by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 7, 2016 | Konsultasi Umum
Assalamu’alaikum.
Saya Dewi 20 tahun. Saya mau tanya, saya mau menikah. Tapi calon suami saya bisa di bilang orang tidak mampu. Begitupun juga saya. Dia sudah niat menikahi saya. Dia usaha sampai berhutang buat menikahi saya. Yang ingin saya tanyakan bagaimana hal itu dalam pandangan islam? Yang saya takutkan awal kami mau menikah sudah berhutang. Takutnya penikahannya nanti jadi nya buruk. Katanya sebaik-baik pernikahan itu pernikahan yg paling mudah. Mohon di jawab ya, saya perlu sekali jawaban nya, terima kasih banyak.
Wasalamualaikum wr.wb
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Alhamdulillahi Rabbil alamin. Ash-shalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi. Amma ba’du:
Terkait dengan orang yang ingin menikah namun kondisinya secara materi tidak mampu, maka para ulama berbeda pendapat.
Pendapat pertama menyebutkan bahwa orang yang tergolong fakir boleh menikah dan hendaknya dibantu untuk dinikahkan. Alasannya Rasul saw pernah menikahkan sahabat dengan mahar hafalan Alquran karena ia tidak memiliki harta. Alasan lainnya karena Allah befirman, “Jika mereka fakir, Allah akan memberikan kecukupan kepada mereka.” (QS an-Nur: 32).
Menurut Ibn Abbas ra, ayat ini merupakan perintah Allah untuk menikah serta memerintahkan para wali untuk menikahkan orang merdeka dan budak mereka dengan menjanjikan kecukupan di dalamnya.” Bahkan berdasarkan ayat tersebut Ibn Mas’ud ra berkata, “Carilah kecukupan (kekayaan) dengan lewat cara menikah!.”
Di samping itu Nabi saw bersabda, “Ada tiga orang yang Allah jamin akan dibantu. Di antaranya orang menikah yang ingin menjaga kehormatan.” (HR an-Nasai).
Pendapat kedua bahwa orang fakir yang tidak mampu menikah, hendaknya tidak memaksakan diri untuk menikah. Pasalnya Nabi saw bersabda, “Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu atas ba’ah, hendaknya ia menikah…”
Menurut pendapat yang kuat maksud dari ba’ah di sini adalah mahar dan nafkah keluarga. Sebab, sesudahnya Nabi saw menegaskan bahwa yang tidak mampu hendaknya berpuasa. Jadi yang ingin menikah namun tidak mampu hendaknya berpuasa sebab puasa lebih bisa mengendalikan dan menjaga kehormatan.
Selain itu, Rasul saw pernah tidak memberikan rekomendasi kepada Fatimah untuk menikah dengan orang yang ingin meminangnya dengan alasan, “Orang itu miskin tidak punya harta.” Jadi ternyata kemampuan memberi nafkah juga menjadi pertimbangan.
Dengan melihat pada kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa idealnya seseorang yang hendak menikah memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah keluarga yang memang menjadi kewajibannya. Namun jika tidak mampu hendaknya bersabar dengan terus berusaha seraya berpuasa dan berdoa.
Akan tetapi, jika ia sangat mengkhawatirkan kondisi dirinya yang tidak mampu mengendalikan gejolak nafsu dan khawatir jatuh kepada yang haram, maka dalam kondisi demikian ia boleh menikah dengan meminta bantuan dari orang atau lembaga tertentu, atau bisa pula dengan berhutang.
Dengan harapan bahwa pernikahannya yang didasari oleh niat baik itu akan membuka pintu-pintu rezeki dari Allah Swt. Sebab Allah befirman, “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah akan beri jalan keluar padanya dan Allah beri rezeki dari tempat yang tak terduga.” Juga “Siapa yang bertakwa kepada Allah, Allah mudahkan urusannya.” (QS ath-Thalaq 3 dan 4).
Hanya saja itu dengan catatan bahwa isteri mengetahui dan ridha dengan kondisi suaminya serta siap bersabar menghadapi berbagai kondisi yang ada pasca pernikahan mereka.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 7, 2016 | Artikel, Kisah Sahabat
Oleh: Fauzi Bahreisy
Dalam Shahih Bukhari terdapat riwayat dari Sahl bahwa Nabi SAW dan kaum musyrikin bertemu dalam sebuah peperangan. Mereka saling bertempur. Setiap kaum kembali ke kemahnya.
Di antara kaum muslimin terdapat seorang pemberani yang membuntuti setiap musyrik dan menebas dengan pedangnya.
Lalu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada yang melakukan seperti yang dilakukan oleh Fulan.” Beliau menjawab, “Ia termasuk penghuni neraka.” “Jika orang ini termasuk penghuni neraka, lalu siapa di antara kita yang masuk surga?” ujar mereka.
Kemudian ada yang berkata, “Aku akan membuntutinya. Jika ia bergerak cepat atau lambat aku akan selalu bersamanya”.
Sampai akhirnya ia terluka. Maka ia ingin mempercepat kematiannya. Ia letakkan pedangnya di atas tanah dengan mata pedang berada di dadanya. Kemudian ia tancapkan hingga membunuh dirinya.
Segera sahabat yang membuntuti tadi menemui Nabi saw. Ia berkata, “Aku bersaksi bahwa engkau utusan Allah.” “Mengapa?” tanya beliau. Orang itupun menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar hal itu Nabi saw bersabda, “Seseorang beramal dengan amal penduduk surga menurut pandangan manusia, padahal ia merupakan penduduk neraka. Sebaliknya bisa jadi seseorang beramal dengan amal penduduk neraka dalam pandangan manusia, padahal ia merupakan penduduk surga.”
by Fauzi Bahreisy fauzibahreisy | Mar 6, 2016 | Konsultasi, Konsultasi Umum
Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh ustadz, saya ingin bertanya. Si A (wanita) menikah dengan si B (pria), mereka melakukan pernikahan secara siri, pada saat si A menikah dengan si B, si A meminta kepada orang lain (tidak ada hubungan darah) untuk menjadi Wali Nikahnya. Sedangkan orang tua si A terutama ayahnya masih dalam keadaan hidup. Menurut ustadz bagaimana hukum pernikahan si A dengan si B? Apakah pernikahannya sah? Terima kasih atas pencerahan ustadz. Wasallamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Jawaban
Assalamu alaikum wr.wb.
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahi Rabbil alamin. Washshalatu wassalamu ala Rasulillahi wa ala alihi wa shahbihi ajmain. Amma ba’du:
Jumhur ulama sepakat bahwa akad nikah itu harus dengan adanya wali yang sah dan dua saksi yang adil. Tanpa keduanya, maka nikah itu menjadi batal.
Dan harus diperhatikan bahwa akad nikah bukanlah akad antara laki-laki dan wanita, tetapi akad itu dilakukan antara wali wanita dengan calon suaminya. Mereka berdua ini yang melakukan ijab kabul dengan disaksikan dua orang saksi yang adil.
Dalam hal ini yang berhak menjadi wali tidak boleh orang lain, tetapi sudah ada urutannya yang baku dalam hukum Islam. Bila tiba-tiba ada pihak lain yang menjadi wali, maka perbuatan itu dosa besar karena membolehkan terjadinya perzinaan.
Apalagi bila orang-orang yang berhak menjadi wali masih ada dan memenuhi syarat. Maka mengambil alih perwalian sama saja dengan menghalalkan zina. Dan dalam Islam, orang-orang yang menjadi wali bagi wanita telah ada kententuannya sendiri.
Ketika urutan daftar para wali itu telah tidak ada semua (misalnya telah meninggal semua atau berlainan agama), maka Rasulullah SAW bersabda, ”Saya adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali.” Artinya hakimlah yang menjadi walinya.
Kondisi ini harus dengan syarat bahwa orang-orang yang berhak jadi wali memang telah tidak ada baik karena mati, hilang atau karena sebab lain yang tidak bisa diketahui.
Karena itu, kalau syarat sah pernikahan tidak terpenuhi, berarti harus dilakukan nikah ulang.
Wallahu a’lam.
Wassalamu alaikum wr.wb.
Ustadz Fauzi Bahreisy
Ingin konsultasi seputar ibadah, keluarga, dan muamalah? Kirimkan pertanyaan Anda kesini
by Syahrul syahrul | Mar 6, 2016 | Artikel, Kajian, Ringkasan Taklim
Ringkasan Kajian Tadabbur Al-Qur’an Surat Ash-Shaff ayat 1-3.
Dakwah Bil Hal
Ahad, 28 Februari 2016
Pkl. 18.00-19.30
Di Majelis Taklim Al Iman, Jl. Kebagusan Raya No.66, Kebagusan, Jakarta Selatan
Bersama:
Ustadz Fauzi Bahreisy
Mukaddimah
Surat Ash-Shaff adalah Surat Madaniyah (turun setelah hijrah) yang berjumlah 14 ayat.
Tema besar Surat Ash-Shaff adalah terkait dengan qital/jihad berjuang menegakkan kalimat Allah.
Kata Ash-Shaff di ambil dari ayat ke-4, karena di dalam kata Ash-Shaff terkandung beberapa pelajaran penting :
- Di dalam Shaf adanya intidzam (keteraturan), yang menjadi salah satu diantara ciri-ciri Islam, maka sudah seharusnya bagi seorang Muslim menjadikan keteraturan itu bagian dari kehidupannya, teratur dalam menata hidup, waktu, kerja, tugas dan lain-lain.
- Di dalam Shaf ada istiqamah (lurus), karena shaf yang benar adalah shaf yang lurus.
- Di dalam Shaf ada at-Tarabuth (saling terpaut), shaf yang benar adalah shaf yang adanya keterpautan antara kita yang menunjukkan soliditas dan kekuatan.
Tadabbur Ayat
Ayat ke-1
(سَبَّحَ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (١
“Apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana“.
Semua makhluk yang ada di langit dan di bumi bertasbih mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di dalam Al-Qur’an kata tasbih terkadang di sebutkan dengan sighah madhi “sabbaha” yang menunjukkan waktu lampau dan terkadang dengan shighah mudhari’ “yusabbihu” yang menunjukkan waktu sekarang dan yang akan datang, untuk memberi penegasan agar kita selalu bertasbih kepada Allah, mensucikan-Nya dari segala kekurangan.
Jika seluruh makhluk yang lain bertasbih kepada Allah, maka kita selaku manusia yang di berikan hati dan akal lebih layak untuk bertasbih kepada-Nya.
Al-‘Aziz maknanya Maha Perkasa dan tidak ada yang dapat mengalahkan-Nya sedangkan Al-Hakim maknanya Bijaksana. Di dalam banyak ayat dalam Al-Qur’an Allah Swt. menggandengkan antara kalimat Al-Aziz “Perkasa” dan Al-Hakim “Bijaksana”, ini menunjukkan bahwa Allah tidak berlaku Dzalim.
Ayat Ke-2 dan 3 :
(يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ (٢) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لا تَفْعَلُونَ (٣
“Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan“.
Allah SWT menegur/mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak mengatakan sesuatu tetapi dia sendiri tidak mengerjakannya atau sengaja tidak mengerjakannya. Besar murka Allah jika seorang mukmin mengatakan sesuatu sedangkan dia sendiri tidak mengerjakannya.
Dalam Tafsir Al-Kasyaf dan Al-Kabir serta kitab-kitab tafsir yang lainnya menyebutkan bahwa asbabunnuzul “Sebab-sebab turunnya ayat ini” adalah diantara para sahabat ada yang berandai-andai sekiranya mereka mengetahui amal yang lebih dicintai Allah, pasti mereka akan mengerjakannya, akan tetapi ketika Allah mewajibkan kepada mereka jihad maka diantara mereka tidak suka dan mundur, kemudian Allah menegur dengan turunnya ayat ini
Kita dianjurkan untuk berdakwah di jalan Allah, dimana dakwah merupakan amal yang sangat besar dan paling utama serta paling di sukai oleh Allah SWT yang menjadi tugasnya para Nabi dan Rasul serta Ulama setelahnya. Akan tetapi jangan sampai kita hanya pandai bermain kata sedangkan kita sendiri tidak melakukannya, yang tidak ubahnya seperti orang munafiq, maka inilah yang di kecam oleh Allah SWT.
Dakwah dapat dilakukan dengan dua cara : Billisan “ucapan atau perkataan” dan Bilhal “menampilkan Islam dalam amal kehidupan sehari-hari”. Dakwah dengan lisan banyak orang yang bisa melakukannya, akan tetapi sering hanya sebatas ungkapan secara verbal saja.
Yang diinginkan oleh Allah SWT adalah juga disertai dengan amal perbuatan kita, jika ini kita lakukan maka orang akan dapat melihat Islam secara konkret. Oleh karena itu, kenapa Rasulullah SAW berhasil dalam berdakwah?
Karena Rasulullah SAW mengerjakan apa yang beliau sampaikan yang menjadi akhlak dan tingkah laku yang di tampilkan. Para sahabat menjadi generasi terbaik.
***
Majelis Ta’lim Al Iman
Tiap Ahad. Pkl. 18.00-19.30
Kebagusan, Jakarta Selatan.
Jadwal Pengajian:
1. Tadabbur Al Qur’an tiap pekan 2 dan 4 bersama Ust. Fauzi Bahreisy
2. Kitab Riyadhus Shalihin tiap pekan 3 bersama Ust. Rasyid Bakhabzy, Lc
3. Kontemporer tiap pekan 1 bersama ustadz dengan berbagai disiplin keilmuwan.
Kunjungi AlimanCenter.com untuk mendapatkan info, ringkasan materi dan download gratis audio/video kajian setiap pekannya.
•••
Salurkan donasi terbaik Anda untuk mendukung program dakwah Majelis Ta’lim Al Iman:
BSM 703.7427.734 an. Yayasan Telaga Insan Beriman
Konfirmasi donasi: 0897.904.6692
Raih amal sholeh dengan menyebarkannya!
by Muhammad Syukron msyukron | Mar 5, 2016 | Artikel, Dakwah
Oleh: Muhammad Syukron Muchtar
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bersegeralah beramal sebelum datangnya rangkaian fitnah seperti sepenggalan malam yang gelap gulita, seorang laki-laki di waktu pagi mukmin dan di waktu sore telah kafir, dan di waktu sore beriman dan pagi menjadi kafir, ia menjual agamanya dengan kesenangan dunia.” (HR. Ahmad).
Hadits di atas menunjukkan kepada kita sikap tidak istiqomah yang menjadikan seseorang baik pada pagi hari dan telah menjadi kafir pada sore harinya atau sebaliknya. Inilah kondisi umat pada era yang penuh dengan fitnah ini. Tidak ada jaminan bagi seseorang akan menjadi baik dan berada dalam ketaatan kepada Allah SWT selamanya.
Terkadang kita merasa tenang-tenang saja akan kondisi hati kita. Padahal kita tidak mempunyai kekuatan apapun terhadap hati kita. Terkadang ia merasa baik dan dipenuhi ketaatan kepada-Nya, namun terkadang ia berpaling dari mengingat-Nya lantaran bisikan nafsu syetan yang menguasainya. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam haditsnya:
Diriwayatkan dari Nawwas bin Sam’an ia berkata aku mendengar Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah ada satu hatipun melainkan berada diantara dua jemari dari jari jemari Ar Rahman bila ia kehendaki Ia akan meneguhkannya dan bila Ia kehendaki Ia akan menyesatkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Musnad dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Syaikh Al Bani).
Dan dari Abu Musa Al Asy’ari ia berkata : Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya hati ini laksana bulu ditengah padang pasir tandus yg dibolak-balikkan oleh angin”
Menyadari akan ketidakmampuan kita dalam menajaga hati kita, hendaknya kita senantiasa memohon kepada Allah SWT agar membimbing, mengarahkan dan menetapkannya dalam kebaikan dan ketaatan kepada-Nya.
Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita sebuah do’a, sebagaimana tercantum dalam kita As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu’anha bahwasanya Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sering membaca doa
يَا مُقَــلِّـبَ اْلقُــلٌــوْبِ ثَبِّــتْ قَــلْبِـــيْ عَــلَى دِيْنـِــكَ
(Wahai Dzat yg meneguhkan hati teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu)
Aku pun bertanya: ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya engkau sering membaca doa ini apakah engkau merasa khawatir?’ Beliau menjawab “Ya lalu apa yg membuat aku merasa aman wahai Aisyah sementara hati para hamba berada diantara dua jari jemari Ar Rahman” Maka bila engkau telah mengetahui bahwasanya hati para hamba berada diantara dua jari dari jari jemari Ar Rahman, Ia bolak-balikkan sekehandaknya.”