘” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).
Ulama Hanafi mensyaratkan agar niat tersebut sebelum zawal (matahari bergeser ke sisi barat dari posisi tengah). Ini juga merupakan pendapat yang masyhur dari dua pendapat Syafi’i. Yang zahir dari pendapat Ibnu Mas’ud dan pendapat Ahmad bahwa niat tersebut sah, baik sebelum zawal maupun sesudah zawal.
Sumber:
Fiqh Sunnah Jilid I, Sayyid Sabiq, Penerbit Al I’tishom Cahaya Umat