by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 29, 2016 | Fatwa
Assalamualaikum. Ketika shalat Isya sedang dilaksanakan di masjid, ada seorang jamaah yang lewat di hadapan para makmum yang sedang shalat. Lalu salah seorang dari mereka memberi isyarat kepadanya untuk tidak meneruskan langkahnya, tapi orang itu tidak mempedulikan isyarat tersebut dan tetap melewati shaf para makmum. Selesai shalat, banyak para jamaah yang mencemooh orang yang lewat tersebut. Mohon penjelasan mengenai hukum masalah ini.
Jawaban :
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Pada suatu ketika, saya mendatangi Rasulullah saw sambil menaiki seekor keledai betina. Pada saat itu saya telah mendekati usia baligh. Ketika saya sampai, Rasulullah saw sedang melakukan shalat berjamaah di Mina dengan tidak menghadap ke dinding. Maka saya melewati salah satu shaf lalu melepaskan keledai saya itu dan membiarkannya merumput. Setelah itu saya masuk dalam barisan shaf tanpa ada seorang pun yang mencela apa yang saya lakukan tersebut.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Nawawi, dalam Syarh Muslim, berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa shalat anak yang masih kecil adalah sah dan bahwa pembatas shalat imam adalah pembatas bagi makmum yang di belakangnya”.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fath al-Bari , “Ibnu Abdil Barr berkata, “Hadits Ibnu Abbas ini mengkhususkan hadits Abu Said ra yang isinya,”Jika salah seorang dari kalian melakukan shalat, maka janganlah dia membiarkan seseorang berjalan di hadapannya“.
Hadits Abu Said ini khusus bagi imam dan orang yang melakukan shalat sendiri. Sedangkan makmum, maka tidak apa-apa jika ada orang yang berjalan di hadapannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas ini. Dan tidak ada perselisihan para ulama dalam masalah ini”.
Dengan demikian, pembatas shalat (as-sutrah) adalah khusus bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedangkan berjalan melewati shaf para makmum adalah perbuatan yang dibolehkan. Hal ini karena pembatas shalat imam adalah pembatas shalat bagi para makmum juga.
Namun demikian, kebolehan berjalan di depan makmum itu bukan berarti dibolehkan begitu saja, tanpa alasan atau tata cara tertentu. Berjalan di depan makmum dibolehkan jika terdapat keperluan, seperti jika seseorang tidak dapat mencapai tempat wudhu atau tidak dapat mengambil barangnya kecuali dengan melewati para makmum tersebut. Begitu juga jika dia hendak mengisi kekosongan di suatu shaf, dan lain sebagainya. Semua itu perlu diperhatikan agar para makmum tidak disibukkan dengan perkara yang tidak penting.
Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber : Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 1787
Tanggal : 04/05/2008
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 28, 2016 | Konsultasi Keluarga
Assalamualaikum wr.wb. Bagaimana hukumnya mengucapkan talak secara tidak langsung kepada istri? Itupun saya ucapkan karena menuruti keinginan istri. Apakah itu sudah jatuh talak? Dan apakah saya berdosa kalau menggantungkan status pernikahan, karena sebenarnya saya ingin mempertahankan kebutuhan rumah tangga saya, tetapi sekarang kami sudah pisah ranjang. Hak dan kewajiban suami istri juga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Terimakasih. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Jawaban :
Assalamu alaikum wr wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Pertama perlu diketahui bahwa talaq adalah ungkapan perceraian yang keluar dari pihak suami kepada istrinya dalam kondisi sadar, baik diminta oleh isteri atau tidak, baik lewat lisan, tulisan maupun isyarat. Serta baik secara langsung maupun tidak langsung.
Kedua, setelah talaq dijatuhkan maka akan berlaku masa iddah bagi istri (tidak boleh ada akad ijab qabul pernikahan) selama 3 kali suci karena istri masih menjadi hak suami untuk rujuk kembali, seperti dalam Quran Surat at-Talaq : ayat 4.
Selama masa iddah tersebut isteri boleh dirujuk tanpa perlu nikah ulang. Namun bila lewat masa iddah harus dengan nikah ulang. Ini berlaku bila talaknya masih merupakan talak satu atau dua.
Ketiga, bila masa iddah sudah habis dan suami belum merujuk juga maka ikatan suami isteri otomatis sudah putus.
Kami berharap semoga Anda berdua diberikan jalan terbaik oleh Allah. Pada dasarnya ikatan pernikahan harus dijaga semaksimal mungkin. Namun bila berbagai usaha sudah dilakukan (termasuk berdoa) maka serahkan semua kepada Allah.
Wallahu a’lam
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Feb 27, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Ibadah
Assalamu’alaikum. Mohon penjelasannya ustadz. Ayah saya hendak membagikan harta waris. Beliau mempunyai 5 orang anak laki-laki, termasuk saya. Semuanya sudah menikah. Belum lama ini 2 saudara saya telah wafat, sehingga kami tinggal bertiga. Si A wafat meninggalkan istri dan 3 orang anak, si B wafat meninggalkan istri saja, karena tidak memiliki anak. Bagaimana pembagian warisnya ustadz? Apakah si A dan si B tetap mendapatkan waris? Kalau memang dapat, siapa yg berhak menerimanya? Anaknya, atau istrinya?
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Sebelumnya, kami ingin memastikan, apakah saat ini ayah Anda masih hidup atau paling tidak masih hidup ketika kedua saudara Anda meninggal dunia? Lalu yang kedua, apakah isteri ayah (ibu Anda) ada?
Dengan asumsi bahwa kedua saudara Anda (A dan B) meninggal dunia sebelum ayah Anda, berarti mereka tidak mendapatkan jatah waris. Begitu pula dengan anak isteri dari saudara yang meninggal dunia, karena bukan sebagai ahli waris maka mereka tidak mendapatkan hak waris dari ayah Anda.
Mereka hanya mendapatkan harta waris dari peninggalan saudara Anda sendiri. Terkecuali jika ayah Anda sudah meninggal sebelum kedua saudara Anda, maka keduanya berhak mendapat waris yang kemudian jatuh kepada anak isterinya.
Selanjutnya terkait keberadaan isteri ayah, kalau ia ada, maka ia berhak mendapatkan seperdelapan. Sementara sisanya diberikan kepada seluruh anak dengan dibagi rata. Jika sudah tidak ada sebelum ayah meninggal, maka harta waris jatuh kepada seluruh anaknya.
Wallahu a’lam bish-shawab. Wassalamu alaikum wr.wb.
by Fahmi Bahreisy Lc fahmibahreisy | Feb 27, 2016 | Fatwa
Apa hukum melakukan shalat dua rakaat secara berjamaah di masjid setelah shalat Isya’ guna mengingatkan kepada orang-orang tentang kesunnahan shalat Qiyamul Lail dan memotivasi mereka agar melaksanakannya di rumah?
Jawaban
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah washsholatu wassalaamu ‘ala sayyidina Rasulillah SAW.
Sebagaimana ditetapkan dalam syariat, bahwa shalat yang tidak disunahkan untuk dilakukan secara berjamaah, karena didasarkan pada perbuatan Rasulullah saw yang selalu melakukannya sendiri, tidak apa-apa untuk dilakukan secara berjamaah, tanpa ada kemakruhan sama sekali.
Hal ini didasarkan pada perbuatan Ibnu Abbas ra yang menjadi makmum Nabi saw dalam shalat tahajud di rumah bibinya, Ummul Mukminin, Maimunah ra. Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Ibnu Mas’ud ra dan yang lainnya juga pernah shalat qiyamul lail di belakang Nabi saw, padahal sebagaimana diketahui bahwa shalat qiyamul lail tidak disunnahkan untuk dilaksanakan secara berjamaah kecuali pada bulan Ramadhan, tapi hal itu dibolehkan sebagaimana telah disebutkan.
Jika ada sejumlah orang berkumpul untuk melaksanakan shalat Tahajud secara bersama-sama, maka hal itu dibolehkan selama tidak mewajibkannya kepada orang-orang. Jika terdapat pemaksaan maka perbuatan itu dimasukkan ke dalam perbuatan bid’ah, karena memaksakan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat.
Oleh karena itulah, ketika pada suatu malam Nabi saw. melakukan salat Tahajud di masjid, lalu ada seseorang yang menjadi makmum beliau dan hal itu terulang-ulang, maka beliau pun meninggalkannya pada malam keempat. Setelah salat Shubuh, beliau menghadap kepada para jamaah dan mengucapkan syahadat lalu bersabda,
ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻟَﻢْ ﻳَﺨْﻒَ ﻋَﻠَﻰَّ ﻣَﻜَﺎﻧُﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜِﻨِّﻰْ ﺧَﺸِﻴْﺖُ ﺃَﻥْ ﺗُﻔْﺘَﺮَﺽَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻓَﺘَﻌْﺠِﺰُﻭﺍ ﻋَﻨْﻬَﺎ
“Sebenarnya aku mengetahui keberadaan kalian, tapi aku takut kebiasaan itu dianggap wajib sehingga kalian tidak mampu melaksanakannya.” (Muttafaq ‘alaih dari hadits Aisyah).
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata, “Nabi saw. mendatangi masjid Quba setiap hari Sabtu terkadang dengan berjalan kaki dan terkadang menaiki tunggangan.”
Abdullah bin Umar pun melakukan hal yang sama. Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fathul-Bâri, mengatakan, “Hadits ini, dalam semua jalurnya yang berbeda-beda, menunjukkan kebolehan mengkhususkan sebagian hari untuk melakukan beberapa amal saleh dan membiasakannya secara terus menerus.”
Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, maka shalat dua rakaat setelah shalat Isya adalah dibolehkan dan tidak dimakruhkan sama sekali, dengan syarat tidak ada keyakinan tentang keharusan untuk melakukannya.
Jika shalat tersebut dilakukan dengan mengharuskan orang lain untuk melaksanakannya dan menganggap orang yang menolaknya telah berbuat dosa, maka perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang tercela, karena dengan hal itu dia telah mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
Wallahu subhanahu, wa ta’ala a’lam
Sumber :
Dar al-Ifta’ al-Mishriyyah (Dewan Fatwa Mesir)
Nomor : 565 Tanggal: 20/03/2005
Penerjemah : Fahmi Bahreisy, Lc
by Danu Wijaya danuw | Feb 26, 2016 | Artikel
Oleh : Persatuan Ulama Islam Sedunia (Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin)
Kita beriman bahwa kematian bukan akhir perjalanan dan bahwa manusia diciptakan untuk kekal selamanya. Kematian hanyalah memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain; dari negeri ujian ke negeri balasan. Hari ini adalah kerja tidak ada hisab. Sementara esok adalah hisab tidak ada kerja. Di akhirat seluruh jiwa diberi balasan sesuai dengan amal yang ia lakukan dan abadi menurut amal yang telah dikerjakan.
“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan meski sebesar biji atom, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Serta barangsiapa yang mengerjakan kejahatan meski sebesar biji atom, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula” (Q.S. Al Zalzalah : 6-8)
Seluruh risalah langit mengajak untuk beriman kepada hari akhir serta pahala dan hukuman, serta surga dan neraka yang ada didalamnya. Terutama risalah Islam yang menjadikan masalah kebangkitan sebagai salah satu tema utama Al Qur’an sekaligus mendebat kaum musyrikin yang mengingkari keberadaannya.
“Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali. Menghidupkan kembali adalah lebih mudah bagiNya” (Q.S. Al Rum : 27)
Selanjutnya Allah menjelaskan kepada mereka bahwa hikmah Tuhan Yang Maha Agung, Maha Mengetahui, dan Mahakuasa menghendaki agar makhluk tidak lenyap begitu saja. Sebab ada orang yang terbunuh, yang diperlakukan sewenang-wenang , serta dianiaya, sementara si penganiaya belum mendapatkan haknya.
Al Qur’an memandang bahwa penciptaan manusia akan menjadi sia-sia tanpa tujuan dan hikmah jika ia tidak dibangkitkan lagi setelah mati guna mendapatkan balasan yang setimpal. Inilah sangkaan kaum materialis atau atheis bahwa selain mati tidak ada lagi selain itu.
Al Qur’an membantah kaum musyrikin yang mengingkari hari kebangkitan dimana dengan sombong mereka meminta agar Allah menghidupkan tulang belulang yang telah hancur. Al Qur’an juga membantah mereka yang tidak memahami keadilan dan kebijaksanaan-Nya dengan menyangka bahwa lembar hidup ini akan segera dilipat, sementara orang yang baik tidak mendapat balasan dari kejahatannya dan orang jahat tidak mendapat balasan dari kejahatannya. Seolah-olah tidak ada Tuhan yang mengatur alam ini.
Disamping itu, Al Qur’an membantah orang-orang yang mengira bahwa di akhirat nanti akan berguna syafaat sejumlah orang yang bisa memberikan syafaat dan syafaat orang-orang dengan pengaruhnya bisa menggugurkan prinsip keadilan. Al Qur’an membantah bahwa sejumlah orang yang melakukan kezaliman dan dosa bisa diberi syafaat oleh tuhan-tuhan yang mereka sembah selain Allah, atau oleh para dukun yang dijadikan sebagai perantara antara mereka dan Tuhan. Begitulah sangkaan kaum musyrikin dan sangkaan sebagian ahlul kitab. Al Qur’an menyanggah semua klaim palsu tersebut dengan tegas dan jelas.
Siapa yang mati dalam kondisi menyekutukan Allah dan mengingkari-Nya, Allah tidak akan mengijinkan seorangpun untuk memberikan syafaat, maka syafaat tersebut tertolak. Pasalnya syafaat hanya berguna bagi kalangan beriman dan bertauhid yang melakukan kesalahan.
Di akhirat nanti, catatan amal akan dihamparkan dan timbangan akan ditegakkan sehingga setiap orang bisa membaca kitab mereka.
“Dan diletakkanlah kitab. Lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap isinya. Mereka berkata, “Sungguh celaka kami. Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya?” Mereka melihat seluruh amal yang telah mereka kerjakan ada didalamnya. Tuhanmu tidak pernah berbuat aniaya terhadap siapapun” (Q.S. Al Kahfi : 49).
Dari sini manusia mendapati dan melihat amalnya sudah berada dihadapannya. Demikianlah kitab catatan tersebut menuturkan tentang manusia lalu timbangan datang sebagai pemutus perkara secara adil.
Lalu situasi ini berakhir dengan terbaginya manusia menjadi tiga kelompok yaitu kelompok yang didekatkan, kelompok kanan dan kelompok kiri.
“Adapun jika dia termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah) maka dia memperoleh ketentraman dan rizki, serta surga yang penuh dengan kenikmatan. Jika dia termasuk golongan kanan, maka keselamatanlah bagimu, karena kamu dari golongan kanan. Adapun jika dia termasuk golongan yang mendustakan lagi sesat maka dia mendapat hidangan air yang mendidih dan dibakar didalam jahanam. Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar” (Q.S. Al Waqiah: 88-95).
Didalam surga terdapat berbagai bentuk kenikmatan materi dan maknawi yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, serta tidak pernah terlintas dalam benak manusia.
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin lelaki dan perempuan bahwa mereka akan mendapat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka kekal didalamnya dan(mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Ridha Allah adalah lebih besar. Itulah keberuntungan yang sangat agung” (Q.S. At Taubah: 72)
Adapun di neraka terdapat berbagai macam siksa moril dan materil sebagaimana yang disebutkan oleh Al Qur’an dan diingatkan kepada kaum beriman.
“Wahai orang-orang beriman, periharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia danbatu, serta penjaganya berupa malaikat-malaikat yang kasar, keras, tidak pernah melanggar apa yang Allah perintahkan pada mereka dan mereka mengerjakan apayang diperintahkan” (Q.S. At Tahrim : 6).
Referensi: 25 Prinsip Islam Moderat
Penyusun: Al Ittihad al Alamiy li Ulama al Muslimin (Persatuan Ulama Islam Sedunia)
Penerbit: Sharia Consulting Center (Pusat Konsultasi Syariah)